Rabu, 27 Januari 2010

Upacara Adat Suku Melayu Mempawah

UPACARA ADAT SUKU MELAYU
KABUPATEN PONTIANAK

I. 3.1 Nama Dan Latar Belakang Upacara
3.1.1 Upacara setelah melahirkan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beruntung karena memiliki sejumlah khasanah lama dalam jumlah yang banyak, baik khasanah yang telah dikodifikasikan maupun yang masih terekam hanya di dalam ingatan penutur atau tokoh adat. Dalam literasi sastra kepemilikan atas khasanah lama tersebut dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu kelompok sastra lama yang tersimpan dalam bentuk tulisan atau naskah dan yang tersimpan dalam bentuk lisan (Ikram,1983:6-9)
Sastra lisan serupa fenomena sosial yang tidak saja hidup ditengah masyarakat yang terpelajar (Finnegan,1977:3). Ia ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Penyebarannya tidak terbatas oleh batasan geografis bahkan sering kali ia berkembang ditempat jauh dari komunitas awalnya, ditempat-tempat yang secara geografis berjauhan dan di lingkungan kebudayaan yang relatif berbeda.
Sastra lisan dan sebagian dari sebuah upacara adat merupakan salah satu warisan yang tidak ternilai , hal ini menunjukan betapa arif dan bijaksananya peninggalan khasanah bangsa yang masih dijalankan sebagain masyarakat pendukungnya. Tujuan diselenggarakan upacara adat yang ada di dalam masyarakat keturunan di Kabupaten Pontianak. Memohon keselamatan ahli keluarga keturunan. Berkaitan dengan hal tersebut bagi masyarakat yang masih menganggap keturunan suku Bugis dan sangat erat dengan kehidupan adat istiadat keraton Mempawah bahwa adat –istiadat masih banyak yang melakukan adat seperti adat empat puluh hari, adat buang-buang, tepung tawar dan lain sebagainya. Di selenggarakan adat ini sangat erat kaitanya dengan sebuah pertautan hubungan antara penghuni kehidupan di alam nyata dengan penghuni kehidupan di alam gaib.
Anggapan ini menumbuhkan pemahaman dan kenyakinan bahwa antara ke dua alam kehidupan tersebut sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.Melalui tata cara tertentu yang merupakan media untuk menjalin komunikasi di antara dua dimensi kehidupan, maka segala proses yang terjadi di dalam kehidupan, baik kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan anak, perkawinan, kematian dan lain-lainnya dikomunikasikan atau disampaikan ke mereka secara timbal balik.
Bila di lihat dari sisi ini, maka tidaklah terlalu mengherankan, bilamana keturunan Bugis, apalagi yang masih berhubungan langsung dengan keraton Amantubillah ini mempercayai, bahwa pelaksanaan adat-istiadat yang mereka budayakan merupakan refleksi dari kewajiban yang telah dilaksanakan oleh nenek moyang mereka di waktu dulu. Kewajiban untuk dapat menjalankan amanat agar tetap menjaga ko-eksestensi diantara ke dua alam kehidupan merupakan tugas yang harus dapat dilaksanakan hingga ke generasi berikutnya (Thomson, 1977:5)
Ke semuanya itu ditransmisikan hanya secara lisan, seirama dengan gerak mobilitas komunikasi keturunan mereka, dengan maksud agar prosesi budaya yang menjadi refleksi dari hikayat buaya kuning tersebut dapat tetap terpelihara. Sungguhpun tidak tertulis, namun pemeliharaan budaya ini masih cukup efektif terekam di dalam ingatan sebagaian besar anggota keluarga mereka.
Salah satu yang terpenting yang harus di telah secara bijaksana adalah hikayat Buaya Kuning juga mengungkapkan bahwa keraton Amantubillah memiliki 2 golongan ahli waris, yaitu golongan manusia dan golongan mahluk ghaib yang berwujud buaya berwarna kuning. Sebab, ke dua golongan ini merupakan keturunan langsung dari Penembahan Kodung atau Panembahan tidak berpusat yang pernah bertahta di negeri Mempawah di desa Pinang Sekayu dan menurunkan Raja-raja Mempawah di kemudian hari. Oleh sebagaian besar keturunan Keraton Amantubillah, bahwa Raja Kodung bahkan dipercaya merupakan seorang raja yang memiliki kesaktian yang dapat menjangkau kehidupan di alam ghaib.
Di samping itu hikayat Buaya Kuning yang legendaris tersebut tidak pula dapat dikatakan sebagai suatu rekayasa budaya untuk mendapat legetemasi atas kekuatan supra natural atau pembenaran atas pelaksanan Adat istiadat Buang-buang yang menyertai setiap prosesi kehidupan keturunan keraton Amantubillah. Di ceritakan, bahwa Raja Kodung pernah beristerikan seorang putri jelita yang berasal dari alam gaib dan memiliki keturunan dari perkawinannya itu dalam wujud buaya yang berwarna kuning.
Dalam hikayat yang masih membumi tersebut, dijelaskan, bahwa sewaktu Raja Kodung sedang asik menjala ikan di sungai dekat keraton, tersangkutlah jalanya oleh sesuatu benda yang berada di dalam kedalaman air sungai. Sudah diperintahkannya para pengawal untuk menyelam dan melepaskan jala yang tersangkut tersebut, namun tidak satupun dari pengawalnya berhasil melepaskannya. Akhirnya dengan penuh kekeranan terjun dan menyelamlah sang Raja ke dalam sungai untuk melepaskan jalanya tersebut. Akan tetapi ternyata ia tenggelam dan tersendat ke alam ghaib. Panembahan Kodung tersesat ke sebuah negeri yang sangat asing bagi dirinya. Di negeri yang penduduknya kebanyakan adalah kaum wanita tersebut. Panembahan Kodung dinikahkan dengan putri penguasa negeri dan bermukim untuk beberapa lama di negeri itu hingga mempunyai beberapa orang anak. Setelah beberapa masa, timbulah kerinduan sang Raja kepada kerajaannya di Pinang Sekayu,.
Setelah berbicara dari hati ke hati, dan dengan keijinan isterinya berangkatlah Panembahan Kodung kembali ke negeri Mempawah Tua. Ketika mereka akan berpisah, berpesanlah sang isteri kepada Raja Kodung, bahwa bilamana kelak muncul di permukaan sungai Mempawah buaya-buaya yang berwarna kuning, hendaklah keturunan Raja Kodung tidak menganggunya, sebab sesungguhnya buaya-buaya kuning tersebut adalah keturunan dari perkawinan Raja Kodung dengan dirinya.
Sejak saat itu, setelah Panembahan Kodung kembali ketahtanya, keluarlah perintahnya yang masih berpengaruh sampai saat ini, yaitu bahwa seluruh keturunannya tidak dibolehkan untuk menganggu semua buaya kuning yang terdapat atau muncul di permukaan air sungai Mempawah. Bahkan, seluruh peristiwa penting yang terjadi didalam kehidupan keluarga keturunannya di darat harus diberitahukan kepada keturunannya yang berada di alam ghaib, melalui pelaksanaan Adat Buang-buang.

3.2 Waktu dan Tempat Penyelenggaraan
Dalam penentuan waktu upacara yang dilakukan melalui kesepakatan bersama keluarga besar karena waktu tertentu dihitung menurut penanggalan kepercayan masyarakat dalam menentukan acara tertentu. Pada penyelenggaraan upacara adat empat puluh hari setelah melahirkan dibuat secara bersamaan karena sangat erat berkaitan antara satu prose kegiatan dengan kegiatan yang lainnya. Untuk proses upacara adat dibagi dengan beberapa tahap
Pada hari pertama pagi hari pemasangan Bendera atau simbol tertentu dimulai jam 08.00 wib dipasang didepan rumah sampai sesudah kegiatan acara selesai, kedua acara Buang-buang pada jam 10.00 wib di sungai yang airnya mengalir ke muara laut, ketiga acara Tepung tawar, keempat Naik Ayun, kelima Gunting rambut, dan keenam Pembacaan doa rasul. Di laksanakan dirumah yang mempunyai hajatan tersebut

3.3 Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Berkenaan dengan prosesi Adat Buang-buang, bagi keluarga keturunan Keraton Amantubillah maupun yang bukan keturunan keraton merupakan suatu rangkaian kegiatan yang berhubungan erat dengan keberadaan saudara-saudaranya di alam gaib. Prosesi dilakukan untuk mengawali pelaksanaan kegiatan adat yang dibudayakan oleh keluarga keraton Amantubillah, seperti adat kelahiran, adat khitanan, adat perkawinan, dan kegiatan adat yang lain. Prosesi berfungsi sebagai wahana komunikasi antara anggota keluarga Panembahan Kodung yang tinggal di alam nyata dan yang tinggal di alam ghaib.



Perlengkapan prosesi ini terdiri dari antara lain :
1. Sebutir telur ayam kampung yang masih mentah,(umumnya ayam yang berwarna hitam disebut ayam selase)
2. Sebutir buah pinang yang sudah masak menguning,
3. Lima lembar daun sirih bertemu urat,
4. Sirih Rekok (kapur,gambir,pinang)
5. Rokok daun
6. Sebotol minyak bau disebut minyak Bugis
7. Sebatang lilin kuning (lilin wanyi),
8. Setumpuk berteh (terbuat dari padi yang digongseng)
9. Beras kuning,
10. Sebentuk cicin yang diikat dengan benang kuning
11. Sebuah piring mangkok berwarna putih polos.

Ke semua alat perlengkapan tersebut diletak di atas sebuah nampan perak yang dilapisi kain kuning. Setelah kesemua alat perlengkapan tersedia, pelaksanaan acara adat Buang-buang dapat di laksanakan.



Foto 1
Alat-Alat Perlengkapan Upacara

3.4 Jalannya Upacara Menurut Tahapannya
3.4.1 Buang-Buang Secara Umum
Pelaksanaan acara adat ini adalah seorang dukun atau pawang yang berpakaian hitam-hitam, dua orang pengawal yang membawa payung dan sebilah pedang, dan anggota keluarga yang mempunyai hajat. Semua pelaksanaan acara ini duduk berhadapan, kecuali pengawal yang duduk dibelakang anggota keluarga yang berhajat; mengitari alat perlengkapan yang telah disediakan.
Pelaksanaan acara adat ini di mulai dengan seulas ungkapan sembahan dari sang dukun kepada tuan rumah, yang dilanjutkan dengan pembacaaan Alfatihah yang dihadiahkan kepada Rasulullah saw, Syech Abdul Kadir Jaelani, Panembahan Kodung, Opu Daeng Manambon dan seluruh leluhur raja-raja mempawah. Setelah, sang dukun membaca beberapa mantera dan dilanjutkan dengan memoleskan minyak Bugis ke kening, telinga, hidung , kedua telapak tangan dan ujung kaki tuan rumah menyapukan telur ayam kampung dan pinang ke bagian tubuh yang telah diolesi Minyak bau (Bugis) tadi secara berurutan, yang kemudian diakhiri dengan penaburan berteh dan beras kunig sebanyak tiga kali keseluruh badan tuan rumah yang mempunyai hajat.
Penaburan berteh dan beras kuning ini menandai berakhirnya proses tahap pertama dari prosesi adat ini.
Tahap kedua dimulai dari turunnya sang dukun menuju sungai atau anak sungai mempawah yang dikawal oleh dua orang pengawal istana. Sesampainya di pinggirnya sungai, dukun mengucapkan salam kepada seluruh penghuni sungai dengan maksud memberitahukan kedatangan mereka untuk melaksanakan acara adat buang-buang. Setelah tiba dan mengucapkan mantera tertentu, beberapa butir berteh dan beras kuning telur dan pinang tua tadi dilemparkan kesungai. Selanjutnya mangkok putih diisikan air sungai sebanyak 2/3 bagian, kemudian lilin wanyi’ dinyalakan dan ditempelkan ke salah satu sisi mangkok. Sedangkan seulas sirih ditempatkan menutupi permukaan mangkok. Dengan demikian , berakhirlah pelaksaan prosesi ke dua dari acara adat Buang-buang.
Pada tahap terakhir, setibanya dukun ditempat kediaman yang mempunyai hajat, ia lebih dulu menyampaikan ucapan assalamualaikum kepada tuan rumah, dan tuan rumah mempersilahkan dukun melanjutkan tugas adat ini hingga selesai. Setelah duduk lilin wanyi’ yang masih menyala di padamkan, dan arangnya dioleskan kekening dan kedua belah telinga tuan rumah. Dukun kemudian mempersilahkan tuan rumah untuk untuk meminum seteguk air yang telah dicampuri arang dari liln wanyi’. Setelah itu mangkok putih berisi air sungai diminumkan sedikit ke mulut tuan rumah, yang kemudian diikuti dengan gerakan mendorong mangkok menjauhi dirinya.
Gerakan mendorong ini menandai berakhirnya tahap terakhir dari seluruh prosesi acara adat Buang-buang yang telah dilaksanakan. Dukun kemudian menutup acara ini dengan membaca doa selamat, memohon kepada Alllah yang Maha Kuasa, agar memberikan keselamatan kepada kita semua.

3.4.2 Buang-Buang Anak Bayi
Bagi masyarakat umum diluar Keraton Amantubillah, upacara buang-buang disesuaikan dengan adat keturunan masing-masing. Umumnya bagi mereka yang masih keturunan suku Bugis, Banjar, dan Thionghoa dengan memakai lambang tertentu salah satunya memasang Bendera, yang berwarna kuning, merah, dan bambu kuning dipasang sehari sebelum upacara. Pemasangan bendera pada pagi hari sebelum matahari naik sekitar jam 08.00 wib, yang




Foto 2
Bendera Bambu Kuning


memasang bendera adalah dari orang tua bayi ataupun kepala rumah tangga, penanaman tiang bendera harus lebih dalam dan dipantangkan untuk jangan sampai bendera tersebut tumbang, jika hal itu terjadi maka akan ada alamat yang tidak baik, sangat dilarang bagi anak-anak untuk memegangnya. Bendera biasanya dipasang selama tiga hari sehari sebelum acara dan sesudah acara. Tujuan pemasangan untuk pemberitahuan pada mahluk gaib akan diadakan upaca adat bagi yang punya rumah. Pemasangan bendera digunakan pada acara perkawinan,sunatan, mendapatkan bayi. Bendera dipasang tepat didepan rumah, bagi kaum kerabat. Menurut kenyakinan mereka apabila tidak dipasang bendera tersebut berarti tidak memberitahu kepada leluhur dan kaum kerabat yang ada dilingkungan mereka. Pengaruh kenyakinan ini telah menjadi suatu sugesti bagi keturunannya hal ini jika tidak dipasang akan berakibat acara yang diselenggarakan akan mendapat halangan seperti hujan yang terus menerus dan musibah lain yang tidak diiginkan.
Pencabutan bendera pada sore hari setelah waktu asar sebelum datangnya waktu mangrib, setelah dicabut kemudian bendera disimpan di dalam rumah selama beberapa hari, sesudah layu daun bambu yang menjadi tiang bendera barulah bendera dibuang ketanah disekitar rumah.
 Arti bendera dengan bambu yang berwarna kuning adalah menunjukan dan memberitahukan bahwa yang punya hajatan adalah anak cucuk yang masih keturunan suku Thionghoa.
 Arti bendera yang berwarna kuning juga menunjukan identitas dari keturunan dari suku Bugis
 Arti bendera yang berwarna merah menunjukan adalah dari keturunan suku Banjar





Foto 3
Memandikan Bayi Sebelum Acara Adat Buang-Buang

Bayi yang akan dimandikan dipersiapkan segala perlengkapannya, antara lain baskom tempat air, air hangat, handup kain penutup, sisir, bedak dan lain sebagainya. Dengan membaca bismillah dan selawat kepada nabi bayi diangkat dengan hati-hati dan dimasukan ke dalam tempat air, didirikan terlebih dahulu, didudukan dan diremas-remas anggota badannya secara-perlahan-lahan.
Ketika diangkat bayi diselimutkan dan dilap dengan handup sambil ditiup kedua telingannya dengan memanggil semangatnya. Selesai mandi diberikan pakaian baru yang berwarna kuning, benang berwarna kuning diikatkan pada dua tangan dan dua kaki dan dilanjutkan dengan pemasangan miyak bau pada anggota tubuh sepert dua telapak kaki, telapak tangan dua telinga dan pusar. Guna pemasangan ini agar bayi tersebut dikenal oleh leluhurnya yang ghaib dan pada saat itu bayi sangat dimuliakan. Setelah selesai bayi diberi pakaian barulah dilanjutkan dengan mandi bagi ibunya.

3.4.3 Setelah Empat Puluh hari Ibu Melahirkan
Apabila sudah genap empat puluh hari setelah melahirkan, maka diadakan upacara yang disebut dengan Bebereseh atau Basu’lante. Bagi ibu yang akan menjalankan prosesi adat tersebut maka sebelunya dipersiapkan beberapa perlengkapan antara lain ;
1. Nasi ketan
2. Air gula merah
3. Tetohong
4. Ayam seekor
5. Kain basahan untuk mandi
6. Bedak dan langir secukupnya

Mandi bagi ibu setelah melahirkan di dalam hukum Islam disebut mandi Nifas dengan niat membersikan seluruh tubuh dan mengangkat hadas besar untuk mandi telah dipersiapkan segala perlengkapannya seperti buah langir beberapa buah yang direndam di dalam air dan air hangat secukupnya. Mandi dilakukan di dalam rumah dan dipantangkan mandi pada tempat yang dilihat orang atau tempat umum. Setelah selesai mandi memakai pakaian berwarna kuning dan pada tangan dan kaki sebelah kiri diberikan tanda benang berwarna kuning, dilanjutkan dengan pemasangan miyak bau pada dua telapak kaki, dua telapak tangan, dua telinga dan pada bagian pusar. Hal ini sebagai tanda bahwa mereka adalah telah melaksanakan upacara adat mandi Empat puluh hari.

Foto 4
Saat Pemasangan Minyak Bau

Setelah selesai mandi maka bayi yang sudah bersih diserahkan ke pada ibunya untuk diberikan susu , biasanya bayi langsung tertidur dipangkuan ibunya. Peralatan lengkap dirabun terlebih dahulu baru kemudian dibawa ke pinggiran sungai yang airnya mengalir ke muara laut. Dukun bayi membacakan doa keselamatan dengan memberitahukan pada leluhur agar di dalam pelaksanaan upacara tidak mendapat gangguan dan terhindar dari malapetaka
dan mohon kepada Allah dengan mengucapkan kata –kata antara lain:


Foto 5
Saat Sedang Buang-Buang

 Mengucap bismillah memohon kepada Allah atas segala gangguan jin iblis dan gangguan manusia.
 Memberi salam kepada leluhur yang tidak nampak secara lahiriah
 Membaca doa buat nabi Khaidir as
 Mengucapkan kata-kata bahwa inilah yang mampu kami berikan agar kami jangan diganggu, mohon maaf atas segala kehilapan anak cucuk pada leluhur yang terdahulu
 Minyak bau di teteskan terlebih dahulu (minyak yang dibuat khusus buat acara adat dan terbuat dari minyak kelapa yang sudah di mantera terlebih dahulu. Di sebut minyak bau karena baunya yang menimbulkan aroma khas dan sering dipakai pada acara-acara adat seperti naik ayun, empat puluh hari setelah melahirkan dan lain sebagainya dalam kegiatan adat.
 Piring yang disebut dengan pinggan berwarna putih bersih untuk menempatkan perlengkapan alat-alat buang-buang, barang-barang tersebut di tenggelamkan di dalam air dengan mengikuti arus air mengalir, sebelum ditenggelamkan digoyang terlebih dahulu sebanyak tiga kali dengan niat di dalam hati mohon jangan diganggu.
 Air diambil sedikit dibawa pulang dan air tersebut ditampung kedalam piring yang dipakai sebagai tempat perlengkapan buang-buang


Foto 6
Minum Air Buang-Buang


Sampai dirumah air dipinumkan sedikit dan dimandikan pada anak tersebut, begitu juga dengan ibunya dengan memohon keselamatan bahwa air buang-buang sudah dipinum dan mohon keselamatan agar jangan diganggu oleh leluhur dan adat sudah dijalankan dengan berbagai prosesi menurut urutannya. Kegiatan upacara adat ini dipimpin sepenuhnya dan dilakukan oleh dukun bayi. Acara yang terakhir adalah pembacaan doa selamat dan acara buang-buang sudah dianggap selesai.












Foto 7
Nasi Pulut Kuning Inti Kelapa

Perlengkapan setelah upacara diberikan kepada dukun baranak yang mambantu kelahiran. Hidangan berupa nasi ketan pakai inti yaitu gula merah dimasak dengan parutan kelapa atau bisa juga gula merah yang dimasak dengan santan sebagai simbul upacara dan dihidangkan kepada para tamu yang hadir pada acara prosesi adat tersebut.
Acara adat buang-buang jika yang melakukan upacara buang-buang bukan ahlinya dan tidak sesuai dengan perlengkapan adat biasanya terjadi suatu peristiwa bagi ahli rumah yang mengadakan hajatan seperti tiba-tiba anggota keluarga mereka didatangi oleh mahluk halus yang menyerupai wujud lain, akan bisa kerasukan tidak sadarkan diri. Kerasukan yang biasa terjadi menyerupai prilaku binatang buaya yang bisa berbicara, dengan meminta telur ayam kampong beberapa buah biasanya tiga buah telur, jika tidak diberikan mahluk yang masuk kedalam tubuh anggota keluarga tidak akan mau pergi dan bahkan bisa mengakibatkan fatal bagi orang yang dimasukinya.
Umumnya hal itu jika terjadi maka dari anggota keluarga dengan cepat memberikan perlengkapan apa yang dipintanya, jika sudah dipenuhi maka dengan segera pergi dan meninggalkan beberapa pesan bagi keluarga rumah, dengan mengucapkan terima kasih. Bagi yang kerasukan dengan segerah pulih dan secepatnya sadar dan tidak mengetahu sesuatu yang telah terjadi pada dirinya.

3.4.4 Buang-Buang Penyakit
Pada acara buang-buang Masyarakat Melayu juga dikenal dengan sebutan Bebuang yang merupakan salah satu upacara saat seseorang mengalami musibah maupun mendapat kesenangan. Bahan yang paling mendasar telur ayam kampung dengan bahan-bahan lainnya yang disesuaikan dengan kegunaannya seperti Bebuang bala. Membuang penyakit keair dengan cara memindahkan penyakit kedalam telur memakai doa tertentu yang dilakukan dukun kampung. Menurut hasil dari penerawangan dukun kampong yang menyatakan bahwa disuatu tempat datangnya penyakit dan ditempat itu diberikan telur yang sudah dimanterai oleh dukun kampung. Di samping itu juga disediakan perlengkapan alat-alat antara lain;
1. Telur ayam kampung sebagai wadah penyakit
2. Rokok daun nipah
3. Nasi kempunan (nasi kuning dikepal)
4. Berteh (Padi yang disangrai sehingga padi membentuk brondong
5. Beras kuning (beras yang diberi kunyit)


3.4.5 Buang-Buang Tali Pusar
Bagi keturunan kaum bangsawan, maka sejak kelahiran hingga tanggal pusat sang bayi terus menerus dipangku secara bergiliran. Namun jika keturunan rakyat biasa, bayi dipangku 24 jam ketika tanggal pusat saja. Untuk menghibur orang memangku bayi tersebut biasanya diperdengarkan syair-syair maupun nasehat bagi sang bayi. Perlengkapan upacara disediakan oleh orang tua bayi antara lain ; Bayi diletakan pada suatu talam yang besar pada bagian bawah talam ada beras dan uang logam, baru di atas kain. Setelah dibacakan doa selamat maka prosesinya selesai.
Bagi masyarakat Melayu umumnya bahwa talipusar adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mulai dari pemotongan ketika dilahirkan sampai tali pusar tanggal sendiri mempunyai arti tertentu. Tanggalnya tali pusar dibuat suatu upacara tertentu dengan membuat makanan bubur putih dan beberapa kue makanan ringan sebagai ungkapan rasa syukur dan disertai dengan pembacaan doa selamat. Pembacaan doa diutamakan bapak dari bayi dan juga bisa dipanggil orang yang dianggap alim disekitar tempat tinggal. Umumnya tali pusar disimpan oleh orang tua didalam suatu tempat yang dirahasiakan. Tali Pusar tersebut dikumpulkan menjadi satu dengan tali pusar yang lainnya. Dalam kepercayaan masyarakat bahwa jika tali pusar disatukan maka tidak akan terjadi perpecahan ataupun perselisihan antara saudara satu dengan lainnya. Kemudian ada juga yang memilih menyimpan dibawah dapur bermaksud membuat anak berani menjalani hidup walaupun berbagai problem yang ada mereka akan tetap tegar dan dapat mengatasi masalah tersebut.
Pembuangan tali pusar juga dilakukan dengan memasukan pada suatu tempat yang dibuat dari penangkin dan dihanyutkannya dengan pelepah pinang dan disebut dengan upeh

3.4.6 Upacara Tepung Tawar
Persiapan dan perlengkapan upacara Tepung Tawar bagi anak bayi juga dilakukan dengan upacara ritual dengan segala persiapan yang disediakan bagi ahli keluarga yang mempunyai hajatan. Peralatan yang perlu dipersiapkan dan dengan lengkap harus sudah ada jika acara dimulai. Adapun perlengkapan alat-alat tersebut antara lain;
1. Beras yang ditumbuk dicampur dengan daun pandan dan kunyit dibuat tepung
2. Daun-daun yang diperlukan untuk alat tepung tawar ialah daun kelapa yang dibuat seperti bunga tapak bebek diberi bertangkai disebut pentawar, dengan jumlah dua buah. Kemudian daun-daun yang disusun dengan jumlah lebih kurang dan puluh jenis diikat kemudian dipotong ujung pangkalnya sehingga rata permukaannya disebut tetungkal dengan jumlah tiga buah.
3. Nyiru kecil yang terbuat dari anyaman kulit bambu atau disebut juga layau digunakan untuk mengipas-ngipas badan disebut tudung bakul
4. Besi, kayu arus, bekas kayu baker diikat dengan tali disebut mereka pengkeras.
5. Benang diikat yang diputarkan diatas kepala menurut mereka mudah-mudahan keluarga itu dapat diikat hatinya menjadi suatu ikatan yang kuat dan kokoh tidak ubahnya seperti benang itu.
6. Tepung yang sudah ditumbuk dan diaduk di dalam tabung bambu yang berukuran garis tengahnya lebih kurang dua puluh senti meter, dan setingginya delapan belas sentimeter yang terbuat dari bambu Betung gunanya untuk menyimpan tepung yang sudah diaduk, tabung bambu ini disebut tudung telak
7. Beras dimasukan ke dalam gantang, sirih,pinang, tembakau,gambir, kapur,uang logam secukupnya disebut pengkeras.
8. Beras yang dicelup dengan kunyit disebut beras kuning atau beras kunyit.
9. Anggota yang melaksanakannya tiga orang untuk tetungkalnya dan dua orang untuk melaksanakan pentawarnya, dengan jumlah lima orang.


Foto 8
Perlengkapan Alat-Alat Tepung tawar





Foto 9
Prosesi Tepung Tawar

Cara melaksanakan tepung tawar ini setelah tepung diaduk, tetungkal dan penawar yang terbuat dari daun-daun dan daun kelapa itu dicelupkan pada tepung kemudian dicapkan pada kening, tangan kiri dan kanan, pusat, kaki kiri dan kanan dengan membaca selawat nabi atau doa untuk memohon keselamatan. Setelah selesai upacara Tepung tawar maka dilanjutkan dengan acara selanjutnya yaitu menggunting rambut bayi. Undangan yang hadir pada kegiatan tersebut adalah family dan tetangga yang terdekat.. Acara tepung tawar ini masih membudaya pada masyarakat Melayu Kabupaten Pontianak.



3.4.7 Naik Ayun (Naik Tojang)
Pada saat bayi pertama kali mulai diayun maka diadakan upacara betumbang apam dan naik ayunan yang juga disebut dengan naik tojang. Adapun acara tumbang apam dengan cara mengukur bayi dengan apam yang dicocokkan pada pelepah kelapa kiri dan kanan sambil dibacakan surat yasin dan diiringi dengan doa selamat., dan dilengkapi upacara yang disediakan pada prosesi naik ayun dengan pemasangan lambang pada tempat ayun berupa contengan kapur sirih.


Foto 10
Lambang di Bawah Ayunan



Adapun tempat-tempat yang dipasang antara lain :
1. Diatas ayunan dan diberi beberapa perlengkapan terdiri dari 7 warna
a. Benang putih
b. Benang merah
c. Benang hijau
d. Benang hitam
e. Benang ungu
f. Benang coklat
g. Benang kuning

Semua benang diikat menjadi satu yang disebut dengan cindai, dan beberapa buah ketupat lemak
1. Lambang dipasang pada tiang ayunan
2. Lambang dipasang di bawah ayunan
3. Contengan kapur pada telapak kaki anak dan ibunya
4. Didalam ayunan diberi sapu lidi, ijuk
5. Anak lesung batu
6. Kain berwarna kuning

Sebelum memasukan bayi ke dalam ayunan, didahului dengan memasukan seekor kucing,sapu lidi dan anak lesung batu ke dalam ayunan, kemudian barang-barang yang ada di dalam ayunan dikeluarkan dan dibersihkan dahulu barulah bayi dimasukan oleh dukun ke dalam ayunan untuk ditidurkan
Untuk ayunan bayi sendiri berupa kain kuning yang ditali ayunan pada sambungan tali dengan kain digantung pisang dan cabe. Di bawah ayunan diisi dengan air putih di dalam botol ditulis dengan Lam Jelalah (lam alif) pada dua sisinya.





Foto 11
Pembersihan Ayunan


Foto 12
Memasukan Seekor Kucing Ke Dalam Ayunan

Foto 13
Mengeluarkan Sapu Lidi














Foto 14
Memasukan Bayi Ke Dalam Ayunan











3.4.7 Doa Rasul



Foto 15
Pembacaan Doa Rasul

Pembacaan doa rasul dipimpin oleh seorang yang dianggap mengetahui doa khusus tersebut. Doa ini dikhususkan bagi keluarga yang berniat untuk mendapatkan anak dan memohon keselamatan bagi anak tersebut. Adapun yang menjadi perlengkapan untuk ritual doa rasul antara lain;
1. Seekor ayam jantan yang tidak cacat
2. Pulut kuning
3. Santan kelapa
4. Air dalam mangko putih
5. Kain berwarna kuning
6. Talam besar
7. Inti yang dibuat dari parutan daging kelapa yang telah dimasak dengan gula merah




Foto 16
Kaum Kerabat Dalam Acara Adat

Perlengkapan untuk pembacaan doa rasul, di mulai dari pencaharian ayam yang tidak cacat dan yang dipilih yang dianggap cukup umur, besar dan sehat menurut ukurannya. Kemudian ayam dipanggang dengan cara pada bagian dalamnya jeroan dibuang dan hati,limpa, empedu digabung menjadi satu pada satu tusukan sate. Pemanggangan ayam harus utuh tidak boleh ditanggalkan salah satu anggotanya. Nasi kuning dibuat dengan campuran beberapa kunyit dan dicampur dengan air santan untuk menghasilkan kwalitas yang baik maka makanan tersebut dipanggang di atas kayu api. Setelah lengkap maka hidangan dilapisi dengan kain kuning dan diletakan pada sebuah talam besar.
Pembacaan doa Rasul ini khusus bagi keluarga terdekat untuk menghadirinya. Doa dipimpin oleh orang yang dianggap alim dan fahan tentang pembacaannya. Setelah selesai pembacaan doa rasul maka pada bagian hati, limpa, dan empedu diberikan kepada kedua orang tua dan pada bagian yang lain dibagikan dengan kaum kerabat, tetangga yang terdekat. Kenyakinan sebagian masyarakat bahwa tulang ayam yang sudah dibacakan akan dapat dijadikan penangkal berbagai penyakit atau juga untuk menghindari dari gigitan binatang buas, sehingga setelah acara selesai maka sebagiannya mengumpulkan untuk dibawa pulang dan tulang ini juga diberikan pada yang memesannya.


3.5 Makna Ritus dan Upacara
Makna yang tersirat di dalam acara kegiatan upacara emput puluh hari setelah melahirkan adalah terutama untuk mensucikan ibu dan bayi dari mara bahaya dan permohonan keselamatan dan kesejahteraan kepada Allah SWT. Adapun makna yang terkandung dari simbol-simbol upacara yang dipergunakan pada upacara di bawah ini antara lain ;

3.5.1 Upacara Adat Buang-buang
Upacara ini dengan maksud untuk memberitahukan kepada keturunan yang berada dialam ghaib maupun di dalam air agar dalam pelaksanaan upacara adat tidak mendapat gangguan dan akan berjalan lancar. Simbol yang diberikan adalah seperangkat perlengkapan yang disepakati oleh dukun dengan kerabat yang mempunyai hajatan


3.5.2 Arti Bendera
Bendera yang dipasang sehari sebelum acara dimulai adalah untuk memberitahukan kepada keturunan yang ghaib berada di atas darat maupun keluarga kaum kerabat yang ada disekitarnya. Simbol – simbol pada bendera upacara yang dipergunakan antara lain ;
1. Bambu kuning melambangkan bahwa masih ada keturunan Thionghoa
2. Bendera berwarna kuning melambangkan keturunan Bugis
3. Bendera berwarna merah melambangkan keturunan Banjar

3.5.3 Upacara Tepung Tawar
Pada upacara Tepung tawar, sesuatu pekerjaan adat selalu diadakan Tepung tawar hal ini mengambarkan bahwa yang mempunyai hajatan minta direstui agar hajatannya berjalan dengan baik salah satu lambing yang ada seperti Benang diikat yang diputarkan diatas kepala menurut mereka mudah-mudahan keluarga itu dapat diikat hatinya menjadi satu ikatan yang kuat dan kokoh tak ubahnya seperti benang itu.

3.5.4 Upacara Naik Ayun
Ketika upacara Naik Ayun yang juga disebut dengan Naik Tojang diatas ayunan dan diberi beberapa perlengkapan terdiri dari 7 warna benang yang diikat di atas ayunan dengan simbol-simbol yang melambangkan antara lain;
Tujuh benang yang disimpul menjadi satu melambangkan bahwa hubungan jalinan siraturahmi sampai tujuh turunan, dan didekat simpulan benang tersebut beberapa makanan ketupat yang melambangkan bahwa makanan tersebut memang sangat dihormati dan dijunjung tinggi
1. Benang putih
2. Benang merah
3. Benang hijau
4. Benang hitam
5. Benang ungu
6. Benang coklat
7. Benang kuning
Semua benang diikat menjadi satu yang disebut dengan cindai, dan beberapa buah ketupat lemak
Simbol Lambang dipasang di bawah ayunan memohon kepada Allah SWT agar dapat berlindung dari segala godaan syaitan, begitu juga kapur yang di contengkan pada anak dan ibunya. Simbol Sapu lidi melambangkan bahwa penyakit bayi tersebut sudah dibuang, simbol Lesung batu mengambarkan bahwa diharapkan anak tersebut tidak berat hati dengan segala sesuatu urusan dan kain yang berwarna kuning melambangkan bahwa ia adalah dari keturunan Bugis
Memasukan seekor kucing pada ayunan bayi agar bayi tersebut tidak mudah terkejut dan kehilangan semangat

3.5.5 Doa Rasul
Doa khusus ini dibaca sesuai dengan hajat atau nazar yang diniatkan oleh kedua orang tua bayi. Dengan beberapa perlengkapan adat yang menjadi simbol antara lain;
1. Ayam melambangkan bahwa diharapkan kepada anak tersebut menjadi patuh kepada kedua orangtua, taat kepada agama dan menjadi anak yang penurut
2. Nasi kuning melambangkan makanan pokok kebesaran adat Bugis
3. Inti kelapa adalah melambangkan bahwa yang sangat bermanfaat adalah yang mempunyai pengetahuan
4. Air putih melambangkan sucinya hati jangan dikotori
5. Dupa (stanggi) sebagai pengharum agar malaikat dapat mendekat di tempat upacara.

Tidak ada komentar: