Rabu, 27 Januari 2010

Tanjidor

TANJIDOR MUSIK KHAS TRADISIONAL
Oleh: M.Natsir
Tanjidor kesenian yang berbentuk orkes diperkirakan sudah ada sejak abad ke-19, dengan berbagai peralatan dengan mengabungkan beberapa alat kesenian musik tiup piston (cornet a.piston), trombon,tenor ,klarinet bas dilengkapi alat musik membran yang disebut tambur dari gendering Kamus Ensiklopedia Indonesia yang diterbitkan Ichtiar Baru-Van Hoeve tahun 1984 menyebutkan tanjidor berasal dari bahasa Portugis tangedor yakni kelompok musik berdawai. Kini, tanjidor lebih sering dipakai untuk menyebut pemusik jalanan yang buta not dan memainkan alat musik tiup. Alat musik berskala diatonis terkadang dimainkan untuk nada-nada lagu tradisional nondiatonis. Mona Lohanda, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang aktif meneliti tanjidor di era 1980 dan 1990-an mengisahkan, kesenian itu awalnya merupakan orkes yang dimainkan pada masa perbudakan.
Sebelum abad ke-20, tuan tanah di pinggiran Batavia umumnya mempunyai pekerja atau budak. Tidak hanya mengurus rumah, budak yang berbakat musik diserahi tugas menghibur tamu si tuan tanah. "Sulit buat tuan tanah untuk mendatangkan para pemusik dari Eropa karena terlalu mahal," katanya beberapa pekan lalu. Era musik tanjidor di dalam rumah megah para tuan tanah berakhir pula saat perbudakan selesai. Namun, kebiasaan bermusik itu tetap diwariskan turun temurun. Tak heran, peralatan tanjidor yang ada sekarang merupakan peninggalan Belanda sehingga usianya ada yang sangat tua. Kelompok Tiga Saudara di Jakarta misalnya, masih menyimpan trompet bas buatan Belanda tahun 1894.
Bangsa di Eropa Selatan itu ikut memasukkan unsur keseniannya dalam bentuk musik tanjidor. Karena dimainkan oleh sepuluh bahkan sampai belasan orang dengan berbagai alat musik, sehingga ada yang mengkategorikannya sebagai ''musik jazz Betawi''.
Perkiraan asal muasalnya dari Portugis, karena berasal dari kata ''tanger'', yang berarti memainkan alat musik--pada pawai militer atau upacara keagamaan. Entah kenapa, kata ''tanger'' kemudian diucapkan jadi tanjidor.
Ernst Heiinz, ahli musik Belanda, berpendapat bahwa tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik oleh tuannya. Hal ini dipertegas oleh sejarahwan Belanda yang banyak menulis tentang Batavia bahwa orkes tanjidor kemudian muncul pada masa kompeni.Sampai 1808, kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi kompeni membangun villa di luar kota, seperti di Cilitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis. Di vila-villa yang megah dan mewah itu, mereka mempekerjakan ratusan budak. Di antara mereka ada yang khusus memainkan alat-alat musik untuk menghibur para tuan saat jamuan makan malam dan kegiatan pesta lainnya. Ketika perbudakan dihapuskan 1860, mereka membentuk perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor. Dalam perkembangannya kemudian, orkes rakyat ini dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan, antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, dan Cakranegara.
Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Tapi, Tanjidor juga membawakan lagu-lagu Betawi asli, seperti Jali-Jali, Surilang, Kicir-kicir, Cente Manis, Stambul, dan Parsi. Pada 1954, Walikota Sudiro melarang musik tanjidor ngamen. Pelarangan ini tentu saja membuat para senimannya menjadi kecewa.Zaman sekarang, tanjidor menghadapi tantangan tersendiri. Kesenian itu semakin berjarak dengan pendengarnya yang lahir di beda masa. Serbuan berbagai alternatif hiburan, terutama dangdut, tak jarang lebih mendapat tempat di hati masyarakat, terutama generasi muda. Itu bukan disadari oleh grup tanjidor tersebut. Mereka kemudian menyesuaikan diri agar tetap menarik minat masyarakat. Tanjidor yang aslinya terdiri dari sembilan alat tiup dan tabuh serta membawakan lagu-lagu lama Melayu sesekali merubah tampilan.
Permainan dapat dikolaborasi dengan dangdut, dan Melayu. Alat musik tinggal ditambahi seruling, gendang atau gong untuk membuat variasi bunyi. Tak heran ketika manggung saat itu,musik tanjidor salah satu artenatif yang menarik perhatian generasi muda, Tanjidor Tidak hanya di kalangan penikmatnya saja, walaupun kesenjangan generasi juga terlihat dari personel tanjidor yang ada.
Pada tahun 70 –an di Kota Pontianak musik Tanjidor cukup popular, musik menjadi salah satu alternatip kesenian yang mempunyai massa pengemar cukup banyak. Kepopuleran tanjidor dapat menjadikannya sebagai sarana hiburan rakyat dan menjadi sebuah prestise bagi masyarakat yang dapat mengundangnya. Kesenian ini dapat didendangkan pada setiap massa waktu dan tempat sebuah kebanggaan keluarga jika musik tanjidor tampil, seperti pada acara perkawinan, sunatan dan bahkan pada acara ulang tahun pemerintah daerah. Tumbuh dan berkembangnya musik ini bias diperkirakan sejak zaman kesultanan pontianak karena diantara pemain yang ada sekarang sudah termasuk empat generasi. Tanjung Bersiku yang berdomisil di daerah kampung dalam salah satu peninggalan yang kini masih tetap eksis, kepopulerannya tidak hanya di daerah bahkan cukup disengani di tingkat nasional, terbukti berapa kali menjuarai Festival tanjidor dan bahkan menjadi kebanggaan masyarakat Pontianak.
Tanjidor di Kalimantan Barat tidak hanya di Pontianak akan tetapi di wilayah kabupaten lainnya daerah Sambas kesenian ini juga masih eksis dengan beberapa pemain, dengan kostum Melayu Sambas dan menjadikan kesenian ini masih tetap popular, hal ini tak terlepas dari peran serta masyarakat dan pemerintah untuk tetap melestarikan kesenian daerah yang menjadi cirri khas tanjidor Sambas.
Kepedulian perlunya tetap melestarikan kesenian tanjidor sebuah tanggung jawab kita bersama, mengingat para pemainnya banyak dari kalangan tua. Pembinaan dan pengembangan sangat baik bagi generasi muda karena musik ini tidak ketinggalan zaman, bahkan mengikuti zaman lagu-lagu popular dangdut yang yang trend mampu dimainkan dengan baik. Semoga kita tetap peduli dengan musik tanjidor dan menjadikannya sebagai sarana komunikasi yang pada akhirnya dapat menciptakan kebersamaan menuju sebuah masyarakat yang aman damai sejahtera.

Tidak ada komentar: