Senin, 31 Mei 2010

SAYID HABIB HUSEIN ALKADRI (1706 – 1770 M)

Sejarah pengembangan agama Islam di Indonesia sejak abad ke-12 dikembangkan oleh para pedagang Islam yang berasal dari negeri Arab dan sekitarnya melalui India ke Asia Tenggara, yaitu dari Aceh, Sumatera, Malaya dan terus ke pantai utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sebagian besar dari etnis Arab yang banyak beremigrasi ke Indonesia berasal dari daerah Arab Selatan. Mereka pada umumnya adalah para santri yang mempelajari agama Islam dan mengembangkannya ke daerah timur sambil berdagang. Demikian pula dengan Habib Husein Alkadri, seorang santri dari negeri Arab yang gigih dalam mengembangkan ajaran agama Islam di negeri timur, sampai akhirnya ia dikenal sebagai seorang ulama besar dan pernah menjadi mufti peradilan agama Islam di kerajaan Matan Kalimantan Barat.

Masa Kecil Habib Husein Alkadri

Menurut Ansar Rahman dalam bukunya Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak, Habib Husein Alkadri lahir di sebuah kota kecil Trim, Hadramaut, di daerah bagian selatan Jazirah Arab yang kini menjadi bagian dari Yaman Selatan.[1] Daerah Hadramaut,[2] tempat kelahiran Habib Husein Alkadri letaknya di ujung selatan Jazirah Arab di teluk Aden yang merupakan jalur pelayaran internasional sehingga penduduknya gemar berdagang dan berlayar. Mengenai tanggal lahir Habib Husein Alkadri tidak ada catatan yang menyebutkannya. Namun kalau disimak bahwa ia meninggal dunia di Mempawah pada tanggal 3 Zulhijah 1184 H atau pada akhir tahun 1770 M dalam usia 64 tahun, maka dapat diperkirakan ia lahir sekitar tahun 1706 M. Dari catatan kesultanan Pontianak diceritakan bahwa Habib Husein Alkadri masih mempunyai hubungan silsilah keturunan dengan Nabi Muhammad SAW, walaupun dalam rentang urutan keturunan yang sudah jauh sekali dengan masa kelahiran Nabi Muhammad SAW. Catatan itu menyebutkan bahwa Habib Husein Alkadri adalah putera dari Habib Ahmad Alkadri, keturunan Jamalulail, keturunan Bachsan, keturunan Balwi dari bangsa Arab Quraisy, keturunan Ibnu Hasyim, keturunan Abdul Muthalib dari keturunan keluarga Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam mengenai kebenaran kisah keturunan ini.

Di negeri Trim, sejak kecil Habib Husein Alkadri dididik orang tuanya untuk mempelajari agama Islam sampai ia berumur 18 tahun. Ia kemudian melanjutkan memperdalam agama Islam di negeri Kulandi (Al Mukalla) selama 4 tahun dengan gurunya yang bernama Syeikh Muhammad bin Hamid. Di samping mempelajari ilmu agama Islam, Habib Husein Alkadri juga sering ikut berlayar ke berbagai negeri seperti ke Kalikut di pantai barat India. Dari pengalamannya belajar dan berlayar ke berbagai negeri, Habib Husein Alkadri mempunyai niat untuk berlayar lebih jauh ke negeri timur dimana banyak terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Hasrat ini diperkukuh oleh tiga orang teman seperguruannya yaitu Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Bachsan dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Quraisy. Keempat pemuda santri ini sangat giat mempelajari agama Islam dan berkeinginan untuk mengembangkan agama Islam ke negeri timur. Dari para pedagang yang banyak berlayar ke negeri timur, mereka mengetahui bahwa di negeri timur daerahnya kaya dan subur, negerinya maju karena perdagangan dan diperintah oleh raja-raja Islam.

Niat Habib Husein Alkadri dan teman-temannya untuk mengembangkan agama Islam ke negeri timur disampaikan kepada guru dan orangtua mereka. Karena cita-cita yang luhur untuk menjadi mubaligh dan menjunjung tinggi ajaran agama Islam, maka sang guru menyetujui rencana mereka itu. Sang guru menganjurkan agar mereka mencari tempat bermukim dan mengajarkan agama di negeri timur yang subur tanahnya dimana tumbuh pohon-pohon yang menghijau. Itulah tempat yang terbaik untuk mengembangkan agama dan tempat kediaman anak cucu di kemudian hari.[3]

Habib Husein Alkadri ke Indonesia

Setelah mendapat restu dari guru dan orangtuanya, Habib Husein Alkadri dan tiga orang temannya pergi berlayar ke negeri timur. Mereka berlayar melintasi jalur pelayaran dan perdagangan yang biasa dilalui para pedagang Arab yang menuju ke negeri timur. Setelah hampir satu tahun berlayar, sampailah mereka di kerajaan Aceh di ujung utara pulau Sumatera. Mereka menetap di Aceh selama hampir satu tahun sambil berdagang dan mengajar agama Islam. Habib Husein Alkadri dan teman-temannya kemudian membuat kesepakatan bahwa hanya Sayid Abu Bakar Alaydruslah yang tetap berada di Aceh untuk mengajar agama Islam. Sedangkan Habib Husein Alkadri dan dua orang temannya lagi akan pergi meninggalkan Aceh untuk mengembangkan agama Islam di daerah lain.

Di Aceh Sayid Abu Bakar Alaydrus menjadi guru agama Islam sampai wafatnya. Ia sangat disenangi masyarakat Aceh karena ilmu agamanya yang baik sehingga ia diberi gelar Tuan Besar Aceh. Setelah meninggalkan Aceh, Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanannya ke kerajaan Siak dan mengabdikan dirinya mengajar agama Islam di Siak sampai ia meninggal. Sayid Umar pun terkenal sebagai ulama ulung sehingga ia diberi gelar Tuan Besar Siak. Sedangkan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Quraisy meneruskan perjalanannya ke kerajaan Trenggano, di pantai timur Malaka. Di Trenggano ia mengajar agama Islam dan mendapat gelar Datuk Marang, pemuka agama negeri Trenggano. Habib Husein Alkadri sendiri meneruskan perjalanannya ke negeri Matan di Kalimantan Barat. Namun sebelum ia pergi ke Matan, Habib Husein Alkadri singgah di Betawi selama tujuh bulan dan di Semarang selama dua tahun. Selama tinggal di Betawi dan Semarang, Habib Husein Alkadri mengajar agama Islam sambil berdagang. Di Semarang, Habib Husein Alkadri menetap bersama seorang ulama sekaligus pedagang dari negeri Arab yang bernama Syeikh Salam Hambal. Dari informasi yang diberikan Syeikh Salam Hambal, Habib Husein Alkadri mengetahui bahwa ada suatu negeri yang ramai, penuh hutan yang menghijau dan mayoritas penduduk negerinya telah memeluk agama Islam. Negeri tersebut bernama negeri Matan yang terletak di pantai barat Kalimantan.[4] Hubungan antara Semarang dan Matan telah berlangsung lama melalui perdagangan, kedudukan Matan sebagai daerah transito perdagangan bagi pedagang Semarang yang melakukan kegiatannya di bagian utara terutama Malaka. Faktor inilah yang mendorong berkembangnya Islamisasi di Matan.[5] Setelah mendengar cerita tentang negeri Matan dari Syeikh Salam Hambal, Habib Husein Alkadri berniat melanjutkan perjalanannya menuju negeri Matan di Kalimantan.

Habib Husein Alkadri menjadi Mufti di kerajaan Matan Pada tahun 1736 M, Habib Husein Alkadri bersama dengan Syeikh Salam Hambal berlayar dari Semarang menuju ke negeri Matan di Kalimantan Barat yang penduduknya sudah banyak memeluk agama Islam. Ketika datang di negeri Matan, Habib Husein Alkadri baru berumur sekitar 29 tahun. Setelah sampai di negeri Matan, Habib Husein Alkadri dan Syeikh Salam Hambal segera mengadakan tabligh dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk Matan. Berkat pengetahuan agamanya yang mendalam, Habib Husein Alkadri segera dikenal dan disenangi para muridnya di negeri Matan. Habib Husein Alkadri dikatakan sebagai seorang pendakwah yang aktif dan arif dalam bidang agama, seorang ahli fiqih dan tasawuf.[6]

Kedatangan dan aktifitas dakwah Habib Husein Alkadri di negeri Matan terdengar beritanya oleh Sultan Matan, Ma’aziddin. Karena aktifitasnya tersebut, Sultan Ma’aziddin kemudian mengangkat Habib Husein Alkadri sebagai salah seorang pemuka agama Islam dikalangan istana Kerajaan Matan. Masyarakat negeri Matan menerima dan menghormati Habib Husein Alkadri dalam mengajarkan agama Islam. Sebagai ungkapan kecintaannya kepada Habib Husein Alkadri, Sultan Ma’aziddin mengawinkan Habib Husein Alkadri dengan salah seorang puteri di lingkungan kerajaan Matan yang disebut Nyai Tua[7]. Menurut penulis Belanda, JJK Enthoven, Nyai Tua adalah seorang dayang-dayang cantik keturunan Dayak yang telah masuk Islam[8]. Pernikahan Habib Husein Alkadri dengan Nyai Tua melahirkan Syarif Abdurrahman Alkadri yang kelak mendirikan kesultanan Pontianak.

Sebelum kedatangan Habib Husein Alkadri di negeri Matan, penyiaran agama Islam di negeri itu sudah sangat pesat. Di negeri Matan sudah terdapat beberapa pemuka agama yang berasal dari negeri Arab, diantaranyaa ulama yang bernama Sayid Hasyim Yahya. Sayid Hasyim Yahya sudah cukup lama berada di Matan sebagai imam dan pemimpin peradilan agama di kerajaan Matan. Ia dikenal sebagai Tuan Janggut Merah karena janggutnya yang tebal dan panjang dicat dengan pacar merah. Sayid Hasyim Yahya sangat disegani dan kemanapun ia berjalan selalu membawa tongkat besi. Manakala ia melihat berbagai macam benda seperti patung, gambar manusia atau binatang yang dipajang di rumah atau di perahu, ia akan marah dan akan menghancurkannya karena benda-benda tersebut dianggap semacam gambar berhala yang dapat merusak keimanan dalam beragama. Demikian cara Sayid Hasyim Yahya dalam menegakkan agama dikalangan masyarakat negeri Matan.

Kedatangan Habib Husein Alkadri dan aktifitasnya dalam mengajar agama Islam di negeri Matan sudah diketahui Sayid Hasyim Yahya. Tercatat suatu kisah terjadi pertemuan antara Habib Husein Alkadri dengan Sayid Hasyim Yahya. Pada suatu ketika Sultan Ma’aziddin mengadakan perjamuan makan dan mengundang Habib Husein Alkadri, Sayid Hasyim Yahya dan Syeikh Salam Hambal. Selain mereka hadir pula para pangeran dan para menteri kerajaan Matan. Ketika sampai pada acara perjamuan makan, sebagai suatu adat di negeri Matan, maka dihantarkanlah terlebih dahulu tempat sirih sebelum makanan dihidangkan. Ketika tempat sirih itu diedarkan kehadapan Sayid Hasyim Yahya, ia memperhatikan satu kacip besi buatan Bali yang biasanya dipakai untuk membelah pinang. Kacip itu berukiran kepala ular pada gagangnya. Sayid Hasyim Yahya segera mengambil dan mematahkan kacip berukir kepala naga itu kemudian menumbuk-numbuk dengan tongkat besinya hingga hancur. Melihat tingkah laku Sayid Hasyim Yahya dalam perjamuan mulia itu, Sultan Ma’aziddin dan para menterinya menjadi merah mukanya dan menunduk karena merasa malu. Namun Sultan Ma’aziddin tidak kuasa menegur perbuatan Sayid Hasyim Yahya karena pada waktu itu Sayid Hasyim Yahya adalah hakim agama di negeri Matan. Sayid Hasyim Yahya membenarkan perbuatannya karena menganggap kacup berukir kepala naga adalah syirik.

Akibat perbuatan Sayid Hasyim Yahya yang menghancurkan kacip berukir kepala naga, suasana dalam perjamuan itu menjadi kurang menyenangkan bagi semua orang yang hadir. Dalam situasi demikian, Habib Husein Alkadri mengambil kacip berukir kepala naga yang sudah patah dan remuk itu. Oleh Habib Husein Alkadri, kacip yang sudah remuk itu disusunnya kembali, dipijit-pijit dan diusap dengan air liurnya sambil terus membaca doa. Semua yang hadir dalam perjamuan itu memperhatikan perbuatan Habib Husein Alkadri. Dengan rahmat dan kebesaran Allah, ternyata kacip berukir kepala naga itu pun kembali utuh sebagaimana asalnya. Semua yang hadir merasa heran dan takjub atas perbuatan yang dilakukan oleh Habib Husein Alkadri sehingga suasana menjadi tegang bercampur haru. Untuk mencairkan suasana, Sultan Ma’aziddin dengan penuh bijaksana kemudian mengajak para hadirin untuk bersama-sama menyantap makanan dan minuman yang dihidangkan.

Setelah acara perjamuan itu selesai, Sultan Ma’aziddin beserta para Pangeran dan Menteri kerajaan Matan mengadakan musyawarah tentang peristiwa yang terjadi dalam acara perjamuan antara Sayid Hasyim Yahya dan Habib Husein Alkadri. Banyak pihak berpendapat bahwa Sayid Hashim Yahya yang sudah lama menjadi pemuka agama serta terkenal gagah berani, tetapi selama ini banyak melakukan pengrusakan terhadap barang-barang yang dianggapnya tidak baik. Pengrusakan itu sering dilakukan tanpa musyawarah sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat negeri Matan. Sebaliknya Habib Husein Alkadri yang masih muda dan belum lama berada di Matan namun kebijakan dan ilmunya telah menarik simpati masyarakat negeri Matan. Sultan Ma’aziddin dan para menterinya memberikan simpati terhadap ilmu dan kebijakan yang dimiliki Habib Husein Alkadri. Oleh karena itu Habib Husein Alkadri pun kemudian diterima sebagai salah seorang pemuka agama Islam dikalangan istana kerajaan Matan. Habib Husein Alkadri menerima kepercayaan Sultan Ma’aziddin dengan penuh rasa syukur. Hatinya semakin mantap untuk menetap di negeri Matan untuk mengembangkan ajaran dan syariat Nabi Muhammad SAW sebagaimana niat dan tujuan awalnya berangkat meninggalkan negeri asalnya. Habib Husein Alkadri kemudian diangkat sebagai Mufti peradilan hukum agama Islam di kerajaan Matan menggantikan Sayid Hasyim Yahya.

Dalam waktu yang tidak lama, kemasyhuran Habib Husein Alkadri sebagai ulama agama Islam dan Mufti kerajaan Matan telah tersebar ke daerah Sukadana, Simpang, Mempawah dan Sambas. Setelah Habib Husein Alkadri menetap sekitar tiga tahun di negeri Matan, kemudian datanglah kepadanya Pangeran Tua, seorang utusan raja Mempawah Opu Daeng Menambun yang berkedudukan di Sebukit Rama. Utusan itu menyampaikan pesan raja Mempawah kepada Habib Husein Alkadri yang berisi ajakan raja Mempawah kepada Habib Husein Alkadri agar ia bersedia pindah ke Mempawah untuk mengajarkan agama Islam di kerajaan Mempawah. Namun Habib Husein Alkadri tidak dapat memenuhi permintaan Opu Daeng Menambun karena ia baru bermukim dan merasa senang tinggal di kerajaan Matan.

Opu Daeng Menambun sendiri adalah menantu dari Sultan Muhammad Zainuddin penguasa kerajaan Matan sebelum Sultan Ma’aziddin. Pada waktu terjadi perang perselisihan di kerajaan Matan antara Sultan Zainuddin dengan saudara tirinya yang bernama Panembahan Agung, Opu Daeng Menambun bersama empat saudaranya asal Bugis membantu Sultan Zainuddin. Sebagai balasan atas jasanya, Sultan Zainuddin kemudian menikahkan salah seorang putrinya yang bernama Putri Kesumba dengan Opu Daeng Menambun. Selanjutnya Opu Daeng Menambun diangkat menjadi penguasa di Mempawah. Sedangkan pengganti Sultan Zainuddin di kerajaan Matan adalah Sultan Ma’aziddin.[9]

Pernikahan Habib Husein Alkadri

Dalam sejarahnya, Habib Husein Alkadri mempunyai tiga orang istri dan sepuluh orang anak. Ketiga orang istrinya itu biasa disebut Nyai Tua, Nyai Tengah dan Nyai Bungsu. Dari perkawinannya dengan Nyai Tua, Habib Husein Alkadri mempunyai dua orang putera dan dua orang puteri. Yang tertua Syarifah Khadijah, kedua Syarif Abdurrahman, ketiga Syarifah Mariyah dan keempat Syarif Alwie yang disebut juga Tuan Bujang. Di kemudian hari Habib Husein Alkadri menikah lagi untuk yang kedua dengan seorang puteri dari Matan yang disebut Nyai Tengah. Dari istri keduanya, ia memperoleh keturunan dua orang putera dan seorang puteri, yaitu Syarifah Aisyah, Syarif Abu Bakar dan Syarif Muhammad. Sedangkan dari istri ketiganya yang biasa disebut Nyai Bungsu, Habib Husein Alkadri memperoleh keturunan seorang putera dan dua orang puteri. Anak yang lahir dari istri ketiganya adalah Syarif Ahmad, Syarifah Marjanah dan Syarifah Noor.

Menurut salah satu tulisan kerabat keraton Pontianak disebutkan bahwa ketiga istri Habib Husein Alkadri itu tidak pernah dimadu, melainkan baru menikah kembali setelah istri pertama dan kedua meninggal dunia. Tetapi dalam tulisan Pangeran Bendahara Syarif Ahmad Alkadri yang ditulis sebagai laporannya kepada Residen Willer pada tahun 1852 M tidak menyebutkan demikian. Menurut Syarif Ahmad ”Syahdan, maka tidak berapa lama antara Nyai Tengah itu, maka kawin pula Habib Husein Alkadri itu seorang lagi. Maka digelarlah oleh orang akan dianya bernama Nyai Bungsu”. Fakta sejarah yang lain juga menyebutkan bahwa Nyai Tua sebagai istri pertama dari Habib Husein Alkadri meninggal dan dimakamkan di Mempawah.[10]

Habib Husein Pindah Ke Mempawah

Setelah bermukim di negeri Matan selama puluhan tahun, pada tahun 1755 Masehi Habib Husein Alkadri beserta seluruh keluarganya pindah ke Mempawah. Adapun sebab-sebab kepindahan Habib Husein Alkadri dari Matan ke Mempawah dilatari oleh adanya perbedaan pendapat antara dirinya dengan Sultan Ma’aziddin dalam memutuskan suatu perkara yang terjadi di negeri Matan. Diceritakan bahwa Habib Husein Alkadri sebagai Mufti peradilan agama negeri Matan sedang menangani sebuah perkara yaitu dalam kasus nahkoda kapal yang bernama Ahmad. Nahkoda Ahmad yang berasal dari Riau ini sedang berlabuh dan berdagang di negeri Matan. Selama tinggal di negeri Matan, nahkoda Ahmad pernah berbuat kesalahan yang tidak patut dan sangat melanggar hukum Islam yaitu mengganggu seorang wanita kerabat keraton. Sultan Ma’aziddin yang mendengar berita peristiwa ini menjadi sangat marah dan berniat membunuh nahkoda Ahmad.

Sultan Ma’aziddin menyerahkan perkara nahkoda Ahmad kepada Habib Husein Alkadri agar menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukannya itu. Setelah Habib Husein Alkadri menyelidiki perbuatan nahkoda Ahmad dan mempertimbangkannya dengan hukum Islam, Habib Husein Alkadri memutuskan membebaskan nahkoda Ahmad dari hukuman mati. Sebagai hukumannya, Habib Husein Alkadri mewajibkan nahkoda Ahmad untuk bertobat dan menyampaikan permohonan ampun kepada Sultan Ma’aziddin dan membayar sejumlah uang kepada kerajaan Matan.

Nahkoda Ahmad kemudian menghadap Sultan Ma’aziddin guna memohon maaf dan ampun, berjanji akan bertobat dan tidak akan melakukan perbuatan tercela. Ia pun memohon izin untuk kembali ke negerinya di Siantan daerah Riau. Selanjutnya Sultan Ma’aziddin menerima permohonan ampun tersebut dan memerintahkan pula dua buah perahu untuk mengantar perahu nahkoda Ahmad sampai di kuala. Namun ketika sampai di kuala, para pengawal kerajaan Matan yang mengawal nahkoda Ahmad menyerang dan membunuh nahkoda Ahmad beserta seluruh anak buahnya. Selain melakukan penyerangan dan pembunuhan, para pengawal kerajaan Matan juga merampas segala barang dagangan dan perlengkapan milik oleh nahkoda Ahmad. Konon peristiwa penyerangan dan pembunuhan nahkoda Ahmad ini dilakukan atas perintah dari Sultan Ma’aziddin yang masih menyimpan dendam dan amarah atas perbuatan nahkoda Ahmad

Mendengar berita pembunuhan terhadap nahkoda Ahmad, Habib Husein Alkadri bersedih hati karena Sultan Ma’aziddin tidak setia terhadap keputusan yang diberikannya. Ia pun tidak setuju terhadap perbuatan Sultan Ma’aziddin yang tidak berterus terang terhadap dendam hatinya. Peristiwa itu sangat melukai perasaan dan pikiran Habib Husein Alkadri. Peristiwa ini telah mengubah pikiran Habib Husein Alkadri untuk berpindah kediaman dari negeri Matan dan mencari tempat kediaman yang lebih baik bagi anak cucunya.

Habib Husein Alkadri kemudian mengirim surat kepada Opu Daeng Menambun di Mempawah, menyampaikan niatnya untuk berpindah diri dan keluarganya ke negeri Mempawah. Dalam suratnya, Habib Husein Alkadri juga memohon kepada Opu Daeng Menambun supaya dibuatkan sebuah rumah dan langgar (Mushalla) untuk diri dan keluarganya yang letaknya di pinggir kuala sungai Mempawah. Setelah rumah dan langgar selesai dibangun, Opu Daeng Menambun menjemput Habib Husein Alkadri di negeri Matan dengan dua buah perahu besar. Rombongan penjemput itu dipimpin oleh putera kedua Opu Daeng Menambun yang bernama Gusti Haji Jaladri yang bergelar Pangeran Sompak.

Sultan Ma’aziddin pun merestui keinginan Habib Husein Alkadri untuk pindah ke negeri Mempawah, karena Opu Daeng Menambun adalah juga menantu Sultan Matan. Keberangkatan Habib Husein Alkadri beserta seluruh keluarganya dilepas dengan penuh kebesaran oleh kerajaan Matan. Tiga buah perahu besar dari kerajaan Matan melengkapi dua perahu penjemput dari kerajaan Mempawah, mengantar rombongan Habib Husein Alkadri menuju Mempawah. Habib Husein Alkadri pindah ke negeri Mempawah setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di negeri Matan.

Habib Husein Alkadri menetap di daerah pemukiman baru yang disediakan oleh Opu Daeng Menambun di sekitar tepian Kuala Mempawah. Daerah pemukiman Habib Husein Alkadri itu dinamakan Galah Herang karena ditempat itu orang-orang jika menambatkan perahu memakai galah bambu. Di sana ia mengajarkan agama Islam sehingga pemukiman Galah Herang menjadi semakin ramai. Banyak penduduk yang mendirikan rumah dan tempat berdagang disekitarnya. Banyak pula pedagang berdatangan dari daerah Sambas, Tambelan dan Riau. Demikian pula para pedagang yang datang ke Galah Herang dari pedalaman sungai Kapuas seperti Tayan, Sanggau, Sekadau, Simpang, Sukadana, Matan dan Palembang. Pemukiman baru Galah Herang telah berkembang menjadi daerah perdagangan baru di negeri Mempawah.

Raja Mempawah Opu Daeng Menambun kemudian mengangkat Habib Husein Alkadri sebagai pemuka agama Islam. Opu Daeng Menambun menikahkan anaknya yaitu Puteri Candra Midi dengan anak Habib Husein Alkadri yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadri. Setelah Opu Daeng Menambun meninggal dunia, Habib Husein Alkadri diangkat sebagai Tuan Besar kerajaan Mempawah karena Pangeran Adi Jaya sebagai calon pengganti raja pengganti Opu Daeng Menambun masih belum dewasa. Habib Husein Alkadri kemudian membawa putera Mahkota Gusti Jamiril Pangeran Adijaya Kesuma ke Galah Herang. Ketika Pangeran Adijaya Kesuma menjadi panembahan kerajaan Mempawah (1761-1787 M), pusat kekuasaan Mempawah telah berada di Galah Herang.[11]

Keturunan Habib Husein Alkadri Pendiri Kesultanan Pontianak

Salah seorang anak keturunan Habib Husein Alkadri dari istri pertamanya, Nyai Tua, yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadri mendirikan sebuah kesultanan di Pontianak. Diceritakan bahwa pada tahun 1771, Syarif Abdurrahman Alkadri beserta keluarga dan pengikutnya meninggalkan negeri Mempawah untuk mencari lahan yang akan digunakan sebagai daerah pemukiman. Selanjutnya Syarif Abdurrahman Alkadri menemukan tempat yang dianggapnya cocok untuk bermukim diri, keluarga dan pengikutnya di tepian persimpangan antara sungai Kapuas dan sungai Landak. Setelah Syarif Abdurrahman Alkadri mendirikan kesultanan Pontianak, ia dan raja-raja keturunannya giat mengembangkan agama Islam. Diantaranya dengan mendirikan Mesjid Jami’ Pontianak sebagai pusat dakwah agama Islam yang letaknya didekat istana kesultanan Pontianak.[12]

Selain mengembangkan ajaran agama Islam di Kalimantan Barat, keturunan Habib Husein Alkadri juga turut berjasa dalam mengembangkan ajaran agama Islam di pulau Bali. Dalam catatan sejarah masuknya Islam di Bali, khususnya di kabupaten Jembrana dan dikalangan umat muslim di Loloan nama Syarif Abdullah Alkadri sangat dikenal. Syarif Abdullah Alkadri adalah seorang pelarian yang berasal dari kesultanan Pontianak. Ia melarikan diri dari kejaran VOC Belanda karena ia tidak menyetujui dan menentang traktat perjanjian antara kesultanan Pontianak dengan VOC Belanda pada tahun 1779 M. Pada akhirnya, ia dan pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Melayu dan Bugis mengungsi ke daerah Loloan (Bali). Di daerah tersebut Syarif Abdullah Alkadri kemudian mengembangkan ajaran agama Islam. Namun dalam catatan sejarah berdirinya kesultanan Pontianak, nama Syarif Abdullah Alkadri tidak ditemukan.[13]

Habib Husein Alkadri Wafat

Setelah menjadi seorang pemuka agama Islam dan Tuan Besar di Mempawah, Habib Husein Alkadri wafat pada hari Rabu tanggal 3 Zulhijah tahun 1184 H (1770 M) dalam usia 64 tahun. Ia dimakamkan di Kampung Sejegi di pedalaman Mempawah, tidak jauh dari Galah Herang. Kampung Sejegi sebagai tempat pemakaman Habib Husein Alkadri dikenal sebagai daerah suci makam Tuan Besar Mempawah yang dihormati. Sedangkan pemukiman Galah Herang yang didirikan oleh Habib Husein Alkadri kini telah menjadi kota Mempawah.[14]

Jasa-jasa Habib Husein Alkadri dalam mengembangkan ajaran agama Islam begitu banyak. Ia antara lain pernah menjadi seorang ulama sekaligus Mufti peradilan agama Islam di negeri Matan Kalimantan Barat. Selama berada di negeri Matan, ia aktif berdakwah kepada penduduk negeri Matan dari berbagai macam golongan, mulai dari rakyat biasa, petani, pedagang sampai kalangan istana kerajaan Matan. Demikian juga sewaktu pindah ke negeri Mempawah, ia tetap melanjutkan aktifitas dakwahnya. Ia bahkan diangkat sebagai pemuka agama Islam oleh raja Mempawah Opu Daeng Menambun. Setelah Habib Husein Alkadri wafat di Mempawah, melalui keturunannya yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadri yang mendirikan kesultanan Pontianak, aktifitas dakwah mengembangkan ajaran agama Islam terus dilanjutkan sehingga ajaran Islam menyebarluas di wilayah Kalimantan Barat.

Sumber :

Ansar Rahman, Drs dkk., 2000. Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika.

HSP, Bambang dkk., 2004. Sejarah Pemerintahan Kota Pontianak Dari Masa Ke Masa. Pontianak: Romeo Grafika.

Enthoven, I.I.K., Tanpa Tahun. Bijdragen tot de Geographie van Borneos Wester Afdeeling: Jilid II.

Hermansyah, dkk., 2007. Sejarah Islam di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Nurcahyani, Dra. Lisyawati., 1992. Pendataan Peninggalan Sejarah Keraton Kadriah Pontianak. Pontianak: BKSNT.



[1] Pada saat Yaman Selatan berada dibawah kekuasaan Inggris pada abad ke-18, banyak penduduknya yang merantau ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.

[2] Hadramaut = tanah terik matahari.

[3] Ansar Rahman, dkk., Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak, (Pontianak: Romeo Grafika, 2000), hlm. 13-15.

[4] Ibid., hlm. 16-20.

[5] Bambang HSP, dkk., Sejarah Pemerintahan Kota Pontianak Dari Masa ke Masa (Pontianak: Romeo Grafika, 2004), hlm. 11.

[6] Hermansyah., Sejarah Masuknya Islam Ke Kalimantan Barat: Sebuah Tinjauan Umum., dalam buku Sejarah Islam di Kalimantan Barat (Pontianak: STAIN Pontianak Press), hlm. 5.

[7] Pada umumnya orang Hadramaut datang ke Indonesia tanpa wanita. Mereka menikah dengan wanita-wanita setempat (Alwi Shahab: Melacak imigran Hadramaut, Media Indonesia 16 Januari 2000, hlm.7).

[8] I.I.K. Enthoven., Bijdragen tot de geographie Van Borneo’s Wester Afdeeling, jilid II.

[9] Ansar Rahman, Op. Cit. hlm. 21-24.

[10] Ibid., hlm. 13-15.

[11] Ibid., hlm 25-32.

[12] Dra. Lisyawati Nurcahyani., Pendataan Peninggalan Sejarah Keraton Kadriah Pontianak (Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional), hlm. 15.

[13] Akhyar Rusdi., Kontroversi Sejarah Berdirinya Kesultanan Pontianak, dalam buku Sejarah Islam di Kalimantan Barat (Pontianak: STAIN Pontianak Press), hlm. 104-105.

[14] Ansar RahmanOp. Cit., hlm. 34.

Tidak ada komentar: