Sabtu, 02 Agustus 2008

Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Melayu Pontianak

Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Melayu Pontianak

Oleh : M.Natsir

A. PENDAHULUAN

Permasalahan kebudayaan nasional sudah terlalu sering dijadikan pokok pembicaraan. Hal ini tidaklah mengherankan, namun juga tidaklah perlu pula menjadi dianggap membosankan karena sesungguhnyalah kebudayaan nasional Indonesia ini masih berada dalam tahap arus deras pertumbuhannya, sehingga dengan demikian senantiasa dirasakan actual. Konsep dan kesadaran mengenai kesatuan bangsa Indonesia baru dinyatakan pada tahun 1928, dengan apa yang kita kenal dengan Sumpah Pemuda, sedangkan keberadaan bangsa Indonesia itu secara aktual, dengan sarana sebuah negara yang berdaulat, kemudian terwujud melalui proklamasi Kemerdekaan negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Biasanya nilai-nilai budaya daerah diacunya dalam tata kehidupan domestik, serta pada kondisii tertentu juga dalam tata kehidupan kemasyarakatan. Yang terakhir ini biasa dikaitkan dengan pelaksanaan upacara atau tata cara pada peristiwa yang paling penting dalam daur kehidupan seperti kelahiran, kematian, serta perkawinan. Dalam segi kehidupannya yang lain meliputi persekolahan, perkantoran, serta keorganisasian untuk berbagai tujuan. Nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah negara, Pancasila, dianutnya sementara ia juga menghayati nilai-nilai tata pergaulan kesukubangsaannya. Daerah Kalimantan Barat terdapat dua etnis yang dominan yaitu etnis Dayak dan etnis Melayu. Etnis Dayak umumnya tinggal di daerah pedalaman, sementara itu etnis Melayu lebih banyak tinggal di daerah pesisir atau kota. Di dalam melangsungkan kehidupan social budaya, tentu saja terdapat perbedaan antara suku yang satu dengan yang lainnya, meskipun dalam rumpun yang sama, misalnya dalam satu rumpun suku Melayu. Kehidupan social budaya suku Melayu Sintang berbeda pula dengan suku Melayu sanggau. Namun perbedaannya tidak nampak menyolok, karena suku Melayu di Indonesia pada umumnya dan suku Melayu Kalimantan Barat khususnya, pada dasarnya mempunyai keyakinan yang sama yaitu memeluk Islam.

Dalam hubungannya dengan perkembangan kebudayaan, potensial sosial budaya akan selalu merekat pada kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak akan dapat mempertahankan hidup tanpa budaya atau kebudayaan, dan sebaliknya kebudayaan tidak akan berkembang dengan sendirinya tanpa masyarakat. Apabila kita mambahas kebudayaan sebagai subyek kajian dengan pendekatan murni ilmiah, maka tak pelak lagi kita harus membicarakannya dalam kaitan dengan teori-teori yang akan menjadi pengarah untuk melakukan penafsiran, di samping itu ditentukan oleh adanya cukup data yang akurat dan pengolahan dengan metode yang jernih, juga tergantung dari kekuatan teori beserta berbagai sarana penalaran yang lain. Pembahasan ilmiah adalah untuk memperoleh kebenaran ilmiah, melalui jalan ilmiah.

Dalam hal ini Indonesia, perkembangan kebudayaan diarahkan oleh cita-cita bangsa persatuan antar etnik, yang diimplementasikan oleh pembentukan negara kesatuan dan berbagai program pembinaan. Teori kebudayaan yang lebih mewarnai program pembinaan kebudayaan masyarakat Indonesia adalah teori yang bersifat idealistic. Hal ini terlihat dari diutamakannya Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang selanjutnya diharapkan menjadi pengaruh dari seluruh tindakan orang Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bermasyrakat.

Koentjaraningrat (1982 : 35) menyatakan bahwa kebudayaan nasional dari suatu nation, agar dapat dihayati oleh sebagian besar dari pada warga suatu negara, maka sebagai syarat mutlak harus merupakan suatu gagasan, suatu aktifitas social, atau hasil karya yang bermutu tinggi dari warga nation itu sendiri agar dapat menjadi kebanggaan bagi sebagian besar dari waga negara yang mendukungnya.

Sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat tersebut, maka perlu dilakukan suatu aktifitas yang akan menghasilkan karya yang bermutu tinggi sebagai usaha untuk memperkenalkan kebudayaan pada masyarakat tertentu di Indonesia agar dikenal oleh masyarakat lain secara luas. Pada umumnya masyarakat mengenal suku Melayu, akan tetapi jika dilihat pada suku Melayu Pontianak mempunyai nilai-nilai yang bersifat dinamis mudah menerima masyarakat luar yang datang dan bersifat kekeluargaan. Modal dan potensi yang bisa dikembangkan menjadi salah satu asset budaya yang mempunyai nilai jual untuk dikembangkan sebagai salah satu objek wisata bagi masyarakat luas, hal ini memungkinkan jika dikemas secara propesional, bahwa social budaya menjadi daya tarik tersendiri bagi wilayah Kota Pontianak pada khususnya.

B. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU

Dari segi sejarah, kelompok etnik melayu adalah kelompok masyarakat yang berasal dari anak benua dan kepulauan yang berpusat di Asia Tenggara yang meliputi negara Malaysia, Indonesia, Singapura, Thaiand, Burma, Kamboja dan lain-lain. Anggota kelompok ini telah lama mendiami rantau ini, namun secara tepatnya belum ada kepastian bagaimana mereka datang.Khususnya di Kalimantan Barat, kelompok etnik Melayu adalah adalah kelompok etnik mayoritas yang tersebar di kawasan pesisir, dan merek merupakan kelompok etnik yang telah lama bermukim di daerah ini. Bahkan secara umum kelompok etnik ini dikenal sebagai salah satu penduduk asli Provinsi Kalimantan Barat selain etnis Dayak yang lebih banyak tiggal di daerah pedalaman di wilayah Kalimantan Barat

Mengenai asal usul dan keberadaan kedua kelompok etnik tersebut di Kalimantan Barat, para ahli sejarah dan antropologi mempekirakan bahwa kedatangan anggota dari kedua kelompok etnik tersebut ke Kalimantan Barat dilakukan dua tahap pertama adlaah kedatanagn kelompok etnik dayak dan tahap kedua adalah kedatanagn kelompok etnik melayu. Pada tahap atau periode pertama, kedatangan kelompok etnik Dayak ke Kalimantan Barat merupakan kedatangan gelombang pertama, dimana mereka langsung datang ke wilayah ini tanpa melalui proses persinggahan ke tempat lain di wilayah Nusantara dan hal ini terjadi jauh sebelum agama Islam masuk ke Nusantara, tetapi dipekirakan setelah Nusantara terpisah dari daratan Asia (Alqadrie, 1992 : 9)

Banyak versi tentang sejarah Melayu Pontianak. Melayu Pontianak terdiri dari Arab dan Dayak, Turiman,(dalam http:// www. Pontianak.co.id) Pendapat dari Syarif Muhammad AlQadrie, (dalam http:// www. Pontianak.co.id) bahwa Melayu Pontianak berasal dari Riau. Keberadaan Melayu tak terlepas dari sejarah Kota Pontianak, perananan Sultan Syarif Abdurrahman AlQadrie pendiri Kota Pontianak yang beribu Nyai Tua seorang dayang pada kerajaan Matan keturunan Dayak yang telah masuk Islam (Hasanudin, 2000:13), sedangkan Sultan Syarif Abubakar AlQadrie,2004:52, mengungkapkan Nyai Tua seorang keturunan Dayak yang telah masuk Islam masih simpang siur.

Penanda identitas sosial tidak bersifat tetap atau stabil namun dapat berubah dalam kondisi tertentu. Sifat penanda identitas yang situasional dan selalu dapat berubah ini tanpa jelas dengan dimasukannya perbedaan-perbedaan agama ke dalam proses konstruksi identitas. Ke Dayakan seseorangpun dikaitkan dengan agama Kristen dan dipertentangkan dengan Islam, agama yang dominan di Indonesia. Bila seorang Dayak masuk Islam, mereka tidak lagi dianggap sebagai Dayak, tetapi justru menjadi seorang ‘Melayu’ (Coomans,1987:29, dalam Maunati,2004).Karenanya, tak heran bahwa menunjukan batasan antara Melayu dan Dayak di daerah-daerah tertentu di Kalimantan menjadi hal yang agak problematik mengingat cara pergeseran dari Dayak ke Melayu ini. Jadi, Dayak tidak dengan sendirinya berbeda jauh dari kelompok-kelompok ‘etnis’ di sekitarnya, kendati kelompok-kelompok itu tidak dengan begitu saja terbentuk. Kebertumpang tindihan budaya ini barang kali sudah menjadi aturan, ketimbang,perkecualian, sekarang ini, karena seperti dikatakan, semua kebudayaan terkait satu sama lain; tak satupun yang tunggal dan murni, semuanya hybrid, heterogen, tidak monolitik, dan tak ada yang luar biasa khas’ (Said,1993:30, dalam Maunati,2004)

Pengertian lain juga diungkapkan oleh Haji Abang Imien Thaha (dalam wawancara tanggal 16 Desember 2005), pada dasarnya Melayu di Kalimantan Barat adalah orang Dayak yang masuk agama Islam mereka menyebut dengan masuk Melayu yang dinamakan orang laut, sedangkan yang beragama lain, disebut dengan orang darat .Sellato menyatakan bahwa 90% Melayu di Kalimantan Barat adalah Dayak yang memeluk Islam. Maknanya adalah bahwa Melayu dan Dayak sama-sama “asli”. Kalau kemudian di Kalimantan Barat terdapat banyak orang Melayu yang bukan keturuan Dayak, hal itu merupakan perkembangan baru (dalam makalah Effedi. 2005).

Suku bangsa Melayu dapat dibedakan menurut daerah administrasinya . Ada suku bangsa Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Melayu Mempawah, Melayu Sanggau, Melayu Sintang, Melayu Ketapang dan Melayu Kapuas Hulu. Perbedaan ini disebabkan karena pada masa lalu masing-masing daerah Tingkat II itu diperintah oleh raja-raja lokal yang berdiri sendiri-sendiri. Namun perbedaan ini tidak begitu besar dan hanya nampak dalam hal dialek bahasanya saja. Dalam hal adat istiadat perbedaannya tidak begitu kentara karena adat istiadat itu didasarkan atas sumber yang sama yaitu ajaran agama Islam, sehingga pengertian Islam dan Melayu di daerah ini sangat identik. Masuk Islam dari agama lain disebut juga masuk Melayu dan masuk Melayu berarti berganti agama dari bukan Islam menjadi Islam ( Sastrowardoyo, 1983/1984: 15, dalam Rahmawati.2003).

Sedangkan jika dilihat dari unsur kebudayaan lainnya di antara beberapa sub kelompok etnik Melayu tersebut, tidak terdapat perbedaan yang mendasar/ mencolok, dikarenakan karena kebudayaan Melayu Kalimantan Barat sangat kental atau sangat dipengaruhi oleh unsur kebudayaan Islam. Berdasarkan perbedaan dialek bahasa yang digunakan, maka sub kelompok etnik Melayu di Kalimantan Barat dapat dibagi atas: Melayu Pontianak, yang meliputi persebaran di daerah Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak ; Melayu Sambas, sebagai bekas kerajaan sambas; Melayu Ngabang, sebagai sisa peninggalan Kerajaan Ngabang (Landak) dengan wilayah persebarannya di Kecamatan Ngabang dan Darit; Melayu Sanggau di Kabupaten Sanggau; Melayu Sintang di Kabupaten Sintang yang ditandai dengan pernah berdirinya Kesultanan Sintang, di mana anggota kelompok etnik Melayu banyak bertempat tinggal di sekitarnya. Melayu Kapuas Hulu di Kabupaten Kapuas Hulu, yang ditandai dengan bekas peninggalan Kesultanan Silat dan Kesultanan Bunut; Melayu Ketapang di Kabupaten Ketapang.Kerajaan Tanjungpura.

- E. Godinho de Eredia, “declaracam de Malaca India Medionale Com O Cathay (1613). Terjemahan dari bahasa Portugis ke dalam bahasa Inggris oleh J.V.Mills dalam JMBRAS VIII, Part. I 1930 “The Malaios are All Serracenos or Mariscos” (Orang Melayu itu semuanya Islam atau Muslim).

- Prof. P.J.Veth, “Het Landschap Deli Op Sumatra”, Tag 1877, Deel II: “De Maleiers Zijn Mohammedanen” (Orang Melayu itu orang Islam) Sinar, (1994: 9-10).

Secara umum, masyarakat Melayu mempunyai lima falsafah dan berlandaskan lima dasar yaitu: Melayu itu Islam, yang sifatnya universal, demokratis dan bermusyawarah;Melayu itu budaya, yang sifatnya nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku dan lain-lain; Melayu itu beradat, yang sifatnya regional (kedaerahan dalam Bhinneka Tunggal Ika, dengan tepung tawar, beras pulut kuning, dan lain-lain, yang mengikat tua dan muda; Melayu itu berturai, yang tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib, mengutamakan ketentraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan harga menghargai timbal balik. Bebas tetapi terikat dalam masyarakat; Melayu itu berilmu, artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebatinan agama dan mistik, agar bermarwah dan disegani orang untuk kebaikan umum.

Kelima falsafah tersebut haruslah dijalankan oleh orang Melayu (dalam Irini Dewi Wanti, 1998: 26) Perkembangan Islam yang lebih cepat dilakukan oleh Al Habib Husin dari negeri Hadral Maut yang menurunkan raja-raja Pontianak. Karena jasa Al Habib Husin tersebut, maka sebagian raja- raja di Kalimantan Barat kemudian menganut agama Islam, yang cenderung terus diikuti oleh rakyatnya. Penganut agama Islam itu rata-rata taat menjalankan ibadahnya. Madrasah-madrasah dan masjid-masjid berdiri di mana-mana. Namun demikian, kepercayaan umat beragama Islam di daerah Kalimantan Barat masih banyak bercampur dengan keyakinan-keyakinan yang bersifat mistik.

· MASYARAKAT MELAYU PONTIANAK

Meskipun suku-suku bangsa tersebut masing-masing memiliki cirri khas tertentu, namun diantaranya tetap memperlihatkan unsur kesamaan tertentu antara satu dengan lainnnya. Unsur kesamaan itu salah satunya dilatar belakangi oleh jalinan interaksi kebudayaan dan manusia yang telah berlangsung sejak zaman dahulu sampai sekarang.

Gambaran terhadap suku melayu kampung Dalam Bugis secara umum dapat diamati dalam berbagai dimensi. Hal ini data mencakup tentang aspek social, budaya, adat istiadat, religi, budaya hidup, sikap orientasi, dan sebagainya. Setiap aspek tersebut memiliki intensitas tersendiri sesuai dengan objek jangkauan masing-masing. Kampung Dalam Bugis merupakan suatu wilayah yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Kampung Dalam Bugis yang mempunyai luas wilayah kelurahan 198 hektar. Karena luas wilayah Kampung Dalam Bugis sempit, maka orang lebih mengenal dengan sebutan Kampung Dalam.

Adapun batas-batas wilayah Kampung Dalam Bugis adalah sebagai berikut:

· Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Hilir.

· Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Saigon

· Sebelah Selatan berbatsan dengan Kelurahan Tambeland Sampit

· Sebelah Barat berbatasan dengan sungai Kapuas.

Kondisi geograis Kampung Dalam Bugis mempunyai ketinggian tanah dari permukaan laut 0.85-2.00 M, banyaknya curah hujan kurang dari lebih 1500-2000 mm/tahun, topografi daerah merupakan dataran dengan suhu rata-rata 220 C sedangkan jarak dari pusat kota kurang lebih 3 Km. Keadaan wilayah Kampung Dalam Bugis merupakan dataran rendah. Keadaan ini meyebabkan beberapa rumah penduduk berada di atas air yaitu yang berada di tepian sungai kapuas. Kerapatan rumah yang berada di atas air ini cukup padat. Jalan-jalan penghubung antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya dibuat dari susunan kayu ulin/ belian yang membujur di atas air dengan menggunakan tiang-tiang yang tinggi.

Sederatan bangunan rumah-rumah asli orang Melayu dapat dijumpai di tepi-tepi sungai kapuas dan berada di atas air. Hal ini menunjukkan bahwa kedatangan orang Melayu yang mendiami kampung yang lebih menyukai tinggal di pinggir sungai kapuas, karena waktu itu sungi kapuas menjadi saran transportasi yang utama. Saat kedatangan orang Melayu yang pertama kali, sarana transportasi yang berupa jalan darat belum ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Veth (1854) bahwa para pedagang menetap dan mendirikan perkampungan baru di Pontianak pada umumnya mereka memilih lokasi permukiman di sekitar Sungai Kapuas dan di sepanjang Sungai Kapuas Kecil.

Melayu di Kalimantan Barat identik dengan Islam, rumah-rumah suku Melayu yang ada di sepanjang sungai Kapuas menunjukan ciri khas keIslaman yang sangat kuat tradisi arsitektur bergaya tradisional Melayu, Eropa dan Arab mewarnai aksesoris yang melekat di dalamnya seperti kesultanan Pontianak. Istana Kadriah merupakan sebuah bangunan yang mencirikan reprentasi dari gaya tersebut, berkolaborasi ciri Dayak,Melayu,Bugis dan Cina dan mengambarkan multicultural masyarakat sebagai sebuah symbol peradaban yang sangat menghargai sesamanya.

Tradisi arsitektur Melayu yang masih tertinggal kini sudah banyak yang tergerusi oleh perubahan jaman dan sebagian ada yang sudah dirubah bentuk dari aslinya, sehingga eksestensi nilai yang melekat otomatis berubah, symbol yang melekat tidak lagi mengambarkan keunikan yang dipesankan oleh leluhur terdahulu, bahwa walaupun berbeda akan tetapi tetap bersatu saling menghargai satu sama lainnya, membentuk kompigurasi aneka warna yang penuh keindahan. Keseimbangan diantara satu sama lainnya yang akan melahirkan kebersamaan dalam menata kehidupan menjadi pesanan yang tidak boleh dilupakan oleh kita pada jaman modern ini.

Rumah mengambarkan sebuah symbol keberadaban dan menjadi kebanggaan bagi pemiliknya, prestise yang melekat menentukan stratifikasi kedudukan penghuninya, kepercayaan diri semakin tinggi manakalah rumah tersebut dibuat dari hasil proses yang benar, seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dengan ritual rumah baru dengan jiwa baru dan semangat baru untuk membangun jati diri identitas suatu suku yang diwakilinya. Rumah yang bergaya tradisional pada umumnya merupakan warisan budaya dan sejarah masa lalu yang di miliki oleh sebagian orang Melayu di sepanjang sungai kapuas dan pemilik umumnya mempunyai kedudukan dan pengaruh yang kuat ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang ada, sehingga ia menjadi masyarakat yang dibanggakan oleh warganya dan juga bisa menjadi tempat musyawarah menyelesaikan pelbagai permasalah atau problem masyarakat pada umumnya.

Arus globalisasi yang masuk di dalam setiap sendi kehidupan masyarakat, secara tidak sadar melahirkan pemikiran modern terpengaruh oleh perubahan jaman, secara prontal merombak tatanan, tata ruang di dalam arsitektur itu sendiri dan terkesan tanpa meninggalkan pesan moral di dalamnya, jika tidak secepatnya diantisipasi maka secara perlahan-lahan ia akan terkikis oleh perubahan waktu, tanpa meningalkan pesan bagi generasi yang akan datang. Arsitektur Melayu yang masih ada jika di renovasi akan menjadi nilai jual yang bernilai tinggi karena ia tidak jauh dari tempat-tempat yang bersejarah dan bisa menjadi sebuah perkampungan budaya yang membangun kehidupan ekonomi kreatif masyarakat di sekitarnya, sehingga dengan budaya mereka bisa merubah kehidupan yang lebih baik lagi.

Upaya yang harus di lakukan oleh para cerdik pandai adalah dengan merevitalisasi yang masih ada, hal ini sangat perlu untuk tetap dilestarikan mengingat peninggalan ini adalah bagian warisan budaya yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Perlunya diadakan penelitian mengingat hanya tinggal beberapa buah yang bisa ditempati oleh pemiliknya. [1]Berbagai lokasi yang dilihat disepanjang sungai kapuas sekitar 10 rumah Melayu di kampung Tambalan Sampit, 10 rumah di kampung Kamboja dan 2 rumah di kampung Melayu dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Ø UPACARA ADAT

· Tradisi Tepung Tawar

Upacara adat Tepung Tawar kini telah menjadi sebuah keharusan, menjadi sebuah trend dijaman moderns ini, tentunya kita melirik kembali tentang keberadaan upacara tradisi Tepung tawar ini yang pada jaman dahulu seperti menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat yang melaksanakan sebuah upacara-upacara baik upacara di dalam kehidupan rumah tangga maupun upacara bagi masyarakat pada umumnya. Upacara tradisi Tepung Tawar umumnya bayak dilakukan oleh masyarakat Melayu dan Suku Dayak akan tetapi pada masyarakat Melayu upacara tepung tawar yang dikenal pada umumnya ada empat jenis yakni Tepung Tawar Badan, Tepung Tawar Mayit, Tepung Tawar Peralatan serta Tepung tawar Rumah. Dari empat jenis Tepung Tawar tersebut masing-masing mempunyai perbedaan baik yang menyangkut peralatan maupun bahan-bahan yang dipergunakan. Seperti Tepung Tawar Badan komposisinya terdiri dari, tepung beras, beras kuning, berteh daun juang-juang, daun gandarusa ,daun pacar, serta miyak bau (miyak Bugis). Miyak bau nantinya diolesi pada bagian tubuh tertentu dan bagi kaum wanita cukup dengan syarat tidak perlu menyentuh bagian tubuh (pusar)

Tradisi tepung tawar badan diperuntukan bagi anak kecil yang melaksanakan gunting rambut atau naik ayun (naik tojang), melaksanakan pernikahan, dan yang akan dihitan bagi laki-laki dan peremtuan. Objek yang akan diberikan menurut tata cara yang berlaku, serta dilampas dengan memakai daun juang-juang maupun daun ribu-ribu yang telah di celupkan pada seperangkat peralatan tepung tawar. Adapun bagian-bagian yang dikenakan secara berurutan pada kening, bahu kanan,bahu kiri, tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, serta kaki kiri sementara paduan berteh dihamburkan pada kiri dan kanan tersebut. Ritual tepung tawar tidak bisa dikerjakan sermbarangan karena menggunakan lafaz khusus yang tidak bisa diungkapkan disini, perlu diterima terlebih dahulu pada ahlinya.

Tepung tawar bisa juga dilakukan bagi keluarga yang meninggal setelah tiga hari dimakamkan, umumnya dilakukan sebagai pembersih peralatan yang dipakai mandi mayit, peralatan yang disimpan diluar rumah di tepung tawar yang disebut dengan acara Pesulli (pembersihan peralatan mayit). Peralatan di dalam kehidupan seperti kendaraan sepeda motor, mobil, sampan,umumnya kendaraan ini dipasang pada saat baru dipakai dan ketika mengalami musibah. Tujuannya untuk meminta keselamatan dengan kenyakinan bahwa masih ada kekuatan gaib yang mempengaruhi di dalam kehidupan dan tetap memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tepung tawar mayit dengan tepung tawar yang lain tidak jauh berbeda hanya minyak bau yang tidak dipakai dan diganti dengan telur ayam yang diletakan pada tong tempat air memandikan mayit. Tujuan dari upacara tepung tawar mayit yang dikenal dengan Pesilli agar ahli keluarga yang ditinggalkan senantiasa sabar menerima cobaan dari Allah. Dapat terhindar dari musibah dengan memohon agar dijauhkan dari segala musibah yang datang dengan mohon keselamatan, tidak hanya manusia dan juga peralatan yang telah dipakai dengan wujud terimakasih telah dipergunakan sebagai peralatan mandi.

Pada pelaksanaan ritual tepung tawar mayit peralatan yang dipakai dilampas dengan daun ribu-ribu serta peralatan yang lainnya. Peralatan yang sudah bersih baru boleh dibawa masuk kedalam rumah yang sebelumnya di simpan diluar rumah. Telur yang disimpan pada tong dibuang segera dan tempat pemandian mayit ditaburi dengan abu dapur sebagai ungkapan bahwa di dalam kehidupan semua pasti mati dan yang telah terjadi menjadi pasrah laksana abu yang kembali ketempat asalnya.

Upacara ritual tepung tawar peralatan sama seperti tepung tawar yang lainnya, hanya tidak menggunakan miyak bau. Biasanya yang ditepung tawar ini adalah kendara yang baru maupun kendaran yang telah mendapat musibah seperti setelah kecelakaan atau kendaraan hilang ditemukan kembali. Kepercayaan masyarakat dengan menepung tawar kendaraan bahwa , kendaraan yang dipergunakan bisa membawa keselamatan dan juga bisa mendatangkan musibah, karena kendaraan tersebut mempergunakan bahan-bahan yang terbuat dari besi, hal ini disebut tua besi, bahwa besi bisa membawa tuah keberuntungan dan juga bisa membawa kerugian. Kepercayaan ini masih melekat dimasyarakt pada umumnya bahwa besi tersebut mengandung kekuatan gaib ( ada penunggunya mahluk halus yang sering mengikuti besi). Sehingga kepercayaan ini tidak terlepas dari memohon agar kekuatan yang ada tersebut dapat menjadi sebuah kekuatan positip dapat mempengaruhi jiwa pemakainya. Dan meminta ijin agar selalu di dalam keselamatan. Jika ini tidak dilakukan dengan tepung tawar sebagian kepercayaan masyarakat akan mempengaruhi jiwa, kendaraan bisa menabrak atau ditabrak dan bahkan bisa hilang dicuri yang biasa diungkapkan dengan kata-kata “Sueh”. Lafaz doa yang disebutkan tidak bisa sembarangan melalui tata cara tertentu.

Upacara Tepung Tawar bagi anak bayi juga dilakukan dengan upacara ritual dengan segala persiapan yang disediakan bagi ahli keluarga yang mempunyai hajatan. Peralatan yang perlu dipersiapkan dan dengan lengkap harus sudah ada jika acara dimulai. Adapun perlengkapan alat-alat tersebut antara lain; Beras yang ditumbuk dicampur dengan daun pandan dan kunyit dibuat tepung.Daun-daun yang diperlukan untuk alat tepung tawar ialah daun kelapa yang dibuat seperti bunga tapak bebek diberi bertangkai disebut pentawar, dengan jumlah dua buah. Kemudian daun-daun yang disusun dengan jumlah lebih kurang dan puluh jenis diikat kemudian dipotong ujung pangkalnya sehingga rata permukaannya disebut tetungkal dengan jumlah tiga buah.Nyiru kecil yang terbuat dari anyaman kulit bamboo atau disebut juga layau digunakan untuk mengipas-ngipas badan disebut tudung bakul. Besi, kayu arus, bekas kayu baker diikat dengan tali disebut mereka pengkeras. Benang diikat yang diputarkan diatas kepala menurut mereka mudah-mudahan keluarga itu dapat diikat hatinya menjadi suatu ikatan yang kuat dan kokoh tak ubahnya seperti benang itu.Tepung yang sudah ditumbuk dan diaduk di dalam tabung bamboo yang berukuran garis tengahnya lebih kurang dua puluh senti meter, dan setingginya delapan belas sentimeter yang terbuat dari bamboo Betung gunanya untuk menyimpan tepung yang sudah diaduk, tabung bambu ini disebut tudung telak. Beras dimasukan ke dalam gantang, sirih,pinang, tembakau,gambir, kapur,uang logam secukupnya disebut pengkeras. Beras yang dicelup dengan kunyit disebut beras kuning atau beras kunyit. Anggota yang melaksanakannya tiga orang untuk tetungkalnya dan dua orang untuk melaksanakan pentawarnya, dengan jumlah lima orang.

Cara melaksanakan tepung tawar ini setelah tepung diaduk, tetungkal dan penawar yang terbuat dari daun-daun dan daun kelapa itu dicelupkan pada tepung kemudian dicapkan pada kening, tangan kiri dan kanan, pusat, kaki kiri dan kanan dengan membaca selawat nabi atau doa untuk memohon keselamatan. Setelah selesai upacara Tepung tawar maka dilanjutkan dengan acara selanjutnya yaitu menggunting rambut bayi. Undangan yang hadir pada kegiatan tersebut adalah family dan tetangga yang terdekat.

Teori Interaksionisme simbolik sebagaimana dikemukakan oleh Veeger (1993:36, dalam Natsir) adalah mengambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti sistem,struktur sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisan sosial, struktur institusional, pola budaya, norma-norma dan nilai-nilai sosial, melainkan dengan memakai istilah “aksi”. Seperti peranan upacara adat yang tergambar akan menjadi sebuah daya rekat masyarakat, sehingga upacara tersebut semakin sering dilakukan akan semakin dapat mempererat yang sangat berkaitan satu dengan lainnya, sehingga menjadi sebuah kebutuhan dan adanya saling ketergantungan dan keseimbangan di dalam kehidupan bersama.

Perlunya dilestarikan nilai-nilai ritual upacara adat, karena di dalam upacara tersebut syarat dengan nilai-nilai di dalam kehidupan terutama kearifan local, bahwa manusia tidak terlepas dari kehilapan dan kesalahan, selalu memohon ampun dan petunjuk kepada Allah SWT, dengan terus melaksanakan kewajiban di dalam kehidupan di dunia, saling gotong royong, menghormati yang tua, menghargai lingkungan baik benda-benda yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak bahwa barang-barang tersebut mempunyai manfaat bagi kehidupan dan itu adalah bagian dari makluk Allah SWT yang tidak bisa disembarangkan dan juga air dan lingkungan agar selalu dijaga kebersihannya yang digambarkan dengan air tepung tawar yang dimaksudkan agar jagan saling curiga dan berprasangka buruk dengan yang lain dan mempunyai hati yang bersih. Selalu mempererat tali siratul rahmi dengan saudara-saudara yang ada disekitar kita terjaganya rasa solidaritas sesama di dalam kehidupan yang beragam, sehingga tercapai keingin bersama hidup di dalam keteraman terhindar dari mala petaka dan di jauhi bencana demi terwujudnya cita-cita semua manusia di muka bumi ini

  • Tradisi Saprahan (Makan Dalam Kebersamaan)

Kata Saprahan sudah asing terdengar di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini adalah sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi tersebut telah berganti menjadi sebuah trend baru prasmanan, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang atau masyarakat dalam satu majelis, saling berbagi rasa tanpa syak swangka, saling berhadapan sembari menikmati hidangan makanan di hadapannya.

Tradisi yang dibuat penuh dengan syarat nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat kini telah bergeser dari acara yang sebenarnya, jika kita lihat pada masa kini yang duduk di dalam satu majelis sudah tidak bisa membedakan dan tidak mengetahui posisi masing-masing menurut struktur social didalam masyarakat hal ini akan semakin sumbang jika yang saling berhadapan adalah bukan dari ahlul bait akan tetapi juga bukan muhrimnya sehingga eksestensi nilai di dalam kebersamaan akan menjadi suasana yang berbeda. Bagi pria dan wanita tentunya ada perbedaan di dalam majelis dan bagi bukan muhrim dapat dilakukan secara bergantian, terkecuali dalam jamuan keluarga, akan tetapi di dalam masyarakat yang datang dari berbagai lapisan harus dipahami, ya tau dirilah! Kita harus berada dimana?. Pemisahan ini bahwa di dalam tradisi Islam dilarang keras untuk duduk bersama yang bukan muhrim.

Kembali pada persoalan pokok bahwa yang disebut dengan Seprahan adalah shap-shap atau baris-baris mereka yang duduk menghadap makanan. Pada makanan ada juga yang dialas dengan kain putih maupun hijau yang membentang panjang juga ada yang ditumpuk pada satu talam. Panjang kain saprahan minimal 2 meter yang ukuran dapat menampung 10 atau 5 orang yang saling berhadapan. Mereka yang berhadapan biasa disebut barisan atau sap yang resminya 3 sap. Sap terdiri menurut strata social dari pada undangan, atau kedudukan mereka dimasyarakat. “Sap pertama biasanya mereka yang memiliki kedudukan penting, ketika pada zaman dahulu adalah diduduki oleh raja dan alim ulama, ditambah pembesar kerajaan. Kini sap tersebut bisa saja duperuntukan bagi pejabat. Sementara pada sap yang kedua di duduki oleh kaum kerabat terdekat, sedangkan pada sap yang ke3 buat masyarakat umum.

Dalam tradisi saprahan ada yang unik yakni tatacara atau tampilan hidangan. Andaikata mangkuk yang digunakan dalam hidangan yang berwarna putih, maka semua tempat diseragamkan dengan warna yang sama. Biasanya tempat tersebut terbuat dari keramik atau alumunium putih dilengkapi dengan kain lap atau serbet. Hidangan ini dibawa oleh kelompok atau grup pembawa saprahan dengan berpakaian seragam, terdiri dari 3 atau 5 petugas juga memakai sarung tangan dan kaus kaki putih.

Berpakaian khas telok belanga berkain corak insang dengan sopan santun yang dijunjung tinggi menerima tamu diperlukan kejelian bagi yang mendapat tugas tersebut.Bagaimana ketika mereka harus pandai memilih siapa tamu yang datang dan harus ditempatkan pada sap yang mana, sesuai dari ketokohan dan strata sosial dari undangan yang datang. Jika sap sudah penuh maka dengan segera disiapkan hidangan dihadapan para undangan” jumlah petugas yang telah ditentukan tidak boleh diganggu oleh orang lain. Mereka harus pandai meletakan serta menata lauk pauk serta hidangan. Letak mesti sejajar seperti kepala ikan yang menghadap ketimur, maka rangkaian barang yang diberikan semuanya diatur sama,”jika ada yang berlawanan arah, maka akan menjadi sumbang hilang kesan kebersamaan, keseragaman, serta kekompakan. Undangan jika melihat hal tersebut sumbang maka dengan segera memberitahu dengan pengantar agar segera dibetulkan posisinya. Namun semestinya yang ditugaskan harus jeli meletakannya.

Sementara ketika undangan makan, sebagian mereka harus hilir mudik memperhatikan lauk-pauk yang ada di depan para undangan. Jika habis harus segera diganti dengan tatacara tertentu. “Jangan pernah sekalipun menganti lauk yang habis dengan membawa makanan dari dapur kepiring di depan undangan, kemudian memindahkan makanan tersebut ke dalam piring yang telah dipakai sebelumnya.

Tradisi makan saprahan ada istilah yang disebut dengan kepala paret. Kepala paret yang ditunjuk adalah yang duduk pada sap yang paling depan atau pada bagian atas. Kepala paret menentukan memulai acara makan maupun menutup acara makan, ketika kepala paret memulai makan barulah diikuti dengan yang lainnya dan begitu juga jika kepala paret mengakhiri maka yang lain juga harus mengikutinya, jika masih dilanjutkan oleh yang lain disebut dengan selak’ atau buaya’. “Implementasinya adanya perasaan senasib, kebersamaan,sopan santun, menghargai yang dituakan atau menghargai pemimpin, karena pemimpin sudah menunjukan tatacara budi bahasa yang baik, penuh dengan kesopan. Adanya saling menghormati memuliakan pemimpin, tamu dan tidak boleh ada yang saling mendahului. Yang pasti semakin sering duduk dan makan di dalam kebersamaan maka semakin kental tali persaudaraan sesamanya.

Pada zaman dahulu posisi kepala paret sudah pasti raja. Namun untuk saat ini bisa saja diduduki oleh para pejabat, atau mereka yang dituakan. Kepala paret memang betul-betul diistimewakan. Mereka dengan hidangan khusus, dalam penyajian dilengkapi dengan mampan berwarna emas, tempat cuci tangan dan lap tangan bersih. Memulai makanan maka ahlul bait (tuan rumah) mempersilakan dengan hormat kepada kepala paret untuk segera memulainya

· Suguhan Makanan Tersaji Dalam Tiga Gelombang

Tiga gelombang yang disebut dengan tiga sesi hidangan yang berbeda undangan yang hadir pada suatu majelis. Biasanya ada kesepakatan dari ahli tuan rumah berupa nasi putih, sayur ikan pedas, sambal belacan,ayam,ikan asin,pisang raja atau pisang hijau, bahkan juga ada ditambah dengan makanan khas cencalok (anak udang halus yang diberi sambal), buduk” seperti biasa jika kepala paret sudah selesai makan diikuti dengan yang lain dengan meletakan sendok dengan cara terbalik, akan tetapi umumnya dilakukan dengan mengunakan tangan, tanpa sendok. Untuk acara kedua dimulai lagi seperti semula. Lazim disebut dengan gelombang kedua juga dengan kata-kata menunggu gelombang ke dua berupa hidangan pencuci mulut, kue-kue dengan segelas kopi dalam ukuran cawan kecil disebut dengan kopi mak jande”, kue berupa bingke berendam, belodar, roti kap. Pada acara berikut dengan menunggu gelombang ke tiga hidangan yang dikeluarkan ialah air serbat (air yang terbuat dari ramuan berwarna merah hati). Air serbat (aek penguser) sebagai tanda yang disebut dengan kode” bahwa acara sudah berakhir bagi undangan segera meninggalkan tempat jamuan. Akhir acara kepala paret menunjuk seseorang untuk membaca salawat nabi. Dalam acara makan saprahan tidak bisa dikerjakan sembarangan karena setiap tata cara mengandung kearifan local dan penuh dengan nilai-nilai yang dalam hal ini jika dihayati dan diambil arti atau maksudnya tersebut maka akan bermakna.

Pantangan yang berlaku dalam jamuan makan saprahan ialah jangan berbicara kotor serta keji, jangan berludah, jika ada yang bersin maka dengan segera meninggalkan tempat dan digantikan dengan yang lain. Para undangan dilarang mengambil bagian yang bukan dihadapannya. Secara teoritis adat dalam tradisi saprahan sangat merunut pada teori Maslow yakni menempatkan kebutuhan makan dalam hierarki atau sebuah system. Tidak ada batasan siapa yang berhak mengadakan makan saprahan, karena dalam tradisi saprahan memiliki sifat serta kegunaan tertentu dan kadang tak terlepas dari tujuan adat dari tujuan tersebut bagaimana interaksi masyarakat untuk saling mengakrabkan diri, saling mengenal satu sama lain, rasa kebersamaan tercipta sesama warga.

· Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Acara Saprahan ;

Dari deskripsi di atas, dapatlah disarikan disini beberapa nilai yang terkandung dalam pelaksanaan acara makan saprah

1. Nilai Kebersamaan

Pada dasarnya upacara saprahan itu sifatnya transparan, diikuti oleh seluruh warga kaum kerabat dan adanya gotong royong sebelum acara dimulai. Pelaksanaan dikoordinir para keluarga besar. Dengan mencerminkan rasa kebersamaan dan kekompakan yang tinggi di mulai dari awal sampai akhir persiapan, pelaksanaan hingga berakhirnya kegiatan.

2. Nilai Ketaatan

Nilai ini tercermin adanya dorongan dalam diri warga masyarakat untuk melaksanakan tradisi yang turun temurun sifatnya,khususnya acara saprahan. Hal ini adanya rasa menghormati pemimpin yang dianggap bisa mewakili kepentingan masyarakatnya atau juga yang dianggap dituakan sangat dihormati, hal ini merupakan manifestasi dari ketaqwaan seorang insan yang diungkapkan di dalam sebuah hadis, taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasul, dan taat kepada pemimpin. Adanya rasa keterikatan secara otomatis menciptakan rasa persatuan dan kesatuan sesama umat yang harus dapat dipertahankan agar acara seperti ini menjadi sebuah identitas masyarakatnya.

3. Nilai Religius

Dari pelaksanaan upacara saprahan dapat dilihat bahwa di dalam menghadapi hidangan yang dianugrahkan Allah SWT tidak terlepas dari acara berdoa dan ditutupi dengan membaca salawat kepada nabi, agar di dalam acara tersebut mendapat berkah serta pahala dan selamat dari musibah dan bencana.

Pelaksanaan acara saprahan dapat mengikat persatuan dan kesatuan yang pada akhirnya dapat menumbuhkan identitas diri masyarakat yang bersangkutan, terutama dari nilai kebersamaan, kegotong royongan dan kekompakan yang diwujudkan dalam rangkaian upacara tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan pada generasi muda melalui pendidikan non formal di rumah atau dilingkungan social maupun pendidikan sekolah secara formal. Selanjutnya acara saprahan perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk melestarikan salah satu adat budaya bangsa guna memupuk kerjasama antar warga hingga memperkokoh rasa identitas bersama.

C. PENUTUP



[1] Nunik Hasriyanti, Revitalisasi arsitektur Islam pada rumah Melayu di tepian sungai Kapuas

Tidak ada komentar: