Senin, 31 Mei 2010

Nama Pengarang : Neni Puji Nur Rahmawati,S.Si

Judul Karangan : Pemetaan Suku Dayak Di Kabupaten Pontianak

Tahun Penerbitan : 2005

I.Suku Bangsa Dayak Di Kalimantan

A. Sejarah Mingrasi Suku Dayak

Gelombang pertama kelompok Negrid dan Weddid disebut dengan “Proto Melayu”. Gelombang kedua “Deutro Melayu” dikenal dengan suku Melayu. Buku karangan Ch.F.H Duman tahun 1924, menuliskan bahwa Dayak-lah penduduk asli Pulau Kalimantan.

B. Pengelompokan Suku Dayak

1. Pandangan H.J Malinckrodt suku Dayak 6 rumpun

2. W. Stohr (1959)

3. Tjilik Riwut (1958) ada 18 suku terbagi menjadi 403-405 suku kecil

4. Raymond Kennedy (1974)

5. Bernard Sellato (1989)

6. Versi Keenam Ch.F.H.Duman 405 suku

7. Suku Dayak Ot-Danum terbagi menjadi 61 anak suku

C. Karakteristik Kebudayaan Dayak

Dr.Fridolin Ukur (1991) karakteristik yang bersifat khas memperlihatkan kesamaan kebudayaan di antara semua suku Dayak di Kalimantan.

II. Suku Dayak Di Kabupaten Pontianak

1. Suku Dayak Kanayatn

2. Suku Dayak Bukit (Sengah Temila,Kabupaten Landak)

3. Suku Dayak Banyuke (Darit, Kabupaten Landak)

4. Suku Dayak Belangin (Serimbu,Kabupaten Landak)

A. Sejarah dan Penyebaran Suku Dayak Kanayatn

Menurut Andasputra dan Julipin (1997:3-8) Ne’Galeber (pria) dan Ne’Anteber (wanita) dianggap sebagai nenek moyang Suku Dayak Kanayatn.Istilah menamakan orang Dayak Kanayatn diberikan pertama kali oleh seorang Misionaris Katholik yang bernama Pastor Donatus Dunselman OFM Cap dalam bukunya yang berjudul Budrage Tot de Kennis Van de Taal En Adat Der Kendajan Dajaks Vazn West-Borneo (1979),. Di sini dia menyebutkan bahwa “Kanayatn” sama dengan orang “Bukit”

B. Mite Kejadian Alam Semesta di Kalangan Suku Dayak Kanayatn

Pusat alam semesta ini ada sebuah “pusaran air pohon kelapa” (pusat ai’pauh janggi) Inilah pohon kehidupan dari padanyalah sesuatu tercipta dan kepadanyalah semua akan kembali.

C. Bahasa

Bahasa Dayak Kanayatn disebut dengan bahasa Banana’(Banana artinya”Tidak Ada”). Sehari-hari dipengaruhi oleh bahasa lainnya, misalnya bahasa Indonesia, Melayu, Jawa dan Cina.

D. Struktur Perumahan

Rumah panjang atau rumah betang adalah rentetan rumah-rumah pribadi (bilek atau lawang)

E. Matapencaharian

Adalah petani, menyadap karet, mencari hasil hutan, berburu dan beternak babi atau ayam.

F. Sistem Kekerabatan

Tidak mengenal dari garis keturunan ibu (matrilineal) dan garis keturunan ayah (patrilineal). Sistem kekerabatan berdasarkan keseimbangan keduanya.

G. Agama dan Kepercayaan

Yang tertinggi diantara mereka adalah Jubata Ne’Panitah (Tuhan Yang Menintahkan Segala Sesuatu). Kepercayaan kepada roh nenek moyang biasanya disebut dengan istilah animisme.

H. Dewan Adat

Dikenal istilah Dewan Pimpinan Adat/Dewan Adat, Temenggung,Pasirah dan Pangaraga.

III. Penyebaran Suku Dayak Kanayatn Di Kabupaten Pontianak

Suku Dayak Kanayatn yang besar Kecamatan Toho (80%) Kecamatan Sungai Piyuh (40%) Kecamatan Ambawang (30%) Kecamatan, Kubu, Telok Pakedai,Sungai Kakap dan Batu Ampar kurang dari 5 %. Sedangkan kecamatan lainnya penduduk suku Dayaknya antara 10-15 %.

Nama Pengarang : Dra.Lisyawati Nurcahyani,M.Si

Judul Karangan : Peranan Lauya Dalam Kehidupan Masyarakat Cina

di Kalimantan Barat

Tahun Penerbitan : Tahun 2000

I.Pendahuluan

Menurut Lontaan(1975:245), kedatangan bangsa Cina ke Indonesia dilakukan melalui rute perdagangan sekitar abad ke III dan ke IV hubungan itu semakin berkembang pada abad ke VII antara pemerintah Cina dengan kerajaan yang ada di Kalimantan Barat.

Pertama kali untuk mengolah hasil bumi Kalimantan Barat berupa tambang emas yang ada di wilayah kerajaan Sambas. Mereka yang berasal dari suku Khek, suku Hok Lo, suku Hakka, suku Hokkian dan lainnya. Tersebar di Pontianak,Singkawang, Sungai Pinyuh, Pemangkat, Mempawah dan lainnya.

II.Adat Istiadat Masyarakat Cina

Berbahasa Cina di dalam kehidupan sehari-hari mereka,mempunyai agama kepercayaan yang berbeda, Budha, Kristen/Katholik Kong Hu Chu kepercayaan terhadap nenek moyang dianggap nabi mereka mereka menyembah apa yang mereka namakan The Phe Khong (semacam dewa) dan mempunyai kitab suci bernama Thung Shung. Mempunyai macam-macam dewa Sang Phok Kong (dewa kera) Shang Tang Hang Bong (dewa pencatat kelahiran dan kematian) dewa Im Yong Shien Thie (dewa penjaga neraka), dewa shak Bong Sui (dewa perang) dewa Phak Khong Thai Thie (dewa pemberi nama) (Wiryawan Ketua Bakom PKB Kalimantan Barat, April 2000)

Kepercayaan tradisi masyarakat Cina, sembanhyang kubur, sembanhyang langit, sembahnyang rebut, sembahnyang imlek

III. Peranan Lauya Dalam Kehidupan Masyarakat Cina

Lauya artinya orang yang tua yang dipakai sebagai pelantara roh-roh tua yang sudah meninggal. Lauya ada dua lauya melalui proses belajar dan bawaan langsung dari kecil. Proses lauya antara lain : a. Puasa mutih b. mensucikan diri. Penyebuhan yang dilakukan oleh lauya tidak hanya bersifat jasmani saja akan tetapi rohani juga. Roh yang maasuk dalam diri lauya ada yang baik juga ada yang jahat tergantung lauya yang menjalankan ajarannya.

Penutup

Kebudayaan Cina belum banyak yang mengetahuinya, hal ini disebakan ketertutupan masyarakat Cina terhadap masyarakat diluarnya. Lauya- lauya menjadi pegangan pantang menolak apabila ada yang meminta pertolongan

SAYID HABIB HUSEIN ALKADRI (1706 – 1770 M)

Sejarah pengembangan agama Islam di Indonesia sejak abad ke-12 dikembangkan oleh para pedagang Islam yang berasal dari negeri Arab dan sekitarnya melalui India ke Asia Tenggara, yaitu dari Aceh, Sumatera, Malaya dan terus ke pantai utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sebagian besar dari etnis Arab yang banyak beremigrasi ke Indonesia berasal dari daerah Arab Selatan. Mereka pada umumnya adalah para santri yang mempelajari agama Islam dan mengembangkannya ke daerah timur sambil berdagang. Demikian pula dengan Habib Husein Alkadri, seorang santri dari negeri Arab yang gigih dalam mengembangkan ajaran agama Islam di negeri timur, sampai akhirnya ia dikenal sebagai seorang ulama besar dan pernah menjadi mufti peradilan agama Islam di kerajaan Matan Kalimantan Barat.

Masa Kecil Habib Husein Alkadri

Menurut Ansar Rahman dalam bukunya Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak, Habib Husein Alkadri lahir di sebuah kota kecil Trim, Hadramaut, di daerah bagian selatan Jazirah Arab yang kini menjadi bagian dari Yaman Selatan.[1] Daerah Hadramaut,[2] tempat kelahiran Habib Husein Alkadri letaknya di ujung selatan Jazirah Arab di teluk Aden yang merupakan jalur pelayaran internasional sehingga penduduknya gemar berdagang dan berlayar. Mengenai tanggal lahir Habib Husein Alkadri tidak ada catatan yang menyebutkannya. Namun kalau disimak bahwa ia meninggal dunia di Mempawah pada tanggal 3 Zulhijah 1184 H atau pada akhir tahun 1770 M dalam usia 64 tahun, maka dapat diperkirakan ia lahir sekitar tahun 1706 M. Dari catatan kesultanan Pontianak diceritakan bahwa Habib Husein Alkadri masih mempunyai hubungan silsilah keturunan dengan Nabi Muhammad SAW, walaupun dalam rentang urutan keturunan yang sudah jauh sekali dengan masa kelahiran Nabi Muhammad SAW. Catatan itu menyebutkan bahwa Habib Husein Alkadri adalah putera dari Habib Ahmad Alkadri, keturunan Jamalulail, keturunan Bachsan, keturunan Balwi dari bangsa Arab Quraisy, keturunan Ibnu Hasyim, keturunan Abdul Muthalib dari keturunan keluarga Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam mengenai kebenaran kisah keturunan ini.

Di negeri Trim, sejak kecil Habib Husein Alkadri dididik orang tuanya untuk mempelajari agama Islam sampai ia berumur 18 tahun. Ia kemudian melanjutkan memperdalam agama Islam di negeri Kulandi (Al Mukalla) selama 4 tahun dengan gurunya yang bernama Syeikh Muhammad bin Hamid. Di samping mempelajari ilmu agama Islam, Habib Husein Alkadri juga sering ikut berlayar ke berbagai negeri seperti ke Kalikut di pantai barat India. Dari pengalamannya belajar dan berlayar ke berbagai negeri, Habib Husein Alkadri mempunyai niat untuk berlayar lebih jauh ke negeri timur dimana banyak terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Hasrat ini diperkukuh oleh tiga orang teman seperguruannya yaitu Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Bachsan dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Quraisy. Keempat pemuda santri ini sangat giat mempelajari agama Islam dan berkeinginan untuk mengembangkan agama Islam ke negeri timur. Dari para pedagang yang banyak berlayar ke negeri timur, mereka mengetahui bahwa di negeri timur daerahnya kaya dan subur, negerinya maju karena perdagangan dan diperintah oleh raja-raja Islam.

Niat Habib Husein Alkadri dan teman-temannya untuk mengembangkan agama Islam ke negeri timur disampaikan kepada guru dan orangtua mereka. Karena cita-cita yang luhur untuk menjadi mubaligh dan menjunjung tinggi ajaran agama Islam, maka sang guru menyetujui rencana mereka itu. Sang guru menganjurkan agar mereka mencari tempat bermukim dan mengajarkan agama di negeri timur yang subur tanahnya dimana tumbuh pohon-pohon yang menghijau. Itulah tempat yang terbaik untuk mengembangkan agama dan tempat kediaman anak cucu di kemudian hari.[3]

Habib Husein Alkadri ke Indonesia

Setelah mendapat restu dari guru dan orangtuanya, Habib Husein Alkadri dan tiga orang temannya pergi berlayar ke negeri timur. Mereka berlayar melintasi jalur pelayaran dan perdagangan yang biasa dilalui para pedagang Arab yang menuju ke negeri timur. Setelah hampir satu tahun berlayar, sampailah mereka di kerajaan Aceh di ujung utara pulau Sumatera. Mereka menetap di Aceh selama hampir satu tahun sambil berdagang dan mengajar agama Islam. Habib Husein Alkadri dan teman-temannya kemudian membuat kesepakatan bahwa hanya Sayid Abu Bakar Alaydruslah yang tetap berada di Aceh untuk mengajar agama Islam. Sedangkan Habib Husein Alkadri dan dua orang temannya lagi akan pergi meninggalkan Aceh untuk mengembangkan agama Islam di daerah lain.

Di Aceh Sayid Abu Bakar Alaydrus menjadi guru agama Islam sampai wafatnya. Ia sangat disenangi masyarakat Aceh karena ilmu agamanya yang baik sehingga ia diberi gelar Tuan Besar Aceh. Setelah meninggalkan Aceh, Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanannya ke kerajaan Siak dan mengabdikan dirinya mengajar agama Islam di Siak sampai ia meninggal. Sayid Umar pun terkenal sebagai ulama ulung sehingga ia diberi gelar Tuan Besar Siak. Sedangkan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Quraisy meneruskan perjalanannya ke kerajaan Trenggano, di pantai timur Malaka. Di Trenggano ia mengajar agama Islam dan mendapat gelar Datuk Marang, pemuka agama negeri Trenggano. Habib Husein Alkadri sendiri meneruskan perjalanannya ke negeri Matan di Kalimantan Barat. Namun sebelum ia pergi ke Matan, Habib Husein Alkadri singgah di Betawi selama tujuh bulan dan di Semarang selama dua tahun. Selama tinggal di Betawi dan Semarang, Habib Husein Alkadri mengajar agama Islam sambil berdagang. Di Semarang, Habib Husein Alkadri menetap bersama seorang ulama sekaligus pedagang dari negeri Arab yang bernama Syeikh Salam Hambal. Dari informasi yang diberikan Syeikh Salam Hambal, Habib Husein Alkadri mengetahui bahwa ada suatu negeri yang ramai, penuh hutan yang menghijau dan mayoritas penduduk negerinya telah memeluk agama Islam. Negeri tersebut bernama negeri Matan yang terletak di pantai barat Kalimantan.[4] Hubungan antara Semarang dan Matan telah berlangsung lama melalui perdagangan, kedudukan Matan sebagai daerah transito perdagangan bagi pedagang Semarang yang melakukan kegiatannya di bagian utara terutama Malaka. Faktor inilah yang mendorong berkembangnya Islamisasi di Matan.[5] Setelah mendengar cerita tentang negeri Matan dari Syeikh Salam Hambal, Habib Husein Alkadri berniat melanjutkan perjalanannya menuju negeri Matan di Kalimantan.

Habib Husein Alkadri menjadi Mufti di kerajaan Matan Pada tahun 1736 M, Habib Husein Alkadri bersama dengan Syeikh Salam Hambal berlayar dari Semarang menuju ke negeri Matan di Kalimantan Barat yang penduduknya sudah banyak memeluk agama Islam. Ketika datang di negeri Matan, Habib Husein Alkadri baru berumur sekitar 29 tahun. Setelah sampai di negeri Matan, Habib Husein Alkadri dan Syeikh Salam Hambal segera mengadakan tabligh dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk Matan. Berkat pengetahuan agamanya yang mendalam, Habib Husein Alkadri segera dikenal dan disenangi para muridnya di negeri Matan. Habib Husein Alkadri dikatakan sebagai seorang pendakwah yang aktif dan arif dalam bidang agama, seorang ahli fiqih dan tasawuf.[6]

Kedatangan dan aktifitas dakwah Habib Husein Alkadri di negeri Matan terdengar beritanya oleh Sultan Matan, Ma’aziddin. Karena aktifitasnya tersebut, Sultan Ma’aziddin kemudian mengangkat Habib Husein Alkadri sebagai salah seorang pemuka agama Islam dikalangan istana Kerajaan Matan. Masyarakat negeri Matan menerima dan menghormati Habib Husein Alkadri dalam mengajarkan agama Islam. Sebagai ungkapan kecintaannya kepada Habib Husein Alkadri, Sultan Ma’aziddin mengawinkan Habib Husein Alkadri dengan salah seorang puteri di lingkungan kerajaan Matan yang disebut Nyai Tua[7]. Menurut penulis Belanda, JJK Enthoven, Nyai Tua adalah seorang dayang-dayang cantik keturunan Dayak yang telah masuk Islam[8]. Pernikahan Habib Husein Alkadri dengan Nyai Tua melahirkan Syarif Abdurrahman Alkadri yang kelak mendirikan kesultanan Pontianak.

Sebelum kedatangan Habib Husein Alkadri di negeri Matan, penyiaran agama Islam di negeri itu sudah sangat pesat. Di negeri Matan sudah terdapat beberapa pemuka agama yang berasal dari negeri Arab, diantaranyaa ulama yang bernama Sayid Hasyim Yahya. Sayid Hasyim Yahya sudah cukup lama berada di Matan sebagai imam dan pemimpin peradilan agama di kerajaan Matan. Ia dikenal sebagai Tuan Janggut Merah karena janggutnya yang tebal dan panjang dicat dengan pacar merah. Sayid Hasyim Yahya sangat disegani dan kemanapun ia berjalan selalu membawa tongkat besi. Manakala ia melihat berbagai macam benda seperti patung, gambar manusia atau binatang yang dipajang di rumah atau di perahu, ia akan marah dan akan menghancurkannya karena benda-benda tersebut dianggap semacam gambar berhala yang dapat merusak keimanan dalam beragama. Demikian cara Sayid Hasyim Yahya dalam menegakkan agama dikalangan masyarakat negeri Matan.

Kedatangan Habib Husein Alkadri dan aktifitasnya dalam mengajar agama Islam di negeri Matan sudah diketahui Sayid Hasyim Yahya. Tercatat suatu kisah terjadi pertemuan antara Habib Husein Alkadri dengan Sayid Hasyim Yahya. Pada suatu ketika Sultan Ma’aziddin mengadakan perjamuan makan dan mengundang Habib Husein Alkadri, Sayid Hasyim Yahya dan Syeikh Salam Hambal. Selain mereka hadir pula para pangeran dan para menteri kerajaan Matan. Ketika sampai pada acara perjamuan makan, sebagai suatu adat di negeri Matan, maka dihantarkanlah terlebih dahulu tempat sirih sebelum makanan dihidangkan. Ketika tempat sirih itu diedarkan kehadapan Sayid Hasyim Yahya, ia memperhatikan satu kacip besi buatan Bali yang biasanya dipakai untuk membelah pinang. Kacip itu berukiran kepala ular pada gagangnya. Sayid Hasyim Yahya segera mengambil dan mematahkan kacip berukir kepala naga itu kemudian menumbuk-numbuk dengan tongkat besinya hingga hancur. Melihat tingkah laku Sayid Hasyim Yahya dalam perjamuan mulia itu, Sultan Ma’aziddin dan para menterinya menjadi merah mukanya dan menunduk karena merasa malu. Namun Sultan Ma’aziddin tidak kuasa menegur perbuatan Sayid Hasyim Yahya karena pada waktu itu Sayid Hasyim Yahya adalah hakim agama di negeri Matan. Sayid Hasyim Yahya membenarkan perbuatannya karena menganggap kacup berukir kepala naga adalah syirik.

Akibat perbuatan Sayid Hasyim Yahya yang menghancurkan kacip berukir kepala naga, suasana dalam perjamuan itu menjadi kurang menyenangkan bagi semua orang yang hadir. Dalam situasi demikian, Habib Husein Alkadri mengambil kacip berukir kepala naga yang sudah patah dan remuk itu. Oleh Habib Husein Alkadri, kacip yang sudah remuk itu disusunnya kembali, dipijit-pijit dan diusap dengan air liurnya sambil terus membaca doa. Semua yang hadir dalam perjamuan itu memperhatikan perbuatan Habib Husein Alkadri. Dengan rahmat dan kebesaran Allah, ternyata kacip berukir kepala naga itu pun kembali utuh sebagaimana asalnya. Semua yang hadir merasa heran dan takjub atas perbuatan yang dilakukan oleh Habib Husein Alkadri sehingga suasana menjadi tegang bercampur haru. Untuk mencairkan suasana, Sultan Ma’aziddin dengan penuh bijaksana kemudian mengajak para hadirin untuk bersama-sama menyantap makanan dan minuman yang dihidangkan.

Setelah acara perjamuan itu selesai, Sultan Ma’aziddin beserta para Pangeran dan Menteri kerajaan Matan mengadakan musyawarah tentang peristiwa yang terjadi dalam acara perjamuan antara Sayid Hasyim Yahya dan Habib Husein Alkadri. Banyak pihak berpendapat bahwa Sayid Hashim Yahya yang sudah lama menjadi pemuka agama serta terkenal gagah berani, tetapi selama ini banyak melakukan pengrusakan terhadap barang-barang yang dianggapnya tidak baik. Pengrusakan itu sering dilakukan tanpa musyawarah sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat negeri Matan. Sebaliknya Habib Husein Alkadri yang masih muda dan belum lama berada di Matan namun kebijakan dan ilmunya telah menarik simpati masyarakat negeri Matan. Sultan Ma’aziddin dan para menterinya memberikan simpati terhadap ilmu dan kebijakan yang dimiliki Habib Husein Alkadri. Oleh karena itu Habib Husein Alkadri pun kemudian diterima sebagai salah seorang pemuka agama Islam dikalangan istana kerajaan Matan. Habib Husein Alkadri menerima kepercayaan Sultan Ma’aziddin dengan penuh rasa syukur. Hatinya semakin mantap untuk menetap di negeri Matan untuk mengembangkan ajaran dan syariat Nabi Muhammad SAW sebagaimana niat dan tujuan awalnya berangkat meninggalkan negeri asalnya. Habib Husein Alkadri kemudian diangkat sebagai Mufti peradilan hukum agama Islam di kerajaan Matan menggantikan Sayid Hasyim Yahya.

Dalam waktu yang tidak lama, kemasyhuran Habib Husein Alkadri sebagai ulama agama Islam dan Mufti kerajaan Matan telah tersebar ke daerah Sukadana, Simpang, Mempawah dan Sambas. Setelah Habib Husein Alkadri menetap sekitar tiga tahun di negeri Matan, kemudian datanglah kepadanya Pangeran Tua, seorang utusan raja Mempawah Opu Daeng Menambun yang berkedudukan di Sebukit Rama. Utusan itu menyampaikan pesan raja Mempawah kepada Habib Husein Alkadri yang berisi ajakan raja Mempawah kepada Habib Husein Alkadri agar ia bersedia pindah ke Mempawah untuk mengajarkan agama Islam di kerajaan Mempawah. Namun Habib Husein Alkadri tidak dapat memenuhi permintaan Opu Daeng Menambun karena ia baru bermukim dan merasa senang tinggal di kerajaan Matan.

Opu Daeng Menambun sendiri adalah menantu dari Sultan Muhammad Zainuddin penguasa kerajaan Matan sebelum Sultan Ma’aziddin. Pada waktu terjadi perang perselisihan di kerajaan Matan antara Sultan Zainuddin dengan saudara tirinya yang bernama Panembahan Agung, Opu Daeng Menambun bersama empat saudaranya asal Bugis membantu Sultan Zainuddin. Sebagai balasan atas jasanya, Sultan Zainuddin kemudian menikahkan salah seorang putrinya yang bernama Putri Kesumba dengan Opu Daeng Menambun. Selanjutnya Opu Daeng Menambun diangkat menjadi penguasa di Mempawah. Sedangkan pengganti Sultan Zainuddin di kerajaan Matan adalah Sultan Ma’aziddin.[9]

Pernikahan Habib Husein Alkadri

Dalam sejarahnya, Habib Husein Alkadri mempunyai tiga orang istri dan sepuluh orang anak. Ketiga orang istrinya itu biasa disebut Nyai Tua, Nyai Tengah dan Nyai Bungsu. Dari perkawinannya dengan Nyai Tua, Habib Husein Alkadri mempunyai dua orang putera dan dua orang puteri. Yang tertua Syarifah Khadijah, kedua Syarif Abdurrahman, ketiga Syarifah Mariyah dan keempat Syarif Alwie yang disebut juga Tuan Bujang. Di kemudian hari Habib Husein Alkadri menikah lagi untuk yang kedua dengan seorang puteri dari Matan yang disebut Nyai Tengah. Dari istri keduanya, ia memperoleh keturunan dua orang putera dan seorang puteri, yaitu Syarifah Aisyah, Syarif Abu Bakar dan Syarif Muhammad. Sedangkan dari istri ketiganya yang biasa disebut Nyai Bungsu, Habib Husein Alkadri memperoleh keturunan seorang putera dan dua orang puteri. Anak yang lahir dari istri ketiganya adalah Syarif Ahmad, Syarifah Marjanah dan Syarifah Noor.

Menurut salah satu tulisan kerabat keraton Pontianak disebutkan bahwa ketiga istri Habib Husein Alkadri itu tidak pernah dimadu, melainkan baru menikah kembali setelah istri pertama dan kedua meninggal dunia. Tetapi dalam tulisan Pangeran Bendahara Syarif Ahmad Alkadri yang ditulis sebagai laporannya kepada Residen Willer pada tahun 1852 M tidak menyebutkan demikian. Menurut Syarif Ahmad ”Syahdan, maka tidak berapa lama antara Nyai Tengah itu, maka kawin pula Habib Husein Alkadri itu seorang lagi. Maka digelarlah oleh orang akan dianya bernama Nyai Bungsu”. Fakta sejarah yang lain juga menyebutkan bahwa Nyai Tua sebagai istri pertama dari Habib Husein Alkadri meninggal dan dimakamkan di Mempawah.[10]

Habib Husein Pindah Ke Mempawah

Setelah bermukim di negeri Matan selama puluhan tahun, pada tahun 1755 Masehi Habib Husein Alkadri beserta seluruh keluarganya pindah ke Mempawah. Adapun sebab-sebab kepindahan Habib Husein Alkadri dari Matan ke Mempawah dilatari oleh adanya perbedaan pendapat antara dirinya dengan Sultan Ma’aziddin dalam memutuskan suatu perkara yang terjadi di negeri Matan. Diceritakan bahwa Habib Husein Alkadri sebagai Mufti peradilan agama negeri Matan sedang menangani sebuah perkara yaitu dalam kasus nahkoda kapal yang bernama Ahmad. Nahkoda Ahmad yang berasal dari Riau ini sedang berlabuh dan berdagang di negeri Matan. Selama tinggal di negeri Matan, nahkoda Ahmad pernah berbuat kesalahan yang tidak patut dan sangat melanggar hukum Islam yaitu mengganggu seorang wanita kerabat keraton. Sultan Ma’aziddin yang mendengar berita peristiwa ini menjadi sangat marah dan berniat membunuh nahkoda Ahmad.

Sultan Ma’aziddin menyerahkan perkara nahkoda Ahmad kepada Habib Husein Alkadri agar menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukannya itu. Setelah Habib Husein Alkadri menyelidiki perbuatan nahkoda Ahmad dan mempertimbangkannya dengan hukum Islam, Habib Husein Alkadri memutuskan membebaskan nahkoda Ahmad dari hukuman mati. Sebagai hukumannya, Habib Husein Alkadri mewajibkan nahkoda Ahmad untuk bertobat dan menyampaikan permohonan ampun kepada Sultan Ma’aziddin dan membayar sejumlah uang kepada kerajaan Matan.

Nahkoda Ahmad kemudian menghadap Sultan Ma’aziddin guna memohon maaf dan ampun, berjanji akan bertobat dan tidak akan melakukan perbuatan tercela. Ia pun memohon izin untuk kembali ke negerinya di Siantan daerah Riau. Selanjutnya Sultan Ma’aziddin menerima permohonan ampun tersebut dan memerintahkan pula dua buah perahu untuk mengantar perahu nahkoda Ahmad sampai di kuala. Namun ketika sampai di kuala, para pengawal kerajaan Matan yang mengawal nahkoda Ahmad menyerang dan membunuh nahkoda Ahmad beserta seluruh anak buahnya. Selain melakukan penyerangan dan pembunuhan, para pengawal kerajaan Matan juga merampas segala barang dagangan dan perlengkapan milik oleh nahkoda Ahmad. Konon peristiwa penyerangan dan pembunuhan nahkoda Ahmad ini dilakukan atas perintah dari Sultan Ma’aziddin yang masih menyimpan dendam dan amarah atas perbuatan nahkoda Ahmad

Mendengar berita pembunuhan terhadap nahkoda Ahmad, Habib Husein Alkadri bersedih hati karena Sultan Ma’aziddin tidak setia terhadap keputusan yang diberikannya. Ia pun tidak setuju terhadap perbuatan Sultan Ma’aziddin yang tidak berterus terang terhadap dendam hatinya. Peristiwa itu sangat melukai perasaan dan pikiran Habib Husein Alkadri. Peristiwa ini telah mengubah pikiran Habib Husein Alkadri untuk berpindah kediaman dari negeri Matan dan mencari tempat kediaman yang lebih baik bagi anak cucunya.

Habib Husein Alkadri kemudian mengirim surat kepada Opu Daeng Menambun di Mempawah, menyampaikan niatnya untuk berpindah diri dan keluarganya ke negeri Mempawah. Dalam suratnya, Habib Husein Alkadri juga memohon kepada Opu Daeng Menambun supaya dibuatkan sebuah rumah dan langgar (Mushalla) untuk diri dan keluarganya yang letaknya di pinggir kuala sungai Mempawah. Setelah rumah dan langgar selesai dibangun, Opu Daeng Menambun menjemput Habib Husein Alkadri di negeri Matan dengan dua buah perahu besar. Rombongan penjemput itu dipimpin oleh putera kedua Opu Daeng Menambun yang bernama Gusti Haji Jaladri yang bergelar Pangeran Sompak.

Sultan Ma’aziddin pun merestui keinginan Habib Husein Alkadri untuk pindah ke negeri Mempawah, karena Opu Daeng Menambun adalah juga menantu Sultan Matan. Keberangkatan Habib Husein Alkadri beserta seluruh keluarganya dilepas dengan penuh kebesaran oleh kerajaan Matan. Tiga buah perahu besar dari kerajaan Matan melengkapi dua perahu penjemput dari kerajaan Mempawah, mengantar rombongan Habib Husein Alkadri menuju Mempawah. Habib Husein Alkadri pindah ke negeri Mempawah setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di negeri Matan.

Habib Husein Alkadri menetap di daerah pemukiman baru yang disediakan oleh Opu Daeng Menambun di sekitar tepian Kuala Mempawah. Daerah pemukiman Habib Husein Alkadri itu dinamakan Galah Herang karena ditempat itu orang-orang jika menambatkan perahu memakai galah bambu. Di sana ia mengajarkan agama Islam sehingga pemukiman Galah Herang menjadi semakin ramai. Banyak penduduk yang mendirikan rumah dan tempat berdagang disekitarnya. Banyak pula pedagang berdatangan dari daerah Sambas, Tambelan dan Riau. Demikian pula para pedagang yang datang ke Galah Herang dari pedalaman sungai Kapuas seperti Tayan, Sanggau, Sekadau, Simpang, Sukadana, Matan dan Palembang. Pemukiman baru Galah Herang telah berkembang menjadi daerah perdagangan baru di negeri Mempawah.

Raja Mempawah Opu Daeng Menambun kemudian mengangkat Habib Husein Alkadri sebagai pemuka agama Islam. Opu Daeng Menambun menikahkan anaknya yaitu Puteri Candra Midi dengan anak Habib Husein Alkadri yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadri. Setelah Opu Daeng Menambun meninggal dunia, Habib Husein Alkadri diangkat sebagai Tuan Besar kerajaan Mempawah karena Pangeran Adi Jaya sebagai calon pengganti raja pengganti Opu Daeng Menambun masih belum dewasa. Habib Husein Alkadri kemudian membawa putera Mahkota Gusti Jamiril Pangeran Adijaya Kesuma ke Galah Herang. Ketika Pangeran Adijaya Kesuma menjadi panembahan kerajaan Mempawah (1761-1787 M), pusat kekuasaan Mempawah telah berada di Galah Herang.[11]

Keturunan Habib Husein Alkadri Pendiri Kesultanan Pontianak

Salah seorang anak keturunan Habib Husein Alkadri dari istri pertamanya, Nyai Tua, yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadri mendirikan sebuah kesultanan di Pontianak. Diceritakan bahwa pada tahun 1771, Syarif Abdurrahman Alkadri beserta keluarga dan pengikutnya meninggalkan negeri Mempawah untuk mencari lahan yang akan digunakan sebagai daerah pemukiman. Selanjutnya Syarif Abdurrahman Alkadri menemukan tempat yang dianggapnya cocok untuk bermukim diri, keluarga dan pengikutnya di tepian persimpangan antara sungai Kapuas dan sungai Landak. Setelah Syarif Abdurrahman Alkadri mendirikan kesultanan Pontianak, ia dan raja-raja keturunannya giat mengembangkan agama Islam. Diantaranya dengan mendirikan Mesjid Jami’ Pontianak sebagai pusat dakwah agama Islam yang letaknya didekat istana kesultanan Pontianak.[12]

Selain mengembangkan ajaran agama Islam di Kalimantan Barat, keturunan Habib Husein Alkadri juga turut berjasa dalam mengembangkan ajaran agama Islam di pulau Bali. Dalam catatan sejarah masuknya Islam di Bali, khususnya di kabupaten Jembrana dan dikalangan umat muslim di Loloan nama Syarif Abdullah Alkadri sangat dikenal. Syarif Abdullah Alkadri adalah seorang pelarian yang berasal dari kesultanan Pontianak. Ia melarikan diri dari kejaran VOC Belanda karena ia tidak menyetujui dan menentang traktat perjanjian antara kesultanan Pontianak dengan VOC Belanda pada tahun 1779 M. Pada akhirnya, ia dan pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Melayu dan Bugis mengungsi ke daerah Loloan (Bali). Di daerah tersebut Syarif Abdullah Alkadri kemudian mengembangkan ajaran agama Islam. Namun dalam catatan sejarah berdirinya kesultanan Pontianak, nama Syarif Abdullah Alkadri tidak ditemukan.[13]

Habib Husein Alkadri Wafat

Setelah menjadi seorang pemuka agama Islam dan Tuan Besar di Mempawah, Habib Husein Alkadri wafat pada hari Rabu tanggal 3 Zulhijah tahun 1184 H (1770 M) dalam usia 64 tahun. Ia dimakamkan di Kampung Sejegi di pedalaman Mempawah, tidak jauh dari Galah Herang. Kampung Sejegi sebagai tempat pemakaman Habib Husein Alkadri dikenal sebagai daerah suci makam Tuan Besar Mempawah yang dihormati. Sedangkan pemukiman Galah Herang yang didirikan oleh Habib Husein Alkadri kini telah menjadi kota Mempawah.[14]

Jasa-jasa Habib Husein Alkadri dalam mengembangkan ajaran agama Islam begitu banyak. Ia antara lain pernah menjadi seorang ulama sekaligus Mufti peradilan agama Islam di negeri Matan Kalimantan Barat. Selama berada di negeri Matan, ia aktif berdakwah kepada penduduk negeri Matan dari berbagai macam golongan, mulai dari rakyat biasa, petani, pedagang sampai kalangan istana kerajaan Matan. Demikian juga sewaktu pindah ke negeri Mempawah, ia tetap melanjutkan aktifitas dakwahnya. Ia bahkan diangkat sebagai pemuka agama Islam oleh raja Mempawah Opu Daeng Menambun. Setelah Habib Husein Alkadri wafat di Mempawah, melalui keturunannya yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadri yang mendirikan kesultanan Pontianak, aktifitas dakwah mengembangkan ajaran agama Islam terus dilanjutkan sehingga ajaran Islam menyebarluas di wilayah Kalimantan Barat.

Sumber :

Ansar Rahman, Drs dkk., 2000. Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika.

HSP, Bambang dkk., 2004. Sejarah Pemerintahan Kota Pontianak Dari Masa Ke Masa. Pontianak: Romeo Grafika.

Enthoven, I.I.K., Tanpa Tahun. Bijdragen tot de Geographie van Borneos Wester Afdeeling: Jilid II.

Hermansyah, dkk., 2007. Sejarah Islam di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Nurcahyani, Dra. Lisyawati., 1992. Pendataan Peninggalan Sejarah Keraton Kadriah Pontianak. Pontianak: BKSNT.



[1] Pada saat Yaman Selatan berada dibawah kekuasaan Inggris pada abad ke-18, banyak penduduknya yang merantau ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.

[2] Hadramaut = tanah terik matahari.

[3] Ansar Rahman, dkk., Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak, (Pontianak: Romeo Grafika, 2000), hlm. 13-15.

[4] Ibid., hlm. 16-20.

[5] Bambang HSP, dkk., Sejarah Pemerintahan Kota Pontianak Dari Masa ke Masa (Pontianak: Romeo Grafika, 2004), hlm. 11.

[6] Hermansyah., Sejarah Masuknya Islam Ke Kalimantan Barat: Sebuah Tinjauan Umum., dalam buku Sejarah Islam di Kalimantan Barat (Pontianak: STAIN Pontianak Press), hlm. 5.

[7] Pada umumnya orang Hadramaut datang ke Indonesia tanpa wanita. Mereka menikah dengan wanita-wanita setempat (Alwi Shahab: Melacak imigran Hadramaut, Media Indonesia 16 Januari 2000, hlm.7).

[8] I.I.K. Enthoven., Bijdragen tot de geographie Van Borneo’s Wester Afdeeling, jilid II.

[9] Ansar Rahman, Op. Cit. hlm. 21-24.

[10] Ibid., hlm. 13-15.

[11] Ibid., hlm 25-32.

[12] Dra. Lisyawati Nurcahyani., Pendataan Peninggalan Sejarah Keraton Kadriah Pontianak (Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional), hlm. 15.

[13] Akhyar Rusdi., Kontroversi Sejarah Berdirinya Kesultanan Pontianak, dalam buku Sejarah Islam di Kalimantan Barat (Pontianak: STAIN Pontianak Press), hlm. 104-105.

[14] Ansar RahmanOp. Cit., hlm. 34.

JUDUL : SEJARAH TERBENTUKNYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibukota wilayah administratif Gouvernement Borneo berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu diantaranya adalah Residentie Waterafdeling Van Borneo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen. Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan, dan beribukotakan Pontianak. Dahulunya wilayah Kalimantan Barat pada saat Indonesia baru merdeka merupakan bagian dari wilayah Provinsi Borneo. Kemudian pada zaman Republik Indonesia Serikat (RIS), Kalimantan Barat merupakan salah satu negara bagian RIS berstatus Daerah Istimewa dengan nama resmi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Setelah RIS berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DIKB dikembalikan statusnya menjadi bagian dari wilayah Provinsi Borneo. Pada tahun 1953, Provinsi Borneo diubah namanya menjadi Provinsi Kalimantan. Selanjutnya pada tanggal 7 Desember 1956, pemerintah mengesahkan UU No. 25/1956, yang berisi pemekaran Provinsi Kalimantan menjadi tiga provinsi, yakni Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Timur. Undang-undang tersebut berlaku mulai tanggal 1 Januari 1957. Walaupun Provinsi Kalimantan Barat sudah terbentuk pada tanggal 1 Januari 1957, namun pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat baru benar-benar terbentuk pada tanggal 28 Januari 1957, sehingga ulang tahun Provinsi Kalimantan Barat diperingati setiap tanggal 28 Januari. Peringatan ulang tahun Provinsi Kalimantan Barat yang diadakan setiap tanggal 28 Januari ini dilakukan sejak tahun 2002. Sejak terbentuk menjadi sebuah provinsi tersendiri, Kalimantan Barat telah dipimpin oleh sembilan orang gubernur, antara lain :

1. Adji Pangeran Aflus (1957)

2. Djenal Asikin Judadibrata (1958-1959)

3. J.C. Oevang Oeray (1960-1966)

4. Kol. (Purn) Soemadi, Bc. Hk. (1967-1972)

5. Kol. (Purn) Kadarusno (1972-1977)

6. Mayjend. (Purn) Soedjiman (1977-1987)

7. Brigjend. (Purn) Parjoko Suryokusumo (1987-1993)

8. Mayjend. (Purn) H. Aspar Aswin (1993-2003)

9. H. Usman Ja’far (2003-2008)

10. Drs. Cornelis MH (2008-2013)

Pada lambang daerah Provinsi Kalimantan Barat, terdapat tulisan dengan huruf besar, yaitu “AKCAYA” yang artinya tak kunjung binasa atau dengan keuletan pantang menyerah. Tulisan akcaya tersebut tertera pada kerangka dasar putih dengan tiga lipatan. Hal itu mempunyai arti tiga kerangka Revolusi Nasional Indonesia, yaitu :

1. membentuk negara kesatuan Republik Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke;

2. menuju masyarakat adil dan makmur material dan spiritual;

3. mempererat hubungan dengan semua bangsa dan negara di seluruh dunia.

Gambar lain yang tertulis pada lambang daerah tersebut adalah perisai bersudut enam, mandau dan keris yang mempunyai arti budaya dan kepahlawanan. Garis melintang di tengah merupakan lambang khatulistiwa. Kobaran api dalam tungku memiliki semangat perjuangan yang tak kunjung padam. Padi kapas terikat pita, sebagai lambang kemakmuran yang dijiwai semangat caturkarsa, yakni kesungguhan, kejujuran, gotong royong dan kekeluargaan. Secara geografis, Provinsi Kalimantan Barat terletak di antara 108º BT hingga 114º BT, dan antara 2º6' LU hingga 3º5' LS. Luas wilayahnya 146.807 km² (7,53% luas Indonesia). Kalimantan Barat merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur dan KalimantanTengah. Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki propinsi "Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar, seperti sungai Kapuas dan sungai Landak, sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalbar merupakan perairan laut, akan tetapi Kalbar memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Riau. Jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Barat menurut sensus tahun 2000 berjumlah 4.073.430 jiwa (1,85% penduduk Indonesia). Sebagian besar penduduknya adalah orang Dayak dan Melayu. Mereka merupakan penduduk asli daerah Provinsi Kalimantan Barat. Pada umumnya orang Dayak tinggal di daerah pedalaman, sedangkan orang Melayu mendiami daerah pinggiran sungai dan pantai. Selain itu, juga ada penduduk pendatang seperti Madura, Jawa, Bugis, Arab dan Cina. Dewasa ini daerah pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat sejak diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terbagi menjadi 12 kabupaten dan 2 kotamadya. Daerah-daerah tersebut antara lain :

1. Kabupaten Sambas;

2. Kabupaten Pontianak;

3. Kabupaten Ketapang;

4. Kabupaten Kubu Raya;

5. Kabupaten Kayong Utara;

6. Kabupaten Sintang;

7. Kabupaten Bengkayang;

8. Kabupaten Sekadau;

9. Kabupaten Melawi;

10. Kabupaten Sanggau;

11. Kabupaten Kapuas Hulu;

12. Kabupaten Landak;

13. Kotamadya Pontianak;

14. Kotamadya Singkawang.

Nama Pengarang : M.Natsir,S.Sos Dkk

Judul Karangan : Budaya Dayak

Tahun Penerbitan : Tahun 2005

I. Aktualisasi Dan Budaya Masyarakat Dayak

A. Rumah Tangga Masyarakat Manjau

Rumah tangga 59 buah dengan jumlah 54 kepala keluarga. Keluarga yang turun temurun dari anggota keluarga generasi lebih tua secara bilateral.

B. Sistem Ekonomi Masyarakat

Pekerjaan utama adalah pertanian, dan perkebunan hasilnya dikosumsi sendiri maupun dijual dipasaran.

C. Sistem Berladang

Padi ditanam pada bulan Oktober dengan tiga jenis padi, padi empat bulan dan padi ketan empat bulan. Pengerjaannya dengan system gotong royong

D. Tradisi Adat

Tradisi yang dianut dengan system adat yang sangat kuat, segala persoalan diselesaikan menurut hukum adat yang diatur oleh ketua adat pada suatu tempat yang disebut dengan gedung pertemuan adat.

Nama Pengarang : Dra. Anita

Nama Upacara : Kajian Nilai budaya Naskah Lama Dalam Cerita Alif Lailah Walillah Wabilah Nastainu Bilalahi’ Alai Dalam Hikayat Alfalillah Walillah (Hikayat Seribu Satu Malam)

Tahun Terbit : 2003

I. Naskah

Adapun Naskah yang menjadi sumber kajian ini telah diterjemahkan tahun 1991 oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak Hikayat seribu satu mini ditulis dengan tinta hitam, kertasnya menggunakan kertas HVS (buram) dan naskah tersebut berwarna coklat, bahasa Melayu dengan tulisan huruf Arab, atau tulisan Arab gundul, ukuran naskah 31,5 x 15.5 cm dengan tebal naskah 500 halaman. Tiap halaman rata-rata terdiri dari 14 baris. Naskah lama Alaflillah Walillah ini terdiri 15 judul cerita.

  1. Hikayat Alif Lailah Walaillah Wabillah Nastainu Alla
  2. Seekor Keledai Dengan Seekor Lembu
  3. Dari Hal Seorang Saudagar Dengan Seorang Jin
  4. Dari Hal Seorang Pengail Dengan Seorang Jin
  5. Raja Sakit Dengan Seorang Tabib
  6. Dari Hal Seorang Laki-laki dan Seekor Burung Nuri
  7. Dari Hal Seorang Perdana Menteri Yang Telah Dihukum
  8. Dari Hal Anak Raja Yang Di Pulau Hitam
  9. Dari Hal Tiga Orang Perempuan Siti Bagdad
  10. Dari Hal Seorang Yang Hassad Hatinya Dengan Seorang Sahabat Yang Dengkinya
  11. Cerita Ketika Siti Bagdad
  12. Cerita Siti Aminah
  13. Cerita dari Hal Tiga Biji Empelam
  14. dari Hal Seorang Perempuan Yang Telah Dibunuh Dengan Orang Muda Suaminya
  15. Cerita Nuruddin Ali Dan Badaruddin Hasan.

II. Kajian Isi Naskah

a. Nilai Keagamaan/Ketuhanan

b. Nilai Keimanan

c. Nilai Kasih Sayang/Kesetiakawanan

d. Nilai Rendah hati

e. Nilai Kepemimpinan

f. Nilai Tabah dan Sabar

g. Nilai Budi Pekerti Yang Luhur

h. Nilai Musyawarah

i. Nilai Keberanian

j. Nilai Keadilan

III. Penutup

Dari semua nilai-nilai tersebut di atas ada segi positifnya dan patut untuk kita jadikan suri tauladan bagi pembacaannya dalam mengantisipasi pengaruh globalisasi yang berdampak nengatif terutama ditekankan untuk pribadi, kalangan keluarga dan lingkungan masyarakat luas.