Rabu, 27 Januari 2010

Upacara Kematian Tionghua

UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT TIONGHOA DALAM 4 TAHAP
Oleh : M.Natsir
1. Belum Masuk Peti.
o Semenjak terjadinya kematian, anak-cucu sudah harus membakar kertas perak (uang di akhirat ) merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat yang dilakukan sambil mendoakan yang meninggal.
o Mayat dimandikan dan dibersihkan, lalu diberi pakaian tujuh lapis. Lapisan pertama adalah pakaian putih sewaktu almarhum/almarhumah menikah. Selanjutnya pakaian yang lain sebanyak enam lapis.
o Sesudah dibaringkan; kedua mata, lubang hidung, mulut, telinga, diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.
Di sisi kiri dan kanan diisi dengan pakaian yang meninggal. Sepatu yang dipakai harus dari kain. Apabila yang meninggal pakai kacamata maka kedua kaca harus dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain.
2. Upacara masuk peti dan penutupan peti
- Seluruh keluarga harus menggunakan pakaian tertentu. Anak laki-laki harus memakai pakaian dari blacu yang dibalik dan diberi karung goni. Kepala diikat dengan sehelai kain blacu yang diberi potongan goni. Demikian pula pakaian yang dipakai oleh anak perempuan namun ditambah dengan kekojong yang berbentuk kerucut untuk menutupi kepala. Cucu hanya memakai blacu, sedangkan keturunan ke empat memakai pakaian berwarna biru. Keturunan ke lima dan seterusnya memakai pakaian merah sebagai tanda sudah boleh lepas dari berkabung.
- Mayat harus diangkat oleh anak-anak lelaki almarhum. Sementara itu anak perempuan, cucu dan seterusnya harus terus menangis dan membakar kertas perak, di bawah peti mati. Mereka harus memperlihatkan rasa duka cita yang amat dalam sebagai tanda bakti (uhaouw).

Bila kurang banyak (tidak ada) yang meratap, maka dapat menggaji seseorang untuk meratapi dengan bersuara, khususnya pada saat tiba waktunya untuk memanggil makan siang dan makan malam.
- Sesudah masuk peti, ada upacara penutupan peti yang dipimpin oleh hwee shio atau cayma. Bagi yang beragama Budha dipimpin oleh Biksu atau Biksuni, sedangkan penganut Konfusius melakukan upacara Liam keng. Upacara ini cukup lama, dilaksanakan di sekeliling peti mati dengan satu syarat bahwa air mata peserta pada upacara penutupan peti tidak boleh mengenai mayat. Dalam upacara ini juga dilakukan pemecahan sebuah kaca / cermin yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan mereka, pada hari ke tujuh almarhum bangun dan akan melihat kaca sehingga menyadarkan dia bahwa dirinya sudah meninggal.
- Bagi anak cucu yang "berada" (kaya), mulai menyiapkan rumah-rumahan yang diisi dengan segala perabotan rumah tangga yang dipakai semasa hidup almarhum. Semuanya harus dibuat dari kertas. Bahkan diperbolehkan diisi secara berlebih-lebihan, termasuk adanya para pembantu rumah tangga. Semua perlengkapan ini dapat dibeli pada toko tertentu.
- Setiap tamu-tamu yang datang harus di sungkem (di soja) oleh anak-anaknya, khusus anak laki-laki.
- Di atas meja kecil yang terletak di depan peti mati, selalu disediakan makanan yang menjadi kesukaan semasa almarhum masih hidup.
- Upacara ini berlangsung berhari-hari. Paling cepat 3 atau 4 hari. Makin lama biasanya makin baik. Dilihat juga hari baik untuk pemakaman.
- Selama peti mati masih di dalam rumah, harus ada sepasang lampion putih yang selalu menyala di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada orang yang meninggal di rumah tersebut.


3. Upacara pemakaman
- Menjelang peti akan diangkat, diadakan penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh hwee shio atau cayma, kembali mereka melakukan upacara penghormatan.
- Sesudah menyembah (soja) dan berlutut (kui), mereka harus mengitari peti mati beberapa kali dengan jalan jongkok sambil terus menangis; mengikuti hwee shio yang mendoakan arwah almarhum.
- Untuk orang kaya, diadakan meja persembahan yang memanjang ± 2 sampai 5 meter. Di atas meja disediakan macam-macam jenis makanan dan buah-buahan. Pada bagian depan meja diletakkan kepala babi dan di depan meja berikutnya kepala kambing. Makanan yang harus ada pada setiap upacara kematian adalah "sam seng", yang terdiri dari lapisan daging dan minyak babi (Samcan), seekor ayam yang sudah dikuliti, darah babi, telur bebek. Semuanya direbus dan diletakkan dalam sebuah piring lonjong besar.
- Putra tertua memegang photo almarhum dan sebatang bambu yang diberi sepotong kertas putih yang bertuliskan huruf Cina, biasa disebut "Hoe". Ia harus berjalan dekat peti mati, diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain. Begitu peti mati diangkat, sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai.
- Dalam perjalanan menuju tempat pemakaman, di setiap persimpangan, semua anak harus berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenasah. Demikian pula setelah selesai penguburan.
- Setibanya di pemakaman, kembali diadakan upacara penguburan. Memohon kepada dewa bumi ("toapekong" tanah) agar mau menerima jenasah dan arwah almarhum, sambil membakar uang akhirat.
Semua anak - cucu tidak diperkenankan meninggalkan kuburan sebelum semuanya selesai, berarti peti sudah ditutup dengan tanah dalam bentuk gundukan. Di atas gundukan diberi uang kertas perak yang ditindih dengan batu kecil. Masing-masing dari mereka harus mengambil sekepal / segenggam tanah kuburan dan menyimpannya di ujung kekojong.
- Setibanya dirumah, mereka harus membasuh muka dengan air kembang. Sekedar untuk melupakan wajah almahum.
4. Upacara Sesudah Pemakaman
1. Semenjak ada yang meninggal sampai saat tertentu, semua keluarga harus memakai pakaian dan tanda berkabung terbuat dari sepotong blacu yang dilikatkan di lengan atas kiri. Tidak boleh memakai pakaian berwarna ceria, seperti :merah, kuning ,coklat, orange.
2. Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal,
a. untuk kedua orangtua, terutama ayah dilakukan selama 2 tahun
b. untuk nenek dan kakek dilakukan selama 1 tahun
c. untuk saudara dilkukan selama 3 atau 6 bulan.
3. Di rumah disediakan meja pemujaan, rumah-rumahan dan tempat tidur almarhum. Setiap hari harus dilayani makannya seperti semasa almarhum masih hidup.
Upacara sesudah pemakaman biasanya terdiri dari :
1. Meniga hari ( 3 hari masa sesudah meniggal )
Sesudah 3 hari meninggal seluruh keluarga melakukan upacara penghormatan dan peringatan di tempat jenazah berada (pergi ke kuburan almarhum). Mereka membawa makanan, buah-buahan, dupa, lilin, uang akhirat. Dengan memakai pakaian berkabung/blacu mereka melakukan upacara penghormatan (soja dan kui). Tak lupa mereka juga menangis dan meratap sambil membakar uang akhirat. Pulang ke rumah, kembali mencuci muka dengn air kembang.
2. Menujuh hari ( 7 hari sesudah meniggal )
Seperti halnya upacara meniga hari, seluruh keluarga melakukan upacara penghormatan dan peringatan di tempat jenasah berada (kembali ke kuburan). Mereka membawa rumah-rumahan, makanan dan buah-buahan serta uang akhirat. Lilin dan dupa (hio) dinyalakan. Seluruh rumah-rumahan dan sisa harta yang perlu dibakar, dibakar sambil melakukan upacara mengelilingi api pembakaran. Sudah selesai, tanah sekepal/segenggam diambil, diserahkan ke atasnya.
3. 40 hari sesudah meniggal
Pada hari ke 40 ini kembali anak – cucu dan keluarga melakukan upacara penghormatan di tempat jenazah berada (kuburan). Semua baju duka dari blacu dan karung goni dibuka dan diganti baju biasa. Mereka masih dalm keadaan bekabung, namun telah rela melepaskan arwah si alrmahum ke alam akhirat. Sebagai tanda tetap berkabung, semua anak cucu memakai tanda di lengan kiri atas berupa sepotong kain blacu dan goni.
4. Tiap-tiap tahun memperingati hari kematian
Satu tahun dan tahun-tahun berikutnya, akan selalu diperigati oleh anak cucunya dengan melakukan “soja dan kui” sebagai tanda berbakti dan menghormat. Peringatan tahunan ini berupa upacara persembahan. Bagi keluarga yang berbeda, di atas meja persembahan diletakkan berbagai makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh dan kopi, manisan minimum 3 macam, rokok, sirih, sekapur, sedangkan makanan yang paling utama adalah “samseng” 2 pasang, lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara ini adalah meminta kepada dewa bumi (toapekong tanah) untuk membukakan jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat (kerta perak dan kertas emas)
Nama Fam dan Jaringan Kekerabatan
Ada beberapa nama Tionghoa. Orang Tionghoa bisa memberi nama yang diinginkan. Akan tetapi, orang tua biasanya memberi nama yang bedrmakna nasib baik atau tercapainya mimpi yang indah. Setiap nama sering memliki arti khusus. Misalnya Fu (keberuntungan), Cai (kekayaan) dan Gui (prestise) merupakan nama-nama yang menunjukkan keinginan untuk mendapatkan kekyaaan dan kemakmuran. Kuang (kesehatan), Shou (umur panjang), Jian (kesehatan dan kekuatan) dan Song (pinus) menyatakan keinginan atas hidup yang panjang dan sehat.
Kata-kata yang menyatakan kekuatan dan kekuasaan sering digunakan untuk nama anak laki-laki untuk mencerminkan kejantanannya. Anak perempuan biasanya diberi nama yang lebih lembut untuk menyatakan kecantikan dan kelelembutan. Arti nama dengan dua huruf melebihi nama dengan satu huruf. Dalam bebrapa keluarga, huruf umum digunakan untuk masing-masing saudara kandung.
Dimungkinkan juga menggunakan huruf umum untuk nama-nama dalam klan. Huruf umum klan ini sudah dibuat oleh leluhur keluarga.Huruf umum untuk 12 generasi atau lebih bisa disebutkan sekaligus. Dengan huruf umum klan, setiap anggota keluarga klan diberi nama sesuai dengan tingkatannya (dalam hal generasi) dalam klan.
Masyarakat Tionghoa membagi semua hal menjadi yin dan yang. Nma juga memeliki unsur yin dan yang. Dalam memberi nama, penting untuk menyeimbangkan yin dan yang. Jika satu huruf memliki jumlah guratan yang ganjil, berarti huruf ini digolongkan sebagai yang. Jika jumlahnya genap, berarti yin. Orang-orang kuno percaya bahwa semua hal di dunia ini terdiri dari lima unsur, yaitu Logam, Kayu,Air, Api dan Tanah. Lima unsur ini saling mendukung atau menghambat satu sama lain. Jika nama memiliki kualitas mendukung, berarti ada keseimbangan nasib baik. Sebaliknya, jika nama memiliki kualitas penghambat, nama itu dianggap tidak baik.
Perkawinan bagaikan tonggak penting dalam kehidupan seseorang, perkawinan bangsa Tionghoa memiliki banyak adat istiadat dan perayaan yang rumit dan banyak diantaranya masih dipraktekkan hingga sekarang. Pada zaman dahulu, perkawinan diatur oleh orang tua dan direncanakan oleh mak comblang. Anak-anak tidak berhak berbicara. Persiapan perkawinan dimulai ketika sebuah keluarga mengirim sorang mak comblang ke keluarga lain dengan membawa lamaran perkawinan. Delapan Trigram kedua orang ini lalu dibandingkan untuk melihat apakah mereka sesuai. Keputusan akhir berada ditangan orang tua. Selain Dinasti Zhou, upacara perkawinan dilaksanakan pada waktu malam. Mempelai pria yang menggenakan pakaian hitam akan menjemput mempelai wanita ketika hari sudah gelap. Pengiring pengantin bahkan katanya juga berwarna hitam. Mereka yang berjalan di depan kereta akan membawa lilin untuk menerangi jalan.
Datangnya kehidupan baru sering dirayakan. Untuk hidup sampai usia tua pun patut dirayakan. Orang Tionghoa memiliki sejumlah perayaan untuk menandai tonggak penting dalam kehidupan seseorang sejak lahir sampai tua. Orang Tionghoia mempunyai pepatah : Dari tiga tindakan yang tidak berbakti, yang terburuk adalah kegagalan menghasilkan anak. Membesarkan anak merupakan tugas yang mempunyai beban moral tinggi
Memeliki banyak anak dan cucu adalah nasib baik. Dengan keinginan untuk mendapatkan keturunan, banyak kebiasaan yang melibatkan berdoa pada dewa untuk meminta anak semakin populer.
Cara yang paling tepat adalah meminta berkat dari kelahiran. Misalnya, orang memuja Dewa Zhang Xian, Dewi Keturunan, Ibu Suri Bunga Emas, Dewi Kemurahan, Ibu Suri Kelhiran dan Dewi Gizi. Kebiasaan lain adalah makan telur perkawinan. Mas kawin bangsa Tionghoa sering berupa ember kecil yang dicat merah. Di dalam ember tersebut, ada lima butir telur rebus yang di cat merah dan sedikit daging manis. Ketika mas kawin disdampaikan ke rumah mempelai pria, kerabat wanita dari keluarga mempelai pria yang tidak punya anak setelah cukup lama menikah bisa meminta telur ini. Katanya, setelah memakannya, mereka akan hamil. Menariknya, beberapa tempat mempraktekkan kebiasaan makan buah melon untuk mendapatkan anak.
Biasanya buah melon merujuk pada labu kuning atau labu putih. Batangnya merambat dan daun labu kuning sangat lebat. Pada sendinya terdapat akar. Satu tanaman bisa menghasilkan banyak labu. Nan dalam mangua (labu kuning) dan nan (pria) adalah homofon. Dari berbagai tipe melon, labu putih mengandung paling banyak biji sehingga kadang-kadang dikenal sebagai keranjang 100 biji, biji menyatakan anak-anak. Menurut legenda, pasangan yang tidak punya anak harus membeli labu pada Hari Qingming. Mereka harus memasak seluruh labu dan makan di siang hari. Sambil duduk berhadapan, pasangan itu harus menghabiskan labu sebanyak mungkin. Dengan melakukan hal ini, mereka akan punya anak kelak.
Perempuan Tionghoa menjalani satu bulan pengitan setelah melahirkan. Hal ini merupakan kebiasaan yang unik bagi warga Tionghoa. Kebiasaan ini telah dipraktekkan untuk waktu yang lama, sampai sekarang. Dalam satu bulan itu,seorang wanita harus merawat diri secara hati-hati, yaitu menjaga kehangatan, mengurangi udara di perut, dan minuman tonikum. Tonikum seperti sari ayam,ayam dimasak dalam minyak wijen, nasi ketan, bubur jail, telur rebus, sup bening ayam, wijin asin, biji walnut dan gula hitam sangat disarankan.
Gunanya adalah untuk mengganti darah yang hilang selama melahirkan dan sekaligus memastikan bahwa ibu memiliki banyak asi untuk memberi makan bayi. Sebuah pepatah kuno mangatakan : Ikuti aturan pengitan dan bebaskan dirimu dari semua kekhawatiran hidup. Beberapa lama seorang wanita beristirahat selama masa pingitan adalah sangat penting karena bisa mempengaruhi kesehatan fisik di masa depan.
Setiap orang memliki hari ulang tahun. Dalam pemikiran bangsa Tionghoa tradisional, hanya orang berusia 60 tahun atau lebih yang berhak merayakan ulang tahunnya. Seseorang yang masih berusia di bawah 60 tahun tidak boleh merayakan ulang tahunnya secara besar-besaran karena dapat memperpendek umur! Mengapa demikian? Dalam pemikiran Bangsa Tionghoa, Batang Langit dan Cabang Bumi membuat lingkaran penuh dalam 60 tahun. Mereka yang bedrusia 60 tahun telah melengkapi lingkaran ini sehingga mereka bukan lagi orang biasa. Mereka menikmati penghoramatan kepada leluhur. Di ulang tahunnya, anak dan cucu akan memberikan ucapan selamat kepada mereka.
Angka 9 dan 10 sangat penting dalam perayaan ini. Angka terbaik adalah 9 karena menyatakan yang terbaik dan juga terdengar seperti kata untuk keabadian. Jika usia seseorang memiliki angka 9 atau merupakan kelipatan 9, mereka boleh merencanakan pesta besar yang dikenal sebagai perayaan 9. Angka 10 dianggap sebagai keseluruhan penuh dan usia dalam angka sepuluh dikenal sebagai ulang tahun keseluruhan penuh. Orang yang telah mencapai usia 80 dipandang sebagai Dewa Bintang. Perayaan ulang tahunnya akan diadakan dengan sangat meriah.
Bagi orang Tionghoa, kelahiran dan kematian merupakan sebuah peristiwa yang memerlukan pengumpulan banyak orang. Usia sebulan bayi dirayakan. Jika seseorang sudah tua, ulang tahunnya dirayakan, Jika ia mati, ada ritual rumit yang harus dipatuhi. Beberapa orang tua bahkan sudah mengatur penguburan mereka sebelumnya.
Orang Tionghoa percaya bahwa ada jiwa dan tubuh. Jika meninggal, jiwanya akan naik ke langit sedangkan tubuhnya tetap di bumi. Meskipun tubuhnya mati, jiwanya tetap ada.
Selain itu juga dipercaya bahwa jiwa tidak bisa dihancurkan. Orang hidup bisa berkomunikasi dan minta berkat padanya. Namun seseorang hanya bisa berdoa untuk memenuhi tujuan ini. Akhirnya plakat leluhur pun dibuat. Kebanyakan plakat dibuat dari kayu. Karenanya kadang-kadang disebut tuan kayu. Putra tertua atau cucu tertua berkewajiban mengurus plakat. Plakat leluhur tidak hanya mencerminkan pentingnya kesalehan anak dalam ajaran Confucius, tapi juga penghormatan bagi yang wafat.
Menurut Ketua Majelis Umat Khong Fu stu Kalimantan Barat yang menetap di kabupaten Ketapang ada beberapa warga Tionghoa masih mempercayai adanya Fam dan jaringan kekerabatn diantaranya :
Shio Babi Fam : Tai Soi, Phak Fu, Eng Jui
Shio Anjing Fam : Phiang, Phu,Khi,Kon Jin, Fuk
ShioAyam Fam : Eng Kui, Tien Ken,Tiau hak, Soi Pho
Shio Kera Fam : Siu Miang, Tai Jim,Tai Jong, Cok Fuk
Shio Kambing Fam : Phak Fu, Eng Kui, Fa Kong, Hie Thian, Cok Fu
Shio Kuda Fam : Tai Yong, Cok Fu
Shio Ular Fam : Shoi Pho, Tien Keu, Tian Hak
Shio Naga Fam : Kim Fa, Tai Yong, Cok Fuk
Shio Kelinci Fam : Eng Kuyi, Phak Fu, Tien Keu, Tiau Hak,Soi Pow
Shio Harimau Fam : Phiang, Phu, Khi, Kon Jim,Fuk
Shio Sapi Fam : Tien Keu, Tian Hak, Soi Pho Phak Fu
Shio Tikus Fam : Tai Yo, Sen kiu

Sistem Pembagian Harta Waris
Bagi masyarakat Tionghoa pembagian harta wariasan telah berlangsung sejak turun-temurun, jika orang tua telah usia lanjut atau jika sang Bapak mninggal terlebih dahulu, warisan sementara dipegang/ dikelola sang Ibu dan setelah Ibu meninggal warisan tersebut dibagi-bagikan kepada semua anak lelaki, yang perempuan biasanya tidak mendapat warisan, apalagi bagi perempuan yang sudah berumah tangga karena statusnya punya suami, terkecuali ada wasiat dari sang Bapak/Ibu sebelum meninggal itu sudah ditentukan berapa haknya dan jika punya anak angkat di keluarga Tionghoa berhak juga mendapat warisan. Jika warisan sedikit, biasanya dengan musyawarah, warisan tersebut diberikan kepada anak sibungsu.

Tidak ada komentar: