Senin, 25 Januari 2010

Lima Orang Bernama Ismail Tokoh Ulama Melayu

Di Kalimantan Barat

Oleh : H.Dato Zahry Abdullah Al-Ambawi *dan M.Natsir*

1. Haji Ismail bin Haji Abdul Majid bin Haji Abdul Qadir Al-Kelantani*

Ismail bin Haji Abdul Majid disebut juga Ismail Pontianak. Ismail Kelantan, Ismail Labok. Ulama besar yang terkenal di Kalimantan Barat. Lahir di Kampung Labok, Macang, Kelantan 1876 M (1293 H). Menempuh pendidikan awal didapat di Kelantan kemudian belajar ke Makkah mengikuti majelis pengajian Syeikh Ahmad Al-Fatani dilanjutkan kepada Saiyid Abdullah az-Zawawi, Syeikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi berasal dari Termas (Jawa) ulama besar mazhab Syafie ahli dalam ilmu hadist. Pendidikan khusus tentang Ilmu Falak dipelajari dari Syeikh Muhammad Nur bin Muhammad bin Ismail al-Fatani. Pengajian di tanah suci mendapatkan beberapa ilmu pengetahuan ilmu Usuluddin, Fiqih,Quran dan Hadist kemudian kembali ke Kelantan pada tahun 1325 H bersamaan 1907 M. Kepulangannya ketanah air akibat dari terjadinya permasalahan kaum Wahabi yang mengejar ulama yang bertentangan dengan penguasa.

Informasi dari Syeikh Abdur Rani Mahmud al-Yamani (Ketua Majelis Ulama Kalimantan Barat) Ismail Kelantan adalah orang yang pertama menyebarluaskan ilmu falak di Pontianak, khususnya di Kalimantan Barat. Di Pontianak Ismail al-Kelantani mengunjungi ulama yang berasal dari Kedah Syeikh Muhammad Yasin dan Haji Wan Nik adalah seorang ulama sufi berasal dari Patani, Selatan Thailand dan tinggal di Kuala Secapa. Mempawah Kalimantan Barat*

Datang Ke Kalimantan Barat

Masa perjalanan panjang Ismail Kelantan datang ke Kalimantan Barat daerah Pontianak yang ditulis dalam bukunya “Pedoman Kemuliaan Manusia” Pada 1326 H bersamaan 1909 M / 1327 H. Masa Sultan Syarif Muhammad bin Syarif Yusof Alqadrie (1895-1944 M). Luasnya pengetahuan dan dalamnya ilmu yang dimiliki oleh Ismail Kelantan diakui keluarga besar Haji Muhammad Tahir seorang ulama dan pedagang keturunan Bugis tinggal di Sei Itik Darat mengawinkan anaknya mukminah dengan Ismail Kelantan. Hasil perkawina yang pertama ini mendapatkan tiga orang anak kemudian kawin yang kedua dengan Jamaliah yang berasal dari Tasikmalaya Jawa Barat.

Surat yang ditulis Ismail Kelantan kepada Syarif Muhammad bin Syarif Yusuf Sultan Pontianak, tertanggal Pontianak 28 Pebruari 1924, dapatlah diketahui bahwa pertama beliau dilantik sebagai Naib hakim di Rad agama Pontianak 12 Agustus 1920 M dan Menjadi Mufti kerajaan Pontianak (1910 /1328). Beliau salah seorang ulama yang pertama menggantikan hotbah bahasa Arab menjadi bahasa Indonesia. Adanya pristiwa tersebut beliau diminta oleh sultan Pontianak Syarif Muhammad Alqadrie untuk menjelaskan permasalahan agar tidak terjadi polemik di masyarakat. Atas penjelasannya dapat diterima sultan maka beliau diperbolehkan dan membuat bacaan hutbah tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat itu. Sebagai seorang ulama beliau juga berhasil dalam perdagangan kain sutera dari Kelantan ke Champa di Kemboja, sehingga dapat memiliki sebuah hotel yang terletak di Sungai Kapuas Pontianak disamping tempat tinggal juga tempat beliau mengajar.

Pada masa menjadi mufti di Kesultanan Pontianak ada tiga orang ulama yang bernama Ismail dengan peranan yang berbeda. Dua orang yang bernama Ismail bin Abdul Latif dikenal dengan (Ismail Jabal) berpangkat Adviseur penasehat Raad Agama Kesultanan Pontianak dan Ismail bin Abdul Karim (lebih dikenal Ismail Mundu). Mufti kerajaan Kubu Kalimantan Barat

Pulang Ke Kelantan

Selama 27 tahun berada di Kalimantan Barat Ismail Kelantan melanjutkan dakwahnya meninggalkan daerah Pontianak untuk kembali ke negeri kelahirannya Kelantan pada 1354 bersamaan 1935 M. Masa dikampung halamannya Haji Ismail dilantik sebagai guru agama di istana, imam besar masjid al-Muhammadi di Kota Bharu. Meninggal di Kelantan 18 Muharram 1370 bersamaan 29 Oktober 1950 dikebumikan di Kg.Labok, Machang

Karya Kitab

1. Fatwa as-Saiyid Abdullah Ibnu Almarhum as-Saiyid Muhammad Shalih az-Zawawi soal jawab dari tanah Jawa, diselesaikan pada 25 Syawal 1330 Hijrah.

2. Risalah Jumat dan sembahyang zhuhur Muadah. Salinan 3 Rabiulawal 1345 H

3. Pedoman kemuliaan manusia. Ditulis pada 22 Januari 1938

2. Haji Ismail bin Haji Abdul Latif ( Ismail Jabal )

Ismail Jabal lebih terkenal dari nama yang sebenarnya Ismail Abdul Latif, kepepuleran beliau dikenal mempunyai ilmu yang sangat luas disegani para ulama pada zamannya, bersahabat dekat dengan Haji Ismail bin Haji Abdul Karim atau sering disebut Ismail Mundu, dan Ismail Kelantan pada masa yang sama nama Ismail cukup berpengaruh di kesultanan Pontianak. Ketiga tokoh ulama ini mempunyai peran yang berbeda-beda Ismail Jabal berpangkat Adviseur Penasehat Agama Kerajaan Pontianak Pada masa kesultanan Syarief Muhammad bin Syarief Yusuf Alqadrie. Ismail Mundu menjadi mufti kerajaan Kubu sebuah kerajaan yang dipopulerkan oleh Tuan besar Al-Idrus di Kalimantan Barat. Ismail Kelantan menjadi mufti pada kerajaan Pontianak. Pada tarikh 28 Februari 1924*.

Usia Ismail Jabal lebih muda dari Ismail Kelantan. Beliau sampai di Mekkah sekitar tahun 1870 pada usia lima belas tahun. Pertama ilmu yang dipelajari adalah ilmu fiqih dengan mufti dari empat mazhab di Makkah, kemudian dengan Abdallah Al-Zawawi. Barangkali pertemuannya dengan Ustman Al-Puntiani bin Syihab Al-Din-lah (Ismail Kelantan) yang membangkitkan minatnya akan tasauf. Menerima pelajaran pertamanya dalam tarekat dari Muhammad Shalih sendiri yang sudah lanjut usia, setelah Muhammad Shalih wafat ia menerima khalifah utama syaikh tersebut, Muhammad Murad Al-Qazani Al-Uzbaki. Ia memerima ijazah untuk mengajarkan tarekat menjadi guru terkenal dan tinggal disebuah rumah di Jabal Hind yang merupakan harta wagf yang disumbangkan oleh keluarga penguasa Pontianak, bersebelahan dengan makam mendiang Sultan Hamid I (W.1289/1872)*. Mengenai nama “ Jabal” yang melekat dibelakang namanya untuk membedakan dengan nama Ismail lainnya. Ia mengajar di Jabal Hind dan dikenal guru dari Jabal Hind, sehingga dipanggil oleh murid-muridnya dengan sebutan Ismail Jabal.

Pada tahun 1919, setelah setengah abad di Makkah, Ismail kembali ke Kalimantan dan menetap di Pontianak sebagai seorang ‘alim dan syaikh tarekat. Masyarakat mengakui keilmuannya yang paling arif dari generasinya. Ismail Jabal bukanlah satu-satunya khalifah Mazhariyah di Kalimantan Barat; Muhammad Murad Al-Qazani mengangkat tiga khalifah lagi, semuanya bertempat tinggal di Pontianak.

· Sayyid Ja’far bin Muhammad Al-Saqqaf;

· Sayyid Ja’far bin Abd Al-Rahman Al-Qadrie (putra seorang pangeran)

· Haji Abd Al-Aziz (penduduk Kampung Kamboja)

Murid Ismail Jabal yang terkenal di Kalimantan Barat yang menerima baiat ijazah darinya Syeikh Abdurani Mahmud Al-Yamani dengan Tarekat Naqsyabandiyah Mazhariyah dan ia juga menjadi wakil tunggal Abah Anom dalam Tarekat Qadariyah wa Nagsyabandiyah ijazah yang diberikan setelah mengunjungi Abah Anom pada tahun 1976. Pengaruh Tarekat ini cukup besar tidak hanya di Pontianak bahkan sampai ke Sarawak, yang juga sudah dikenalkan oleh Abd Al-Latif bin Abd Al-Qadir Al-Sarawaki.

Menurut penuturan cerita dari keluarga Ismail Jabal beliau tidak bisa digambar, suatu saat ketika beliau sakit ingin makan buah kurma, seketika buah tersebut sudah berada disampingnya dan saat ibu buah kurma sulit dicari kecuali orang yang baru datang dari Makkah.Kalangan penganut aliran Tarekat Qadariyah wa Nagsyabandiyah di Jawa sering datang menziarahi makam beliau yang terletak di kampung Tambelan Sampit Pontianak.Beliau meninggalkan juriat dari isteri pertama bernama Hajjah Siti Hawa berasal dari kampung Kamboja Pontianak, kedua Maimunah binti Ishak kampung Tambelan mendapatkan anak Hajjah Patmah dan isteri yang ketiga Aisyah binti Haji Usman, dari isteri yang ketiga ini ia mendapatkan anak Maimunah dan Hajjah Arpah*

Karya Kitab ;

Ilmu Hikmah yang diijazahkan kepada muridnya Haji Mustapa bin Cek Umar kampung Kuantan Pontianak pada tahun 1323 H/ 1907 M. Kedua kitab Dalailul Hairat.

3. Haji Ismail bin Haji Abdurrahman bergelar Tok Kaya

Mempunyai peranan sebagai tokoh masyarakat, Tokoh adat yang menangani berbagai urusan kemasyarakatan dan salah seorang yang mendatangkan ulama dari negeri Arab Makkah Haji Abdullah Al-Habsy. Haji Ismail bin Abdurrahman cucuk dari Panglima Abdurrani keturunan Siak Indrapura, kedatangannya ke Kalimantan Barat ketika terjadi perlawanan antara Melayu Riau dengan Portugis dalam rangka perebutan daerah kekuasaan negeri Johor. Masuk ke sungai Kapuas dengan beberapa buah perahu, bermula perahu ditambatkan di muara Kapuas,mendapatkan banyak tumbu-tumbuhan jeruju (sejenis tanaman menjalar) beliau menamakan daerah Jeruju, diantara anak buah perahu yang sampai di sungai Kapuas ada yang bernama Tok Kaye Kamil, Tok Tiram dan Panglima Subuh. Pada masa itu sedang berkuasa Sultan Syarief Abdurrahman Al-Qadrie Sultan Pontianak.

Dalam tradisi lisan yang berkembang dikalangan orang Melayu di Kampung Tambelan Sampit, Tok Tiram seorang yang dianggap kurang sopan mempunyai prilaku yang tidak baik dari kalangan istana ia mendapat hukum adat dan diharuskan pergi meninggalkan daerah Pontianak. Tok Tiram berangkat dari sungai Kapuas tempat dimana selama itu ia berlabuh menuju suatu daerah, dalam perjalanan ia menemukan suatu sinar yang terang diikutinya sinar itu dan berlabuh pada suatu tempat membuat sebuah perkampungan dengan nama kampung Timbalan, daerah Timbalan kini berada di Riau*.

Pada masa kesultanan Syarief Abdurrahman Al-Qadrie yang dipercaya ada tiga orang dianggap mempunyai kemampuan dalam membantu dikesultanan Pontianak. Pertama Abdurrani diberikan kepercayaan untuk membangun daerah yang bernama kampung Tambelan , kedua Kapitan Kombeng dan yang ketiga dari Banjar. Menurut kepercayaan masyarakat yang masih ada sampai saat ini, Kapitan Kombeng adalah seorang dari keturunan Tionghua mempunyai isteri yang cantik, pada suatu saat isterinya masuk Islam, meminta perlindungan dengan masyarakat di kampung agar dapat terhindar dari amukan suaminya Kapitan Kombeng merasa malu atas prilaku isterinya ia pergi dan keluar dari kampung dan membuat perkampungan sendiri yang disebut Parit Mayor.

4. Haji Ismail bin Haji Mustapa

Mempunyai peranan sebagai salah seorant ahli tabib pengobatan. Zulkaidah Sanat 1320 H (Desember 1907 M).Haji Ismail Mustafa dikenal dikalangan masyarakat luas diluar Kalimantan Barat sebagai seorang yang menyusun kitab pengobatan Melayu buku dengan ukuran kecil 16,5 x 10 sm yang terdiri dari 44 halaman dalam buku tersebut membicarakan ilmu pengobatan di dalam buku tertulis dengan nama al-Haji Ismail bin al-Haji Mustafa, Pontianak di kampung Tambelan; tarikh hari Rabu Sanat Zulkaidah 1320 H (bersamaan Bulan Desember 1907 M).

Bab buku pada awal membicarakan penyakit-penyakit medu, sakit hati, sembelit, rejan, senggugut, meroyan, busung darah, masalah haid, keputihan dan lainnya. Pada bab berikutnya yang berhubungan dengan syahwat dan pada bab akhir cara membuat obat dan lain sebagainya. Buku tersebut secara lengkap membicarakan tentang penyakit yang ada di dalam diri manusia. Malaysia kawasan Melayu semenanjung yang masih banyak menggunakan pengobatan tradisional mengambil pelajaran dari buku yang dikarang beliau. Meninggal di kampung Tambelan Sampit dimakamkan dipemakaman keluarga besar Haji Abdurrani yang bergelar Tok Kaye Mude Pahlawan (gelar yang diperoleh dari Siak Indrapura) dan gelar Tok Kaye Setia Lile Pahlawan.*

5. Haji Ismail bin Haji Abdul Karim (Ismail Mundu)[2]

Sebuah silsilah yang peroleh di Pontianak, Kalimantan Barat ada menyatakan bahwa Haji Utsman (Daeng Pagalak) datang ke Pontianak bersama seorang anaknya, dari negeri Bugis. Anak Haji Utsman (Daeng Pagalak) ada enam orang. Anak yang ketiga bernama Haji Abdul Karim. Haji Abdul Karim memperoleh anak laki-laki empat orang. Anaknya yang sulung bernama Haji Ismail iaitu ulama yang diriwayatkan ini. Gelar beliau yang selalu disebut-sebut oleh masyarakat ialah Mufti Haji Ismail Mundu atau Mufti Kubu. Anak Haji Abdul Karim bin Haji Utsman yang kedua bernama Haji Umar. Anak Haji Umar bernama Haji Abdul Hamid. Anak Haji Abdul Hamid ialah Ambok Pasir. Keturunan ini pada satu ketika dulu sangat terkenal di Singapura

Haji Umar 12 kali kawin. Daripada perkahwinannya dengan Halimah Ragiak, beliau memperoleh dua orang anak. Anaknya yang bernama Hajah Hafshah dikahwinkan dengan Saiyid Ali bin Saiyid Abdullah az-Zawawi. Anak Saiyid Ali bin Saiyid Abdullah az-Zawawi ialah Saiyid Yusuf az-Zawawi yang pernah menjadi Mufti KerajaanTerengganu.
Haji Ismail bin Haji Abdul Karim mendapat pendidikan awal daripada golongan ulama Bugis yang tinggal di Kalimantan Barat. Kitab yang dipelajari adalah dalam bahasa Arab dan kitab tulisan Bugis dalam bahasa Bugis.

Beliau juga belajar dengan ulama Melayu . Pendidikannya yang terakhir di Makkah.Baik sewaktu tinggal di Makkah maupun setelah pulang ke dunia Melayu, Haji Ismail bin Haji Abdul Karim selalu mendekati para ulama. Apabila berdampingan dengan ulama-ulama yang setaraf dengannya, bahkan yang kurang ilmu daripadanya, beliau lebih suka mendengar. Beliau tidak menonjolkan diri. Prinsipnya lebih baik diam daripada banyak berbicara menyalahkan orang. Lebih baik berzikir secara dawam (berkekalan) Ilmu adalah nur (cahaya) kepada Haji Ismail. Ilmu adalah suatu yang semerbak mewangi. Cahaya dan wangian pasti akan lahir jua.Haji Ismail Mundu walaupun beliau tidak suka menonjolkan diri Setelah beliau pulang dari Makkah, beliau dilantik menjadi Mufti di Kerajaan Kubu, yaitu sebuah kerajaan kecil di Kalimantan Barat

Pada masa yang sama di Pontianak ada tiga ulama besar yang bernama Ismail. Dua orang lagi ialah Haji Ismail bin Abdul Lathif (lebih dikenali dengan sebut Haji Ismail Jabal) yang pangkatnya adalah Penasihat Agama Kerajaan Pontianak dan yang seorang lagi ialah Haji Ismail bin Abdul Majid yang berasal dari Kelantan. Haji Ismail bin Abdul Majid Kelantan kemudian dilantik sebagai Mufti Kerajaan Pontianak. Selain tiga orang ulama yang tersebut, pada zaman yang sama, berdasarkan surat tarikh Pontianak, hari Khamis, 13 Februari 1936 M bersamaan 20 Zulhijjah 1354 H, tokoh-tokoh tertinggi yang menangani urusan Islam dalam kerajaan Pontianak dan kerajaan-kerajaan kecil di bawah takluknya ada yang dinamakan Seri Paduka Hakim iaitu Seri Paduka Yang Maha Mulia Duli Tuanku Sultan Saiyid asy-Syarif Muhammad al-Qadri.

Di bawahnya ada Sekretaris Luar Biasa yang disandang oleh Paduka Pangeran Adi Pati Anom Seri Maharaja Syarif Utsmanal-Qadri. Selain itu ada yang dinamakan Naibul Hakim yang disandang oleh Syarif Abdullah bin Ahmad Saqaf. Di bawahnya ada jawatan yang dinamakan Lid Tiga Orang. Ia disandang oleh Syarif Abdullah bin Ahmad Saqaf, Syarif Utsman bin Pangeran Aria dan Syeikh Muhammad bin Abdullah Habsyi.
Terakhir sekali dinamakan Adviseur Penasihat. Yang menyandang kedudukan ini ada dua orang iaitu Saiyid Muhammad bin Shalih bin Syihab dan Haji Ismail bin Haji Abdul Lathif (Ismail Jabal). Memperhatikan susunan kedudukan ini Haji Ismail bin Haji Abdul Lathif ialah sahabat terdekat Haji Ismail bin Abdul Karim, Mufti Kubu.
Dua orang murid yang dekat dengannya, yang mempusakai ilmu daripada ulama besar keturunan Bugis itu. Muridnya yang pertama ialah Haji Ibrahim Bugis (Guru Berahim alias Tok Guru) yang setiap hari, siang ataupun malam, didatangi oleh masyarakat termasuk pemimpin tertinggi di Pontianak pada ketika itu. Yang seorang lagi ialah Haji Ahmad Tata Pantas. Keunggulan dan kewibawaan peribadi ulama ini, apakah yang menyebabkan beliau menjadi ulama yang paling banyak disebut namanya, Golongan peringkat mana pun yang memerlukan beliau untuk menyelesaikan sesuatu masalah pribadi atau untuk kepentingan umum semuanya dilayani dengan penuh ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu.

Tiada masalah yang tiada dapat diatasi, Haji Ismail Mundu mengutamakan resipi unggul dan ampuh, iaitu menganjurkan seseorang yang bermasalah terlebih dulu mengucap istighfar (minta pengampunan kepada Allah) sebanyak yang mungkin atau dalam jumlah yang tertentu.Sesudah itu beliau menyuruh mereka beramal sendiri dengan amalan-amalan wirid yang pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad s.a.w., para sahabat, para Wali Allah dan amalan para ulama. Apabila cukup syarat mengerjakan amal dan ikhlas hati, insya-Allah doa selalu dikabulkan oleh Allah dan semua masalah yang sedang dihadapi dapat diatasi.

Haji Ismail bin Abdul Karim meninggal dunia pada hari Khamis, 15 Jamadilakhir 1376 H/16 Januari 1957 M. Sungguhpun beliau telah meninggal dunia pada tahun itu namun hingga tahun 1980-an nama Haji Ismail Mundu masih sering disebut-sebut oleh masyarakat Pontianak terutama orang Melayu yang bercampur darah dengan Bugis.

Karya Kitab

1.Kumpulan Wirid, diselesaikan pada 1 Muharam 1349 H. Kandungannya membicarakan wirid untuk keselamatan dunia dan akhirat. Wirid keselamatan yang dibangsakan kepada duniawi adalah untuk penjagaan diri daripada pelbagai bentuk dan corak permusuhan sesama makhluk Allah. Selain itu ia juga membantu kelancaran rezeki dalam urusan penghidupan. Walau bagaimana buruk kemelesetan ekonomi, seseorang yang dibekalkan dengan wirid-wirid tertentu tiada akan berasa takut untuk berhadapan dengannya.
Dalam naskhah tersebut dinyatakan apabila hendak beramal terlebih dulu perlu dibaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Selanjutnya dibaca al-Fatihah kepada zuriat Nabi Muhammad s.a.w.. Yang disebut ialah Habib Ahmad bin Isa al-Muhajir, dan Habib Muhammad bin Ali Ba Alawi. Naskhah yang ada tidak terdapat nama percetakan, tetapi pada halaman terakhir terdapat cop mohor beliau. Sehubungan dengan risalah ini ada lagi yang dinamakan Risalah Amalan.

2. Kitab Mukhtashar ‘Aqaid, diselesaikan di Teluk Pak Kedai, hari Jumaat, pukul 5 petang, 18 Rejab 1351 H. Kandungannya merupakan pelajaran ilmu akidah untuk hafalan anak-anak.DicetakolehAnnashar&Co,Pontianak.
3. Jadwal Hukum Nikah atau Jadwal Nikah Soal-Jawab, diselesaikan hari Selasa, 15 Muharam 1355 H. Ini keterangan yang dicetak oleh Kantor Tulis dan Toko Kitab as-Saiyid Ali Al-‘Aidrus, Kramat No. 38 Batavia Centrum. Tetapi pada mukadimah cetakan Mathba’ah al-Islamiyah, Victoria Street, Singapura, Mufti Haji Ismail Mundu menulis, “Maka tatkala adalah tahun seribu tiga ratus lima puluh tujuh dari pada hijrah Nabi... (1357 H/1938 M, pen:) bergeraklah hati saya dan cenderunglah fikiran saya bahawa hendak memungut akan beberapa masalah soal jawab pada bicara hukum nikah....”
Risalah ini diberi kata pendahuluan oleh Muhammad Ahmad az-Zawawi, kata pengantar oleh Mufti Kerajaan Johor ‘Alwi bin Thahir bin ‘Abdullah al-Haddad al-‘Alawi dan kata pujian oleh Ketua ulama Singapura, ‘Abbas bin Muhammad Thaha, Pejabat Qadhil Qudhah, Singapura, 7 Rabi’uts Tsani 1358 H. Kandungannya disebut oleh Muhammad Ahmad az-Zawawi pada kata pendahuluannya yang bertindak bagi kewarisan Mufti Haji Ismail Mundu, bahwa “diterbitkan kitab ini supaya menjadi pedoman bagi siapa yang hendak mengetahui hukum-hukum agama dalam pernikahan, talak, rujuk, fasakh, edah, dan lain-lain. Memberi pemahaman soal jawab dan jadual yang tersusun dengan peraturan yang mudah menggunakan bahasa Melayu, supaya diketahui dan juga bagi mereka yang akan melaksanakan perkawinan baik laki-laki dan perempuan. Dan kitab ini telah ditashihkan dan diakui oleh Tuan Mufti Kerajaan Johor dan pujian olehSingapura.”
Sungguhpun Risalah Jadwal Nikah Soal-Jawab merupakan risalah yang tipis, namun terdapat juga pemikiran beliau tentang kedudukan sosial kemasyarakatan tentang hukum kufu. Pada zaman seperti sekarang ini ramai orang membicarakan bahwa orang kaya adalah tidak kufu kahwin dengan orang miskin. Haji Ismail Mundu menyatakan hujah sebaliknya. Tulis beliau, “Maka nyatalah daripadanya bahwa kaya itu tiada ia dibilangkan daripada segala perkara kufu. Oleh karena harta itu datang dan pergi, tiada mengambil kemegahan dengan dia segala mereka yang mempunyai perangai dan mempunyai mata hati.

Masyarakat yang umum kebanyakannya hanya mengetahui dua jenis wali nikah, iaitu wali aqrab dan wali hakim, namun dalam risalah ini juga dibicarakan ‘wali tahkim’. Wali tahkim adalah tidak sama dengan wali hakim. Mufti Haji Ismail Mundu menyebut bahwa syarat harus bertahkim ada tiga perkara iaitu pertama, ketiadaan wali; kedua, ketiadaan hakim (maksudnya wali hakim) di negeri itu; dan ketiga,laki-laki yang dijadikan wali tahkim itu adil. Selanjutnya Mufti Haji Ismail Mundu menambah keterangannya bahwa “tiada wajib perempuan dan laki-laki yang berkehendak nikah itu hadir kedua-duanya di hadapan orang yang adil itu. Ini atas qaul Ibnu Hajar dalam Tuhfah....”

Penulis ketika pada tahun 80 -an dapat kesempatan mempelajari kitab-kitab beliau dari Guru Ibrahim Basyir yang menyimpan kitab-kitab dan karya Mufti Haji Ismail Mundu yang diterbitkan pada tahun 1938. Penulis mendapatkan penjelasan bahwa kitab Jadual Hukum Nikah adalah salah satu kitab rujukan hukum nikah di Indonesia. Selain itu kitab amalan Zikir Tauhid. Telok Pakedai sebuah kawan yang kini menjadi daerah kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, terdapat sebuah masjid yang megah ditengah hutan hasil bantuan murid-muridnya dan dari Negara Malaysia. Setiap saat makam beliau sering dikunjungi oleh masyarakat baik yang datang dari Kalimantan Barat maupun luar daerah. Makam beliau dan masjid lebih dikenal dengan sebutan masjid “Batu Ismail Mundu”. Beliau sangat dihormati masyarakat sehingga gambar-gambar beliau tidak hanya disimpan dirumah-rumah muridnya akan tetapi disimpan juga dirumah non muslim dan pergi menziarahi makamnya.

Penutup

Kelima dari tokoh yang ditulis ini mempunyai peran yang berbeda, yang menarik dari lima tokoh tersebut sama-sama terkenal, tiga orang berasal dari Kampung Tambelan Sampit antara lain;

1. Haji Ismail bin Haji Abdul Latif bergelar Ismail Jabal

2. Haji Ismail bin Haji Abdurrahman bergelar Tok Kaye

3. Haji Ismail bin Haji Mustapa

Makam dari tiga tokoh tersebut berada di Kampung Tambelan Sampit Pontianak Kalimantan Barat. Mereka adalah keturunan dari Panglima Abdurrani yang bergelar Tok Kaye Mude Pahlawan. Tok Kaye Setia Lile Pahlawan dari Siak Indrapura. Para tokoh-tokoh tersebut sangat berperan menegakkan siar Islam di Kalimantan Barat nama mereka cukup populer di kawasan Borneo, Malaysia, Johor, Brunai,Thailand, Filipina dan negara Arab. Ajaran yang dikembangkan mereka di dalam tarekat maupun zikir, ilmu hikmah berkembang mempunyai ribuan murid yang tersebar dimana-mana. Semoga jerih payah yang takpernah kenal lelah memberikan teladan bagi generasinya untuk tetap mempelajari ilmu agama Islam dan berjuang di jalan yang benar

Haji Ismail Al-Kelantani.dan Haji Ismail Abdul Karim



* H.Dato Zahry Abdullah Al-Ambawi. Majelis Adat Budaya Melayu Kalbar

* M.Natsir. Peneliti Pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak Wilayah Kalimantan

* Ahmad, Zaki bin Berahim 2008. Haji Ismail Pontianak. Analisa Sumbangan Dan Peranan Islahnya Di Borneo Dan Malaysia Barat. Uitm Samarahan Sarawak.

* Wan Mohd, Shagir Abdullah. Utusan Melayu (M) BHD 46M, Jalan Lima Off Jalan Chan Sow Lin,55200 Kuala Lumpur. Posting By. Natsir 19 April 2009

* Wan Mohd Shaghir Abdullah

* Tarekat Nagsyabandiyah di Riau dan Kalimantan Barat hal 121

* Wawancara penulis dengan ustadz Haji.Yunus Mohan

Dan Syafarudin (Juriat Ismail Jabal) pada (tgl,18 April 2009 di Pontianak)

* Wawancara penulis dengan H.Abdul Hamid bin Kasim (Tgl 18 April 2009)

[1] Wan Mohd.ShaghirAbdullah. posting By Natsir 18 Januari 2007

Upacara Gunting Rambut

Oleh. M.Natsir

latar belakang upacara

Kegiatan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Pontianak sesuai dengan kondisi dimana upacara adat itu dilaksanakan, seperti halnya upacara-upacara yang berkaitan dengan suatu pristiwa adat, ritual kepercayaan masyarakat yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan lingkungan salah satunya adalah Upacara penyelenggaraan memotong rambut (cukur rambut) dengan tujuan untuk membuang rambut yang dibawa sejak anak dilahirkan. Maksud yang lainnya adalah untuk membuang sial yang terdapat pada ujung-ujung rambut yang dibawa sejak lahir.

Bagi masyarakat suku Melayu Kabupaten Pontianak, gunting rambut adalah salah satu unsure budaya yang masih tetap dilaksanakan dan dihanyati, karena di dalam budaya tersebut yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang sangat sacral, dan bermakna wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan kesejahteraan bagi keluarga khususnya maupun masyarakat pada umumya.

Pada upacara gunting rambut atau disebut juga potong jambul diselenggarakan apabila di dalam satu keluarga mendapatkan anak bayi yang telah menginjak usia sekitar 40 hari sampai 1 tahun, menjadi suatu upacara tradisi masyarakat secara umum.

Maksud Dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari upacara gunting rambut sebagai rasa ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, memohon ksejahteraan dan keselamatan bagi anak atau bayi dalam kehidupan dunia dan akhirat. Disamping itu juga merupakan suanul Rasul yang dilaksanakan untuk mendapatkan keredhaaan serta keselamatan bagi bayi yang baru lahir yang digunting rambutnya.

Waktu Penyelenggaraan Upacara

Waktu tidak dibatasi pada penyelengaraan upacara adat gunting rambut, akan tetapi pada umumnya dilaksanakan oleh orang tua bayi setelah empat puluh hari dan juga sampai waktu satu tahun dilihat dari kondisi kedua orang tua, karena di dalam upacara ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Paling lambat pada tahun kedua setelah bayi lahir.

Tempat Penyelenggaraan Upacara

Upacara gunting rambut masyarakat Kabupaten Pontianak dilaksanakan di rumah orang tua bayi yang akan digunting. Namun tidak jarang dilaksanakan ditempat lain seperti di masjid atau tempat yang lebih luas sesuai dengan latar belakang keluarga uyang akan melaksanakan upacara. Hal ini disebabkan apabila pada akhir upacara pihak keluarga yang melaksanakan hajatan mengadakan jamuan makan bagi kaum kerabat yang dating.

Persiapan dan Perlengkapan Upacara

Peralatan perlengkapan atau benda-benda yang digunakan dalam upacara gunting rambut ini adalah antara lain;

1. Sebuah kelapa muda yang belum berisi

2. Beberapa bentuk cincin emas atau suase

3. Sebuah gunting

4. Lilin kuning atau lilin lebah untuk menilin rambut yang akan digunting

5. Bunga tujuh jenis

6. Benang tujuh warna

7. Beras kuning dan bertih

8. Satu mangko tepung tawar

Satu ikat dedaunan dari jutuh jenis daun seperti daun ribu-ribu, daun ati-ati, daun anjuang, daun sedingin, daun tapak kuda, daun pandan dan daun ruas

9.Satu helai selendang pelangi atau serang

10. Pokok telur

11. Minyak bau

12. Dupa

13. Tanah Mekah (boleh ada boleh tidak)




Foto 1

Membuat Kelapa Ukir Bahan Gunting Rambut

Sebelum upacara dimulai buah kelapa muda diukir dan dibuka bagian atasnya, airnya dibiarkan dalam keadaan utuh. Pada bagian bawah kelapa dipotong mendatar agar dengan mudah untuk meletakannya di dalam talam. Talam yang berisi kelapa ini diletakan bersama dengan gunting kecil

Jalannya Upacara Menurut Tahapannya




Foto 2

Pengguntingan Rambut

Anak yang akan dipotong rambutnya diberikan pakaian yang bagus umumnya memakai pakaian kuning. Sebelum pemotongan rambut para undangan terlebih dahulu membaca surah Albarzanji atau Marhaban, ketika pembacaan marhaban maka dimulai dengan pemotongan sambil berdiri. Anak yang akan dipotong rambutnya digendong oleh orang tua sendiri dan diikuti oleh pembawa perlengkapan barang-barang yang akan dipakai untuk menggunting. Permulaan yang akan memotong rambut dimintai pada seorang yang paling tua dan terkemuka di dalam masyarakat dengan maksud mendapatkan berkah bagi anak tersebut. Anak yang akan dipotong rambutnya diikat dengan benang dengan bunga daun melati yang dibiarkan bergantung pada ujung rambut

Potongan rambut dimasukan kedalam air kelapa muda. Kelapa muda disimpan dibawah masjid atau musallah. Dengan tujuan agar anak tersebut hatinya tetap berada di masjid dan menjadi orang yang baik. Umumnya bagi pemotong rambut sebanyak 7 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Ketika sudah selesai pemotongan rambut yang pertama dan diikuti dengan yang lainnya kemudian diberikan satu keranjang (dari pelastik) berisi telur ayam atau itik direbus 3 biji diberi warna seperti jingga, biru laut lalu diberi kertas rabu-rabu (dipotong kecil-kecil) dan diberi bertangkai dan dibagikan atasnya uang seribu yang dibentuk seperti sebuah kipas. Untuk undangan yang lain yang tidak mendapat tugas memotong rambut juga mendapatkan cindera mata tanpa ada uang hanya berisi telur dan keranjang plastik

Sesudah selesai acara pemotongan rambut anak bayi tersebut diserahkan orang tuanya dengan dukun bayi. Kedua orang tua dan para handai tolan berkumpul memohon dan berdoa kepada Allah SWT untuk keselamatan keluarga, anak yang dipotong rambutnya dan para hadirin sekalian. Bagi keluarga terdekat masih dilanjutkan dengan pembacaan doa Rasul untuk melepaskan nazar yang telah diniatkan ketika mendapatkan anak.

Makna Ritus dan Upacara

Pada upacara gunting rambut ada makna yang tersirat terutama untuk mensucikan anak dari mara bahaya dan permohonan keselamatan dan kesejahteraan kepada Allah SWT. Maksud makna yang terkandung dari beberapa symbol-simbol upacara yang diselenggarakan antara lain :

1. Lilin Kuning atau lilin lebah melambangkan agar anak nantinya mempunyai perangai yang halius dan manis budi bahasanya.

  1. Tujuh macam bunga melambangkan kepada anak agar sampai tujuh keturunan mempunyai keharuman nama;
  2. Benang tujuh warna melambangkan hubungan tali silaturahmi terjalin sampai tujuh turunan;
  3. Gunting yaitu alat untuk menggunting rambut;
  4. Kelapa gading melambangkan harapan bahwa anak nantinya dapat memberikan manfaat dalam kehidupan;
  5. Beras kuning bertih melambangkan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupannya kelak jauh dari rintangan dan halangan;
  6. Tepung tawar memohon keselamatan di dalam kehidupan bayi dan terhindar dari segala bahaya;
  7. Daun-daun 7 macam melambangkan kemakmuran dalam hidup anak, banyak rezeki, dan kehidupannya terhindar dari bahaya;
  8. Perhiasan cicin sebagai pengikat hubungan kasih sayang antara anak dan orang tua;
  9. Selendang pelangi atau kain serang melambangkan ikatan keturunan yang tidak putus-putusnya;
  10. Pokok telur sebagai lambing agar kemudian hidupnya dimurahkan rejeki;
  11. Minyak bau untuk menghindari gangguan dari roh jahat;
  12. Dupa untuk menghindari gangguan dari roh jahat;
  13. Tanah Mekah bertujuan agar anak kelak dapat sampai keTanah Suci Mekah.




Foto 3

Penguntingan Rambut Kelompok Wanita

Tradisi Lesuji dalam Perspektif Budaya Bugis

Oleh : M.Natsir*

I. Latar Belakang

Kebudayaan dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas ide dan gagasan yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat, karena kepercayan masyarakat sebagai salah satu unsur kebudayaan yang universal dalam sistem religi merupakan kenyakinan dari masyarakat pada pemahaman dari aspek alam semesta, alam gaib (supranatural), yang dilaksanakan dengan ritus dan upacara maupun tidak serta pandangan hidup masyarakat yang sangat syarat nilai norma dan ajaran yang dianggap sebagai salah satu kebenaran. Hal ini karena manusia sebagai mahluk sosial yang berbudaya dalam kehidupan tidak bisa melepaskan diri dari alam. Manusia tidak hanya dapat menyelaraskan diri, tetapi juga akan dapat dan sanggup merubah lingkungannya demi keberlangsungan hidup, sebab dengan kebudayaan berarti manusia memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat dijadikan alternatif untuk menanggapi lingkungannya, baik fisik maupun social, dan juga sebagai mahluk social, manusia selalu hidup dalam kelompok masyarakat, jadi kebudayaan selalu hidup dalam suatu masyarakat masyarakat merupakan wadah dari kebudayaan.

E.B.Taylor 1871, berpendapat bahwa budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Kepercayaan masyarakat, norma-norma kegiatan social yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang sering dilakukan oleh masyarakat pendukungnya.1

Suku Bugis salah satu suku yang masih banyak yang mempertahankan nilai-nilai budaya di dalam kehidupan sehari-hari menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, seperti mengucapkan tabe (permisi) meletakkan tangan diatas kepala, berbungkuk setengah badan bila lewat di hadapan orang lain, mengucapkan dengan bahasa sopan, menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyanyangi yang muda. Ajaran inilah yang masih banyak dianut sebagian masyarakat Bugis yang ada di wilayah Kalimantan Barat. Dalam kehidupan suku Bugis siri merupakan unsur yang prinsip dalam diri mereka tidak ada satupun nilai yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan selain siri bagi orang Bugis siri adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu untuk menegakan dan membela siri yang dianggap cemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka orang Bugis bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri dalam kehidupan mereka (Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar.37)2

Konsep tentang siri dalam masyarakat Bugis terkandung dua pengertian tanpaknya saling bertentangan. Ia dapat berarti malu, tetapi juga rasa kehormatan atau harga diri. Sering terdengan seseorang itu dibuat malu (dipakasiri) atau dipermalukan karena diabaikan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Lebih jarang diutarakan mengenai seseorang yang berusaha memperoleh kembali atau memulihkan sirinya atau harga diri. Situasi siri akan muncul pada saat seseorang merasa bahwa kedudukan atau pembawa sosialnya dalam masyarakat, atau harga diri dan kehormatannya telah di cemarkan pihak lain secara terbuka. Bisa juga terjadi kalau seseorang nyakin bahwa ia telah dituduh melakukan sesuatu yang ia tidak melakukannya, perlakukan secara tidak adil. Seorang Bugis akan menerima dengan rendah hati jika ia bersalah, tetapi ia akan melawan dengan kekerasan terhadap sikap demikian itu apabila ia percaya bahwa dirinya benar, dan sebab itu merasa pribadinya terhina di depan masyarakat. Seseorang dipermalukan oleh masyarakat ia dituntut untuk mengambil langkah menebus dirinya dengan menyingkirkan penyebab malu yang tidak adil itu dan dengan demikian memulihkan sirinya (harga diri) secara pribadi maupun lingkungan masyaratnya. Seseorang yang mati siri dan tidak melakukan sesuatu mengatasinya akan dipandang hina oleh masyarakat dan dianggap tidak berguna bagi masyarakat.

Untuk mempertahankan harga diri siri harus dipelihara keseimbangan satu dengan yang lainnya, harga diri harus mengendalikan pribadi itu dalam keseimbangan, selalu menghargai orang lain dan menghormatinya. Pesse dan siri adalah konsep kembar yang menentukan individu masyarakat suku Bugis. Memelihara keseimbangan antara malu dan harga diri sebagaimana dipahami dalam siri dan mengasuh suatu kesadaran ikut menanggung penderitaan orang lain ada rasa empati yang begitu kuat dalam dirinya. Dengan demikian keluarga ikut menjaga keseimbangan dengan orang lain. Sipat lain terdapat di dalam pribadi orang Bugis juga dikenal dengan sifat Sipakatau, Sipakalebi dan Sipakainge dalam pengertian sifat-sifat ini menjadi bagian dari keseimbangan pribadi orang Bugis.3

Sipakatau yang memandang orang lain sebagai manusia seutuhnya, sehingga tidaklah pantas memperlakukan orang lain diluar perlakuan yang pantas bagi manusia, memandang manusia dengan segala penghargaan, seorang Bugis ia memperlakukan orang lain sebagaimana ia memandang dirinya sebagai sama-sama manusia.

Sipakalebbi, adalah yang memandang manusia sebagai mahluk yang senang dipuji dan diperlakukan dengan baik, diperlakukan dengan selayaknya, karena itu manusia Bugis tidak akan memperlakukan orang lain dengan seadanya, tetapi lebih cenderung memandang dari segi kelebihannya, setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan, untuk setiap kelebihan manusia lainnya ia perlakukan. Saling menghargai dengan pujian akan menimbulkan kebahagiaan bagi orang lainnya.

Sipakainge setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, hal ini sebagai sebuah sarana untuk saling mengingatkan bagi siapapun agar dapat selalu berbuat baik, setiap orang didalam aturan. Kesepakatan adat yang dijunjung selalu ditaati, jika ada yang melanggar maka akan mendapatkan sangsi. Kritik yang bersifat membangun bukanlah menjadi tabu bagi orang Bugis bahkan menjadi kebutuhan. Dalam Sipakainge berlaku siapapun yang mempunyai kuasa akan selalu diingatkan akan kekuasaanya. Dari ketiga sifat yang ada merupakan nilai-nilai budaya yang harus dipertahankan oleh suku Bugis.

Bermula kedatangan Suku Bugis yang ada di Kalimantan Barat lebih dikenal masyarakat dari kedatangan Daeng Mataku yang membantu Kerajaan Sukadana untuk menyerang Istana Sultan Zainuddin diperkirakan pada tahun 1710. Atas jasanya membantu pangeran Agung ia diangkat menjadi panglima dan dikawinkan dengan anak pangeran Agung melahirkan beberapa keturunan Bugis. Atas permintaan sultan Zainuddin datang Upu Daeng Manambon bersaudara, Upu Daeng Marewah, Upu Daeng Perani, Upu Daeng Celak dan Upu Daeng Kemasi Upu Daeng Manambon digelari Pangeran Emas Surya Negara dan menikahi Puteri Kesumbah anak Zainuddin dengan Utin Indrawati dari kerajaaan Mempawah4. Daeng Manambon kemudian mengantikan Panembahan Segauk sebagai raja di Mempawah. Dalam perkembangannya, orang Bugis tersebar di seluruh Kalimantan Barat. Suku Bugis sangat hormat dengan adat dan budaya dan mempunyai perinsip di dalam hidupnya, budaya siri diaktualisasikan di dalam upacara-upacara adat dan masih tetap eksis mempertahankan adat istiadat masyarakatnya, dari berbagai adat yang ada salah satunya adalah upacara adat lesuji, empat puluh hari setelah melahirkan, dan upacara robo-robo. Upacara sakral yang sering dilakukan adalah berupa wujud dari rasa syukur atas karunia yang diberikan dan sekaligus memohon keselamatan

Dengan adanya selamatan atau upacara merupakan suatu upaya manusia mencari keselamatan, ketentraman sekaligus menjaga kelestarian kosmos Clifford Geertz, 1995, mengatakan”selamatan ini pada hakekatnya merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia dan melambangkan kesatuan mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir di dalamnya5

Upacara adat adalah bagian dari identitas suatu suku yang mengandung nilai-nilai, norma, dan simbol-simbol ekspresif sebagai sebuah ikatan sosial yang berperan sebagai penguat ikatan solidaritas sosial dan kohesivitas sosial masyarakat lokal. Identitas adalah harga diri dan sekaligus merupakan “perisai” untuk menghadapi tekanan dan pengaruh kekuatan sosial budaya dari luar. Identitas budaya suatu kelompok sosial berakar pada entitas kultural yang dapat digali dalam domain-domain budaya seperti mitos, religi, bahasa, dan ideologi. Aktualisasi dan budaya masyarakat Bugis yang terangkup dalam kehidupan masyarakat dengan sifat prilaku masyarakat, pemukiman rumah, adat istiadat dan kepercayaan.

Teori Interaksionisme simbolik sebagaimana dikemukakan oleh Veeger (1993:36, dalam Natsir)6 adalah mengambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti sistem,struktur sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisan sosial, struktur institusional, pola budaya, norma-norma dan nilai-nilai sosial, melainkan dengan memakai istilah “aksi”. Permasalahan identitas sosial dapat dipahami melalui kerangka teori Interaksioma Simbolik. Aliran interaksionisme simbolik berpendapat bahwa pada umumnya suatu masyarakat akan banyak ditandai oleh “orde” dari pada konflik karena orang saling membutuhkan demi memuaskan kebutuhan mereka. Para sosiolog interaksionisme simbolik menyebut secara khusus “kebutuhan-kebutuhan sosial” seperti antara lain kebutuhan agar self image seseorang senantiasa perlu diteguhkan oleh orang lain melalui proses interaksi, supaya bertahan. Orang bergantung satu sama lain, hal mana menjadi nyata dalam proses-proses interaksi. Jadi kebutuhan dan ketergantungan menurut aliran interaksionisme simbolik merupakan perekat masyarakat.

Upacara adat yang dilakukan adalah sebuah upaya masyarakat dalam bentuk manisfestasi atas karunia yang didapatkan dan juga sebagai sebuah simbol dari identias suatu masyarakat yang pada akhirnya akan menjadi suatu daya rekat antar masyarakat yang mendukungnya. Nilai-nilai yang ada pada upacara tersebut akan menjadi sebuah warisan kearifan lokal masyarakat Bugis. Dalam upacara adat ini berupa ungkapan terima kasih pada Yang Maha Kuasa atas keselamatan dari bencana yang menimpa dan mensyukuri setelah mendapatkan keuntungan, memohon penjagaan atau perlindungan kepada Tuhan pencipta alam ini. Dalam perkembangan selanjutnya upacara itu tidak hanya kepada Tuhan pencipta alam, tetapi juga tertuju kepada makhluk-makhluk dan roh-roh halus yang menjaga dan menguasai alam semesta ini. Upacara itu disertai dengan penyelengaraan saji-sajian yang dimaksud sebagai upah atau imbalan terhadap roh-roh halus atas penjagaan dan perlindungannya. Karena penjagaan dan perlindungan roh-roh halus itu maka seluruh warga masyarakat terhindar dari berbagai bala bencana seperti kerusuhan, wabah penyakit dan lain-lain.

Sekiranya upacara Lesuji itu tidak diselenggarakan, timbul suatu kekhawatiran bahwa para arwah dan mahluk-makhluk halus dapat murka terhadap manusia. Akibatnya tidak akan melindungi dan menjaga masyarakat. Hal yang akan lebih jelek lagi bahwa dapat terjadi para arwah dan makhluk-makhluk halus itu sendiri yang menimpa bala bencananya terhadap manusia. Jika demikian halnya akan terjadi banyak musibah yang sangat merugikan penduduk Kehidupan alam gaib dinyakini berbagai makhluk yang ada di dalamnya. Arwah para leluhur wajiblah dihormati, tidak menghormati leluhur seperti mendurhaka segala jasa dan pengorbanan yang telah dilakukannya dan diwariskan kepada anak cucunya. Apalagi jika terjadi kerusuhan atau perkelahian antar kampung terasa bahwa masyarakat harus melaksanakan upacara tersebut jika tidak dilaksanakan seperti akan menimbulkan was-was atau bencana berikutnya, hal ini dikaitkan dengan kutukan dari arwah leluhur yang tidak dihormati dan tidak melaksanakan upacara.

Sehubungan dengan hal tersebut maksud dari pada penyelenggaran upacara ini menyampaikan penghormatan kepada arwah para leluhur yang telah mendahuluinya. Atas persembahan itu juga masyarakat meminta ampun atas segala kesalahan, meminta doa diselamatkan dari segala marabahaya yang akan menimpa. Tujuan sebagai arena pertemuan seluruh warga masyarakat dan kerjasama dari seluruh warga masyarakat karena upacara ini diselenggarakan secara bersama-sama.Dalam kesempatan ini mereka berkumpul saling kerjasama, dengan demikian penyelenggaraan upacara ini juga bermaksud menghibur warga yang ada. Upacara ini diselenggarakan setiap ada hajatan keluarga dengan sistem musyawarah antar penduduk kampung yang dihadiri oleh kaum kerabat terdekat. Kegiatan yang dilakukan mengambil tempat dilapangan terbuka dan dirumah besar dalam upacara ini masyarakat yang datang dari berbagai suku yang ada dan terbuka bagi masyarakat umum. Pada umumnya dilakukan pada tempat yang terbuka yang dialiri sungai-sungai yang ada disekitarnya. Tempat khusus sesajian induk akan diletakan atau diatas sungai, muara sungai tempat pelepasan bahan-bahan perlengkapan upacara berisi sesajian lainnya.

Dua minggu sebelum acara dimulai, Dukun Kampung merencanakan upacara, menetapkan hari penyelenggaraannya. Rencana ini ditetapkan setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari keluarga besar dan para tokoh masyarakat, setelah disetujui informasi disebarluaskan kepada masyarakat tentang pelaksanaan kegiatan upacara Lesuji agar seluruh masyarakat mengetahui dan ikut membantu secara bergotong royong. Dana kegiatan dikumpulkan keluarga besar dan masyarakat yang membantu dengan cara menyediakan makanan, tempat dan kebutuhan lainnya.

Alat-Alat yang dipergunakan dalam upacara ini antara lain ancak, perahu kecil benbentuk segi empat dan saji-sajian. Ancak terbuat dari bambu yang dibelah-belah tipis-tipis kemudian dianyam. Bentuk ancak empat persegi panjang, bulat dan beberapa buah sesuai dengan keperluan. Sesudah diisi sesajian, ancak ini akan digantungkan pada suatu tempat diatas sungai yang ditancapkan dengan bambu. Ancak persegi empat yang terbuat dari debung pisang dan bambu diletakan diatas sungai yang akan dihanyutkan dengan bahan sesajian.

Pada hari yang telah ditetapkan, biasanya dilakukan mulai dari pagi hari masyarakat berkumpul pada tempat yang telah ditentukan, dukun kampung menyiapkan sesajian. Sesajian yang telah disiapkan tergantuk dari jumlah ancak yang diperlukan. Kadang-kadang ditambah juga dengan sesajian yang akan diantarkan ke sungai. Sesajian untuk sungai dimasukan kedalam ancak dan langsung dimasukan didalam perahu buatan yang akan dihanyutkan. Jika sesajian ini lebih dari 3 buah ancak, biasanya sesajian utama adalah sesajian yang ditaruhkan dalam ancak induk yang berukuran lebih besar dari ancak yang lainnya. Sesajian yang ditaruhkan dalam ancak ini meliputi :

1. Ayam

2. Telur ayam

3. Nasi pulut empat warna

4. Ketupat

5. Sirih sekapur dan rokok sebatang

6. Tepung tawar dimasukan ke dalam tempat dan diletakan didalam sesajian

7. Bertih beras kuning secukupnya

8. Ayam panggang

Setelah lengkap peralatan dari masing-masing sesajian dukun kampung mengantarkan ancak pada tempat pengantungan. Ancak utama digantungkan pada tempat-tempat tertentu kemudian dibacakan matera yang dipimpin dukun kampung.Dupa dihidupkan, kemudian bertih beras kuning yang ada dalam sesajian ditaburkan ke tanah. Cara penaburan seperti menabur padi, kemudian kemenyan yang ada dalam sesajian dibakar diatas dupa. Ancak yang akan digantung diasapi diatas kemenyan dengan gerakan memutar sambil membaca matera. Mantera-matera disebutkan mahluk halus yang menjaga kampung yang diperoleh dalam mimpi. Nama penunggu disemua sama berlainan.

Proses penurunan ancak ke sungai. Ancak yang berbentuk segi empat ini berisi sesajian sebagai persembahan kepada makhluk-makhluk halus dan roh-roh leluhur yang bertahta di air (laut). Isi sesajian selain seperti yang disajikan dalam ancak masih ditambah dengan beberapa jenis sajian lain yaitu :

· Satu ekor anak ayam hidup

· Nasi kuning panggang ayam

· Dll

Pemimpin upacara, Dukun kampung, diikuti oleh sejumlah warga kampung sebagai peserta upacara. Tempat upacara di muara atau persimpangan sungai. Setelah diisi dengan sesajian seperti disebutkan di atas, perahu tiruan itu digotong kemuara sungai, tempat penyelenggaraan. Perahu diturunkan ke sungai agar berlayar menuju laut lepas. Sesajian ini merupakan bekal kehidupan bagi para mahluk-mahluk halus.

Upacara ini biasanya diikuti dengan bunyian-bunyian (musik) sebagai pengiring dan meramaikan suasana, sehingga menarik banyak warga masyarakat untuk turut menyaksikannya. Selesai upacara, seluruh peserta berkumpul kembali kerumah yang dijadikan pusat penyelengaraan upacara. Di tempat ini mereka bersuka ria, bernyanyi dengan musik dan makan ketupat/makanan lainnya yang disediakan oleh ibu-ibu. Makanan-makanan ini merupakan sumbangan dari setiap rumah tangga di seluruh wilayah kampung. Upacara ditutup dengan doa yang dipimpin tokoh masyarakat setempat.

II. Fungsi Upacara Adat Lesuji Masyarakat Bugis

Upacara tradisional Lesuji merupakan salah satu wujud kebudayaan dan berkaitan dengan berbagai fungsi, sehingga mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. Arti penting tersebut tanpak dalam kenyataan bahwa melalui upacara tradisional dapat memperkenalkan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta mengungkapkan makna simbolik yang terkandung didalamnya. Melihat upacara tradisional yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Bugis di Kalimantan Barat mempunyai fungsi dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Hal yang dapat dilihat dari upacara ini ialah berfungsi spiritual dan sosial. Berfungsi sosial karena dalam pelaksanaan upacara tradisional lesuji selalu berhubungan dengan permohonan manusia untuk mohon keselamatan pada leluhur atau Tuhannya. Dengan kata lain upacara tersebut berfungsi spiritual karena dapat membangkitkan emosi keagamaan, menimbulkan rasa aman, tenang, tentram dan selamat. Berfungsi sosial (pengendalian sosial), kontak sosial interaksi, integrasi dan komunikasi antar warga masyarakatnya.

A. Berfungsi Spiritual

Upacara tradisional Lesuji bagi masyarakat Bugis adalah sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah diberikan sekaligus memohon dijauhkan dari segala bencana. Bagi masyarakat Bugis kepercayaan kepada leluhur masih sangat kuat, Doa-doa yang diucapkan dalam bentuk mantera-mantera berisi pemberitahuan diadakannya upacara kepada para leluhur yang tinggal dialam lain. Menurut tradisi masyarakat Bugis, bilamana menginginkan keselamatan, maka upacara Lesuji ini harus dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanakan niscaya akan terjadi malapetaka. Malapetaka yang dimaksud adalah tidak akan mendapat rejeki atau hasil yang diperoleh tidak akan diberkati. Oleh karena itu upacara adat Lesuji merupakan wujud tanggungjawab moral kepada Tuhannya.

B. Berfungsi Sosial

Fungsi sosial tradisional dapat dilihat pada kehidupan sosial masyarakat pendukungnya, baik secara horizontal maupun secara vertical. Secara vertical, fungsi upacara tardisional itu ingin mewujudkan keseimbangan antara manusia dan Sang Pencipta atau kekuatan supranatural lainnya. Adapun fungsi upacara tradisional secara horizontal yang lebih bersifat normative, yaitu untuk menjaga keseimbnagan dalam setiap hubungan sosial. Menurut Budi Santoso (1984)7 Fungsi upacara tradisional dapat dilihat pada kehidupan sosial masyarakat pendukungnya yakni adanya pengendalian sosial (sosial control), media sosial (sosial control) norma sosial (sosial standard) dan pengelompokan sosial”. Mengacu pada pendapat Budi Santoso ini, upacara tradisional Lesuji pada masyarakat Bugis di Kalimantan Barat. Masuk dalam pengelompokan sosial (termasuk sebagai integritas, interaksi dan komunikasi warga masyarakat) bagi masyarakat Bugis. Dalam upacara adat Lesuji tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah dan dapat memperkaya batin, serta dapat menyadarkan manusia akan hakekat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong, mengarah sikap dan prilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan disamping sistem sosial dan karya. Nilai dapat dihayati atau diresapi dalam konteks kebudayaan atau sebagai kebudayaan yang abstrak. Oleh sebab nilai itu berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia.

Nilai berada dalam kata hati nurani, kata hati dan fikiran sebagai suatu kenyakinan, kepercayaan yang bersumber dari berbagai sistem nilai. Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (1982), bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal yang mereka agap amat bernilai dalam hidup, karena itu dalam sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sejalan dengan itu Matulada dalam bukunya yang berjudul Foltale Sulawesi menyebutkan bahwa realitas cultural adalah pola-pola ideal, nilai dasar dan semacamnya yang selalu dijadikan pangkalan tata kelakuan yang lebih nyata atau lebih kongrit. Manusia berada selalu mewujudkan kelakuannya kepada pola-pola ideal dalam kehidupan yang bersentuhan dengan pandangan-pandangan leluhur. Kemudian realitas cultural dikonkritkan dalam kenyataan-kenyataan sosial yang disebut dengan realitas sosial. Ia adalah realisasi tata kelakuan yang berupa atura-aturan kehidupan yang mengikat setiap individu dalam persekutuan hidup secara positif

Berdasarkan dari uraian yang telah dikemukakan diatas, maka nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat Bugis masih banyak yang berpegang teguh pada falsapah di dalam hidupnya. Budaya siri masih menjadi sebuah pedoman di dalam kehidupan dalam pergaulan sehari-hari. Nilai budaya yang terkandung dari upacara adat Lesuji yang masih dilakukan mengandung pesan moral yang bersentuhan langsung didalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi sebuah modal sosial yang bisa dikembangkan di dalam membangun kehidupan yang harmonis. Dalam upacara adat Lesuji dengan budaya siri yang masih dianut dapat dilihat dari nilai-nilai.

§ Nilai Sosial

Nilai sosial yang terdapat dalam upacara Lesuji ini dapat dilihat dari keterlibatan seluruh anggota keluarga untuk mencapai kesuksesan dalam melaksanakan upacara Lesuji, mulai dari persiapan perlengkapannya seluruh anggota keluarga memiliki andil untuk mendapatkan segala sesuatu yang diperlukan atau yang digunakan di dalam upacara Lesuji. Dari hal yang lainnya bahwa dengan adanya upacara baik interns ataupun eksterns dan terbina kekeluargaan secara berkesinambungan. Upara adat Lesuji merupakan suatu acara yang melibatkan banyak orang yang hidup di dalam lingkungan komunitas berbeda-beda, tidak hanya menyangkut suku Bugis akan tetapi suku yang lainnya ikut berperan ambil bagian, untuk bersama-sama berpartisipasi di dalam acara tersebut. Ada rasa menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat untuk saling mensukseskan kegiatan ini. Apabila upacara itu sesuai dengan keinginan masyarakat, maka akan mendatangkan kebahagiaan dan rasa kekeluargaan yang kental diantara mereka. Dalam kegiatan ini ada musik gendang yang dimainkan dengan beberapa gadis yang melenggang, menari sebagai bentuk tontonan dan hiburan bagi masyarakat yang hadir. Para undangan dan masyarakat yang hadir didalam acara tersebut bisa berinteraksi saling berkomunikasi, mempunyai rasa simpatik karena ada saling ketergantungan antara masyarakat satu dengan lainnya.

§ Nilai Kerjasama

Adanya kerjasama merupakan salah satu nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara Lesuji yang dilakukan anggota mansyarakat secara bersama-sama, tolong menolong saling membantu untuk mensukseskan upacara adat Lesuji. Sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Masalah-Masalah Pembangunan menyebutkan bahwa nilai budaya yang perlu dimiliki bangsa Indonesia sebagai syarat pembangunan adalah nilai budaya yang mampu menanggulangi tekanan-tekanan berat beserta masalah-masalah yang ada di dalam lingkungan ekonomi dan sosial budaya. Salah satu nilai budaya itu yang merupakan konsep pemerincian dari gotong royong adalah konsep yang menganggap penting adanya sikap dan kepekaan untuk tidak berbuat semena-mena sesama manusia. Menurut beliau nilai ini penting untuk menanggulangi tekanan hidup masa kini karena memungkinkan orang bekerjasama dengan sesama masyarakatnya. Kemudian dalam mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan yang lebih baik manusia mustahil dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang lain di dalam masyarakat. Kesadaran yang demikian selanjutnya melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang terbaik bagi masyarakatnya. Semangat itu telah melahirkan sikap dasar bahwa untuk mewujudkan keselarasan keserasian dan keseimbangan dalam hubungan sosial antar manusia pribadi dan masyarakatnya perlu bekerjasama dan memerlukan bantuan orang lain.

III. Penutup

Upacara tradisional pada masyarakat Bugis dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut masih memegang teguh adat kebiasaan mereka, yaitu naluri akan tradisi yang telah diwarisi turun temurun dari generasi sebelumnya. Kepercayaan terhadap leluhur, roh-roh halus termasuk yang ditinggikan merupakan manifiestasi keteguhan hati yang berakar kuat di sanubari masyarakat Bugis.

Dilihat dari segi fungsinya, upacara tradisional Lesuji dapat dilihat pada fungsi spiritual dan fungsi sosial. Berfungsi spiritual karena dalam pelaksanaan upacara tradisional Lesuji selalu berhubungan dengan permohonan manusia untuk keselamatan pada leluhur atau Tuhannya. Dari pengertian yang lainnya bahwa upacara tersebut dikatakan spiritual karena dapat membangkitkan emosi keagamaan, menimbulkan rasa aman, tenang, tenteram dan selamatan. Sedangkan berfungsi sosial karena upacara Lesuji tersebut dapat dipakai sebagai sarana kontrol sosial (pengendalian sosial, interaksi,integrasi dan komunikasi antar warga masyarakatnya). Sehingga bisa diwujudkan rasa kebersamaan, kegotongroyongan dan persatuan. Dalam upaca Lesuji terdapat sesaji, di dalam sesaji terdapat symbol-simbol yang memuat pesan dengan nilai-nilai, prilaku yang masih dijunjung tinggi. Keberagaman nilai-nilai budaya yang masih banyak terdapat dilingkungan masyarakat dapat berperan sebagai modal membangun perdamaian. Secara umum masing-masing suku mempunyai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang diterapkan melalui nilai-nilai di dalam kehidupan bersama.

Kerjasama dalam membangun kehidupan masyarakat, merupakan salah satu dari budaya siri yang merasa malu jika tidak bisa memberikan perlindungan bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, jika ia tidak menegakan siri dan tidak melakukan sesuatu mengatasinya akan dipandang hina oleh masyarakat dan dianggap tidak berguna bagi masyarakat. Perdamaian menjadi salah satu prioritas dalam kehidupan manusia, karena dengan hidup damai, masyarakat merasa aman tenteram dengan adanya pesan moral dan nilai-nilai merupakan salah satu identitas dari masyarakat Bugis yang masih memegang teguh budaya siri.

DAFTAR PUSTAKA

Ajisman,dkk 1998. Perubahan Nilai Upacara Tradisional Pada Masyarakat Pendukungnya di Daerah Kalimantan Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pontianak

Ahmaddin Andi, 2009. Adat dan Kebudayaan Suku Bugis. Wijatabone blogdetik.com

Natsir, M. 2007. Upacara Adat Suku Melayu. Depbudpar. Jakarta

------------, 2009. Kebudayan Indonesia Program Pendidikan Pariwisata. Universitas Tanjungpura.

------------. 2009. Bugis Kalimantan Barat. Portalbugis.Wordpress.com

Sostrowordoyo Pandil, 1983. Upacara Tradisional Yang Berkaitan Dengan Peristiwa Alam Dan Kepercayaan Daerah Kalimantan Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Busrah,S.Sos. Fungsi Lesuji Bagi Masyarakat Bugis. Pontianak. Wawancara Tgl,20 Oktober 2009

Ikhsan, S.Sos. Upacara Adat Lesuji Mohon Keselamatan dan Menolak Bala. Pontianak. Wawancara. Tgl, 22 Oktober 2009



* M.Natsir. Peneliti Budaya pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak Wilayah Kalimantan

1 Natsir,M, 2009. Kebudayan Indonesia program pendidikan Pariwisata. Universitas Tanjungpura.

2 Ahmaddin Andi, 2009. Adat dan Kebudayaan Suku Bugis. Wijatabone blogdetik.com

3 Natsir,M.. 2009.Down load, Portalbugis.wordpress.com

4 ------------ 2009.Bugis Kalimantan Barat. Portalbugis.Wordpress.com

5 Perubahan nilai upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya di daerah Kalimantan Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1998/99

6 Natsir,M. 2007. Upacara Adat Suku Melayu. Depbudpar. Jakarta

7 Perubahan nilai upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya di daerah Kalimantan Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1998/99