Rabu, 27 Januari 2010

Selayang Pandang Kab Ketapang Kalbar

SELAYANG PANDANG KABUPATEN KETAPANG
Oleh : M.Natsir

Pada awal tahun 1874 M sama tahun 1219 H, setelah 29 tahun Penembahan Alhajji Gusti M.Sabran memerintah kerajaan Matan IV dengan Ibu
Kotanya Tanjungpure, beliau mendapat laporan-laporan dari nahkoda-nahkoda perahu yang berlayak ke Singapura dan kepulauan Jawa, kembalinya selalu diganggu dan dirampok oleh bajak laut (Lanon) yang berkeliaran di sekitar selat karimata dan mendekati Muara sungai Pawan (Tanjung Kaili/Kandang Kerbau).
Mendengar laporan dari nahkoda-nahkoda tersebut Maka Penembahan Alhajji M.Sabran, mengadakan musyawarah dengan para pangeran-pangeran sebagai pembantu beliau menjalankan pemerintahan, untuk mencari jalan keluar dari keadaan tersebut. Demi keamanan lalu lintas pelayaran, hingga barang-barang hasil bumi/hutan, dapat dibawa dengan perahu layar dijual ke pulau Jawa, Singapura dan lainnya, dan juga membawa masuk barang dari luar, untuk dibawa Kekerajaan Matan di Tanjungpura, guna kemakmuran rakyat.
Musyawarah tersebut telah memutuskan dan menunjuk H. Abas dengan gelar Penggawa Kuala Matan, untuk mengamankan lalu lintas pelayaran dengan diberi cap/stempel jabatan, dan segera berangkat ke Kuala Matan membuat pemukiman baru, seraya melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh pemerintah kerajaan Matan IV di Tanjungpura. Setelah H. Abas menerima, lalu H.Abas menagdakan persiapan mengajak dan membawa sanak keluarga yang ingin pindah ke Kuala Matan, untuk membuat pemukiman baru, yang barang kali pemukiman baru itu, kehidupan pada masa depan akan bertambah baik, ajakan H. Abas itu, disambut oleh keluarga, termasuk Imam Muhsal sebagai pimpinan Agama, dan Enci Yasin sebagai pemuka masyarakat. Lalu beberapa perahu telah disiapkan dan dilengkapi dengan perbekalan serta beberapa buah rakit yang bermuatan kayu belian, yang disiapkan untuk bangunan. Sebelum berangkat menuju Kuala Matan, H. Abas didampingi Imam Mursal dan Enci yasin menghadap penembahan Ahajji Gusti M.Sabran, untuk pamitan dan mohon petunjuk, saran serta doa restu beliau agar tugas yang dibebankan padanya, dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, dan selalu mendapat Ridha Allah SWT.
Sampailah pada waktyu yang ditentukan, berangkatlah H. Abas beserta keluarga dengan menggunakan beberapa perahu dan rakit meningalkan kota Tanjungpura menuju Kuala Matan. Setelah satu hari satu malam dalam perjalanan mengunakan dayung,, tibalah iringan perahu dan rakit tersebut masuk ke Kuala Matan, dari jauh H. Abas melihat sebatang pohon yang rindang di tepi sungai Pawan seberang kanan mudik, lalu H. Abas memberikan isyarat kepada tukang kemudi agar perahu dan rakit singgah merapat kepohon kayu yang rindang. Setelah diperhatikan oleh orang-orang yang berada di perahu maupun di rakit, bahwa kayu yang rindang itu bernama Tapang sejenis kayu nomor 2 setelah belian sama dengan kayu merabu, belangir dan selumar. Anak buah yang berdayung di depan bertanya kepada Datuk Pengawa “kemane menambat perahu ni tuk?’, Datuk Pengawe H.Abas, menjawab “Wai tambatkan ke Tapang bah”, Maksudnya tambatkan kepohon Tapang. Jadi menurut cerita orang-orang yang ikut pindah dari Tanjungpura ke Kuala Matan, inilah asal mulanya nama Ketapang. Setelah itu Ketapang menjadi ibu kota Kuala Matan.
Kemudian setelah perahu dan rakit bertambat dengan baik, maka H. Abas beserta Imam Muhsal, Enci yasin dan yang lainnya mencari tempat baik untuk mendirikan pemukiman lahan peladang dan kebun. Setelah dapat lahan H. Abas memilih tempat dekat dengan pohon Tapang, untuk mendirikan rumah kediaman, sedangkan Imam Muhsal memilih tempat kurang lebih 200 M sebelah hulu dan Enci Yasin memilih tempat kurang lebih 150 M sebelah hulu dari Imam Muhsal. Bangunan rumah di depan Imam Muhsal berbentuk musholah.
Setelah keluarga mempunyai tempat tinggal yang layak, barulah Pengawa Kuala Matan H. Abas melaksanakan tugas pengamanan lalu lintas pelayaran dari Selat Karimata sampai ke laut Muara Sungai Pawan Tanjung Kaili dan Kandang Kerbau. Senjata untuk pengamana seperti senapan atau senjata api lainnya tidak punya, hanyalah bersenjatakan Gong (Tetatawak).
Pada suatiu hari masiklah debuah paerahu layar yang dating dari pulau Jawa (Semarang) dan nahkodanya melapor langsung pada Pengawa H. Abas wahwa mereka ketika kan masuk ke Muara Tanjing Kaili dikejar bajak laut (lanon), untunglah angin diwaktu itu adalah angin laut sehingga perahu melaju dengan cepat memasuki Muara Tanjung Kaili dan tak terkejar oleh bajak laut dengan rombongannya. Mendapat laporan dari nakhoda H. Abas memangil anak buahnya untuk menyiapkan perahu serta dayung dan dengan persenjataan Gong (Tetawak) berangkat milir menuju Muara langsung menuju ke laut. Setelah nampak iring-iringan perahu bajak laut, lalu H. Abas memberi isyarat, supaya anak buahnya berhenti berdayung. H. Abas berdiri dalam perahunya dan memukul Gong (Tetawak) Kira-kira setengah jam kemudian, perahu bajak laut menaikan layar menuju perahu H. Abas.
Selanjutnya H. Abas memerintahkan kepada anak buahnya supaya berjaga-jaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Setibanya dekat perahu H. Abas, bajak laut menurunkan layarnya salah seorang pimpinannya mewakii anak buahnya menyerah kepada H. Abas. Oleh H. Abas, semua bajak laut itu dibawa ke Kuala Matan dan setibanya di rumahnya diberikan jamuan dan pada malam harinya diadakan malam bersukaria, dengan permainan yang disukai mereka, yaitu permainan loncong tarian terdiri dari pria dan wanita. Keesokan harinya setelah sarapan pagi berkumpul kembali lalu H. Abas membujuk mereka supaya mau meninggalkan kebiasaan mereka dan mengajak mereka bermukim di darat seperti bercock tanam, dan menjadi nelayan menangkap ikan untuk memberi nafkah keluarga.
Setelah mengadakan mufakat bersama, mereka menerima ajakan H. Abas. Lalu H. Abas mengatur pemukiman mereka, dan memberikan lahan-lahan tempat mereka untuk bercocok tanam terutama masalah perladangan di berikan benih dan sebagainya. Ketika sampai masanya panen mereka sangat senang sekali, mereka sudah tidak main gelombang lagi. Setelah itu keamanan lalu lintas pelayaran tetangga berdatangan mengadakan jual beli. Setelah itu banyaklah pemukiman-pemukiman baru yang tinggal di Kuala Matan, dan dalam waktu yang singkat Kuala matan menjadi pusat perdagangan.
Beberapa bulan kemudian Pengaawa Kuala Matan mengeluarkan Surat Keterangan Jual Beli tanah perbatasan tertanggal 19 Syawal 1219 H yang ditanda tangani beliau sendiri serta dibumbuhi cap jabatan. Setelah diadakan penyesuaian dengan tahun Masehi dan berpedoman Al-Manak 130 tahun, terdapatlah bersamaan dengan tanggal 19 November 1874 M. (H. Ibrahim Badjuri)

Upaya Pencaharian Hari Jadi Ketapang
Nama Tanjungpura yang juga disebut dengan Tanjung Negara sebuah kerajaan yang terkenal di wilayah nusantara yang meliputi kekuasaannya pada masa itu wilayah Sukadana, Lawai, Melano dan Kendawangan. Seorang penulis Timor Pires pada tahun (1512-1515) dalam Suwai Montana (1995). Wilayah Tanjungpura perjalanan dapat ditempuh dengan waktu lima belas hari dari wilayah Malaka dan penduduknya belum beragama, pemimpin pulau disebud dengan Patih, Adipati. Wilayah Tanjungpura dengan luas wilayah 50 league 1,796 ha. Tanah yang banyak mengadung emas, intan dan sangat subur dengan penduduk yang cukup banyak memiliki perahu. Ketika itu sudah ada hubungan dagang dengan Jawa dan Malaka, para pedagang yang dating membeli emas ,intan serta hasil bumi lainnya. Kwalitas intan Tanjungpura lebih baik dari intan Orissa India. Sedangkan yang disebut dengan Laue yang mungkin juga disebut dengan Labai daerah Balai Bekuak. Pengertian lain juga mengungkapkan Loue dengan kata Lawai di dalam naskah Negarakretagama merupakan sebuah kerajaan. Pires juga mengungkapkan dengan nama lain Quedondoam yang letaknya diantara Lawai dan Tanjungpura. Ketapang sejak zaman dahulu sudah menjadi pusat perhatian para penguasa baik di Asia maupun bangsa Eropa Peninggalan baik berupa cerita rakyat maupun situs-situs banyak dijumpai di daerah bekas kekuasaan Tanjungpura terutama daerah Benua Lama,daerah yang lebih dekat dengan pantai. Daerah yang penuh dengan peninggalan beberapa situs masih dapat dijumpai yang mengambarkan bahwa daerah tersebut pernah menjadi daerah perdagangan, transasi jual beli barang-barang yang kini banyak didapat masyarakat setempat berupa piring-piring keramik, guci-guci dan makam para leluhur menandakan pada saat itu peradabanya sudah tinggi. Nisan keramat Tujuh dan Sembilan menunjukan bukti bahwa masyarakat sudah mengenal baca tulis. Pada makam keramat Tujuh dan beberapa makam yang bertarik tahun saka 1363. S atau 1441M, sedangkan pada makam keramat Sembilan terdapat empat makam yang bertarik antara lain Pada makam pertama 1354 S atau 1432 M, kemudian makam yang kedua 1324 S atau 1432 M dan yang ketiga 1348 S atau 1426 M, dan yang ke empat 1340 S dan 1418 M.
Tulisan yang tertera pada makam menunjukan tulisan jawa kuno inkripsi Arab dengan huruf ladaz Arab dengan type Tralaya mirip nisan-nisan kuno di Tralaya Mojokerto Jawa Timur yang diperkirakan pada abad ke 15 Masehi. Makam tua yang nisannya mirip di Ketapang juga terdapat di negara Vietnam Panrang dan Leran (Gersik Jawa Timur) tulisan pada kedua makam tersebut dianggap yang paling tertua di Asia Tenggara dengan huruf bergaya kufi yang dibuat di Gujarat India. Masuknya agama Islam di Indonesia diperkirakan pada abad ke 13 Masehi dengan bukti makam sultan Malik al-Saleh yang bertuliskan wafat pada bulan Ramadhan 696 H/1279 M. Kedua makam Fatimah binti Maimun wafat 475 H/1082 M ( dalam Hasan Muarif Ambary 1995)
Kontak dagang yang dilakukan oleh bangsa Arab dengan bangsa Indonesia terjadi sudah sejak lama dengan bukti-bukti yang ditemukan terutama didaerah Ketapang. Kedatangan bangsa Arab tidak hanya berdagang akan tetapi mereka juga menyebarkan agama Islam. Sukadana yang menjadi wilayah kekuasaan Tanjungpura menjadi pusat perhatian para pendatang mereka dengan mudah masuk kedaerah tersebut karena letaknya yang secara geografis sangat strategis. Akan memudahkan bagi pelayaran untuk singgah berlabuh. Islam diperkirakan masuk di daerah Sukadana ±1550 Panembahan di Baroch membentuk Landschap Matan. Giri Kusuma masuk Islam dan beristerikan putri dari Landak
Ulama penyebar Islam yang dikenal Syech Husein yang kawin dengan putri Giri Kusuma dan menurunkan raja-raja Tanjungpura. Di samping itu juga ulama lainnya yang menyebarkan agama Islam di Kalimantan Barat antara lain; Syarif Husein Alqadrie yang menurunkan raja-raja kesultanan Pontianak, Syarif Idrus yang menurunkan raja-raja kesultanan Kubu Kalimantan Barat.
Ketapang nama sebuah wilayah kekuasaan Tanjungpura baru dikenal oleh masyarakat dan sering disebut-sebut setelah penjajah Belanda masuk. Pada mulanya masyarakat lebih mengenal dengan nama Tanjungpura. Nama Tanjungpura jauh sebelumnya sudah sangat popular baik di Asia maupun di negara Eropa dan bahkan sudah disebut sejak zaman kerajaan Majapahit. Tanjungpura yang meliputi Melano, Simpang, Lawai, (Lawai was usually named in conjunction with Tanjungpura, which also vanished from the record at about the same time (dalam Smit 2000) Masyarakat mengenal Kayong, Kendawangan, Benua Lama, Kandang Kerbau (Sukabangun), Tembilok (Sei Awan) Tanjung Kaili, Cilincing. Nama Ketapang diduga berasal dari pohon ketapang yang banyak hidup di daerah tersebut dan juga sebagian masyarakat mempercayai dengan legenda bahwa daerah tersebut pada zaman dahulu banyak yang mempergunakan transportasi air dengan perahu sampan yang selalu diikatkan pada pohon ketapang jika mereka berhenti atau istirahat di dalam perjalanan. Catatan nama Ketapang sejak Hindia Belanda.
Sejak tahun 1936 Ketapang adalah salah satu daerah Afdeling yang merupakan bagian dari Keresidenan Kalimantan Barat (Residentis Wafdeling Van Borneo) dengan pusat pemerintahannya di Pontianak. Kabupaten Ketapang. Ketapang berstatus Afdeling yang disempurnakan no. 58 Stard Blood 1948 dengan pengakuan pemerintahan Swapraja yang teragi 3 yaitu, Sukadana, Simpang dan Matan digabung menjadi Federasi. Pembentukan Kabupaten Ketapang Undang-undang nomor 25 tahun 1956 yang menetapkan status Kabupaten Ketapang sebagian Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, dipimpin seorang Bupati




Komunitas Melayu Kayong Ketapang
Menyebut nama Kayong sering disebut dengan Kayung, dalam pengertian Kayong dengan Kayung selintas sama akan tetapi perbedaan tersebut mengandung beberapa pengertian. Satu sisi ada yang mengatakan Kayong adalah sebuah anak sungai yang berada diwilayah kabupaten Ketapang, diceritakan bahwa pada suatu hari penduduk yang berasal dari Kayong berselisih paham dengan penduduk yang lain, akibat dari perselisihan itu menimbulkan perkelahian, dengan kekuatan gaib ilmu kilas jantung seketika musuh tersebut mati ditempat, sehingga masyarakat yang lain sangat takut dengan penduduk yang mendiami daerah Kayong, kekuatan dan kesaktian ilmu yang dimiliki didaerah tersebut tersebar secara luas, sehingga masyarakat lainnya sangat sengan dengan wilayah tersebut. Kayong sangat terkenal dengan ilmu, baik ilmu agama Islam maupun ilmu yang mempunyai kekuatan supra natural, kenyakinan ini diperkuat dengan bukti-bukti yang masih banyak terdapat di daerah Ketapang (Wawancara Bpk Pransuma 2007). Beberapa bukti yang ditemukan dan disenyalir bahwa Islam sudah masuk sekitar abad 15 dengan bukti keramat Tujuh maupun keramat Sembilan yang terdapat di Benua Kayong.
Pengertian Kayung yang disebut oleh beberapa suku yang ada di kabupaten Ketapang dalam kaidah pengucapan huruf Kayong ucapan Kayung, namun ada juga yang mengertikan bahwa Kayung adalah sebuah peninggalan kapal layar tua yang bertuliskan dengan kata Kayung, kandas di sungai Pawan kabupaten Ketapang.(Wawancara Dardi D.Haz 2007)
Suku Melayu Kayong juga disebut dengan orang Ketapang, perbedaan sangat mendasar bahwa jika menyebut dengan kata Ketapang juga disebut dengan Kayong, padahal Kayong hanya merupakan anak sungai yang ada di kabupaten Ketapang..
Berbagai cerita rakyat berkembang mengatakan bahwa Melayu Kayong adalah keturunan dari Jawa, yang dibawa oleh Prabu Jaya dari kerajaan Majapahit yang terdampar di daerah sungai Pawan yang disebut juga dengan Kuala Kandang Kerbau. Atas permintaan isterinya (Putri Junjung Buih). Prabu Jaya membangun pemukiman kemudian dinamakan Kayung. Jika menyimak cerita rakyat Pateh Inte dan Demung Juru. Di ceritakan bahwa terpisahnya orang ulu (darat) dengan orang laut ketika terjadi bencana yang sekarang menjadi Danau Demung Juru dan Pate Inte wilayah kecamatan Muara Pawan. Akibat dari pengungsian tersebut mereka berpisah ada yang menuju ke arah darat dan ada yang menuju kearah laut, yang darat disebut dengan orang Dayak dan yang kearah laut disebut dengan Melayu. Melayu dan Dayak di kabupaten Ketapang dalam pengertian ini adalah bersaudara, sehingga mereka saling hormat menghormati dan menjadi daerah yang aman kondusif.
Kabupaten Ketapang adalah merupakan salah satu daerah yang paling aman, tertib, bersih dan masyarakatnya sangat taat memengang tenguh kenyakinan agama Islam. Perselisihan yang terjadi dengan cepat dapat diselesaikan oleh masyarakatnya sendiri. Ketika terjadi kerusuhan di daerah lain di Kalbar bergabunglah beberapa etnis mengadakan kesepakan untuk menjaga keamanan lingkungan yang disepakati bersama-sama etnis yang ada di kabupaten Ketapang

Membangun Perdamaian Kabupaten Ketapang
Kesepakatan semua etnis yang ada di kabupaten Ketapang, dicetuskan pada hari Rabu 21 Maret 2001, berikrar akan tetap hidup damai, rukun saling menghormati, menghargai, serta meningkatkan tali persaudaraan sejati antara satu dengan lainnya. Mereka juga berjanji tidak akan terprovokasi untuk melakukan pertikaian antar etnis seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Ikrar tersebut diucapkan oleh beberapa perwakilan dari sembilan etnik dalam acara adat Tolak Bala yang dipimpin Raja Ulu Ae”k, Petrus Singa Bangsa, yang didampingi 300 tokoh spritual Dayak di Ketapang. Kesembilan etnis yang berikrar itu meliputi Suku Dayak,Melayu Kayong,Madura,Tionghoa,Bugis,Jawa,Batak,Padang,serta suku-suku dari Nusa Tenggara Timur (NTT).Acara tersebut dihadiri oleh Bupati Ketapang Morkes Effendi, Komandan Korem 121/ABW Kalbar Kolonel (Inf) L Simanjuntak, serta puluhan ribu warga Ketapang.
Sebelum pembacaan ikrar perdamaian, terlebih dahulu di lakukan acara arakan tanah keramat mengelilingi Tugu Tolak Bala yang dibangun dijantung Kota Ketapang pada bulan Agustus tahun 1998 yang lalu. Tanah ini secara khusus diambil segenggam oleh setiap pemimpin spritual Dayak dari tempat upacara ritual yang ada di masing-masing wilayah adat.
Setelah arakan, tanah keramat disimpan ditaman di selatan Tugu Tolak Bala. Pada saat yang sama disembelih seekor babai, seekor kambing, dan tiga ekor ayam. Darah tiga jenis hewan tersebut dioleskan pada Tugu. Dalam Upacara ritual juga diringi dengan gamelan Duate dan Bujur, musik khas Dayak setempat. Dalam ikrar perdamaian, dua tokoh Madura Ketapang, Misradji dan Marsuin, menyatakan,”Kami bangsa Indonesia Suku Madura berirar untuk taat kepada hokum, serta peraturan yang berlaku, mau hidup berdampingan dengan sesama suku yang ada di wilayah kabupaten Ketapang, menghormati setiap orang beserta harta miliknya. Membina anggota suku kami yang berprilaku mengancam perdamaian”
Sementara masyarakat Dayak yang diwakili A Rantan serta Marjono Piling, berikrar untuk taat kepada hokum dan peraturan yang berlaku. Menjaga mengembangkan pergaulan yang manusiawi, sederajat dengan semua orang tanpa memandang suku, agama, dan status social, juga ikut mengembangkan setiap sector kehidupan dengan bekerja keras dan selalau menggunakan daya piker yang positif. Meningkatkan kehidupan yang sehat, baik jiwa maupun araga, menyadari harga diri dan hidup penuh tenggang rasa sehingga menjadi masyarakat yang patut dicontoh semua orang.
Komitmen bersama yang diucapkan oleh Romo Matheus Juli Pr selaku pengagas acara tersebut mengatakan, acara Tolak Bala digelar atas prakarsa dan niat luhur dari seluruh pemuka adat dan tokoh spritual dayak se-kabupaten Ketapang, setelah mereka mendengar adanya konflik antaretnis di Kalimantan Tengah, karena itu mereka tidak rela jika tragedy serupa terjadi di Ketapang yang berbatasan langsung dengan Propinsi Kalteng.
Upaca Tolak Bala terbukti sangat efektifv dalam meredam gejolak social dan menjauhkan masyarakat Ketapang dari segala bentuk malapetaka dan marabahaya. Konflik antar etnis yang meletus di Sanggau Ledo (1997) dan Sambas (1999), tidak meluas hingga ke Ketapang, sebab semua etnis yang berdomisil di Ketapang merapatkan barisan, menggalang kebersamaan dan persaudaraan. Kendati demikian, Matheus mengingatkan, ikrar perdamaian yang dibacakan kesembilan wakil etnis tersebut akan efektif manakala disertai perjuangan dari masing-masing individu untuk mewujudkannya. Bahkan, persaudaraan sejati dan kerukunan yang diucapkan baru akan berjalan seperti diciptakan jika semua warga dengan tulus mau menerima satu sama lain dengan segala kekurangan dan kelebihannya. “Ini yang perlu disadari semua masyarakat Ketapang”
Panglima Kodam VI/Tanjungpura Mayjen Djoko Besariman dalam sambutan tertulis yang dibacakan Komandan Korem 121/ABW Kalbar mengatakan, konflik etnis yang terjadi selama ini lebih disebabkan kurangnya kerjasama antar etnis. Hal itu menyebabkan terbatasnya pemahamn terhadap kelebihan dan kekurangan dari masing-masing etnis sehingga begitu timbul perseteruan, langsung berkobar menjadi konflik yang sangat besar. Untuk itu, Pangdam mengajak seluruh masyarakat kalimantan agar segera bercermin dari tragedy yang terjadi selama ini, bahkan fakta dilapanagan memperlihatkan pula bahwa peran yang dilakukan oleh pemuka adat dan tokoh agama terbukti sangat efektif dan berhasil meredam ketegangan social.
“Kerena itu, seandainya semua tokoh masyarakat dimana saja mau mencontohi langkah yang dilakukan pemuka adat se Kabupaten Ketapang, saya yakin gesekan atau masalah yang dihadapi warga dari etnis yang berbeda pasti dapat terpecahkan, dan tidak meluas menjadi perttikaian social.”. Pangdam mengatakan hal tersebut sekaligus menghimbau bagi masyarakat agar dapat saling menghargai sesama, dan saling menghormati untuk tetap menjaga keamanan dan kestabilan masyarakat Kalimantan pada umumnya.

Tidak ada komentar: