Minggu, 27 Juni 2010

Islam Di Kalbar


SEKILAS PROSES MASUKNYA ISLAM DI KALIMANTAN BARAT
Oleh : M.Natsir1
I. Permulaan Islam Masuk di Kalbar2
Islam masuk ke Indonesia masih menyisakan perdebatan panjang, ada tiga
teori yang dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam di Indonesia Teori
Gujarat,Teori Persia dan Teori Arabia.
1. Teori Gujarat banyak dianut oleh ahli dari Belanda. Islam dari anak Benua
India, menurut Pijnappel orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermingrasi
menetap diwilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia (
Azra,1998:24) Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgonje.Moquette ia
berkesimpulan bentuk nisan di Pasai kawasan Sumatera 17 Dzulhijjah 1831
H/27 September 1428, batu nisan mirip di Cambay,Gujarat.W.F. Stuterheim
menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi,
yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. masuknya Islam ke Indonesia adalah
Gujarat. Relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistikj
mempunyai kesamaan batu nisan di Gujarat.(Suryanegara,1998:76). J.C.
Van Leur pada th 674 M pantai barat Sumatera telah terdapat
perekampungan Islam, Islam tidak terjadi pada abad ke- 13 akan tetapi abad
ke-7
2. Teori Persia pembangun teori ini adalah Hoesin Djajadiningrat, titik berat pada
kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia. Kesamaan
budaya seperti peringatan 10 muharram atau Asyura sebagai hari peringatan
Syi’ah terhadap syahidnya Husain. Kedua adanya ajaran wahdatul Wujud
Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia, Al-Hallaj.
Teori Persia dibantah K.H. Saifuddin Zuhri , apabila berpedoman Islam
masuk abad ke -7 pada masa Bani Umayyah. Kekuasaan politik dipegang
oleh bangsa Arab, tidak mungkin Islam berasal dari Persia.
1 M.Natsir,S.Sos.M.Si Peneliti pada Balai Pelestarian Sejarah Pontianak. Dosen pada Isipol UNTAN
2 Bahan tulisan Seminar Serantau Perkembangan Islam Borneo, 27-28 Peb 2008 di UiTM Malaysia
2
3. Teori ini adalah T.W.Arnold,Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib
Al-Attas A. Hasyimi, dan Hamka. Teori Arabiah yang dipertegas Hamka ia
menolak keras terhadap teori Gujarat, teori ini dikemukan Seminar Sejarah
Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963 ia menolak bahwa
Islam masuk ke Indonesia abad 13 jauh sebelumnya abad ke-7 Masehi.3
Adapun keberadaan Islam di Kalimantan Barat tidak diketahui secara pasti,
namun dari beberapa literatur dan pendapat yang ada masih merupakan sebuah
prediksi yang dikemukakan oleh para peneliti maupun dari bekas-bekas peninggalan
yang ada, baik yang terekam di masyarakat melalui ajaran atau kepercayaan, dapat
juga dilihat dari situs-situs yang masih ada dan sejarah keberadan keraton yang banyak
didominasi oleh kesultanan Islam.
Doc.Natsir
Pelabuhan Sukadana Ketapang
Beberapa pendapat yang diungkapkan akan kita selusuri proses tersebut.
Berpedoman dari pendapat yang dikemukakan oleh Sendam, 1970:35, “Islam Masuk di
Kalimantan Barat yaitu sekitar abad ke 15 M, melalui perdagangan dan tidak melalui
organisasi misi, tetapi merupakan kegiatan perorangan”. Ada dua roses berlangsungnya
penyebaran Islam. Pertama penduduk pribuni berhubungan dengan agama Islam,
kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab,India, Cina dan lain-lain)
yang telah memeluk agama Islam dan bertempat tinggal secara permanen di suatu
3 http://islam.com/id/index Islam Masuk ke Indonesia,down load, 20 Peb 2008
3
wilayah kemudian melakukan perkawinan campuran dan menjadi anggota masyarakat
lainnya. Seperti pada kerajaan Tanjungpura, Sambas, Mempawah, Kubu, Pontianak dan
lain sebagainya.
Doc.Natsir
Upacara Adat Mempawah
Penyebaran agama Islam di Kalimantan Barat membujur dari Selatan ke
Utara, meliputi daerah Ketapang, Sambas, Mempawah, Landak. Menurut Safarudin
Usman bahwa Islam mulai menyebar di Kalimantan Barat diperkirakan sekitar abad XVI
Miladiah, penyebaran Islam terjadi ketika kerajaan Sukadana atau lebih dikenal dengan
kerajaan Tanjungpura dengan penembahan Barukh pada masa itu di Sukadana agama
Islam mulai diterima masyarakat (Ikhsan dalam Usman 1996:3), akan tetapi Barukh
tidak menganut agama Islam sampai wafat 1590 M. Pada masa Giri Kusuma Islam
berkembang dengan pesatnya karena beliau memeluk agama Islam
Pendapat lain juga mengemukakan pada tahun 1470 Miladiah sudah ada
kerajaan yang memeluk agama Islam yaitu Landak dengan rajanya Raden Abdul Kahar
(Usman,1996:4) Dimasa pemerintahan Raden Abdul Kahar (Iswaramahaya atau Raja
Dipati Karang Tanjung Tua) beliau telah memeluk agama Islam sehingga dapat
4
dikatakan berawal dari kerajaan Landak. Di bawah pemerintahannya agama Islam
berkembang dengan pesatnya di kerajaan Landak (Pembayun:200:97)
Sahzaman berpendapat bahwa agama Islam masuk di Kalimantan Barat
melalui selat Karimata menuju kerajaan Tanjungpura yang memang sudah ada sejak
abad ke XIII. Kerajaan Sambas pada masa Raden Sulaimann putra Raja Tengah dari
kerajaan Brunai (Ajisman 1998:24)
Dalam buku Sejarah Kodam XIII Tanjungpura Kalimantan Barat yang
diterbitkan oleh Sendam Tanjungpura menyebutkan masuknya agama Islam di
Kalimantan Barat pada abad ke 16 Ketika kerajaan Hindu Sukadana dipimpin rajanya
penembahan Barukh, pada saat yang sama penembahan Barukh membangun kota
Baruj yaitu Matan (Ajisman:1998:25)
Berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas bisa diperkirakan, bahwa
agama Islam masuk di Kalimantan Barat pada masa pemerintahan Barukh (1538-1550).
Dari riwayat kerajaan Landak diperoleh keterangan bahwa agama Islam di bawah
pemerintahan Kerajaan Ismahayana, yang bergelar Raja Dipati Tanjung Tua (1472-
1542), agama Islam mulai berkembang di kerajaan Landak (Sendam, dalam Ajisman;
1998). Mengingat kerajaan Matan dan Landak yang masuk diperkirakan pada abad ke
15 maka kerajaan Sintang yang berada dipedalaman sekitar akhir abad ke 16.
Penyebaran yang pertama-tama kemungkinan dari para pedangang Semenanjung
Melayu, terutama pedagang dari Johor. (Dalam Ikhan:2004:95)
II. Perkembangan Islam di Pontianak
5
Doc.Natsir
Keraton Kadriad Pontianak
Umat Islam menjadi mayoritas ketika berdirinya kerajaan Pontianak pada
tahun 1771 Miladiah. Kesultanan Pontianak dengan rajanya Sultan Syarif Abdurahman
Al Qadrie adalah putra Syarif Husin AlQadrie yang menjadi salah seorang penyebar
agama Islam di Kalimantan Barat, kehadiran kesultanan yang bercorak Islam masih
membawa pengaruh adat istiadat bangsa Nusantara yang dinamakan pengaruh Jawa
pra Islam. Salah satu pengaruh kuat adalah percampuran budaya Timur Tengah dengan
budaya jwa Pra Islam. Sekitar tahun 1733 Syarif Husin bin Ahmad Al Qadrie seorang
ulama dari negeri Trim Ar-Ridha Hadralmaut (Timur Tengah) datang ke kerajaan Matan
untuk menyebarkan agama Islam, kemudian di angkat sebagai penasehat raja, akan
tetapi jabatan tidak begitu lama dikarenakan ada perselisihan paham tentang hukuman
terhadap nakhoda tidak disetujui oleh Syarif Husein kemudian pindah ke kerajaan
Mempawah. Di kerajaan itu beliau diangkat sebagai patih oleh Opu Daeng Manambon.
Syarif Husin menikah dengan Nyai Tua dari perkawinan ini mendapat lima orang anak
diantaranya Syarif Abdurahman Al-Qadrie yang lahir tahun 1471. (Usman,2000:3-5)
Kawasan sekitar pusat pemerintahan kesultanan Pontianak yang terletak
dipinggiran Sugai Kapuas, Kampung Kapur, Kampung Bansir, kampung Banjar Serasan
dan Kampung Saigon sangat kental pengaruh agama Islam. Daerah Kampung Kapur
terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar pada jaman tersebut beliau salah
seorang yang termasyhur, sultan Pontianak Syarif Muhammad Al-Qadrie mengundang
Djafar khusus menjadi guru ngaji dilingkungan Keraton Kadriyah Pontianak (Usman
dkk:1997). Ustazd Djafar yang kelak menurunkan anak yang bernama Kurdi Djafar yang
di kenal pendiri cabang Muhammadiyah di Sungai Bakau Kecil di Mempawah dan salah
seorang putranya Mawardi Djafar seorang tokoh Muhammadiyah yang ada di Pontianak
(dalam Iksan wawancara H.Rahim Jafar)
Agama Islam yang menjadi mayoritas di Kalimantan Barat dan Pontianak
pada khususnya. Agama di Pontianak terdiri dari agama Islam, Katholik,
Kristen,Hindu,Budha dan Konghucu bagi masyarakat Tionghoa. Toleransi agama sangat
dijunjung tinggi di Pontianak, sehingga dapat dikatakan aman dan sejahtera.
6
Perkembangan yang berikutnya lahirnya berbagai organisasi Islam yang
menjalankan pendidikan Islam pada beberapa sekolah maupun yayasan di Pontianak 4;
1.Yayasan Pendidikan Bawari
2. Yayasan Pendidikan Bawamai
3.Yayasan Perguruan Islamiyah
4.Yayasan Pendidikan Muhammadiyah
5. Yayasan Pendidikan Al Azhar
Masih banyak pendidikan yang belum dapat di data. Di samping itu
perkembangan pengajian ibu-ibu yang berkembang pesat di Kota Pontianak.
Peranan ulama yang begitu besar terhadap perkembangan pendidikan tidak hanya pada
pendidikan forman akan tetapi pada pendidikan non formal. Ulama yang berpengaruh
membentuk pendidikan di era tahun enam puluhan dan sampai delapan puluhan di
Pontianak antara lain;5
1. Haji Ismail bin Abdul Karim alias Ismail Mundu (Mufti Kerajaan Kubu)
Seorang mufti kerajaan Kubu Kalimantan Barat, ulama yang sangat terkenal
sering disebut-sebut ulama Bugis, beliau salah satu ulama yang menjadi mufti di
kerajaan Kubu yang bukan dari keturunan Syec, menulis beberapa kitab amalan
zikir tauhid salah satu kitabnya yang terkenal adalah kitab Babun Nikah yang
diterbitkan di Singapur, menjadi salah satu kitab rujukan hukum nikah di
Indonesia. Meninggal pada tahun 1957 di makamkan di Kecamatan Telok
Pakedai Kabupaten Kubu Raya, dikenal dengan makam mesjid Batu, makamnya
sering dikunjungi oleh masyarakat. Pengunjung yang datang dari kalangan
muslim maupun non muslim yang sangat menghormati beliau
2. Syech Abdullah Zawawi Saiyid Abdullah az-Zawawi pula ialah ulama besar yang
pernah menjadi Mufti Mekah, kemudian pernah menjadi Mufti Kerajaan
Pontianak. Riwayatnya dapat dirujuk dalam halaman Agama Utusan Malaysia,
Isnin, 1 Mei 2006.
4 Ikhsan,S.Sos Propil Lembaga Pendidikan Islam Yang Diselenggarakan Masyarakat Kota Pontianak
Jurnal Sejarah Dan Budaya Kalimantan Barat 2004
5 Catatan pribadi penulis
7
3. Syech Syarwani Ulama ini pula nama lengkapnya ialah Syeikh Mahmud bin
Syeikh Abdul Hamid asy-Syarwani ad-Daghistani. Syeikh Mahmud asy-Syarwani
meninggal dunia di Pontianak pada Rabu, pukul 1, 20 Jamadilakhir 1314 H/26
November 1896 M. Dikebumikan pada pagi Khamis, 21 Jamadilakhir 1314 H/27
November 1896 M di Perkuburan Al-Marhum Pangeran Bendahara Syarif Ahmad
Al-Qadri Pontianak. 6
4. Habib Muksin Alhinduan (Tharekat Naksabandiyah)
Seorang Mursyid Tharekat Naksabandiyah wafat di Pontianak dan dimakamkan
di Sampang Madura yang kini diteruskan oleh anaknya yang bernama Habib
Amin Alhinduan di Kota Singkawang, mempunyai ribuan murid yang tersebar di
Kalimantan Barat
5. Syech H.Abdurani Mahmud Al-Yamani (Ahli Hisab)
Ulama yang mempunyai banyak murid, cukup disegani dikalangan ulama yang
ada pada zamannya, mantan ketua Majelis Ulama Indonesia Kalimantan Barat
meninggal di Pontianak
6. Habib Saleh Alhaddat
Ulama yang terkenal tegas dalam pendirian, hapal Alquran menjadi tempat
bertanya dari kalangan ulama yang ada, meninggal di Pontianak
7. Haji Abdus Syukur Badri alias Haji Muklis
Ulama pejuang asal dari Kalimantan Selatan yang menetap di Pontianak
mempunyai ribuan murid yang terkenal dengan salawat Dalailkhairat. Meninggal
di Pontianak
8. Haji Ibrahim Basyir alias Wak Guru
6 Utusan Malaysia,26 jun 2006,Oleh Wan Mohd Shaghir Abdullah
8
Dikenal dengan sebutan Tok Guru, beliau banyak melahir ulama, murid dari Haji
Ismail bin Abdul Karim alias Ismail Mundu.Terkenal mempunyai banyak
kelebihan mempunyai pengaruh yang cukup luas dari kalangan masyarakat
dikenal baik di dalam negeri Indonesia maupun diluar negeri, banyak mempunyai
murid di Negara Brunai,dan Malaysia. Meninggal di Pontianak di makamkan di
Sei Ambawang Kabupaten Pontianak
Ulama-ulama yang berpengruh tersebut telah memberi warna keislaman
melalui ajaran yang disampaikan menjadi pedoman bagi para murid-muridnya yang
ada, baik menjadi sebagai ulama maupun pendidik guna mengembangkan syiar Islam
di Kalimantan Barat.
III. Penutup
Berbagai pendapat argumentasi yang dikemukakan oleh para ahli, tentang
masuknya Islam di Indonesia, menurut hemat penulis bahwa besar kemungkinan pada
abad ke-7 Masehi, hal ini beralasan bahwa ajaran yang dianut oleh sebagian besar
bangsa Indonesia ialah bermazhab Syafi’I, tradisi lisan yang berkembang ditengahtengah
kehidupan masyarakat masih menjadi kenyakinan yang kuat dengan namanama
yang mirip dengan suku bangsa Arab, tatacara adat,istiadat, kesenian yang
banyak didominasi oleh kesenian Arab.
9
Doc.Natsir
Makam Keramat Tujuh Ketapang
Untuk wilayah Kalimantan Barat baik yang secara formal maupun tidak, dan
yang terkangkap sejarah dengan masuk melalui Kabupaten Sambas, Kabupaten
Sintang dan Kabupaten Ketapang yang masuk dari negara Brunai,Semenanjung dan
Jawa, sehingga nama-nama raja banyak mengadopsi nama raja Jawa diperkirakan
pada abad 15 Masehi.7 Kenyakinan yang kuat ditengah kehidupan masyarakat adalah
nama besar kerajaan Tanjungpura menjadi salah satu ciri kerajaan Islam, jauh
sebelumnya sudah pernah ada komunikasi antara masyarakat dikerajaan Tanjungpura
dengan para pedagang dari Arab, bentuk-bentuk peningalan yang masih bayak terdapat
di daerah Kabupaten Ketapang, baik yang bersifat tangible maupun intangible hal itu
masih bisa dijumpai sampai saat ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Balar
Arkeologi dari Banjarbaru Kalimantan Selatan bahwa peninggalan makam keramat tujuh
maupun keramat sembilan diperkirakan pada abad ke-15 akan tetapi jauh sebelumnya
sudah ada kehidupan Islam di daerah Benua Lama, karena juga ditemukan nisan di
dalam dasar tanah berdiri kokoh dan relief yang bercorak Arab di wilayah Kabupaten
Ketapang Kalimantan Barat.
Saran-saran ;
Akan lebih baik diadakan penelitian dan seminar berkelanjutan sehingga dapat
ditemukan kembali kejayaan Islam secara lebih koprehensip agar hasanah Islam yang
banyak berserakan dapat disatukan menjadi suatu mutiara di tanah Borneio.
Semoga Allah membalas kebaikan demi syiar Islam di Nusantara pada Seminar
Serantau di Kawasan Borneo.
7 Wawancara dengan Drs.H.Soedarto (Pakar Sejarah) dan Drs.H.Abdussukur SK (Cendikiawan Madura),
Tgl, 22 Pebruari 2008 di Pontianak

Rabu, 16 Juni 2010

Singapura

Perjalanan Singapura

Oleh . M.Natsir


Singapura sebuah kota moderns yang sangat terkenal, terletak tidak jauh dari kepulauan Riau. Perjalanan ke Singapura bisa dilakukan melalui Tanjungpinang dan Batam, jika melewati Tanjungpinang diperkirakan memakan waktu satu jam dan jika melewati Batam memakan waktu 45 menit dari pelabuhan Batam Center.

Perjalanan dimulai dari Pontianak dapat digunakan dengan pesawat Batavia Air. 1 jam dari Pontianak menuju Batam Pelabuhan Hang Nadim. Penerbangan 3 kali seminggu, Senin, Rabu dan Jumat, Pesawat hanya sekali perjalanan, waktu berangkat jam 11 WIB, sampai jam 12 WIB di Batam harga tiket dan hipotek berkisar Rp. 750.000,

Sampai bandara Hang Nadim Batam menggunakan taxi langsung menuju pelabuhan Punggur dengan biaya Rp. 65.000,-memakan waktu 20 menit, dan naik very menuju ke Tanjungpinang dengan waktu 1 jam. Jika harus menginap di Batam maka disana banyak tempat penginapan yang murah terutama di daerah pasar Nagoya. Pasar yang dikenal banyak menjual elektronik terutama hanphone Blackberry dengan harga bervariasi sesuai dengan kondisi barang.

Jika menuju ke Singapura maka dari pelabuhan Hang Nadim langsung ke Batam Center. Ada dua buah Very yang akan mengangkut penumpang menuju Singapura. Berangkat Singapura mulai dari jam 6.30 WIB. Jam 8.00 WIB sampai malam jam 21.00 WIB. Tiket bisa dibeli PP. Batam-Singapura dengan harga Rp. 180.000,- perlengkapan yang mesti dipersiapkan adalah paspor dan kartu NPWP Pajak, jika tidak memiliki NPWP pajak maka akan dikenakan biaya viskal Rp. 1 juta.

Kapal berangkat jam 8.20 WIB sampai di pelabuhan Singapura jam 9.00 WIB. di Singapura pemeriksaan Paspor dan Permit melalui sensor, jangan coba membawa rokok akan diambil oleh petugas, peraturan sangat ketat. Pelabuhan yang bersih di Singapur harus hati-hati dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dilarang membuang sampah sembarangan, berludah dan merokok bukan pada tempatnya, jika dilakukan bisa paspor yang akan diambil oleh petugas yang ada. Petugas yang berjaga menggunakan camera pengintai yang hidup 24 jam selalu monitor setiap orang yang ada dilokasi.Petugas setempat memberitahukan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang di dalam kapal pun akan dapat kelihatan, betapa canggihnya kamera mereka.

Pada hari Kamis 10 Juni 2010, Aku menunggu jemputan dipelabuhan sekitar 1 jam, melihat aktivitas penumpang yang keluar masuk pelabuhan cukup banyak, turis-turis mancanegara yang melewati pelabuhan menggunakan kapal, mungkin biaya lebih murah. Pelabuhan besar aktivitas padat, berjarak 100 meter terdapat terminal dan Mall yang megah, diatas Mall yang megah dapat dilihat bukit Santosa, "Menurut informasi dibukit tersebut pada zaman dahulu tempat lokasi pembunuhan, tetapi kini tempat Bukit Sentosa menjadi sebuah tempat permainan yang modern seperti di Amerika, di dunia ini hanya ada 6 tempat yang ada permainan moderns ini. Bagi turis hanya dikenakan 3 dolar (Rp.19.500,-) sudah dapat masuk kelokasi.di dalam lokasi bukit Sentosa banyak permainan yang moderns ala Amerika dan juga tempat kasino, setiap masuk tempat dikenakan lagi tarif masuk lokasi. Bagi orang Singapur sendiri harus bayar sekitar 100 dolar baru bisa masuk ke lokasi bukit Sentosa.

Perjalanan dilanjutkan keterminal, biaya 1.50 dolar (Rp. 6500,- = Rp. 9.250,- sebaiknya menggunakan uang koin untuk pembayaran bis menuju ke lokasi Bugis Street dengan waktu tempuh 15 menit. Lokasi Bugis street dikenal daerah kampong Glam terdapat istana raja dan masjid sultan. Kampung yang artistic nyaman dan tentram banyak dijual cendra mata buat oleh-oleh untuk keluarga, harga bervariasi, makanan nasi ditambah air teh dikenakan 5 dolar (Rp.32.500,-), rokok 1 bungkus seharga10 dolar (Rp.65.000,-). Seharian bersada di lokasi kampong Glam, aktivitas turis cukup banyak, mereka kagum dengan masjid sultan yang cukup megah, betapa kaget melihat mereka dengan pakaian yang serba minim berada dilokasi masjid ada juga yang sampai masuk ke dalamnya. aku tanya ke seorang ibu Hajjah penjual souvenir, kenapa turis non muslim dan serba minim pakaian boleh masuk ke dalam masjid, sedangkan menurut hukum Islam wanita yang datang haid dilarang mendekati masjid”. Masjid peningalan sultan berarsitektur timur tengah diatas kuba masjid terdapat susunan pantat botol, konon menurut cerita sahabat bahwa ketika masjid dibangun masyarakat menyumbang botol-botol buat membantu pembangunan masjid..

Bugis street memang menjadi salah satu tujuan turis yang datang ke Singapura banyaknya pertokoan penjual souvenir yang menjadi pesona pengunjung, seni yang memikat pengunjung datang ke lokasi ini harga boleh ditawar dibandingkan dengan daerah lainnya. Lakosi ini juga terdapat banyak tempat penginapan harga penginapan paling murah 25 Dolar (Rp.162.500,-) dan jika pada saat libur bisa harga 60 dolar (Rp.390.000,-)paling murah buat satu hari.

Sore jam 17.30 WIB waktu setempat dijemput Dato Hanafi dan Hazri menuju kepelabuhan, dalam perjalanan menuju pelabuhan menaiki bis umum, penumpang cukup banyak yang naik turun disetiap halte penumpang. Banyaknya turis yang memadati kota Singapura dan penduduk membuat pemandangan indah gedung-gedung tinggi mengambarkan kota yang moderen bersih dan teratur , cara berpakaian yang serba minim, tidak memakai Bh dan transparan semua kelihatan menjadi hal yang biasa, tidak hanya dijalanan tetapi juga di mall-mall hampir semua wanita memakaian pakaian moderns, trend baru serba terbuka……..

Sampai didermaga pelabuhan mengurus tiket pulang dikenakan ces 20 dolar (Rp.130.000,-), jam menunjukan pukul 20.00 WIB kapal Very menuju Batam meninggalkan Singapura. Dengan pemandangan dipelabuhan Singapur serba mewah. Aku seperti baru bangun dari mimpi kapan kota Pontianak seperti Singapur, ketika terjaga pukul 21.00 WIB aku sudah berada di pelabuhan Batam Center.

Jumat, 04 Juni 2010

keraton Surya Negara

· Keraton Surya Negara [1]

Kira-kira pukul 7.00 malam, berkunjung ke Keraton Surya Negara dan disambut oleh keluarga Pangeran Ratu Drs. H. Gusti Arman. M.Si. untuk menyaksikan beberapa peninggalan yang dikatakan diberikan oleh Sultan Brunei kepada Gusti Muhammad Thaer II iaitu bendera dan meriam yang masih tersimpan di keraton tersebut. Melalui pemerhatian, keadaan bendera tersebut sudah usang, reput dan koyak akibat suhu tempat penyimpanan kurang sesuai. Menurut informasi, Gusti Muhammad Thaer II adalah anak kepada Almarhum Gusti Muhamamd Ali ibnu Gusti Muhammad Thaer I (Gusti Togok) ibnu Almarhum Raden Lekar Tayan. Beliau merupakan cicit dari isteri Sultan Tengah (Ratu Surya Kesuma) kerana Raden Lekar adalah saudara kandung isteri Sultan Tengah.



[1] Pangeran Hajjah Mahani Pusat Sejarah Brunai.M.Natsir BPSNT Pontianak Wil Kalimantan

Istana Kadariah



Keraton Qadriah Kesultanan Pontianak.

Istana Kadariyah[1]

Berkunjung ke Istana Kadariyah pada sebelah petang. Istana ini merupakan peninggalan kesultanan Pontianak yang didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman pada 14 Rejab 1185 H bersamaan 23 Oktober 1771M dan terletak 4 km dari pusat kota dan terletak di Kampong Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur. Istana ini masih menyimpan berbagai macam benda peninggalan seperti Singahsana, Kaca Pecah Seribu, Al-Quran tulisan tangan dan salasilah keturunan Sultan Pontianak dari sultan pertama, Sultan Sharif Abddurahman Alkadrie hingga kepada sultan kelapan, Sultan Syarif Hamid Alkadrie yang memerintah pada tahun 1945.

Sultan Sharif Abdurrahman Al-Kadrie, (TM 1771-1808).

Sultan Sharif Abdurrahman Al-Kadrie merupakan anak sulong dari isteri pertama Habib Husein, Nyai Tua. Sultan Sharif Abddurahman dilahirkan di Matan pada 15 Rabiulawal 1154H bersamaan 1739M. Pada tahun 1755, beliau mengikuti ayahnya ke Mempawah. Di Mempawah, beliau berkahwin dengan anak Opu Daeng Menambon bernama Putri Utin Candra Midi dan mendapat gelar Pangeran Syarif Abdurrahman. Beliau seorang yang aktif dalam mempelajari dan menyebarkan agama, berdagang dan berlayar. Pada tahun 1767, Syarif Abdurrahman berlayar menuju Banjarmasin dan setahun kemudian ia menikah lagi dengan Ratu Syahranum, puteri Sultan Banjar. Dengan perkahwinan tersebut ia mendapat gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Syah Alam. Pada tahun 1771, beliau kembali ke Mempawah dan mendirikan sebuah kerajaan berdekatan Sungai Kapuas dan Sungai Landak iaitu dikenali kini dengan nama Pontianak. Sebelumnya daerah Muara Sungai Kapuas didiami oleh para perompak disepanjang Sungai Kapuas. Kawasan ini akhirnya menjadi kawasan perhentian para pedagang khususnya dari Bangka, Belitung, Bugis dan lain-lainnya. Pedagang dari China juga menjalankan hubungan dagang dengan Pontianak sekitar tahun 1774. Sehubungan itu, perluasan wilayah oleh Syarif Abdurrahman bermula pada tahun 1771 terhadap Sanggau, Tayan dan Sekadau. Kerajaan Sanggau berhasil dikuasai pada tahun 1778. Manakala dalam usaha memperluas jaringan perdagangan, beliau berusaha untuk melakukan perluasaan ke wilayah ke Mempawah dan Sukadana pada tahun 1786. Syarif Abdulrahman diangkat menjadi sultan dengan gelar Paduka Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Almarhum Al Habib Husein Alkadrie pada tahun 1771M dan kembali kerahmatullah pada tahun 1808.



[1] Pangeran Hajjah Mahani Pusat Sejarah Brunai. M.Natsir BPSNT Pontianak Wil Kalimantan

Batu Sampai Sanggau

· Batu Sampai. [1]


Terletak di Kelurahan Tanjung Sekayam, Sanggau dan merupakan kawasan air terjun yang dimiliki oleh Haji Muhammad Taha. Di kawasan air terjun ini, terdapat batu melintang yang terukir dalam tulisan Jawa Kuno (Palava) yang dipercayai sekitar abad ke-7 iaitu penyebaran agama Hindu bermula[2]. Tulisan tersebut bermaksud ‘Hidup Mati Surga’. Menurut kepercayaan masyarakat disana, air terjun ini boleh mengubati segala racun dan penyakit (penawar) bagi mereka yang bermunajat. Selain itu, jika seseorang hendak pergi ke Sanggau maka hendaklah ia singgah ke Batu Sampai sebagai tanda ia telah datang ke Sanggau begitulah sebaliknya.



[1] Pangeran Hajjah Mahani Pusat Sejarah Brunai dan. M.Natsir Bpsnt Pontianak Wilayah Kalimantan

[2] Sumber: Abang Adi Subrata.

Senin, 31 Mei 2010

Nama Pengarang : Neni Puji Nur Rahmawati,S.Si

Judul Karangan : Pemetaan Suku Dayak Di Kabupaten Pontianak

Tahun Penerbitan : 2005

I.Suku Bangsa Dayak Di Kalimantan

A. Sejarah Mingrasi Suku Dayak

Gelombang pertama kelompok Negrid dan Weddid disebut dengan “Proto Melayu”. Gelombang kedua “Deutro Melayu” dikenal dengan suku Melayu. Buku karangan Ch.F.H Duman tahun 1924, menuliskan bahwa Dayak-lah penduduk asli Pulau Kalimantan.

B. Pengelompokan Suku Dayak

1. Pandangan H.J Malinckrodt suku Dayak 6 rumpun

2. W. Stohr (1959)

3. Tjilik Riwut (1958) ada 18 suku terbagi menjadi 403-405 suku kecil

4. Raymond Kennedy (1974)

5. Bernard Sellato (1989)

6. Versi Keenam Ch.F.H.Duman 405 suku

7. Suku Dayak Ot-Danum terbagi menjadi 61 anak suku

C. Karakteristik Kebudayaan Dayak

Dr.Fridolin Ukur (1991) karakteristik yang bersifat khas memperlihatkan kesamaan kebudayaan di antara semua suku Dayak di Kalimantan.

II. Suku Dayak Di Kabupaten Pontianak

1. Suku Dayak Kanayatn

2. Suku Dayak Bukit (Sengah Temila,Kabupaten Landak)

3. Suku Dayak Banyuke (Darit, Kabupaten Landak)

4. Suku Dayak Belangin (Serimbu,Kabupaten Landak)

A. Sejarah dan Penyebaran Suku Dayak Kanayatn

Menurut Andasputra dan Julipin (1997:3-8) Ne’Galeber (pria) dan Ne’Anteber (wanita) dianggap sebagai nenek moyang Suku Dayak Kanayatn.Istilah menamakan orang Dayak Kanayatn diberikan pertama kali oleh seorang Misionaris Katholik yang bernama Pastor Donatus Dunselman OFM Cap dalam bukunya yang berjudul Budrage Tot de Kennis Van de Taal En Adat Der Kendajan Dajaks Vazn West-Borneo (1979),. Di sini dia menyebutkan bahwa “Kanayatn” sama dengan orang “Bukit”

B. Mite Kejadian Alam Semesta di Kalangan Suku Dayak Kanayatn

Pusat alam semesta ini ada sebuah “pusaran air pohon kelapa” (pusat ai’pauh janggi) Inilah pohon kehidupan dari padanyalah sesuatu tercipta dan kepadanyalah semua akan kembali.

C. Bahasa

Bahasa Dayak Kanayatn disebut dengan bahasa Banana’(Banana artinya”Tidak Ada”). Sehari-hari dipengaruhi oleh bahasa lainnya, misalnya bahasa Indonesia, Melayu, Jawa dan Cina.

D. Struktur Perumahan

Rumah panjang atau rumah betang adalah rentetan rumah-rumah pribadi (bilek atau lawang)

E. Matapencaharian

Adalah petani, menyadap karet, mencari hasil hutan, berburu dan beternak babi atau ayam.

F. Sistem Kekerabatan

Tidak mengenal dari garis keturunan ibu (matrilineal) dan garis keturunan ayah (patrilineal). Sistem kekerabatan berdasarkan keseimbangan keduanya.

G. Agama dan Kepercayaan

Yang tertinggi diantara mereka adalah Jubata Ne’Panitah (Tuhan Yang Menintahkan Segala Sesuatu). Kepercayaan kepada roh nenek moyang biasanya disebut dengan istilah animisme.

H. Dewan Adat

Dikenal istilah Dewan Pimpinan Adat/Dewan Adat, Temenggung,Pasirah dan Pangaraga.

III. Penyebaran Suku Dayak Kanayatn Di Kabupaten Pontianak

Suku Dayak Kanayatn yang besar Kecamatan Toho (80%) Kecamatan Sungai Piyuh (40%) Kecamatan Ambawang (30%) Kecamatan, Kubu, Telok Pakedai,Sungai Kakap dan Batu Ampar kurang dari 5 %. Sedangkan kecamatan lainnya penduduk suku Dayaknya antara 10-15 %.

Nama Pengarang : Dra.Lisyawati Nurcahyani,M.Si

Judul Karangan : Peranan Lauya Dalam Kehidupan Masyarakat Cina

di Kalimantan Barat

Tahun Penerbitan : Tahun 2000

I.Pendahuluan

Menurut Lontaan(1975:245), kedatangan bangsa Cina ke Indonesia dilakukan melalui rute perdagangan sekitar abad ke III dan ke IV hubungan itu semakin berkembang pada abad ke VII antara pemerintah Cina dengan kerajaan yang ada di Kalimantan Barat.

Pertama kali untuk mengolah hasil bumi Kalimantan Barat berupa tambang emas yang ada di wilayah kerajaan Sambas. Mereka yang berasal dari suku Khek, suku Hok Lo, suku Hakka, suku Hokkian dan lainnya. Tersebar di Pontianak,Singkawang, Sungai Pinyuh, Pemangkat, Mempawah dan lainnya.

II.Adat Istiadat Masyarakat Cina

Berbahasa Cina di dalam kehidupan sehari-hari mereka,mempunyai agama kepercayaan yang berbeda, Budha, Kristen/Katholik Kong Hu Chu kepercayaan terhadap nenek moyang dianggap nabi mereka mereka menyembah apa yang mereka namakan The Phe Khong (semacam dewa) dan mempunyai kitab suci bernama Thung Shung. Mempunyai macam-macam dewa Sang Phok Kong (dewa kera) Shang Tang Hang Bong (dewa pencatat kelahiran dan kematian) dewa Im Yong Shien Thie (dewa penjaga neraka), dewa shak Bong Sui (dewa perang) dewa Phak Khong Thai Thie (dewa pemberi nama) (Wiryawan Ketua Bakom PKB Kalimantan Barat, April 2000)

Kepercayaan tradisi masyarakat Cina, sembanhyang kubur, sembanhyang langit, sembahnyang rebut, sembahnyang imlek

III. Peranan Lauya Dalam Kehidupan Masyarakat Cina

Lauya artinya orang yang tua yang dipakai sebagai pelantara roh-roh tua yang sudah meninggal. Lauya ada dua lauya melalui proses belajar dan bawaan langsung dari kecil. Proses lauya antara lain : a. Puasa mutih b. mensucikan diri. Penyebuhan yang dilakukan oleh lauya tidak hanya bersifat jasmani saja akan tetapi rohani juga. Roh yang maasuk dalam diri lauya ada yang baik juga ada yang jahat tergantung lauya yang menjalankan ajarannya.

Penutup

Kebudayaan Cina belum banyak yang mengetahuinya, hal ini disebakan ketertutupan masyarakat Cina terhadap masyarakat diluarnya. Lauya- lauya menjadi pegangan pantang menolak apabila ada yang meminta pertolongan

SAYID HABIB HUSEIN ALKADRI (1706 – 1770 M)

Sejarah pengembangan agama Islam di Indonesia sejak abad ke-12 dikembangkan oleh para pedagang Islam yang berasal dari negeri Arab dan sekitarnya melalui India ke Asia Tenggara, yaitu dari Aceh, Sumatera, Malaya dan terus ke pantai utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sebagian besar dari etnis Arab yang banyak beremigrasi ke Indonesia berasal dari daerah Arab Selatan. Mereka pada umumnya adalah para santri yang mempelajari agama Islam dan mengembangkannya ke daerah timur sambil berdagang. Demikian pula dengan Habib Husein Alkadri, seorang santri dari negeri Arab yang gigih dalam mengembangkan ajaran agama Islam di negeri timur, sampai akhirnya ia dikenal sebagai seorang ulama besar dan pernah menjadi mufti peradilan agama Islam di kerajaan Matan Kalimantan Barat.

Masa Kecil Habib Husein Alkadri

Menurut Ansar Rahman dalam bukunya Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak, Habib Husein Alkadri lahir di sebuah kota kecil Trim, Hadramaut, di daerah bagian selatan Jazirah Arab yang kini menjadi bagian dari Yaman Selatan.[1] Daerah Hadramaut,[2] tempat kelahiran Habib Husein Alkadri letaknya di ujung selatan Jazirah Arab di teluk Aden yang merupakan jalur pelayaran internasional sehingga penduduknya gemar berdagang dan berlayar. Mengenai tanggal lahir Habib Husein Alkadri tidak ada catatan yang menyebutkannya. Namun kalau disimak bahwa ia meninggal dunia di Mempawah pada tanggal 3 Zulhijah 1184 H atau pada akhir tahun 1770 M dalam usia 64 tahun, maka dapat diperkirakan ia lahir sekitar tahun 1706 M. Dari catatan kesultanan Pontianak diceritakan bahwa Habib Husein Alkadri masih mempunyai hubungan silsilah keturunan dengan Nabi Muhammad SAW, walaupun dalam rentang urutan keturunan yang sudah jauh sekali dengan masa kelahiran Nabi Muhammad SAW. Catatan itu menyebutkan bahwa Habib Husein Alkadri adalah putera dari Habib Ahmad Alkadri, keturunan Jamalulail, keturunan Bachsan, keturunan Balwi dari bangsa Arab Quraisy, keturunan Ibnu Hasyim, keturunan Abdul Muthalib dari keturunan keluarga Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam mengenai kebenaran kisah keturunan ini.

Di negeri Trim, sejak kecil Habib Husein Alkadri dididik orang tuanya untuk mempelajari agama Islam sampai ia berumur 18 tahun. Ia kemudian melanjutkan memperdalam agama Islam di negeri Kulandi (Al Mukalla) selama 4 tahun dengan gurunya yang bernama Syeikh Muhammad bin Hamid. Di samping mempelajari ilmu agama Islam, Habib Husein Alkadri juga sering ikut berlayar ke berbagai negeri seperti ke Kalikut di pantai barat India. Dari pengalamannya belajar dan berlayar ke berbagai negeri, Habib Husein Alkadri mempunyai niat untuk berlayar lebih jauh ke negeri timur dimana banyak terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Hasrat ini diperkukuh oleh tiga orang teman seperguruannya yaitu Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Bachsan dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Quraisy. Keempat pemuda santri ini sangat giat mempelajari agama Islam dan berkeinginan untuk mengembangkan agama Islam ke negeri timur. Dari para pedagang yang banyak berlayar ke negeri timur, mereka mengetahui bahwa di negeri timur daerahnya kaya dan subur, negerinya maju karena perdagangan dan diperintah oleh raja-raja Islam.

Niat Habib Husein Alkadri dan teman-temannya untuk mengembangkan agama Islam ke negeri timur disampaikan kepada guru dan orangtua mereka. Karena cita-cita yang luhur untuk menjadi mubaligh dan menjunjung tinggi ajaran agama Islam, maka sang guru menyetujui rencana mereka itu. Sang guru menganjurkan agar mereka mencari tempat bermukim dan mengajarkan agama di negeri timur yang subur tanahnya dimana tumbuh pohon-pohon yang menghijau. Itulah tempat yang terbaik untuk mengembangkan agama dan tempat kediaman anak cucu di kemudian hari.[3]

Habib Husein Alkadri ke Indonesia

Setelah mendapat restu dari guru dan orangtuanya, Habib Husein Alkadri dan tiga orang temannya pergi berlayar ke negeri timur. Mereka berlayar melintasi jalur pelayaran dan perdagangan yang biasa dilalui para pedagang Arab yang menuju ke negeri timur. Setelah hampir satu tahun berlayar, sampailah mereka di kerajaan Aceh di ujung utara pulau Sumatera. Mereka menetap di Aceh selama hampir satu tahun sambil berdagang dan mengajar agama Islam. Habib Husein Alkadri dan teman-temannya kemudian membuat kesepakatan bahwa hanya Sayid Abu Bakar Alaydruslah yang tetap berada di Aceh untuk mengajar agama Islam. Sedangkan Habib Husein Alkadri dan dua orang temannya lagi akan pergi meninggalkan Aceh untuk mengembangkan agama Islam di daerah lain.

Di Aceh Sayid Abu Bakar Alaydrus menjadi guru agama Islam sampai wafatnya. Ia sangat disenangi masyarakat Aceh karena ilmu agamanya yang baik sehingga ia diberi gelar Tuan Besar Aceh. Setelah meninggalkan Aceh, Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanannya ke kerajaan Siak dan mengabdikan dirinya mengajar agama Islam di Siak sampai ia meninggal. Sayid Umar pun terkenal sebagai ulama ulung sehingga ia diberi gelar Tuan Besar Siak. Sedangkan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Quraisy meneruskan perjalanannya ke kerajaan Trenggano, di pantai timur Malaka. Di Trenggano ia mengajar agama Islam dan mendapat gelar Datuk Marang, pemuka agama negeri Trenggano. Habib Husein Alkadri sendiri meneruskan perjalanannya ke negeri Matan di Kalimantan Barat. Namun sebelum ia pergi ke Matan, Habib Husein Alkadri singgah di Betawi selama tujuh bulan dan di Semarang selama dua tahun. Selama tinggal di Betawi dan Semarang, Habib Husein Alkadri mengajar agama Islam sambil berdagang. Di Semarang, Habib Husein Alkadri menetap bersama seorang ulama sekaligus pedagang dari negeri Arab yang bernama Syeikh Salam Hambal. Dari informasi yang diberikan Syeikh Salam Hambal, Habib Husein Alkadri mengetahui bahwa ada suatu negeri yang ramai, penuh hutan yang menghijau dan mayoritas penduduk negerinya telah memeluk agama Islam. Negeri tersebut bernama negeri Matan yang terletak di pantai barat Kalimantan.[4] Hubungan antara Semarang dan Matan telah berlangsung lama melalui perdagangan, kedudukan Matan sebagai daerah transito perdagangan bagi pedagang Semarang yang melakukan kegiatannya di bagian utara terutama Malaka. Faktor inilah yang mendorong berkembangnya Islamisasi di Matan.[5] Setelah mendengar cerita tentang negeri Matan dari Syeikh Salam Hambal, Habib Husein Alkadri berniat melanjutkan perjalanannya menuju negeri Matan di Kalimantan.

Habib Husein Alkadri menjadi Mufti di kerajaan Matan Pada tahun 1736 M, Habib Husein Alkadri bersama dengan Syeikh Salam Hambal berlayar dari Semarang menuju ke negeri Matan di Kalimantan Barat yang penduduknya sudah banyak memeluk agama Islam. Ketika datang di negeri Matan, Habib Husein Alkadri baru berumur sekitar 29 tahun. Setelah sampai di negeri Matan, Habib Husein Alkadri dan Syeikh Salam Hambal segera mengadakan tabligh dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk Matan. Berkat pengetahuan agamanya yang mendalam, Habib Husein Alkadri segera dikenal dan disenangi para muridnya di negeri Matan. Habib Husein Alkadri dikatakan sebagai seorang pendakwah yang aktif dan arif dalam bidang agama, seorang ahli fiqih dan tasawuf.[6]

Kedatangan dan aktifitas dakwah Habib Husein Alkadri di negeri Matan terdengar beritanya oleh Sultan Matan, Ma’aziddin. Karena aktifitasnya tersebut, Sultan Ma’aziddin kemudian mengangkat Habib Husein Alkadri sebagai salah seorang pemuka agama Islam dikalangan istana Kerajaan Matan. Masyarakat negeri Matan menerima dan menghormati Habib Husein Alkadri dalam mengajarkan agama Islam. Sebagai ungkapan kecintaannya kepada Habib Husein Alkadri, Sultan Ma’aziddin mengawinkan Habib Husein Alkadri dengan salah seorang puteri di lingkungan kerajaan Matan yang disebut Nyai Tua[7]. Menurut penulis Belanda, JJK Enthoven, Nyai Tua adalah seorang dayang-dayang cantik keturunan Dayak yang telah masuk Islam[8]. Pernikahan Habib Husein Alkadri dengan Nyai Tua melahirkan Syarif Abdurrahman Alkadri yang kelak mendirikan kesultanan Pontianak.

Sebelum kedatangan Habib Husein Alkadri di negeri Matan, penyiaran agama Islam di negeri itu sudah sangat pesat. Di negeri Matan sudah terdapat beberapa pemuka agama yang berasal dari negeri Arab, diantaranyaa ulama yang bernama Sayid Hasyim Yahya. Sayid Hasyim Yahya sudah cukup lama berada di Matan sebagai imam dan pemimpin peradilan agama di kerajaan Matan. Ia dikenal sebagai Tuan Janggut Merah karena janggutnya yang tebal dan panjang dicat dengan pacar merah. Sayid Hasyim Yahya sangat disegani dan kemanapun ia berjalan selalu membawa tongkat besi. Manakala ia melihat berbagai macam benda seperti patung, gambar manusia atau binatang yang dipajang di rumah atau di perahu, ia akan marah dan akan menghancurkannya karena benda-benda tersebut dianggap semacam gambar berhala yang dapat merusak keimanan dalam beragama. Demikian cara Sayid Hasyim Yahya dalam menegakkan agama dikalangan masyarakat negeri Matan.

Kedatangan Habib Husein Alkadri dan aktifitasnya dalam mengajar agama Islam di negeri Matan sudah diketahui Sayid Hasyim Yahya. Tercatat suatu kisah terjadi pertemuan antara Habib Husein Alkadri dengan Sayid Hasyim Yahya. Pada suatu ketika Sultan Ma’aziddin mengadakan perjamuan makan dan mengundang Habib Husein Alkadri, Sayid Hasyim Yahya dan Syeikh Salam Hambal. Selain mereka hadir pula para pangeran dan para menteri kerajaan Matan. Ketika sampai pada acara perjamuan makan, sebagai suatu adat di negeri Matan, maka dihantarkanlah terlebih dahulu tempat sirih sebelum makanan dihidangkan. Ketika tempat sirih itu diedarkan kehadapan Sayid Hasyim Yahya, ia memperhatikan satu kacip besi buatan Bali yang biasanya dipakai untuk membelah pinang. Kacip itu berukiran kepala ular pada gagangnya. Sayid Hasyim Yahya segera mengambil dan mematahkan kacip berukir kepala naga itu kemudian menumbuk-numbuk dengan tongkat besinya hingga hancur. Melihat tingkah laku Sayid Hasyim Yahya dalam perjamuan mulia itu, Sultan Ma’aziddin dan para menterinya menjadi merah mukanya dan menunduk karena merasa malu. Namun Sultan Ma’aziddin tidak kuasa menegur perbuatan Sayid Hasyim Yahya karena pada waktu itu Sayid Hasyim Yahya adalah hakim agama di negeri Matan. Sayid Hasyim Yahya membenarkan perbuatannya karena menganggap kacup berukir kepala naga adalah syirik.

Akibat perbuatan Sayid Hasyim Yahya yang menghancurkan kacip berukir kepala naga, suasana dalam perjamuan itu menjadi kurang menyenangkan bagi semua orang yang hadir. Dalam situasi demikian, Habib Husein Alkadri mengambil kacip berukir kepala naga yang sudah patah dan remuk itu. Oleh Habib Husein Alkadri, kacip yang sudah remuk itu disusunnya kembali, dipijit-pijit dan diusap dengan air liurnya sambil terus membaca doa. Semua yang hadir dalam perjamuan itu memperhatikan perbuatan Habib Husein Alkadri. Dengan rahmat dan kebesaran Allah, ternyata kacip berukir kepala naga itu pun kembali utuh sebagaimana asalnya. Semua yang hadir merasa heran dan takjub atas perbuatan yang dilakukan oleh Habib Husein Alkadri sehingga suasana menjadi tegang bercampur haru. Untuk mencairkan suasana, Sultan Ma’aziddin dengan penuh bijaksana kemudian mengajak para hadirin untuk bersama-sama menyantap makanan dan minuman yang dihidangkan.

Setelah acara perjamuan itu selesai, Sultan Ma’aziddin beserta para Pangeran dan Menteri kerajaan Matan mengadakan musyawarah tentang peristiwa yang terjadi dalam acara perjamuan antara Sayid Hasyim Yahya dan Habib Husein Alkadri. Banyak pihak berpendapat bahwa Sayid Hashim Yahya yang sudah lama menjadi pemuka agama serta terkenal gagah berani, tetapi selama ini banyak melakukan pengrusakan terhadap barang-barang yang dianggapnya tidak baik. Pengrusakan itu sering dilakukan tanpa musyawarah sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat negeri Matan. Sebaliknya Habib Husein Alkadri yang masih muda dan belum lama berada di Matan namun kebijakan dan ilmunya telah menarik simpati masyarakat negeri Matan. Sultan Ma’aziddin dan para menterinya memberikan simpati terhadap ilmu dan kebijakan yang dimiliki Habib Husein Alkadri. Oleh karena itu Habib Husein Alkadri pun kemudian diterima sebagai salah seorang pemuka agama Islam dikalangan istana kerajaan Matan. Habib Husein Alkadri menerima kepercayaan Sultan Ma’aziddin dengan penuh rasa syukur. Hatinya semakin mantap untuk menetap di negeri Matan untuk mengembangkan ajaran dan syariat Nabi Muhammad SAW sebagaimana niat dan tujuan awalnya berangkat meninggalkan negeri asalnya. Habib Husein Alkadri kemudian diangkat sebagai Mufti peradilan hukum agama Islam di kerajaan Matan menggantikan Sayid Hasyim Yahya.

Dalam waktu yang tidak lama, kemasyhuran Habib Husein Alkadri sebagai ulama agama Islam dan Mufti kerajaan Matan telah tersebar ke daerah Sukadana, Simpang, Mempawah dan Sambas. Setelah Habib Husein Alkadri menetap sekitar tiga tahun di negeri Matan, kemudian datanglah kepadanya Pangeran Tua, seorang utusan raja Mempawah Opu Daeng Menambun yang berkedudukan di Sebukit Rama. Utusan itu menyampaikan pesan raja Mempawah kepada Habib Husein Alkadri yang berisi ajakan raja Mempawah kepada Habib Husein Alkadri agar ia bersedia pindah ke Mempawah untuk mengajarkan agama Islam di kerajaan Mempawah. Namun Habib Husein Alkadri tidak dapat memenuhi permintaan Opu Daeng Menambun karena ia baru bermukim dan merasa senang tinggal di kerajaan Matan.

Opu Daeng Menambun sendiri adalah menantu dari Sultan Muhammad Zainuddin penguasa kerajaan Matan sebelum Sultan Ma’aziddin. Pada waktu terjadi perang perselisihan di kerajaan Matan antara Sultan Zainuddin dengan saudara tirinya yang bernama Panembahan Agung, Opu Daeng Menambun bersama empat saudaranya asal Bugis membantu Sultan Zainuddin. Sebagai balasan atas jasanya, Sultan Zainuddin kemudian menikahkan salah seorang putrinya yang bernama Putri Kesumba dengan Opu Daeng Menambun. Selanjutnya Opu Daeng Menambun diangkat menjadi penguasa di Mempawah. Sedangkan pengganti Sultan Zainuddin di kerajaan Matan adalah Sultan Ma’aziddin.[9]

Pernikahan Habib Husein Alkadri

Dalam sejarahnya, Habib Husein Alkadri mempunyai tiga orang istri dan sepuluh orang anak. Ketiga orang istrinya itu biasa disebut Nyai Tua, Nyai Tengah dan Nyai Bungsu. Dari perkawinannya dengan Nyai Tua, Habib Husein Alkadri mempunyai dua orang putera dan dua orang puteri. Yang tertua Syarifah Khadijah, kedua Syarif Abdurrahman, ketiga Syarifah Mariyah dan keempat Syarif Alwie yang disebut juga Tuan Bujang. Di kemudian hari Habib Husein Alkadri menikah lagi untuk yang kedua dengan seorang puteri dari Matan yang disebut Nyai Tengah. Dari istri keduanya, ia memperoleh keturunan dua orang putera dan seorang puteri, yaitu Syarifah Aisyah, Syarif Abu Bakar dan Syarif Muhammad. Sedangkan dari istri ketiganya yang biasa disebut Nyai Bungsu, Habib Husein Alkadri memperoleh keturunan seorang putera dan dua orang puteri. Anak yang lahir dari istri ketiganya adalah Syarif Ahmad, Syarifah Marjanah dan Syarifah Noor.

Menurut salah satu tulisan kerabat keraton Pontianak disebutkan bahwa ketiga istri Habib Husein Alkadri itu tidak pernah dimadu, melainkan baru menikah kembali setelah istri pertama dan kedua meninggal dunia. Tetapi dalam tulisan Pangeran Bendahara Syarif Ahmad Alkadri yang ditulis sebagai laporannya kepada Residen Willer pada tahun 1852 M tidak menyebutkan demikian. Menurut Syarif Ahmad ”Syahdan, maka tidak berapa lama antara Nyai Tengah itu, maka kawin pula Habib Husein Alkadri itu seorang lagi. Maka digelarlah oleh orang akan dianya bernama Nyai Bungsu”. Fakta sejarah yang lain juga menyebutkan bahwa Nyai Tua sebagai istri pertama dari Habib Husein Alkadri meninggal dan dimakamkan di Mempawah.[10]

Habib Husein Pindah Ke Mempawah

Setelah bermukim di negeri Matan selama puluhan tahun, pada tahun 1755 Masehi Habib Husein Alkadri beserta seluruh keluarganya pindah ke Mempawah. Adapun sebab-sebab kepindahan Habib Husein Alkadri dari Matan ke Mempawah dilatari oleh adanya perbedaan pendapat antara dirinya dengan Sultan Ma’aziddin dalam memutuskan suatu perkara yang terjadi di negeri Matan. Diceritakan bahwa Habib Husein Alkadri sebagai Mufti peradilan agama negeri Matan sedang menangani sebuah perkara yaitu dalam kasus nahkoda kapal yang bernama Ahmad. Nahkoda Ahmad yang berasal dari Riau ini sedang berlabuh dan berdagang di negeri Matan. Selama tinggal di negeri Matan, nahkoda Ahmad pernah berbuat kesalahan yang tidak patut dan sangat melanggar hukum Islam yaitu mengganggu seorang wanita kerabat keraton. Sultan Ma’aziddin yang mendengar berita peristiwa ini menjadi sangat marah dan berniat membunuh nahkoda Ahmad.

Sultan Ma’aziddin menyerahkan perkara nahkoda Ahmad kepada Habib Husein Alkadri agar menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukannya itu. Setelah Habib Husein Alkadri menyelidiki perbuatan nahkoda Ahmad dan mempertimbangkannya dengan hukum Islam, Habib Husein Alkadri memutuskan membebaskan nahkoda Ahmad dari hukuman mati. Sebagai hukumannya, Habib Husein Alkadri mewajibkan nahkoda Ahmad untuk bertobat dan menyampaikan permohonan ampun kepada Sultan Ma’aziddin dan membayar sejumlah uang kepada kerajaan Matan.

Nahkoda Ahmad kemudian menghadap Sultan Ma’aziddin guna memohon maaf dan ampun, berjanji akan bertobat dan tidak akan melakukan perbuatan tercela. Ia pun memohon izin untuk kembali ke negerinya di Siantan daerah Riau. Selanjutnya Sultan Ma’aziddin menerima permohonan ampun tersebut dan memerintahkan pula dua buah perahu untuk mengantar perahu nahkoda Ahmad sampai di kuala. Namun ketika sampai di kuala, para pengawal kerajaan Matan yang mengawal nahkoda Ahmad menyerang dan membunuh nahkoda Ahmad beserta seluruh anak buahnya. Selain melakukan penyerangan dan pembunuhan, para pengawal kerajaan Matan juga merampas segala barang dagangan dan perlengkapan milik oleh nahkoda Ahmad. Konon peristiwa penyerangan dan pembunuhan nahkoda Ahmad ini dilakukan atas perintah dari Sultan Ma’aziddin yang masih menyimpan dendam dan amarah atas perbuatan nahkoda Ahmad

Mendengar berita pembunuhan terhadap nahkoda Ahmad, Habib Husein Alkadri bersedih hati karena Sultan Ma’aziddin tidak setia terhadap keputusan yang diberikannya. Ia pun tidak setuju terhadap perbuatan Sultan Ma’aziddin yang tidak berterus terang terhadap dendam hatinya. Peristiwa itu sangat melukai perasaan dan pikiran Habib Husein Alkadri. Peristiwa ini telah mengubah pikiran Habib Husein Alkadri untuk berpindah kediaman dari negeri Matan dan mencari tempat kediaman yang lebih baik bagi anak cucunya.

Habib Husein Alkadri kemudian mengirim surat kepada Opu Daeng Menambun di Mempawah, menyampaikan niatnya untuk berpindah diri dan keluarganya ke negeri Mempawah. Dalam suratnya, Habib Husein Alkadri juga memohon kepada Opu Daeng Menambun supaya dibuatkan sebuah rumah dan langgar (Mushalla) untuk diri dan keluarganya yang letaknya di pinggir kuala sungai Mempawah. Setelah rumah dan langgar selesai dibangun, Opu Daeng Menambun menjemput Habib Husein Alkadri di negeri Matan dengan dua buah perahu besar. Rombongan penjemput itu dipimpin oleh putera kedua Opu Daeng Menambun yang bernama Gusti Haji Jaladri yang bergelar Pangeran Sompak.

Sultan Ma’aziddin pun merestui keinginan Habib Husein Alkadri untuk pindah ke negeri Mempawah, karena Opu Daeng Menambun adalah juga menantu Sultan Matan. Keberangkatan Habib Husein Alkadri beserta seluruh keluarganya dilepas dengan penuh kebesaran oleh kerajaan Matan. Tiga buah perahu besar dari kerajaan Matan melengkapi dua perahu penjemput dari kerajaan Mempawah, mengantar rombongan Habib Husein Alkadri menuju Mempawah. Habib Husein Alkadri pindah ke negeri Mempawah setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di negeri Matan.

Habib Husein Alkadri menetap di daerah pemukiman baru yang disediakan oleh Opu Daeng Menambun di sekitar tepian Kuala Mempawah. Daerah pemukiman Habib Husein Alkadri itu dinamakan Galah Herang karena ditempat itu orang-orang jika menambatkan perahu memakai galah bambu. Di sana ia mengajarkan agama Islam sehingga pemukiman Galah Herang menjadi semakin ramai. Banyak penduduk yang mendirikan rumah dan tempat berdagang disekitarnya. Banyak pula pedagang berdatangan dari daerah Sambas, Tambelan dan Riau. Demikian pula para pedagang yang datang ke Galah Herang dari pedalaman sungai Kapuas seperti Tayan, Sanggau, Sekadau, Simpang, Sukadana, Matan dan Palembang. Pemukiman baru Galah Herang telah berkembang menjadi daerah perdagangan baru di negeri Mempawah.

Raja Mempawah Opu Daeng Menambun kemudian mengangkat Habib Husein Alkadri sebagai pemuka agama Islam. Opu Daeng Menambun menikahkan anaknya yaitu Puteri Candra Midi dengan anak Habib Husein Alkadri yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadri. Setelah Opu Daeng Menambun meninggal dunia, Habib Husein Alkadri diangkat sebagai Tuan Besar kerajaan Mempawah karena Pangeran Adi Jaya sebagai calon pengganti raja pengganti Opu Daeng Menambun masih belum dewasa. Habib Husein Alkadri kemudian membawa putera Mahkota Gusti Jamiril Pangeran Adijaya Kesuma ke Galah Herang. Ketika Pangeran Adijaya Kesuma menjadi panembahan kerajaan Mempawah (1761-1787 M), pusat kekuasaan Mempawah telah berada di Galah Herang.[11]

Keturunan Habib Husein Alkadri Pendiri Kesultanan Pontianak

Salah seorang anak keturunan Habib Husein Alkadri dari istri pertamanya, Nyai Tua, yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadri mendirikan sebuah kesultanan di Pontianak. Diceritakan bahwa pada tahun 1771, Syarif Abdurrahman Alkadri beserta keluarga dan pengikutnya meninggalkan negeri Mempawah untuk mencari lahan yang akan digunakan sebagai daerah pemukiman. Selanjutnya Syarif Abdurrahman Alkadri menemukan tempat yang dianggapnya cocok untuk bermukim diri, keluarga dan pengikutnya di tepian persimpangan antara sungai Kapuas dan sungai Landak. Setelah Syarif Abdurrahman Alkadri mendirikan kesultanan Pontianak, ia dan raja-raja keturunannya giat mengembangkan agama Islam. Diantaranya dengan mendirikan Mesjid Jami’ Pontianak sebagai pusat dakwah agama Islam yang letaknya didekat istana kesultanan Pontianak.[12]

Selain mengembangkan ajaran agama Islam di Kalimantan Barat, keturunan Habib Husein Alkadri juga turut berjasa dalam mengembangkan ajaran agama Islam di pulau Bali. Dalam catatan sejarah masuknya Islam di Bali, khususnya di kabupaten Jembrana dan dikalangan umat muslim di Loloan nama Syarif Abdullah Alkadri sangat dikenal. Syarif Abdullah Alkadri adalah seorang pelarian yang berasal dari kesultanan Pontianak. Ia melarikan diri dari kejaran VOC Belanda karena ia tidak menyetujui dan menentang traktat perjanjian antara kesultanan Pontianak dengan VOC Belanda pada tahun 1779 M. Pada akhirnya, ia dan pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Melayu dan Bugis mengungsi ke daerah Loloan (Bali). Di daerah tersebut Syarif Abdullah Alkadri kemudian mengembangkan ajaran agama Islam. Namun dalam catatan sejarah berdirinya kesultanan Pontianak, nama Syarif Abdullah Alkadri tidak ditemukan.[13]

Habib Husein Alkadri Wafat

Setelah menjadi seorang pemuka agama Islam dan Tuan Besar di Mempawah, Habib Husein Alkadri wafat pada hari Rabu tanggal 3 Zulhijah tahun 1184 H (1770 M) dalam usia 64 tahun. Ia dimakamkan di Kampung Sejegi di pedalaman Mempawah, tidak jauh dari Galah Herang. Kampung Sejegi sebagai tempat pemakaman Habib Husein Alkadri dikenal sebagai daerah suci makam Tuan Besar Mempawah yang dihormati. Sedangkan pemukiman Galah Herang yang didirikan oleh Habib Husein Alkadri kini telah menjadi kota Mempawah.[14]

Jasa-jasa Habib Husein Alkadri dalam mengembangkan ajaran agama Islam begitu banyak. Ia antara lain pernah menjadi seorang ulama sekaligus Mufti peradilan agama Islam di negeri Matan Kalimantan Barat. Selama berada di negeri Matan, ia aktif berdakwah kepada penduduk negeri Matan dari berbagai macam golongan, mulai dari rakyat biasa, petani, pedagang sampai kalangan istana kerajaan Matan. Demikian juga sewaktu pindah ke negeri Mempawah, ia tetap melanjutkan aktifitas dakwahnya. Ia bahkan diangkat sebagai pemuka agama Islam oleh raja Mempawah Opu Daeng Menambun. Setelah Habib Husein Alkadri wafat di Mempawah, melalui keturunannya yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadri yang mendirikan kesultanan Pontianak, aktifitas dakwah mengembangkan ajaran agama Islam terus dilanjutkan sehingga ajaran Islam menyebarluas di wilayah Kalimantan Barat.

Sumber :

Ansar Rahman, Drs dkk., 2000. Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika.

HSP, Bambang dkk., 2004. Sejarah Pemerintahan Kota Pontianak Dari Masa Ke Masa. Pontianak: Romeo Grafika.

Enthoven, I.I.K., Tanpa Tahun. Bijdragen tot de Geographie van Borneos Wester Afdeeling: Jilid II.

Hermansyah, dkk., 2007. Sejarah Islam di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Nurcahyani, Dra. Lisyawati., 1992. Pendataan Peninggalan Sejarah Keraton Kadriah Pontianak. Pontianak: BKSNT.



[1] Pada saat Yaman Selatan berada dibawah kekuasaan Inggris pada abad ke-18, banyak penduduknya yang merantau ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.

[2] Hadramaut = tanah terik matahari.

[3] Ansar Rahman, dkk., Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak, (Pontianak: Romeo Grafika, 2000), hlm. 13-15.

[4] Ibid., hlm. 16-20.

[5] Bambang HSP, dkk., Sejarah Pemerintahan Kota Pontianak Dari Masa ke Masa (Pontianak: Romeo Grafika, 2004), hlm. 11.

[6] Hermansyah., Sejarah Masuknya Islam Ke Kalimantan Barat: Sebuah Tinjauan Umum., dalam buku Sejarah Islam di Kalimantan Barat (Pontianak: STAIN Pontianak Press), hlm. 5.

[7] Pada umumnya orang Hadramaut datang ke Indonesia tanpa wanita. Mereka menikah dengan wanita-wanita setempat (Alwi Shahab: Melacak imigran Hadramaut, Media Indonesia 16 Januari 2000, hlm.7).

[8] I.I.K. Enthoven., Bijdragen tot de geographie Van Borneo’s Wester Afdeeling, jilid II.

[9] Ansar Rahman, Op. Cit. hlm. 21-24.

[10] Ibid., hlm. 13-15.

[11] Ibid., hlm 25-32.

[12] Dra. Lisyawati Nurcahyani., Pendataan Peninggalan Sejarah Keraton Kadriah Pontianak (Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional), hlm. 15.

[13] Akhyar Rusdi., Kontroversi Sejarah Berdirinya Kesultanan Pontianak, dalam buku Sejarah Islam di Kalimantan Barat (Pontianak: STAIN Pontianak Press), hlm. 104-105.

[14] Ansar RahmanOp. Cit., hlm. 34.