Minggu, 23 Mei 2010

Pasar Terapung Banjarmasin

PASAR TERAPUNG
(SUATU KAJIAN TERHADAP MATA SISTEM MATA PENCAHARIAN TRADISIONAL MASYARAKAT DI BANJARMASIN, KALIMANTAN SELATAN)

Oleh : M.Natsir
1.1 Latar Belakang
Sungai adalah bagian dari alam yang sangat berarti dalam kehidupan manusia sejak masa prasejarah. Hubungan antara sejarah kehidupan manusia dengan keberadaan sungai, salah satunya terungkap dalam teori migrasi yang antara lain dipelopori oleh Von Heine Geldem, V.C. Callemfels, dan Roger Duff. Di situ dikatakan, terdapat anggapan bahwa nenek moyang berasal dari hulu sungai besar yang kemudian menyebar lewat sungai-sungai (Gunadi dkk, 2004, Sungai dan Kehidupan Masyarakat Kalimantan : 139)
Sepanjang hidupnya manusia cenderung tinggal di lingkungan dengan sumber alam yang menguntungkan bagi kehidupan manusia, antara lain lahan rata, tanah lebar dekat sumber air dalam kemudahan untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Sungai juga difungsikan sebagai sarana transportasi, perekonomian serta perdagangan. Dari sisi perekonomian, misalnya, sungai yang sangat efisien untuk mengangkat balok-balok kayu kecil dengan cara dihanyutkan dari hulu ke hilir. Keberadaan Pasar Terapung (Floating Market) yang merupakan pasar tradisional di muara sungai Martapura dan Sungai Kuin Banjarmasin dikenal dengan kota seribu sungai, yang akan menjadi fokus utama dalam penelitian ini, juga merupakan salah satu kegiatan masyarakat yang memanfaatkan fungsi ekonomis sungai.
Di sisi lain, aktivitas masyarakat yang memanfaatkan keberadaan sungai dalam mendukung sistem perekonomian mereka dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya suatu masyarakat. Pengungkapan masalah kebudayaan yang ada dan tersebar diseluruh pelosok wilayah Indonesia itu sudah saatnya didokumentasikan guna memperoleh gambaran yang jelas dari wujud kebudayaan yang pernah berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, upaya menghimpun informasi mengenai seluruh kegiatan para pedagang tradisional dan interaksi sosial yang terjalin di antara mereka, menjadi penting untuk dilakukan.
Bagi sebagian besar masyarakat awam, pasar hanya dipandang sebagai tempat jual beli atau kegiatan transaksi antara penjual dan pembeli saja. Padahal dalam ilmu ekonomi, dikenal dua pengertian pasar dalam arti luas, yaitu “pasar nyata” dan “pasar abstrak”. Pasar nyata adalah tempat pertemuan antara permintaan (dalam hal ini pembeli) dan penawaran (dalam hal ini penjual) terhadap barang atau jasa. Sedangkan pasar abstrak menitikberatkan pada pengertian pasar sebagai suatu sistem. Artinya, pasar juga dapat dilihat sebagai suatu sistem, yang merupakan suatu kesatuan dari komponen-komponen yang memiliki fungsi untuk mendukung fungsi utama secara keseluruhan. Dengan demikian, sistem pasar tampak sebagai suatu kesatuan, sehingga terjadi saling ketergantungan diantara masing-masing komponen/unsurnya. Sebagaimana diketahui komponen/unsur dari pasar, antara lain adalah produksi, distribusi, transportasi, transaksi, dan lain sebagainya.
Pasar merupakan pranata penting dalam kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat sejak lama. Hal ini dapat diketahui dari berbagai hasil penelitian maupun bukti-bukti arkeologis. Timbulnya pasar tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat. Kelebihan produksi, setelah kebutuhan sendiri terpenuhi, memerlukan tempat pernyaluran untuk dijual. Selain itu tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi dengan hasil produksi sendiri. Untuk itu diperlukan adanya “arena” sebagai tempat untuk bisa memperoleh barang atau jasa yang diperlukan, tetapi tidak mungkin dihasilkan sendiri.
Upaya pemenuhan kebutuhan akan barang-barang tersebut tentunya memerlukan tempat yang praktis, di mana setiap orang bisa mendapatkan barang dibutuhkannya baik dengan cara menukar maupun membelinya. Adanya kebutuhan yang tidak mungkin dipenuhi dengan produk sendiri dan kelebihan/surplus produksi inilah yang mendorong timbulnya arena-arena perdagangan, tempat menukar barang dan jasa, yang disebut pasar.
Berdasarkan kajian arkeologis, ternyata sistem pasar sudah ada pada masa Jawa Kuno (abad 8-11) dalam bentuk yang sangat sederhana. Bukti-bukti berupa prasasti menyebutkan bahwa pada masa itu dikenal pejabat-pejabat yang mengurusi pasar. Dengan adanya istilah jabatan pengurus pasar, dapat digambarkan bahwa pasar telah dikenal pada masa Jawa Kuno sebagai tempat berlangsungnya transaksi jual-beli atau tukar-menukar barang yang telah teratur dan terorganisir. Dalam perkembangannya hingga kini, secara umum dikenal dua jenis pasar, yaitu pasar tradisonal dan pasar modern, yang masing-masing memiliki ciri tersendiri, bahkan cenderung sangat kontradiktif. Kondisi fisik bangunan pasar tradisonal pada umumnya sederhana, terkadang tidak permanen, dan lingkungannya kurang nyaman (becek, kotor, bau, sumpek, dan tidak aman). Berbeda dengan pasar modern yang berupa bangunan megah dan permanen dengan berbagai sarana serta fasilitas penunjang yang memadai untuk memberi kenyamanan, keleluasaan, serta keamanan bagi pembeli. Pasar modern atau yang dikenal dengan hypermarket dapat berupa mal, plaza, pasar swalayan, atau pusat perdagangan.
Pada prinsipnya pasar merupakan dimana para penjual dan pembeli bertemu. Apabila pasar telah terselenggara, dalam arti bahwa penjual dan pembeli sudah bertemu serta barang-barang kebutuhan telah terdistribusikan, maka peran pasar akan tampak bukan hanya sebagai suatu kegiatan ekonomi tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial budaya.
Pasar dapat dilambangkan sebagai “pintu gerbang” yang menghubungkan suatu kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu dengan kelompok-kelompok masyarakat lain dengan kebudayaan yang berbeda. Di kota-kota besar yang komposisi penduduknya cenderung heterogen, pasar merupakan arena interaksi yang menunjukkan ciri heterogenitas tersebut. Tanpa disadari disitu telah terjadi kontak-kontak budaya di antara beragam kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Besar kemungkinan kontak budaya tersebut membawa perubahan-perubahan kebudayaan beserta nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya.
Pasar tradisional sebagai tempat bertemunya warga masyarakat, juga berperan sebagai pusat-pusat komunikasi, hiburan, dan interaksi sosial. Jika dibandingkan dengan pasar modern, pasar tradisional memberikan peranan yang lebih besar dalam mendukung berbagai aktivitas sosial masyarakat. Dengan demikian, di pasar tradisional lebih memungkinkan timbulnya kontak-kontak kebudayaan antarindividu, karena komunikasi dan interaksi sosial dilakukan dengan lebih intensif. Dengan adanya kontak kebudayaan ini akan terjadi difusi pengetahuan di antara orang-orang yang melakukan aktivitas di pasar, dan pada akhirnya akan merangsang tumbuhnya inovasi yang penting bagi dinamika kebudayaan serta kehidupan masyarakat.
Dewasa ini, pemerintah tengah berupaya serius untuk melakukan perbaikan dan peningkatan program-program di sektor kepariwisataan. Sektor ini dianggap menjadi menjadi salah satu andalan sumber bagi devisa negara. Berkaitan dengan keberadaan pasar tradisional, dapat dikatakan bahwa pasar-pasar tradisonal yang berbasis budaya menjadi sangat potensial sebagai aset wisata, seperti halnya Pasar Tradisional Terapung yang berada di sepanjang sungai Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan.

1.2 Masalah Penelitian
Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan sudah berjalan semenjak manusia itu ada. Salah satu faktor dominan pendorong usaha itu ialah dorongan alamiah untuk mempertahankan diri. Selain faktor pendorong juga terdapat faktor eksternal dan internal yang berperan besar dalam upaya manusia memenuhi kebutuhannya.
Lingkungan alam tempat di mana manusia hidup dapat dikategorikan sebagai faktor eksternal yang sangat berperan dalam usaha manusia memenuhi kebutuhan itu. Karena lingkungan alam memberikan berbagai alternatif yang dapat digunakan manusia untuk mencapai/memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan faktor internalnya adalah pengetahuan yang dimiliki manusia. Dalam usaha mencapai/memenuhi kebutuhannya, pengetahuan kebudayaan yang tersusun dari kompleks ide, nilai, serta gagasan, akan menjadi sumber dan tolak ukur bagi setiap individu dalam bertingkah laku/beraktivitas dan menghasilkan produk-produk budaya sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhannya.
Sistem ekonomi tradisional yang merupakan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan pola-pola yang bersifat tradisional, sebenarnya merupakan kaitan dari hal-hal yang disebutkan sebelumnya, yaitu:
a. Manusia dengan kebutuhan-kebutuhannya.
b. Alam lingkungannya dan alternatif-alternatif yang diberikannya.
c. Pengetahuan kebudayaan yang dimiliki setiap individu.
Ketiga hal di atas tidak akan mampu memenuhi kebutuhan manusia, tanpa manusianya sendiri memperlihatkan tanggapan aktif. Oleh karena itu sistem ekonomi tradisional dapat dirumuskan sebagai berikut: “Sistem ekonomi tradisional, adalah suatu tanggapan aktif manusia-manusia pendukung suatu kebudayaan terhadap alam lingkungannya, dalam usaha memenuhi kebutuhannya sesuai dengan pola pelaksanaan yang sifatnya tradisional. Di dalam sistem ekonomi tradisional tersebut pola produksi, distribusi dan konsumsinya masih bersumber pada pengetahuan kebudayaan yang telah dianut dari masa ke masa.”
Penelitian Pasar Tradisional Terapung di Banjarmasin akan menitikberatkan pada 3 permasalahan berikut ini :
1. Bagaimanakah pola-pola ekonomi tradisional diterapkan, khususnya pada sistem produksi, distribusi dan konsumsi yang dijalankan oleh pasar terapung, serta sejauh mana pengaruh perkembangan pasar modern terhadap pola ekonomi tradisional tersebut.
2. Apa saja fungsi pasar terapung tersebut bagi kehidupan sosial budaya masyarakat.
3. Sejauh mana upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam melestarikan keberadaan pasar terapung.

1.3 Tujuan Penulisan
Sistem perdagangan tradisional merupakan wujud dari adanya tanggapan aktif dari manusia-manusia pendukung suatu kebudayaan dengan memanfaatkan alam lingkungannya, dalam hal ini sungai-sungai yang berada di sekitarnya, dalam upayanya untuk memenuhi tuntutan kebutuhannya, dengan menggunakan pengetahuan dan sistem perekonomian yang sifatnya tradisional.
Sejauh ini informasi dan data yang akurat dan cermat tentang sistem perdagangan di atas sungai yang secara faktual telah dikenal secara nasional, bahkan mungkin secara internasional, cenderung belum tersedia. Dengan demikian pengetahuan tentang praktik perdagangan di atas sungai dan pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat, juga relatif masih sangat minim. Dewasa ini, pola-pola perekonomian yang dikembangkan oleh pasar terapung dan interaksi sosial yang terjalin di dalamnya, kemungkinan telah berubah atau bahkan punah dan dianggap tidak dibutuhkan/penting lagi bagi sebagian masyarakat.
Penelitian Pasar Tradisional Terapung di Banjarmasin ini bertujuan untuk mengatahui pola-pola perekonomian yang dikembangkan oleh para pedagang, khususnya yang melakukan aktifitas perdagangan di atas sungai, dalam kaitannya dengan penerapan pola perekonomian tradisional di tengah pengaruh pola perekonomian modern. Penelitian ini juga akan mencoba menggambarkan fungsi pasar terapung dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, serta upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat untuk mempertahankan keberadaan pasar terapung yang merupakan salah satu aset budaya asli masyarakat di daerah tersebut.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penulisan masalah Pasar Terapung di Kecamatan Banjarmasin Utara ini akan mengungkapkan tentang sistem perdagangan tradisional yang pernah terjadi di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan. Kajiannya akan meliputi sejarah pasar terapung, pola produksi, konsumsi dan distribusi yang ditemukan dalam sistem perdagangannya, interaksi sosial interaksi sosial yang terjadi dan terjalin di antara para pelaku yang terlibat dalam aktifitas pasar terapung, fungsi-fungsi penting pasar terapung, serta upaya pemerintah daerah dalam pelestarian pasar terapung ini.

1.5 Prosedur dan Sistematika Penulisan
Sepanjang proses penelitian hingga penulisan hasil penelitian ini telah dilakukan beberapa tahapan/prosedur tertentu yang bersifat ilmiah. Sebelumnya penulis menentukan segala sesuatu yang diperlukan dalam penelitian, baik itu berupa aspek-aspek yang akan diteliti, peralatan yang diperlukan, juga metodologi yang akan dipergunakan dalam penelitian.
Untuk membantu pelaksanaan pengumpulan data yang diperlukan, penulis mempergunakan daftar pertanyaan yang telah disusun dan akan dipergunakan sebagai pedoman dalam melakukan wawancara dengan para informan. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data secara langsung di lapangan dan proses pengolahan data yang telah dikumpulkan tersebut. Data-data tersebut kemudian disusun sedemikian rupa sebagai bahan utama dalam penulisan laporan.
Bagian-bagian utama yang terdapat dalam laporan ini disusun berdasarkan suatu sistematika penulisan yang terdiri dari :
- BAB I merupakan pendahuluan yang memuat informasi tentang latar belakang penelitian, masalah penelitian, ruang lingkup penelitian, prosedur dan sistematika penulisan.
- BAB II berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian yang memberikan informasi tentang letak lokasi penelitian, keadaan penduduk dan mata pencaharian, pendidikan, agama dan kepercayaan, pola permukiman dan arsitektur bangunan, serta bahasa yang digunakan oleh masyarakat.
- BAB III adalah deskripsi tentang aktivitas dan sistem perdagangan Pasar Terapung, yang secara khusus akan menggambarkan sejarah Pasar Terapung, lokasi dan lingkungan fisik pasar, bagaimana cara perolehan bahan baku, rantai pemasaran, proses transaksi, dan sistem distribusi di Pasar Terapung.
- BAB IV memuat tentang fungsi-fungsi Pasar Terapung, yaitu sebagai tempat berlangsungnya aktivitas perekonomian, media komunikasi dan pertukaran pengetahuan, serta arena pembauran masyarakat. Di sini akan digambarkan pula peran Pasar Terapung sebagai objek wisata daerah beserta upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah setempat untuk membina dan mengembangkannya.
















BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Letak Lokasi
Kalimantan Selatan terletak diantara 114.19.13° – 116.33.28° Bujur Timur terletak pada posisi strategis sebagai pintu gerbeng ke Kalimantan Timur dan Kalimantan tengah yang memiliki aksesibilitas melalui jalur lintas Kalimantan yang dapat diteruskan ke Kalimantan Barat, Sabah dan Brunei. Berbatasan langsung dengan lebih dekat dengan Pulau Jawa serta Selat Makassar sebagai jalur perlayaran Internasional. Kalimantan Selatan beriklim tropis, dengan temperatur udara maksimum 25.2° C. Kelembatan Udara rata-rata 74-91%, panjang penyinaran matahari rata-rata 36-91%. Pada bulan Januari–Februari bertiup angin barat, sedangkan bulan Juli–September bertiup angin tenggara. Sedangkan curah hujan untuk wilayah Pegunungan Meratus dan Pantai Timur rata-rata 2.000–3.000mm dan untuk wilayah Barat Pegunungan Meratus dan pantai rata-rata 2.279–2.649mm.
Luas wilayah kurang lebih 37.530,52 Km2 atau 6,98% dari luas Pulau Kalimantan. Berdasarkan Geografis penelitian ini berlokasi wilayah Kecamatan Banjarmasin Utara terletak pada ketinggian 0,16 meter dibawah permukaan laut, dengan batas wilayah sebagai berikut
Sebelah Utara : Kabupaten Barito Utara
Sebelah Timur : Kecamatan Banjarmasin Timur
Sebelah Selatan : Kecamatan Banjarmasin Tengah
Sebelah Barat : Banjarmasin Barat
Luas wilayah : 15,25 km2 (maksudnya luas wilayah apa?)
(Sumber : BPS Kota Banjarmasin dan Kantor Camat Banjarmasin Utara Tahun 2003)

2.2 Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian
Penduduk sekitar Pasar Terapung Kecamatan Banjarmasin Utara ini tersebar di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Kuin Utara, Alalak Selatan dan Alalak Tengah. Berdasarkan hasil Sensus Tahun 2003 Kecamatan Banjar Utara Kelurahan Kuin Utara luasnya 0,74 km, Alalak Selatan 1,75 km, Alalak Tengah 1,25 km dengan jumlah penduduk Kelurahan Kuin Utara 7,415 jiwa. Kelurahan Alalak Selatan 9.038 jiwa, Alalak Tengah 6.286 jiwa. Menurut catatan yang diperoleh dari kecamatan jenis kelamin di Kelurahan Kuin Utara laki-laki 3.224 jiwa, perempuan 3.217 jiwa. Kelurahan Alalak Selatan laki-laki 4.165 jiwa, perempuan 3.972 jiwa, Kelurahan Alalak Tengah laki-laki 2.806 jiwa, perempuan 2.785 jiwa. Dan setiap keluarga inti rata-rata berjumlah 4-5 orang anggota keluarga. Berikut adalah tabel yang memperlihatkan jumlah penduduk di setiap kelurahan.

Tabel 2.1
JUMLAH KEPALA KELUARGA, JUMLAH PENDUDUK DAN
RATA-RATA PENDUDUK PER KEPALA KELUARGA
TAHUN 2003
KELURAHAN JUMLAH KK JUMLAH PENDUDUK RATA-RATA JIWA/KK
(I) (2) (3) (4)
01. KUIN UTARA 1.665 6.441 3,86
02. PANGERAN 2.021 8.069 3,99
03. SUNGAI MIAI 3.924 13.872 3,57
04. ANTASAN KECIL TIMUR 2.282 9.417 4,12
05. SURGI MUFTI 2.696 10.781 3,99
06. SUNGAI JINGAH 2.279 9.391 4,12
07. ALALAK UTARA 2.451 9.389 3,83
08. ALALAK SELATAN 2.019 8.137 4,03
09. ALALAK TENGAH 1.483 5.591 3,77
KECAMATAN 20.819 81.088 3,89
Sumber : Banjarmasin Utara Dalam Angka 2003

Berdasarkan catatan yang diperoleh, komposisi jumlah penduduk di kawasan Pasar Terapung menurut umur, yang paling banyak adalah penduduk berusia 12-35 tahun, yang merupakan usia produktif. Namun faktanya, di Pasar Terapung terlihat sejak umur 10 tahun seseorang sudah dianggap masuk ke dalam usia produktif, karena pada usia tersebut mereka sudah mulai bekerja membantu orang tuanya, baik dalam mengolah berbagai macam usaha seperti berdagang buka warung, nelayan, berkebun, mencari ikan dan lain sebagainya. Pada usia di atas 40 tahun pun mereka masih produktif, yakni masih melakukan pekerjaan berdagang menggunakan sampan (jukung) atau perahu bermotor bermesin (klotok) di sekitar Pasar Terapung. Sedangkan yang melakukan aktifitas perdagangan di pasar terapung mayoritas yang adalah kaum perempuan yang sudah berkeluarga. Berikut ini adalah tabel komposisi penduduk pemilih berdasarkan jenis kelaminnya. (Catatan : jenis kelamin tidak ada di tabel)
Tabel 2.2
JUMLAH PENDUDUK PEMILIH MENURUT JENIS KELAMIN
TAHUN 2003
KELURAHAN JUMLAH KK JUMLAH PENDUDUK RATA-RATA JIWA/KK
(1) (2) (3) (4)
01. KUIN UTARA 7.415 5.003 67,47
02. PANGERAN 8.855 6.566 74,15
03. SUNGAI MIAI 16.059 11.838 74,03
04. ANTASAN KECIL TIMUR 8.969 6.150 68,57
05. SURGI MUFTI 13.805 9.533 69,05
06. SUNGAI JINGAH 10.653 7.119 66,33
07. ALALAK UTARA 13.033 8.673 66,55
08. ALALAK SELATAN 9.038 5.789 64,05
09. ALALAK TENGAH 6.286 4.268 67,90
KECAMATAN 94.113 64.989 69,05
Sumber: BPS 2003

Sesuai dengan geografisnya, Pasar Terapung sebagai daerah agraris, mata pencaharian penduduk yang utama adalah bertani, berkebun, perikanan dan berdagang. Sebagai masyarakat agraris, di dalam melangsung hidupnya, menggantungkan diri pada hasil pertanian. Pertanian yang dimaksud adalah pertanian sawah terutama padi. Hasil bumi yang lainnya selain padi seperti kacang-kacangan, umbi-umbian, labu dan masih banyak lagi.
Keluarga inti sebagai kesatuan terkecil yang dikenal pada masyarakat ini ada yang menempati rumah sendiri yang letaknya masih dalam lingkungan keluarganya, dan ada pula yang tinggal bersama dengan orang tuanya terutama yang baru menikah. Rumah-rumah penduduk berbentuk rumah panggung dan terbuat dari kayu ulin, didirikan berjejer di sekitar pinggiran Sungai Barito. Penduduk menggunakan atap yang terbuat dari sirap dan adapula yang menggunakan atap seng.

2.3 Keadaan Pendidikan
Ditinjau dari sudut pendidikan, sebagian besar para penduduk yang berusia tua menyelesaikan pendidikannya di tingkat pendidikan dasar. Namun saat ini tingkat pendidikan penduduknya sudah bertambah baik. Hal ini terbukti dengan sudah banyak anak-anak mereka yang sekolah hingga ke tingkat lanjutan, bahkan ke Perguruan Tinggi. Sebagian besar dari masyarakat yang hendak melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjutan dan pendidikan tinggi harus pergi ke luar Kecamatan Banjarmasin Utara, atau ke luar Provinsi Kalimantan Selatan, bahkan ke luar negeri.
Menurut hasil sensus tahun 2003 jumlah lembaga pendidikan di Sekitar Pasar Terapung adalah Taman Kanak-Kanak, 36 unit yang dikelola swasta. Sekolah Dasar Negeri (SDN) berjumlah 43 unit, dan yang dikelola swasta sebanyak 1 unit. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) berjumlah 9 unit, dan yang dikelola swasta sebanyak 1 unit. Sedangkan Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) atau sederajat berjumlah 4 unit, dan yang dikelola swasta sebanyak 2 unit.

2.4 Agama dan Kepercayaan (?)

2.5 Pola Permukiman dan Arsitektur Bangunan
Pola perkampungannya mengelompok padat, rumah-rumah berderet menghadap ke sungai. Bentuk rumah umumnya rumah panggung dengan tiang dari kayu ulin, lantai dan dinding tersebut dari papan. Atapnya terbuat dari sirap dan rumbia. Tetapi ada juga rumah yang sudah berkonstruksi beton dan bentuknya permanen. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lain dihubungkan dengan titian. Setiap rumah di tepian sungai tersebut dapat dicapai melalui batang, yaitu sejenis rakit yang dibuat kayu terapung atau bambu. Di atasnya dipergunakan untuk tempat mandi dan mencuci, sekaligus sebagai jamban serta dermaga tempat persinggahan dan tambatan perahu. Di setiap kampung umumnya terdapat langgar atau surau. Sedangkan kampung yang wilayahnya agak besar dan penduduknya banyak, biasanya terdapat masjid. Hubungan antarkampung dilakukan dengan menggunakan perahu dan kendaraan darat. Pada setiap kampung terdapat daerah pemakaman dan kuburan.
Permukiman penduduk tampak sangat padat dengan deretan rumah yang dibangun menghadap ke jalan dan membelakangi sungai. Pola permukiman yang seperti ini memperlihatkan adanya perubahan orientasi masyarakat terhadap keberadaan sungai. Pada masa lalu sungai dapat diibaratkan sebagai “halaman depan” yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, sementara pada saat ini sungai hanyalah sebagai “halaman belakang”. Sungai sebatas dipergunakan untuk aktivitas-aktivitas yang dilakukan di belakang rumah yang tidak terlalu penting/berharga bagi kehidupan masyarakat. Kondisi perubahan penghargaan masyarakat terhadap sungai itu didukung pula dengan semakin mudahnya akses transportasi melalui jalan darat. Transportasi melalui darat dianggap relatif lebih murah, cepat dan aman. Secara kasat mata perubahan ini pun dapat terlihat dari bentuk rumah yang berada di pinggir sungai. Hampir semua rumah-rumah tersebut berteras ganda, dimana terasnya terletak di depan maupun di belakang bangunan utama rumah. Padahal sebelumnya rumah mereka hanya memiliki teras yang menghadap sungai.
Pola permukiman masyarakat di Pasar Terapung, sama halnya dengan pola permukiman di daerah Kalimantan lainnya, khususnya yang berada di sekitar aliran sungai dari wilayah perkotaan menuju daerah pedalaman. Menurut pendapat Ir Irhamna dan Drs. Syamsiar Semasn, dalam buku Arsitektur Tradisional Banjar Kalimantan Selatan, hal 95– 125, komponen-komponen dari konstruksi bangunan seperti berikut ini :
A. Tiang (tihang) dan Tongkat
Kayu ulin dalam bentuk balokan, sebagai bahan utama tihang (tiang) dan tongkat yang bertumpu di tanah sebagai pendukung bangunan rumah. Tihang pangkalnya bertumpu dalam tanah, dengan bagian ujung sampai ke dasar atap yang terletak di atas bubungan. Sedangkan tongkat adalah balok yang pangkalnya bertumpu di dalam tanah dengan ujungnya sampai pada lantai.
Tihang dan tongkat ditancapkan di tanah dengan fondasi batang (log) yang besar, biasanya dipergunakan adalah jenis kayu bitangur atau kapur naga (Calohyllom spec). Fondasi lainnya mempergunakan batang-batang galam (Malaleuca spec) dengan sistem kacapuri, yaitu empat batang galam yang disusun bersilang. Pada pertemuan keempat batang tersebut akan terdapat lubang segi empat, tempat dimasukkannya tihang atau tongkat. Sebelumnya, pada pangkal tihang atau tongkat tersebut dipasang sunduk pendek sebagai penyangga.
Pada rumah adat Banjar, yang banyak mempergunakan tihang adalah rumah-rumah dengan konstruksi bangunan tinggi, seperti tipe Bubungan Tinggi, Gajah Baliku, Balai Bini dan Joglo. Sementara yang lebih banyak mempergunakan tongkat adalah rumah adat Banjar bertipe Gajah Manyusu, Cacak Burung, Palimasan dan Palimbangan. Tihang dipergunakan pada setiap sudut lantai, sementara tongkat dipergunakan antara sudut-sudut tersebut. Tentang ukuran tebal tipisnya balok tihang dan tongkat tersebut, tergantung pada keinginan pemilik bangunan rumah.

B. Rangka Bangunan Rumah
Terbangunnya tihang dan tongkat dalam suatu areal lahan merupakan awal dari berdirinya rangka bangunan. Bangunan tradisional rumah Banjar dengan konstruksi bahan kayu, berbeda dengan konstruksi bangunan beton. Disini dikenal dengan istilah sistem barasuk dan sistem pasak.
Sistem barasuk adalah memadukan balok-balok atau hasil pahatan-pahatan balok dengan balok-balok lainnya, sehingga tercipta adanya pertautan yang “mesra”. Sistem pasak mempergunakan pasak kayu ulin dengan mengesampingkan sedikit mungkin pemakaian paku. Kenyataan membuktikan bahwa keawetan pasak lebih tinggi nilainya daripada keawetan paku. Kalau sebilah paku “ditanam” pada sebatang ulin, paku dapat berkarat dan patah/putus. Tidak demikian dengan pasak, yang ternyata lebih awet jika “ditanam” pada kayu ulin. Konstruksi dengan sistem berasuk dalam rumah tradisional Banjar itu tampak pada:
• Susunan semua tihang-tihang yang berdiri secara vertikal itu diberi lubang persegi empat pada posisi galangan dan balok rentang, sehingga tihang-tihang seperti satu kesatuan rangka berasuk.
• Semua konstruksi bagian-bagian bangunan rumah, seperti pertemuan balok palatar, panampik, watun, tataban dan lain-lainnya, selalu diupayakan dengan sistem barasuk dengan mengurangi adanya penggunaan paku.
Terciptanya suatu rangka bangunan rumah menurut tradisi orang Banjar telah selesai ketika sudah dilakukan pekerjaan-pekerjaan seperti berikut ini :
a. Selesainya bangunan tihang dan tongkat yang bertumpu di atas tanah.
b. Selesainya pemasangan gelagar (leger) yang diletakkan melintang di atas susuk yang terpasang membujur.
c. Selesainya pemasangan turus tawing (tiang dinding).
d. Selesainya pemasangan balok pengerat (Banjar: Titian tikus).
e. Selesainya pemasangan nok atau tihang urang-urang atau tiang kuda-kuda.
f. Selesainya pemasangan kaki kuda-kuda dan kuda-kuda.
g. Selesainya pemasangan kalang dada atau gording.
h. Selaisanya pemasangan kasau-kasau.
i. Selesainya pemasangan ri-ing atau reng.

C. Atap (hatap)
Secara tradisional, rumah adat Banjar mempergunakan hanya dua macam atap (Banjar: hatap), yaitu hatap sirap yang bahan bakunya terbuat dari kayu ulin (kayu besi = Eusideroxylon zwageri) dan atap daun rumbia (sagu = Metrosey lon sagu). Pemilik bangunan rumah yang sederhana menggunakan atap daun rumbia yang daya tahannya relatif lebih pendek, sehingga sewaktu-waktu perlu diganti. Atap rumah dengan bahan sirap memiliki daya tahan yang relatif lebih lama, sehingga dapat mencapai waktu lima sampai sepuluh tahun, tergantung kualitas atap sirap tersebut.
Rumah adat Banjar tidak mengenal adanya atap genteng, karena atap genteng memberikan beban yang amat berat bagi bangunan rangka rumah, sehingga akan membahayakan bagi kekokohan rumah. Pemakaian atap dengan bahan seng pun tidak lazim dipergunakan. Apabila telah selesai membangun rangka rumah, pemasangan atap merupakan pekerjaan prioritas, dengan pertimbangan untuk menjaga keamanan/melindungi bahan-bahan bangunan yang akan dipergunakan untuk membangun rumah dari dari panas dan hujan.

D. Lantai
Karena bangunan rumah tradisional Banjar memiliki konstruksi bangunan yang berbentuk panggung, maka tidak mengenal adanya lantai tanah. Lantai dibangun di atas susunan susuk (skop) dan gelagar (legger) yang bahannya dari papan kayu ulin atau papan lainnya. Lantai dengan bahan papan ulin merupakan lantai yang awet/tahan lama. Usianya sebagai lantai lebih panjang daripada si pemilik rumah itu sendiri.
Lantai dengan mempergunakan papan-papan dari bahan kayu biasanya lebih banyak jenisnya, seperti Damar (Meranti = Shorea Spec), Bungur (Legestroemia Speciosa Pers), Angsana (Linggua = Pterocarpus Indicus), Jinggah (Rengas = Melanorrhoa Spec) dan banyak lagi kayu-kayu yang lain.
Rumah-rumah tradisional orang Banjar yang ada dipinggiran desa kadang-kadang mempergunakan lantai dari bahan batang pohon enau (Aren = Arenga Pinatta (Wurmb) Merr), yang dibuat sedemikian rupa sehingga betul-betul sempurna seperti papan. Tenyata papan lantai dari bahan pohon enau ini memiliki kekuatan yang tinggi dan tahan lama. Begitu pula bahan papan lantai dapat dibuat dari bahan batang betung yaitu jenis bambu yang besar dan lebar batangnya.

E. Dinding (tawing)
Berbeda dengan rumah-rumah yang umum kita temukan dewasa ini, rumah-rumah tradisional Banjar merupakan bangunan rumah panggung yang tinggi. Dengan bentuk rumah panggung seperti itu, konstruksi dinding rumah juga menjadi tinggi. Konstruksi itu terlihat pada rumah adat Banjar tipe Bubungan Tinggi, Gajah Baliku, Palimasan, Palimbangan, Balai Bini dan Joglo. Pada umumnya, rumah berkonstruksi kayu membuat dindingnya dari papan-papan yang dipasang secara horisontal. Namun, dinding pada rumah tradisional Banjar terdiri atas papan-papan yang disusun secara vertikal atau tegak lurus. Oleh karena itu, di samping susunan papan-papan tersebut harus melekat pada tiang dinding (Banjar: turus tawing = guntung) dengan cara dipaku, diperlukan juga adanya balabat, yaitu palang atau balok tambahan antara satu atau dua batang yang dipasang melintang untuk tempat melekatnya papan-papan yang dijadikan dinding tersebut.

F. Tangga
Bentuk rumah adat Banjar yang simetris dilengkapi dengan dua buah tangga untuk masuk ke rumah, yaitu tangga yang letaknya di sebelah depan bangunan (tangga hadapan) dan tangga yang letaknya di sebelah belakang bangunan. Tangga diletakkan dalam posisi yang seimbang, kira-kira berada di tengah-tengah bagian sisi depan/belakang rumah. Konstruksi dasar tangga tersebut pada dasarnya sama untuk semua tipe rumah tradisional Banjar. Bagian-bagian dari tangga antara lain adalah pohon/tiang tangga, panapih (papan sentuh), anak tangga, malang (palang) dan jarajak (kisi-kisi). Tangga yang memiliki konstruksi khusus adalah yang terdapat pada rumah adat Banjar tipe Palimasan, yaitu dengan adanya tangga hadapan berbentuk kembar siam, ke arah samping kiri dan kanan. Jumlah anak tangga selalu menunjukkan bilangan ganjil, seperti lima, tujuh, atau sembilan buah.
Seluruh tangga-tangga tersebut dibuat dari bahan kayu ulin (kayu besi) yang tahan panas dan air sekian lama tanpa lapuk. Ornamen populer yang terdapat pada pohon tangga hadapan berupa sengkul dengan motif buah kanas (buah nanas) dalam tiga dimensi, di samping itu terdapat pula motif buah manggis, tongkol pakis dan lain-lain. Ragam hias dilengkapi pula dengan motif sulur-suluran pada palang tangga, seperti geometris dan bogam melati pada kisi-kisi pagar tangganya.

G. Pintu (lawang)
Pintu (lawang) yang menghubungkan lalu lintas penghuni rumah untuk keluar dan masuk ke rumah. Pada umumnya di rumah-rumah tradisional Banjar terdapat empat buah pintu, yang disebut Lawang Hadapan (pintu yang terdapat di depan), Lawang Balakang (pintu yang terdapat di belakang), dan dua buah lagi lawang kembar yang letaknya terdapat di samping kiwa (kiri) dan kana (kanan) di tawing halat. Pintu yang berjumlah sebanyak empat buah tersebut selalu terdapat pada semua rumah adat Banjar, seperti tipe Bubugan Tinggi, Gajah Baliku, Cacak Burung, Balai Bini dan lain-lain, kecuali bangunan lanting (rumah yang dibangun di atas permukaan air sungai). Khususnya untuk rumah adat Banjar tipe Palimasan dan Palimbangan, kadang-kadang terdapat lawang kembar tiga yang dibuat pada dinding pelatar depan. Di bagian dalam rumah, lawang juga terdapat di dinding pembatas antara ruang palindangan dengan padapura. Ada pula rumah adat Banjar yang memiliki lawang yang letaknya berada di dinding pembatas antara ruang palindangan dengan anjung kiwa dan anjung kanan.
Tiga buah lawang yang dianggap utama, yaitu lawang hadapan dan 2 lawang kembar yang berada di tawing halat, memiliki perbedaan dengan lawang-lawang lainnya. Ketiga buah lawang tersebut terlihat lebih mencolok, dengan tambahan ornamen/ragam hias yang menarik, berupa ukiran-ukiran motif flora yang dikombinasikan dengan tali bapintal dan kaligrafi Arab. Lawang-lawang pada rumah tradisional Banjar mempergunakan sistem jalu-jalu, artinya terdapat sumbu pada bagian atas dan bawah kusen lawang bagian dalam, yang berputar pada lubang palang atas dan palang bawah yang menjadi balok watun. Di antara sumbu kusen lawang dengan palang diletakkan mata uang dan minyak lamak, guna memudahkan berputarnya daun-daun lawang tersebut. Mata uang yang diletakkan pada jalu-jalu, umumnya adalah uang perak (bagi pemilik rumah yang cukup kaya/berada) atau uang tembaga. Dengan dipergunakannya sistem jalu-jalu ini, lawang-lawang tradisional Banjar tidak mempergunakan gerendel dari besi. Berdasarkan pengalaman masyarakat setempat, sistem jalu-jalu dengan bahan perabotan dari kayu ulin tersebut lebih awet daripada bahan besi yang terdapat di gerendel tersebut.

H. Jendela (lalungkang)
Salah satu ciri dari rumah adat tradisional Banjar adalah berbentuk simetris, yang menyebabkan bangunan sayap kanannya sama dengan sayap kirinya, khususnya jika dilihat dari luar bangunan. Karena bentuk yang simetris ini maka lalungkang (jendela) yang terdapat di rumah adat ini sama jumlahnya pada dinding sebelah kiri dengan dinding sebelah kanan bangunan. Lalungkang tersebut terdapat pada :
a. Satu buah pada kiri dan kanan rumah panampik tangah pada rumah tipe Bubungan Tinggi.
b. Dua buah pada sayap kiri dan kanan ruang panampik basar (ambin sayup) pada rumah tipe Gajah Baliku, dan Gajah Manyusu, Balai Laki, Balai Bini, Cacak Burung dan Tagah Alas.
c. Tiga buah pada kiri dan kanan ruang panampik basar (ambun sayup) pada rumah tipe Palimasan dan Palimbangan.
d. Satu buah pada dinding sebelah depan dan relatif satu buah pada dinding sebelah belakang semua anjung rumah-rumah tradisional Banjar.
e. Satu buah pada kiri dan kanan ruang padapuran atau padu.
Adanya lalungkang yang hanya berfungsi sebagai variasi atau hiasan, ditemukan pada rumah adat tipe Cacak Burung atau Anjung Surung, dimana terdapat lalungkang kembar agak kecil yang terdapat pada dinding palatar. Antara kedua kalangkung tersebut terdapat lawang hadapan yang memiliki watun sambutan.
Lalungkang yang terdapat pada rumah tradisional tipe Joglo memiliki lalungkang yang relatif tidak sama, tergantung pada besar kecilnya bangunan rumah gudang tersebut. Konstruksi lalungkang secara umum adalah dibuat antara dua turus tawing (tiang dinding) karena lalungkang terdiri dari daun kembar dua. Namun terdapat lalungkang yang unik, misalnya pada rumah adat tipe Gajah Baliku. Keunikannya adalah pada turus tawing yang berada di tengah-tengah lalungkang tersebut. Lalungkang yang demikian ditemukan pada ruang panampik basar (ambun sayup) pada rumah adat bertipe Gajah Baliku tersebut.

I. Ruangan-ruangan
Di semua tipe rumah tradisional Banjar dapat ditemukan bubungan tinggi yang memiliki jumlah ruangan yang banyak, dengan nama-nama khusus dan fungsi yang relatif berbeda satu sama lainnya. Mulai dari bagian depan bangunan hingga belakang ruangan-ruangan tersebut dikenal dengan nama palatar, panampik kecil, panampik tengah, panampik basar (ambin sayup), panampik dalam (palindangan), panampik bawah, padapuran (padu), anjung kiwa dan anjung kanan. Secara rinci ruangan-ruangan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Palatar
Palatar adalah ruangan terdepan dari rumah adat Banjar. Semua hunian tradisional ini memiliki pelatar sebagai ruang rumah pertama setelah menaiki tangga. Konstruksi pelatar sebagai ruang yang terbuka pada sebelah depan, biasanya berpagar kandang rasi seperti pada bagian depan. Di situ juga terdapat jurai yang biasanya berukir di sekeliling bagian atas dengan motif ukuran pucuk rabung, hiris gagatas atau sarang wanyi. Dinding palatar sebetulnya adalah tawing panampik kecil sebelah luar, yang biasanya memiliki ornamen.
Pelatar sebagai ruang terbuka berfungsi sebagai tempat beristirahat bagi penghuni rumah, duduk santai berangin-angin pada waktu sore menjelang maghrib. Dalam fungsi yang sederhana, ruang palatar ini juga berfungsi sebagai tempat menerima tamu (tetangga sebelah rumah), khususnya tamu laki-laki dewasa. Dalam fungsi yang lebih luas, palatar ini juga memiliki fungsi sosial karena sifatnya yang terbuka. Orang Banjar akan mempersilakan seseorang atau orang-orang yang kebetulan berada di situ untuk naik ke pelatar guna bernaung dari hujan lebat yang turun tiba-tiba.
b. Panampik Kacil
Ruangan yang terletak setelah palatar ini biasanya terdapat pada rumah adat Banjar tipe Bubungan Tinggi. Sesuai dengan namanya, panampik kacil adalah ruang yang agak kecil, bahkan lebih sempit dari ruangan-ruangan yang lain. Permukaan lantai panampik kacil lebih tinggi sejengkal pada lantai palatar. Di situ terdapat watun yang dinamai watun sambutan. Di waktu dulu panampik kacil memiliki fungsi yang agak khusus, yaitu sebagai tempat duduk anak-anak di saat selamatan atau walimah.
Orang Banjar yang bermata pencaharian sebagai petani dan berkediaman di desa mempergunakan panampik kacil menjadi tempat kidai (lumbung padi), tempat menyimpan padi yang sudah dibersihkan sebagai persediaan bahan makanan untuk selamatan satu tahun.
c. Panampik Tangah
Ruangan panampik tangah ini hanya terdapat pada rumah tradisional Banjar tipe Bubungan Tinggi. Panampik tangah terletak antara panampik kacil dengan panampik basar atau ambin sayup. Pada ruangan panampik tangah terdapat watun yang dinamai watun jajakan, yaitu pinggir lantai terbuka antara panampik tangah dan panampik kacil. Biasanya pada pinggir watun di panampik tangah tersebut terdapat dua batang tiang sasangga bubungan yang letaknya seimbang secara simetris.
Ruang panampik tangah pada waktu dulu difungsikan sebagai tempat duduk bagi para pemuda, apabila rumah tersebut sedang diadakan selamatan atau walimah.
d. Panampik Basar atau Ambin Sayup
Ruang panampik basar atau ambin sayup merupakan ruangan yang luas dan utama dalam sebuah rumah tradisional Banjar. Permukaan lantai panampik basar ini lebih tinggi daripada permukaan lantai panampik tangah, karena di situ terdapat watun yang dinamai watun jajakan. Ruangan ini dikatakan sebagai ruangan yang utama karena pada ruangan ambin sayup ini tuan rumah menerima tamu kehormatan, misalnya tokoh masyarakat seperti tatuha kampung, tuan guru, ulama atau pejabat formal atau pejabat nonformal.
Dalam suatu pertemuan yang di dalamnya terdapat berbagai pihak, maka di ruangan panampik basar inilah tempat duduk tokoh-tokoh terkemuka. Secara umum, masyarakat Banjar menempatkan para ulama sebagi tokoh utama. Mereka akan diminta memimpin acara keagamaan, seperti tahlilan dalam acara haul keluarga yang sudah meninggal dunia, sekaligus membaca do’a. Para tokoh agama, seperti ulama dan cerdik pandai agama Islam lainnya, ditempatkan di ruang panampik basar sebagai tempat diberlangsungkannya kegiatan keluarga yang bersifat formal, tidak hanya di saat event-event yang bermakna keagamaan (Islam) saja, tetapi juga pada acara yang berhubungan dengan perkawinan, seperti acara basasuluh dan perandingan pengantin. Oleh karena itu adalah wajar kalau sekeliling tawing ruang panampik basar ini diolah sedemikian rupa sehingga sangat menarik dengan ragam hias yang terdapat pada tawing halat, tataban dan watun.
e. Panampik Dalam atau Palindangan
Ruangan ini disebut dengan panampik dalam karena ruangan ini berada di bagian dalam, setelah masuk melalui panampik basar melalui lawang kembar di tawing halat. Nama lain dari ruangan ini adalah palidangan. Letak ruang ini persis berada di bawah bubungan tinggi, khususnya untuk rumah adat tipe Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku. Konstruksi bubungan tinggi itu sendiri didukung oleh tiang-tiang yang disebut khaki kuda-kuda dengan sebutan sasangga ribut. Dinamai sasangga ribut karena bubungan tinggi adalah bagian rumah yang paling rawan dari adanya tiupan angin ribut.
Pemilik rumah yang mampu secara ekonomi biasanya menaruh pecahan intan atau sebuk emas pada pucuk tihang pitagar tersebut. Semua ruang palidangan berada pada posisi dalam yang diapit oleh tawing halat dan kedua anjung kiwa dan anjung kanan. Ruang panampik dalam ini merupakan ruang keluarga yang bersifat lebih pribadi, karena di sini adalah tempat bagi keluarga penghuni rumah untuk beristirahat menjelang tidur malam, tempat orang tua mengajarkan anak-anaknya mengaji Kitab Suci Al’Quran, atau ibu menyulam kain guna keperluan rumah tangga.
Sarana rumah tangga yang ditempatkan di panampik dalam ini biasanya lemari tempat barang pecah belah yang dipakai sewaktu-waktu seperti gelas minum, piring, mangkok, panci, sendok dan perkakas dapur lainnya. Pada rumah-rumah tertentu terdapat sebuah karawat yang dibuat pada posisi sekitar 2 meter ke atas, berukuran sekitar 1½ × 2 meter yang dilengkapi dengan sebuah tangga kecil.
f. Panampik Bawah
Panampik bawah adalah ruangan yang berada agak bawah dari ruang palidangan. Ruangan ini berada di bawah lantai palidangan maka pada batas kedua lantai tersebut terdapat watun yang disebut watun jajakan. Panampik bawah dipergunakan oleh keluarga pemilik rumah sebagai ruang/kamar makan.
Di bagian samping sebelah kanan, khususnya pada rumah-rumah tertentu, terdapat sebelah katil yang dibuat senyawa dengan dinding panampik bawah. Dengan demikian maka katil tersebut tidak dapat dipindah-pindahkan ke ruang lain.
g. Padapuran atau Padu
Ruang yang letaknya paling belakang dalam sebuah rumah tradisional Banjar, dikenal dengan istilah padapuran, yang di hulu sungai sering disebut padu. Lantai padapuran ini biasanya lebih rendah permukaannya daripada lantai panampik dalam, sehingga di situ terdapat watun yang dinamakan watun juntaian. Ruang padapuran merupakan tempat berlangsungnya kegiatan masak-memasak ibu. Oleh karena itu ruangan ini dilengkapi dengan beberapa fasilitas guna menunjang kegiatan tersebut, seperti berikut ini:
- Atangan dan Salayan
Atangan dan salayan adalah sebuah bangunan kecil yang biasanya dibuat pada sudut sebelah kanan ruang padapuran. Ukurannya 1×2 ×2 meter persegi, dengan konstrusi melintang. Fasilitas pada lantai pertama setinggi  0.75×2×2 meter ini dinamakan atangan, dan pada lantai kedua disebut salayan dengan susunan lantainya yang sangat renggang. Lantai pertama (atangan) dibuat dengan tanah dan pasir buatan daerah Nagara (hulu sungai selatan) guna menempatkan tiga atau empat buah dapur tanah yang berbeda ukuran. Jumlah dapur tanah yang berbeda ini dipergunakan sebaga tempat meletakkan wadah memasak yang berbeda ukuran seperti: periuk (Banjar: kuantan, kenceng), panci, kuali (Banjar: rinjing) atau kawah (kuali besar), cerek/tempat air (Banjar: cirat) dan lainnya. Sedangkan salayan yang diletakkan di atas adalah tempat disimpannya kayu-kayu api yang masih belum kering. Biasanya di hulu sungai digunakan bahan dari kayu batang karet, sedangkan di Banjar Kuala digunakan batang galam. Bilamana kayu-kayu api itu sudah kering, maka akan dipindahkan atau diletakkan di lantai, di bawah atangan sebagai kayu persediaan untuk memasak.Di samping itu, atangan dan salayan ini juga dilengkapi dengan rak yang berisi tempat bahan-bahan keperluan makan dan minum serta berbagai rempah-rempah keperluan dapur.
- Pabanyuan atau Pagaduran
Pada sisi sebelah kiri ruang padapuran terdapat lantai yang disebut pabanyuan atau pagaduran. Disebut pabanyuan karena di tempat tersebut diletakkan beberapa buah gadur (keramik) buatan Nagara untuk wadah air. Konstruksi pabanyuan atau pagaduran terdiri dari lantai papan-papan ulin yang dipasang sejajar, dengan mempergunakan jarak sekitar ½ cm guna memudahkan mengalirnya jatuh air limbah cucian ke tanah. Meskipun pabanyuan atau pagaduran adalah tempat yang basah oleh adanya air, namun penghuni rumah tidak memanfaatkan tempat itu untuk keperluan mandi atau kegiatan lain yang mempergunakan air dengan jumlah yang banyak.

h. Anjung Kiwa dan Anjung Kanan
Konstruksi bangunan anjung dalam istilah Banjar dikenal dengan pisang sasikat (pisang sesisir), karena posisinya yang seperti menempel pada bangunan induk. Bangunan itu sendiri disebut anjung kiwa yang berada di sebelah kanan. Kedua buah anjung ini melekat pada ruang panampik dalam atau palidangan dengan lantai yang berbeda tingginya. Lantai kedua buah anjung lebih tinggi sekitar satu jengkal, sehingga membentuk sebuah watun yang disebut watun juntaian. Pada sisi sebelah depan kedua anjung terdapat sebuah lalungkang dengan daunnya yang kembar dua. Kadang-kadang juga terdapat sebuah lalungkang pada sisi sebelah belakang anjung tersebut. Kedua buah anjung dimanfaatkan sebagai kamar tidur. Anjung kanan dipakai untuk tempat tidur orang tua suami-istri, sedangkan anjung kiwa untuk anak-anak mereka.
Tradisi yang berlaku di masyarakat setempat, tempat tidur mereka tidak mempergunakan ranjang seperti yang lazim ditemui sekarang, tetapi dengan menyusun tiga tumpang tilam gandine. Begitu pula dengan kelambu, yang disebut dengan istilah kelambu bagantung, yang menghiasi sekeliling tawing anjung itu dengan dinding air guci. Di ruang anjung ini ditempatkan lemari tempat pakaian tapih baju dan meja kanap tempat diletakannya peralatan berhias (make up).

i. Watun
Pada rumah tradisional Banjar, khususnya tipe Bubungan Tinggi terdapat beberapa watun dengan nama yang berbeda, sesuai dengan tempat dan fungsinya. Watun tersebut terdiri dari watun jajakan, watun juntaian, watun langkahan, watun sambutan dan watun sandaran.
 Watun Jajakan
Watun ini adalah pinggiran lantai terbuka (tanpa dibatasi tawing), yang terletak di lantai panampik tengah dan panampik basar (ambin sayup). Dinamakan watun jajakan karena pinggir watun tersebut dapat dijajak (diinjak), ketika naik atau turun melewati watun tersebut.
 Watun Juntaian
Watun ini adalah pinggir lantai terbuka (tanpa dibatasi tawing) yang terletak di lantai anjung kiwa dan anjung kanan, serta yang terletak di panampik bawah menghadap ke padapuran. Dinamakan watun juntaian karena penghuni rumah dapat duduk di pinggir watun tersebut sambil “menjuntaikan” kedua kakinya ke bawah.
 Watun Langkahan
Watun langkahan ini merupakan suatu konstruksi yang berada di atas lantai antara dua turus tawing lawang kambar yang terletak di tawing halat. Pada umumnya watun langkahan ini tingginya selutut (sekitar 30-40 cm). Dinamakan watun langkahan karena penghuni rumah harus mengangkat kakinya untuk melangkahi watun tersebut bilamana ingin masuk atau keluar melewati watun. Hiasan pinggir watun ini umumnya berupa tali bapintal yang dibuat pada pinggiran atas samping watun tersebut.
 Watun Sambutan
Watun ini merupakan pinggir lantai terbuka panampik kacil yang persis berada di dasar lantai lawang hadapan (pintu depan). Dinamakan watun sambutan karena dipergunakan untuk berdirinya kepala keluarga di rumah itu ketika menyambut tamu yang datang.
- Watun Sandaran
Watun ini adalah pinggir lantai terbuka pada ruang anjung kiwa dan anjung kanan. Dinamakan watun sandaran karena pinggir watun ini dijadikan sandaran ketika penghuni rumah duduk di lantai palidangan (ambin dalam).

j. Pacira
Pacira ini sebetulnya adalah tangga kecil satu tantang (satu anak tangga sederhana) yang terletak pada kotak segi empat dengan ukuran sekitar 1×2 ×1 meter. Adanya pacira ini disebabkan karena adanya jenjang di pinggir lantai pada panampik tangah atau panampik basar, serta pada panampik bawah yang berhadapan dengan padapuran. Dengan adanya pacira ini akan memberikan kemudahan bagi penghuni rumah untuk naik atau turun dari satu lantai ke lantai lainnya yang permukannya berjenjang.

k. Tataban
Tataban yang merupakan tutup kaki tawing (dinding) sebelah dalam dengan tinggi sekitar 30-40 cm, terdapat pada ruangan-ruangan panampik basar (ambin sayup), panampik tangah atau panampik kacil. Tataban dimanfaatkan sebagai sandaran, apabila duduk membelakangi tawing. Di atas tataban sering ditaruh gelas minuman, tempat tembakau dan rokok daun nipah, serta korek apinya. Sementara pemiliknya duduk bersandar di tataban itu. Tataban yang berada di kaki tawing ruang panampik kacil biasanya dibuat semacam kotak untuk tempat menyimpan perkakas tukang kayu seperti gergaji, pahat, ketam, palu, kapak dan sebagainya.
Ornamen yang terdapat pada tataban umumnya berupa hiasan tali bapintal yang dibuat di sepanjang pinggiran atas dan samping tataban tersebut. Kadang-kadang juga dikombinasikan dengan motif sulur-suluran yang bentuknya kecil.

l. Tawing Halat
Tawing halat merupakan konstruksi bangunan rumah utama pada tempat hunian rumah adat tradisional Banjar. Biasanya dengan memperhatikan profil tawing halat tersebut kita dapat kita mengenali apa dan bagaimana kecenderungan penghuni atau pemilik rumah tersebut terhadap sesuatu hal.
Tawing halat ditata oleh pemilik rumah dengan sedemikian rupa, sehingga penampilannya sangat menarik. Tawing Halat menjadi latar belakang ruang panampik basar atau ambin sayup dengan dua lawang kembar pada sebelah kiri atau kanan. Yang paling menarik adalah tata ornamen tawing halat itu dengan dengan dua lawang kembarnya. Sebagai tata riasnya, tidak pernah ketinggalan diukir dengan model tali bapintal pada sekeliling pinggiran kusen lawang dan dahi lawangnya.
Jurai yang terdapat pada kedua lawang kembar tersebut biasanya berbentuk bulang sahiris dengan ukiran dedaunan dan bunga-bungaan yang dikombinasikan dengan kaligrafi Arab bertulis Basmalah atau dua kalimat syahadat. Di tawing halat tersebut dipasang pula sebuah cermin besar yang ditempatkan persis pada posisi tengah. Pada kiri dan kanan cermin tersebut dipasang tanduk menjangan dengan cabangnya yang ganjil.

m. Katil
Sebenarnya katil adalah sebuah tempat untuk berbaring-baring yang bentuknya sederhana. Hanya terbuat dari bahan kayu yang dilengkapi dengan sebuah kekampikan, yaitu tilam yang tipis. Jadi katil adalah sebuah rusbank yang terletak di samping tawing kanan ruang panampik bawah dengan ukuran sekitar 2×1 ×0,5 meter. Di sebuah katil yang unik adalah kaki katil sebelah dalam yang sekaligus mempergunakan dua atau tiga tiang dinding. Dengan demikian adanya katil tersebut senyawa dengan dinding panampik bawah, sehingga katil tersebut tidak dapat dipindah-pindahkan seperti rusbank biasa.
Sebagaimana disebutkan di atas, katil yang terletak di ruang panampik dalam itu sebenarnya bukan untuk tempat tidur, tetapi hanya sebagai tempat untuk beristirahat atau berbaring-baring saja.

n. Karawat
Tidak semua rumah tradisional Banjar memiliki karawat, suatu bangunan khusus yang berada di ruang panampik dalam atau palidangan. Karawat berukuran sekitar 1,5×1,5 meter di atas setinggi sekitar 1,75 meter, diberi pagar sekitar satu jengkal. Pada salah satu sudutnya dipasang tangga untuk dapat naik karawat tersebut.
Konon pada zaman dahulu karawat ini dipergunakan untuk pingitan gadis perawan. Dia menyendiri di situ manakala ada tamu yang datang dari jauh. Supaya tidak merasa bosan, sang gadis yang “disimpan” dalam karawat tersebut diberi alat permainan padakuan (dakon) dan alat permainan lainnya. Pada saat ini karawat ini sudah tidak berfungsi lagi, karena kebiasaan untuk memingit seorang gadis sudah lewat. Sekarang tempat ini lebih difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat rumah tangga atau perkakas pertukangan.

o. Kamar Mandi dan Kamar Kecil
Fasilitas lain yang pada umumnya terdapat di sebuah rumah adalah kamar mandi dan kamar kecil yang menyatu/berada di dalam bangunan rumah. Namun di rumah adat Banjar Bahari kedua sarana penting ini tidak ditemukan, karena seperti telah diketahui masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan sangat akrab dengan sungai, dan tidak pernah terpisah dengan sungai sebagai sumber air tersebut.
Bagi masyarakat setempat sungai memiliki fungsi untuk kepentingan (1) komunikasi antar kampung dengan sarana jukung; (2) sumber mata pencaharian mencari ikan, mengambil batu dan pasir; (3) untuk keperluan mandi, mencuci, air minum, bahkan untuk keperluan membuang limbah manusia. Tradisi tersebut di atas telah lama dan telah menjadi semacam budaya yang sulit untuk diubah. Oleh karena itu secara tradisi sungai menggantikan fungsi kamar kecil dan kamar mandi, dimana masyarakat akan turun ke sungai untuk pelbagai keperluan yang berkaitan dengan pemanfaatan sarana kamar kecil dan kamar mandi.
Di atas air sungai biasanya dibangun sebuah lanting yang dilengkapi dengan rumah kecil di posisi agak ke belakang dari badan lanting tersebut. Lanting dibuat dari dua atau tiga batang kayu besar sebagai pelampungnya, dan di atasnya terdiri dari batang-batang bambu sebanyak sekitar 10 × 3 tumpang yang dipasak dengan pasak kayu ulin. Lanting-lanting tersebut pada umunya dibangun dengan gotong-royong. Biaya pembuatannya dikumpulkan dari patungan sepuluh keluarga yang letaknya berdekatan. Apabila memerlukan air, penghuni rumah akan turun-naik ke dan dari sungai ke rumahnya, baik siang maupun malam hari. Lanting yang dapat dikatakan sebagai pemenuhan akan sarana kamar mandi dan kamar kecil adalah milik bersama masyarakat dalam lingkungan tersebut.

2.6. Bahasa
Bahasa sehari-hari yang dipergunakan yaitu bahasa Bajar Kuala


BAB III
AKTIVITAS DAN SISTEM PERDAGANGAN PASAR TERAPUNG

3.1 Sejarah Pasar Terapung
Latar belakang sejarah timbul dan berkembangnya Pasar Terapung tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya kerajaan besar di Kalimantan dan berkaitan pula dengan sejarah berdirinya Kota Banjarmasin. Pada awalnya kawasan Pasar Terapung lokasinya tersebar antara Kuin Utara dan Kuin Cerucuk (sekitar Pertamina). Keberadaan Pasar seirama dengan berdirinya Kota Banjarmasin pada tahun 1526 oleh Sultan Suriansyah yang bergelar Pangeran Samudera, setelah memenangkan perang melawan Pangeran Tumenggung pamannya sendiri yang tidak sampai hati melawan keponakannya.
Pangeran Suriansyah adalah penguasa pertama yang memeluk agama Islam. Makamnya berada di Kelurahan Kuin Selatan, sebuah pemakaman yang merupakan Kompleks Pemakaman Raja-raja Banjar. Raja Banjar ke-2 Sultan Rachmatullah, Raja Banjar ke-3 Sultan Hidayatullah dan Khatib Dayan seorang ulama keturunan Arab yang diutus Sultan Trenggano untuk mengislamkan Pangeran Suriansyah, dimakamkan juga di sini. Makam ini ramai dikunjungi oleh para wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara sebagai salah satu objek wisata ziarah.
Keberadaan Pasar Terapung di muara Sungai Kuin dikenal secara nasional sejak RCTI menayangkan secara berkala kesibukan dan keunikan pasar yang aktivitasnya berlangsung di dalam perahu-perahu yang terapung di atas air. Penayangannya dimulai sejak tahun 1995 sampai tahun 2006.
Perkembangan Pasar Terapung terjadi bersamaan dengan adanya komunitas yang secara tetap mendiami daerah sekitarnya. Apabila kita melihat ke masa lalu, Kuin adalah sebuah perkampungan yang sejak awal telah menjadi pusat perhatian para pedagang yang mendiami kawasan ini. Pedagang Melayu memang telah ada sejak sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar. Mereka kemudian membuat permukiman di sekitar daerah muara Sungai Kuin dan hidup berdampingan dengan masyarakat beretnis Dayak yang hidup di sekitar daerah tersebut. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang kepala suku (pimpinan kelompok masyarakat Melayu) yang disebut Patih, di antaranya Patih Kuin, Patih Balit, Patih Muhur dan Patih Balitung. Dengan demikian di areal muara Sungai Kuin dan sekitarnya terdapat lima kelompok suku bangsa yang hidup berdampingan secara damai. Keberadaan masyarakat dan kontak antarkelompok yang mendiami lokasi yang menjadi cikal bakal Kota Kerajaan Banjar ini melahirkan sebuah kompleks pasar di muara Sungai Kuin yang sekarang dikenal dengan Pasar Terapung.
Aktivitas pasar yang berlangsung di atas puluhan perahu ini terbentuk secara alamiah. Kondisi alam Banjar yang dikenal sebagai negeri seribu sungai ini duhulunya memang hanya memiliki prasarana transportasi sungai. Barang dagangan berupa hasil bumi dan kebun yang dibawa penduduk dari arah hulu sungai, sangat mudah dibawa dengan menggunakan perahu. Demikian pula halnya dengan para pedagang Muara yang menjual aneka barang seperti kain, pecah-belah, tembakau, dan lain sebagainya, yang mereka peroleh dari pedagang lain yang berada di Jawa, Makasar, maupun beberapa pulau di Sumatera.
Untuk bisa cepat dari kalangan luas serta sebuah masjid. Kini kita hanya ditinggali warisan berupa Masjid Sultan Suriansyah dan Pasar Terapung. Sementara istana sudah hilang karena dibuat dari kayu yang bisa lapuk dan terbakar. Sedangkan lapangan atau pekarangan luas, hilang dalam perjalanan zaman karena banyak orang perlu areal untuk bangunan rumah. (Kayaknya bagian ini ndak nyambung).
Aktivitas di Pasar Terapung sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun, ketika pemerintah menetapkan sektor pariwisata sebagai salah satu sumber untuk meningkatkan devisa negara, maka sejak tahun 1980-an Pasar Terapung mendapat perhatian untuk dijual kepada wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Pasar Terapung kemudian mulai dikenal secara nasional. Faksi yang berkepentingan ikut serta memanfaatkan aset unik ini. Pembangunan dan teknologi pun merambah ke daerah ini, sehingga kini telah tersedia jalan darat yang menjangkau wilayah perdesaan dan semakin mudah untuk mendapatkan kendaraan bermotor. Hal ini menjadi alternatif lain untuk memasarkan barang dagangan dari perdesaan, maupun untuk membeli barang keperluan lainnya.
Pada sebuah seminar tentang Pasar Terapung, timbul keprihatinan tentang kondisi Pasar Terapung di masa lima sampai sepuluh tahun yang akan datang. Keprihatinan yang muncul sehubungan dengan perkembangan pembangunan dan kemajuan teknologi ini dianggap cukup beralasan (Ramli Nawawi, Banjarmasin Post 2002). Walaupun sebagian besar masyarakat menyatakan rasa optimis bahwa Pasar Terapung di muara Sungai Kuin akan terus terpelihara eksistensinya. Namun apabila melihat kondisi saat ini, tampaknya di masa depan bukan tidak mungkin Pasara Terapung ini semakin tidak memiliki daya tarik bagi wisatawan atau pemerhati kebudayaan.

3.2 Pasar Terapung sebagai Pasar Konkret/Nyata
Pasar Terapung sebagaimana layaknya pasar yang ada di darat, ditempati oleh sejumlah pedagang yang membentuk suatu deretan tempat berdagang. Mereka melakukan kegiatan berdagang di atas perahu. Biasanya mereka menjual sejumlah barang kebutuhan sehari-hari. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa bentuk Pasar Terapung adalah pasar konkret atau nyata, karena ada lokasi berdagangnya dan ada kegiatan perdagangannya. Ditinjau dari lokasinya, Pasar Terapung letaknya sangat strategis, karena berada di antara Kabupaten Barito Kuala dan lalu lintas ke daerah Kalimantan Tengah. Sedangkan kegiatan perdagangannya terlihat dari para pelaku yang terlibat di dalamnya, baik yang bertindak sebagai penjual maupun pembeli, yang berasal dari berbagai penjuru kota dan desa di sekitarnya.

3.3 Lokasi dan Kondisi Fisik Pasar
Secara administratif Pasar Terapung masuk ke dalam wilayah Kecamatan Banjar Utara. Tepatnya pasar ini berada di Kelurahan Kuin Utara. Panjang tempat berdagangnya sekitar 1 km (1000 m) dengan lebar kurang lebih 100 m. Dengan demikian lokasi untuk kegiatan perdagangan adalah sekitar 10 km2 (10.000mil). Letaknya cukup strategis dengan panorama alam yang indah, khususnya di pagi hari, dan ditunjang dengan beberapa obyek wisata tirta lainnya. Selain obyek wisata tirta, keberadaan industri perkayuan modern, Pertamina, dan kawasan hutan Pulau Kembang yang dijadikan sebagai suaka margasatwanya juga turut mendukung Pasar Terapung ini.
Pasar Terapung adalah salah satu jenis pasar tradisional yang terdapat di Kota Banjarmasin. Karakteristik pasar ini dapat dikategorikan sebagai pasar yang menjual hasil bumi dan kebutuhan rumah tangga. Meskipun sebagai pelengkap tentunya ada juga kebutuhan-kebutuhan lain yang turut disediakan oleh pasar ini. Kegiatan perdagangan yang berlangsung di dalamnya tidak terlalu besar, sehingga belum dapat menopang dunia perdagangan, khususnya di Kota Banjarmasin, dan umumnya di Kalimantan Selatan.
Namun, keberadaan Pasar Terapung ini sangat mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota Banjarmasin, karena dipandang sebagai obyek wisata andalan yang dapat membantu menyumbang pendapatan daerah. Oleh karena itu peran Pasar Terapung tidak kalah pentingnya dengan pasar yang berada di darat. Sebagai sebuah obyek wisata, yang datang mengunjungi Pasar Terapung bukan hanya turis nusantara/domestik saja, tetapi juga turis dari mancanegara.
Keberadaan pasar ini didukung pula dengan panorama alam Pulau Kembang yang merupakan lokasi suaka marga satwa. Jaraknya kurang lebih 750 meter ke arah hilir, di bagian tengah Sungai Barito. Program Bangunan dan Lingkungan Prioritas tahun anggaran 2002, berdasarkan rencana semula telah dibangun pada tahun 2004 dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak, kelayakan ekonomi, sosial dan budaya, maka penyusunan progran penataan bangunan dan lingkungan diantaranya: pintu gerbang, jalan, dermaga, parkir, jalan lingkungan, kios dan lain-lain. Namun tidak adanya penjagaan atau pengaturan lalu-lintas sungai (apa maksudnya???)
Kegiatan di Pasar Terapung dimulai pukul 04.00 (subuh) sampai dengan pukul 09.00. Namun ada juga para pedagang yang mulai berdatangan di sore hari dan bermalam di sekitar lokasi pasar. Tentunya mereka harus bermalam/beristirahat di atas perahu masing-masing, sambil menunggu hari berganti pagi.
Di pasar ini dapat dikatakan tidak ada peraturan-peraturan resmi yang mengatur aktivitas atau jalannya kegiatan perdagangan. Jika pun ada peraturan resmi yang berlaku umum, para pedagang cenderung enggan mentaatinya. Para pedagang Pasar Terapung memang tidak dikelola seperti di pasar daratan. Aktivitas mereka tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang jelas. Mereka pun tidak dikenai kewajiban untuk membayar retribusi/pajak, atau pungutan-pungutan lainnya. Para pedagang yang beraktivitas di Pasar Terapung ini tidak terorganisasir rapi, sehingga mereka tidak mempunyai ketua dan perangkat organisasi lain. Bahkan para pedagang tidak mengenal adanya kegiatan-kegiatan yang dapat mengikat hubungan di antara mereka, misalnya arisan atau pertemuan-pertemuan informal.
Di tahun 1998 jumlah pedagang yang ada di Pasar Terapung ini berjumlah sekitar 200 orang. Distribusi para pedagang tersebar di beberapa wilayah. Di steger Pertamina pada umumnya adalah pedagang sayur, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 50 orang. Di daerah Kuin Utara sekitar 35 orang, sedangkan di Alalak Selatan sekitar 75 orang. Di tahun 2006 jumlah pedagang memang cenderung berkurang. Namun, keunikan dari pasar tradisional yang telah dikenal secara nasional ini adalah adanya kecenderungan untuk mewariskan kebiasan berdagang secara turun temurun, sehingga keberadaan Pasar Terapung diyakini oleh sebagaian besar masyarakat tidak akan punah, meskipun para pedagang semakin menyusut jumlahnya.

3.4 Perolehan Bahan Baku dan Rantai Pemasaran
Pada umumnya para pedagang yang berjualan di Pasar Terapung membeli barang-barang dagangan dalam partai besar, meskipun ada sebagian kecil dari mereka yang membeli keperluan rumah tangga atau kebutuhan sehari-hari (partai kecil). Proses pembelian dilakukan secara bersama-sama (rombongan) dengan menggunakan perahu. Jika pembelian dilakukan dalam partai besar, maka mereka akan menjual kembali kepada pedagang kecil. Pedagang kecil tersebut akan berlaku sebagai pengecer dan menjual kembali kepada masyarakat di sekitar pasar yang ada di darat, atau memasarkannya ke Sungai Kuin, Sungai Awang dan Alalak Berangas di sekitar wilayah Kabupaten Batola.
Sembilan bahan pokok yang pada umumnya dijual oleh para pedagang di pasar-pasar darat, seperti di Pasar Antasari, Pasar Baru dan Pasar Lima, ada juga yang datang dari luar wilayah tersebut, misalnya berasal dari Marahaban atau desa-desa di daerah perhuluan. Jenis barang-barang dagangan lain, seperti hasil bumi dan sayuran, bahkan buah musiman seperti rambutan, durian, mangga dan lain sebagainya, kebanyakan berasal dari luar wilayah tersebut. Wilayah penghasil berbagai barang dagangan ini terletak di sepanjang aliran sungai Barito yang terletak di pelosok daerah perhuluan.
Sistem perdagangan yang dipraktikkan di Pasar Terapung yang telah berlangsung sekian lama ini memang telah menjadi kekhasan Kota Banjarmasin. Kota yang menjadi sentra ekonomi di Pulau Kalimantan Selatan ini memiliki Pasar Terapung sejak zaman dahulu kala. Semua transaksi perdagangan dilakukan di atas sungai, dengan menggunakan sampan ataupun perahu bermesin. Bagi masyarakat yang tinggal di tepi sungai Barito, di pasar inilah tempat mereka mendapatkan berbagai keperluan sehari-hari, terutama bahan baku untuk memasak.
Bagi masyarakat pendatang yang berasal dari berbagai daerah, bahkan yang berasal dari lapisan sosial menengah ke atas sekalipun, merasa terbantu dengan adanya pasar tersebut. Di pasar ini mereka bisa mendapatkan bahan makanan dan produk lain yang terjaga kesegarannya, kualitasnya, dengan harga jual yang terjangkau, khususnya bagi masyarakat di kalangan kelas bawah. Pemanfaat utama dari Pasar Terapung ini adalah penduduk yang tinggal di tepi sungai dan masyarakat nelayan yang kebetulan melewati area pasar ini, setelah menjual hasil tangkapannya kepada pedagang yang membutuhkannya. Menurut para nelayan, ketertarikan mereka berbelanja di Pasar Terapung ini selain karena keterjangkauan harga, juga untuk efisien waktu, sehingga mereka tidak perlu lagi belanja ke pasar-pasar yang ada di darat.
Bahan pokok yang tersedia di Pasar Terapung, terutama beras, hanya terbatas pada beras yang berasal dari/ditanam di kampung saja. Dengan kata lain, di pasar ini tidak menjual beras Dolog dari pemerintah. Cara penakarannya tidak menggunakan timbangan, melainkan dengan memakai kaleng besar (blek). Setiap 25 kg harga jualnya berkisar antara Rp. 80.000,00 - Rp. 100.000,00. Menurut masyarakat, beras kampung ini kualitasnya lebih baik, rasanya lebih gurih, dan baunya lebih harum bila ditanak/dimasak, jika dibandingkan dengan beras Dolog.
Selain membeli berbagai kebutuhan rumah tangga seperti yang telah dipaparkan di atas, di Pasar Terapung juga terdapat para penjual makanan khas Banjarmasin yaitu Soto Banjar, kue-kue tradisional, beserta minuman teh dan kopi panas. Menurut para pedagang pengecer yang berjulan di situ, modal usaha minimal yang mereka tanamkan pada usaha ini berkisar antara Rp. 50.000,00 - Rp. 200.000,00. Keuntungan yang bisa diperoleh perhari oleh para pedagang yang memiliki sarana sampan atau jukung adalah Rp. 20.000,00 - Rp. 40.000,00. Sedangkan untuk pedagang besar (grosir) yang menjual dalam partai besar, dengan modal usaha Rp. 1 juta - Rp. 3 juta, mereka dapat meraup keuntungan kotor antara Rp. 200.000,00 - Rp 400.000,00 (belum termasuk biaya bahan bakar minyak dan lain-lain) perhari. Pasar Terapung juga memberi kemudahan bagi para pedagang dan masyarakat dalam memperoleh bahan bakar minyak (BBM), seperti minyak tanah, bensin dan solar. Di tempat ini mereka yang membutuhkan BBM tidak perlu mengantri seperti halnya ketika membeli BBM di darat.

3.5 Transaksi Jual Beli dan Sistem Distribusi
Pada umumnya transaksi jual beli yang berlangsung di Pasar Terapung melibatkan kurang lebih 60-100 orang pedagang, baik yang menggunakan sampan (jukung) maupun perahu bermesin (klotok). Aktivitas jual beli ini didomanasi oleh kaum ibu. Apabila dibandingkan dengan laki-laki, perbandingannya kira-kira 60 % kaum wanita dan 40 % kaum pria dengan usia rata-rata di atas 30 tahun. Pada dasarnya cara bertransaksi yang dilakukan oleh para pedagang di Pasar Terapung tidak berbeda dengan transaksi jual beli yang terjadi di pasar-pasar lain. Proses ini muncul sebagai akibat dari adanya kesempatan bertemu antara penjual dan pembeli. Tetapi mengenai bagaimana terjadinya transaksi itu sangat tergantung dari setiap jenis barang yang diperdagangkan, serta keinginan pedagang dan pembeli yang terlibat dalam transaksi jual beli.
Para pedagang terlibat secara aktif di dalam rangkaian peredaran atau pendistribusian barang dagangannya. Mereka pada umumnya dibayar dengan uang kontan, meskipun kadangkala berlaku sistem barter di antara para pedagang. Harga yang berlaku di Pasar Terapung lebih murah atau selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan harga-harga yang ditawarkan di pasar yang ada di darat. Penentuan harga yang relatif lebih rendah ini bisa jadi dipengaruhi oleh kebebasan para pedagang di Pasar Terapung dari retribusi atau pajak, yang biasanya dipungut oleh Pemerintah Kota dari para pedagang penjual hasil bumi dan bahan pokok lainnya (sembako) yang berjualan di pasar darat.
(Cerita ini sepertinya tidak pas dengan isi pembahasan) Salah satu pedagang yang berhasil ditemui oleh peneliti adalah Ibu Noor Farida, yang biasa dipanggil Ibu Ida. Ibu yang berusia di atas 50 tahun ini justru lebih dikenal oleh masyarakat sebagai “Ibu RCTI Oke”, karena ia membintangi salah satu segmen di stasiun TV tersebut. Melalui sebuah proses wawancara, ia mengungkapkan aktivitas kesehariannya yang dimulai saat matahari belum menampakkan diri. Selepas menunaikan sholat subuh (sekitar pukul 04.00), Ibu Noor Farida segera beranjak dari rumahnya di Jalan Alalak Selatan No. 7 Kecamatan Banjarmasin Utara Kaliamantan Selatan, menuju perahunya yang tertambat di pinggir sungai. Untuk menuju ke arah sungai, ibu beranak delapan dan bercucu tiga ini harus melewati jalan setapak yang terbuat dari sisa kayu dan kadang-kadang tergenang air pasang. Barulah ia bisa sampai di perahu yang siap dikayuhnya sendiri. Ibu Ida berangkat ke Pasar Terapung untuk membeli berbagai barang dagangan yang hendak dijualnya kembali. Ia baru pulang ke rumah ketika anak-anaknya telah bersiap-siap berangkat menuju ke sekolah. Beruntung rumah Ibu Ida tak seberapa jauh letaknya dari pasar unik itu, kira-kira hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit dengan menggunakan sampan yang dikayuh sendiri.
Derasnya air Sungai Barito sudah sangat akrab dengan kehidupan Ibu Ida. Menurut penuturannya, sehari setelah ia membuka usaha kecil berdagang sayur di rumahnya, di tahun 1971, usaha Bahrul Karim suaminya di bidang perkayuan (sawmill) gulung tikar. Untuk meringankan beban keluarga, Ibu Ida akhirnya berjualan segala jenis barang dagangan, mulai dari kue, kelapa, minyak kelapa, hingga sayur mayur. Yang terpenting baginya adalah bagaimana cara mendapatkan uang dengan cara yang halal. Dalam petikan wawancara dikatakan olehnya :
“Buat menyambung hidup dan biaya anak sekolah, apa saja akan ulun (saya) lakukan, yang penting halal. Menghidupi anak yang jumlahnya banyak memang bukan perkara mudah, meskipun berat saya tetap berusaha supaya anak-anak tetap bersekolah, kalau bisa sampai perguruan tinggi. Tapi kemampuan saya terbatas.”

Dalam cerita selanjutnya, Ibu Ida mengisahkan bagaimana beliau bisa terlibat dalam pengambilan gambar di stasiun televisi RCTI. Suatu pagi di penghujung tahun 1995, ketika ia sedang asyik memilih sayuran untuk dijual, tanpa sepengetahuannya seorang pria asing berkebangsaan Perancis yang sudah lama memperhatikannya dari kejauhan berjalan menghampirinya. Ketika pria asing itu membuka pembicaraan dengannya, Ibu Ida yang tak begitu fasih berbahasa Indonesia itu menjadi gelagapan, tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Beruntung seorang pria yang menemani pria asing itu membantu Ibu Ida memahami percakapan itu, dengan menerjemahkan kalimat-kalimat bahasa Indonesia ke dalam bahasa Banjar. Barulah Ibu Ida mengerti bahwa pada intinya mereka ingin merekam gambar Ibu Ida dengan menggunakan kamera elektronik yang telah dibawa.
Pada mulanya Ibu Ida menolak untuk diambil gambarnya. Beliau dengan polos mengatakan kepada pria asing itu bahwa masih banyak perempuan-perempuan lain yang lebih cantik darinya yang lebih pantas untuk diambil gambarnya. Namun pria asing itu bersikeras dengan pilihannya, karena merasa yakin Ibu Ida lebih sesuai dengan konsep kreatifnya. Setelah dibujuk-bujuk, Ibu Ida pun akhirnya menyerah dan menyetujui pengambilan gambar dirinya. Lalu, mulailah dilakukan proses pengambilan gambar itu.
Untuk kepentingan pengambilan gambar, begitu banyak sayuran yang didatangkan dari sebuah supermarket terkenal di Banjarmasin yang kemudian dipergunakan untuk mengisi sampan-sampan, sehingga tiap sampan tersebut terlihat penuh. Para pemilik sampan pun diminta untuk berkumpul, sehingga memberi kesan semarak pada Pasar Terapung. Sementara Ibu Ida diarahkan untuk beraktivitas secara wajar seperti ketika melakukan kegiatan-kegiatan rutinnya sebagaimana biasa. Ia diminta berakting sedang memilih sayur yang segar dan berkualitas baik, lalu memindahkan ke perahunya. Setelah adegan itu ia diminta untuk mengacungkan jempol (sebagai simbol RCTI Oke) ke arah kamera sambil tersenyum ramah.
Pengambilan gambar itu hanya memakan waktu sekitar 45 menit. Ibu Ida menerima amplop berisi uang sebanyak Rp 40.000,00. Dari honor tersebut ia membelanjakan Rp 30.000,00 untuk untuk membeli sajadah dan kain, sementara sisanya dipakai sebagai uang jajan anaknya. Sebagai bentuk penghargaan atas kerja sama dari Ibu Ida, stasiun televisi RCTI juga memberikan 1 unit pesawat televisi berukuran 14 inci, piagam, uang sebesar 1,5 juta rupiah, serta beasiswa pendidikan untuk putrinya.
Belum habis dengan rasa heran setelah pengambilan gambar dirinya itu, Ibu Ida lantas bercerita kepada anak dan suaminya. Sungguh dirinya tidak mengira, jika diawal tahun 1996 selang beberapa bulan dari pengambilan gambar, ia menyaksikan dirinya muncul di layar kaca RCTI. Ida ingat betul gambar yang muncul itu diambil ketika ia sedang berbelanja di Pasar Terapung. Ibu Ida mengakui kalau ada perasaan malu, ketika pertama kali melihat dirinya muncul di layar televisi. Sejak saat itu Ibu Ida semakin dikenal dengan sebutan “Ibu RCTI Oke”. Nama Ibu Ida semakin lama semakin mencuat, terutama di daerah Banjarmasin dan sekitarnya. Di berbagai kesempatan, orang-orang banyak yang membicarakan kemujuran nasibnya karena bisa tampil di layar kaca setiap hari.
Menurut salah satu artikel dalam Majalah Suara Cantika (2002, hal. 65), beberapa waktu yang lalu ada orang yang datang berkunjung ke Banjarmasin sekedar untuk membuktikan ketenaran Ibu Ida. Orang tersebut berhasil menemukan rumah Ibu Ida yang ukurannya cukup besar. Ibu Ida mengatakan rumah itu adalah salah satu sisa kejayaan suaminya. Menemukan di mana lokasi rumah Ibu Ida bukanlah perkara susah, kita tinggal bertanya dan semua orang sudah tahu. Hanya saja nama Ibu Ida yang berperawakan kecil ini tidak begitu akrab di telinga masyarakat sekitar, mereka lebih mengenal julukannya sebagai “Ibu RCTI Oke”.
Dalam proses distribusi barang, peranan tenaga manusia sangat penting dan bersifat mutlak. Tenaga manusia ini dipergunakan, khususnya untuk memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Pemindahan barang dilakukan dengan cara memikul atau mengambin barang yang rata-rata beratnya 30 kg. Untuk mencapai suatu tempat tertentu, biasanya harus mempergunakan jalan setapak, menaiki dan menuruni bukit-bukit, atau menyeberang sungai-sungai kecil. Perjalanan untuk mencapai Pasar Terapung tempat menjual hasil pertanian tersebut memerlukan waktu satu sampai dua jam. Pasar Terapung umumnya berada di kota kecamatan.
Untuk wilayah desa yang tidak mempunyai jalan darat dan kebetulan berada di sepanjang sungai, sampan menjadi alternatif alat transportasi yang utama. Alat transport ini biasanya dibuat sendiri dan digerakkan dengan tenaga manusia atau tenaga mesin. Pada umumnya tenaga mesin yang dipergunakan untuk menggerakkan sampan yang berbahan bakar bensin atau solar adalah antara 5 sampai 15 PK (tenaga kuda). Apabila terjadi musim kemarau yang berlangsung cukup lama, permukaan air sungai akan surut dan sungai menjadi dangkal. Dalam kondisi demikian sampan dan motor air jarang dipergunakan, sehingga rakit yang kemudian dipilih sebagai sarana transportasi utama.
Dalam konsep ilmu ekonomi sistem distribusi tak langsung dinamakan dengan pertukaran. Hasil-hasil produk yang dipergunakan untuk pertukaran ini terdiri dari kopi, sayur-sayuran, buah-buahan dan hasil bumi. Barang-barang yang akan dipertukarkan telah dinilai terlebih dahulu dengan mempergunakan alat perantara dalam pertukaran, yaitu uang yang resmi beredar (rupiah). Dalam proses distribusi tersebut petani membawa sendiri barang-barang yang akan dijual ke toko yang terdapat di desa tersebut. Kemudian hasil penjualan tadi dibelanjakan lagi di toko yang sama, atau ditukarkan dengan bahan-bahan makanan dan bahan keperluan sehari-hari.
(Apakah ini ada hubungannya dengan distribusi barang atau hanya nilai positif yang berlaku dalam masyarakat ?) Pola distribusi yang terjadi di wilayah ini terkait erat dengan nilai-nilai moral yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat tersebut. Keterlibatan seseorang dalam distribusi ini diyakini akan mendapatkan ganjaran positif di kemudian hari. Kebaikan hati dapat diwujudkan dengan membantu orang yang sedang mengalami penderitaan seperti orang miskin, atau tetangga/kerabat yang panennya gagal. Pertolongan ini dilakukan dengan tulus ikhlas tanpa pamrih, atau tanpa mengharapkan balasan dari orang yang dibantu. Bagi masyarakat menolong orang lain dirasakan sebagai tanggung jawab moral, sehingga terdapat ungkapan yang dikenal dalam masyarakat bahwa “tangan yang di atas lebih mulia daripada tangan yang dibawah”, atau memberi lebih baik daripada menerima.
Hasil bumi yang dibawa dari daerah perhuluan dan pedalaman antara lain adalah umbi-umbian, jagung, sayur, dan buah-buahan. Sedangkan “beras kampung” yang berasal dari padi lokal (bukan beras Dolog), diangkut dari Barito Kuala menggunakan kapal motor yang berbobot sekitar kurang lebih 5 –10 ton. Kapal motor tersebut sudah tiba di pasar sebelum adanya aktivitas yang berlangsung di subuh hari. Para pedagang yang datang dari jauh ini bahkan rela menunggu subuh datang, sambil beristirahat melepaskan lelah. Tidak jarang mereka harus menginap di sekitar pasar, apabila dagangan yang dibawa belum habis terjual.
Pada saat aktivitas di Pasar Terapung dimulai, terjadilah transaksi antara pedagang yang berjualan di sampan (jukung) dengan pedagang grosir yang menggunakan kapal motor. Transaksi jual-beli yang berlangsung dalam suasana hari yang relatif masih gelap ini, tentunya membutuhkan alat penerangan. Pada umumnya para pedagang di Pasar Terapung menggunakan lampu bersumbu/berbahan bakar minyak tanah (lampu teplok), lampu petromaks (strongkeng), maupun senter. Alat penerangan ini memudahkan para pedagang dan pembeli melihat dengan jelas jumlah uang yang mereka keluarkan/bayarkan. Sistem pembayaran yang umumnya berlaku di sini adalah sistem pembayaran dengan uang kontan (cash). Jika transaksi antara para pedagang sampan (jukung) dengan pedagang grosir telah selesai, maka mulailah para pedagang tersebut mengayuh jukung atau sampannya hilir mudik di sekitar Kelurahan Kuin Utara sampai Alalak Selatan, yang terbentang seluas 2 km sepanjang sungai.
Secara umum ada tiga pengelompokan pedagang yang berjualan di atas sampan (jukung), mereka adalah :
 Kelompok penjual jenis ikan, udang, kerang, dan kepiting, yang biasanya mengambil lokasi di pinggir steger Pertamina di daerah Kuin Cerucuk. Jumlahnya sekitar 60 orang.
 Kelompok penjual beras kampung (bukan beras Dolog) yang berpangkalan di daerah Alalak Selatan.
 Kelompok penjual sayur-mayur dan buah-buahan. Para pedagang cenderung menyebar serta berkeliling, sambil menunggu atau pembeli. Tidak ada tempat mangkal khusus yang pasti bagi para penjual sayur dan buah ini.
Apabila masyarakat setempat atau para pendatang hendak berbelanja di Pasar Terapung, sarana yang tersedia di sana adalah sampan ojek atau kelotok (perahu bermesin). Tarifnya berkisar antara Rp. 2000,00 – Rp. 5000,00. Namun, para pembeli juga bisa melambaikan tangan atau berteriak kepada para pedagang dari tepi sungai. Mereka tinggal menyebutkan apa yang menjadi kebutuhannya. Pedagang yang dimaksud akan merapatkan sampannya ke pangkalan atau di tepi sungai. Pedagang-pedagang ini juga telah terbiasa membawa sampan mereka masuk ke dalam kompleks perumahan yang berada di sekitar sungai. Dengan keterampilan mereka mengayuh sampan, mereka dapat melewati bagian-bagian sungai yang berada di sisi rumah-rumah tersebut. Dengan demikian para pedagang tersebut dapat mengunjungi langganan tetapnya.





BAB IV
FUNGSI PASAR TERAPUNG

4.1 Pasar Terapung Sebagai Tempat Berlangsungnya Aktivitas Perekonomian
Pasar Terapung yang dikenal oleh masyarakat di Kota Banjarmasin dan sekitarnya, telah menunjukkan fungsi ekonominya. Dalam hal ini Pasar Terapung menjadi tempat/wadah bagi beredarnya uang, khususnya melalui transaksi jual beli yang berlangsung antara para penjual dan pembeli. Berbagai hasil bumi dan produk lain, baik yang berasal dari masyarakat di luar pedesaan di mana pasar itu berada, maupun yang berasal dari masyarakat sekitar pasar, pada hakekatnya tersedia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat setempat.
Masih berkaitan dengan fungsi ekonomi, keberadaan Pasar Terapung telah menimbulkan pengaruh ekonomi yang cukup besar kepada penduduk yang bermukim di sekitar Sungai Barito, Banjarmasin. Pada umumnya ibu-ibu yang memiliki keterampilan tertentu, seperti membuat kue-kue, akan menjual hasil karyanya dengan cara menitipkan ke para pedagang minuman kopi, teh, atau es cendol yang berjualan di sungai. Bahkan terdapat pula laki-laki dewasa yang berdagang makanan khas Banjarmasin, seperti Soto Banjar, yang merupakan salah satu makanan daerah yang telah dikenal secara nasional.
Prinsip-prinsip ekonomi yang mengutamakan perolehan manfaat dan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya, dapat terlihat dari perilaku produsen/pedagang yang berusaha menjual barang-barangnya dengan tingkat harga tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Sementara di sisi lain, para pembeli atau konsumen berusaha agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan baik melalui jasa para produsen/pedagang/penyedia barang tersebut. Dengan demikian, kegiatan ekonomi yang berlangsung di Pasar Terapung sesungguhnya mencerminkan adanya pola-pola hubungan sosial yang khas.
Pola-pola hubungan tersebut terbentuk melalui kontak-kontak sosial yang terjadi antara penjual dan pembeli. Hal ini bukan saja memberikan identitas/ciri khusus terhadap hubungan antara produsen dan konsumen, atau antara penjual dan pembeli, tetapi secara ekonomis juga memberikan keuntungan bagi pemerintah daerah di mana Pasar Terapung tersebut berada. Artinya, keberadaan Pasar Terapung dan keunikan kegiatan sosial-ekonomi yang berlangsung di atasnya dapat dijadikan sebagai sumber devisa bagi pendapatan daerah, khususya dari sektor pariwisata.

4.2 Pasar Terapung Sebagai Media untuk Berkomunikasi dan Bertukar Pengetahuan
Pasar Terapung sesungguhnya memiliki fungsi yang beragam. Di samping berfungsi ekonomis dan rekreatif, Pasar Terapung pun mampu melaksanakan fungsinya sebagai tempat pertukaran informasi dan pertemuan atau kontak sosial antarpendukung kebudayaan yang berbeda-beda. Berbaurnya orang-orang yang berasal dari etnis yang beragam, bertemunya pengunjung pasar dengan berbagai produk budaya (olahan masyarakat) dan berbagai informasi, berpeluang untuk menumbuhkan gagasan-gagasan baru yang dapat memperluas cakrawala budaya mereka.
Dengan berkunjung ke Pasar Terapung, mereka dapat mengakses berbagai macam pengetahuan baru, baik itu berbentuk informasi, problematika sosial, cerita, dan lain sebagainya, mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di seluruh belahan dunia. Meskipun pengetahuan baru tersebut hanya terbatas pada fluktuasi harga-harga kebutuhan pokok yang selalu terjadi setiap waktu, paling tidak hal tersebut tentunya akan menjadi penting dalam transaksi jual-beli antara produsen dengan konsumen.
Keberadaan Pasar Terapung dapat mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Ketersediaan beraneka macam produk yang diperjualbelikan di pasar, paling tidak akan memberikan alternatif bagi setiap rumah tangga untuk memutuskan produk-produk seperti apa yang layak menjadi pilihan atau mampu dikonsumsinya. Meskipun tidak tertutup kemungkinan dengan semakin mudah diperolehnya suatu produk/barang dari pasar, khususnya produk/barang yang dianggap dapat meningkatkan status sosial dan menunjukkan tingkat modernitas seseorang, lambat laun akan mendorong masyarakat setempat untuk berperilaku konsumtif. Dapat dikatakan bahwa jika pengetahuan masyarakat tentang barang-barang konsumsi yang “berkelas” berbanding lurus dengan kemampuan suplai pasar, maka akan memberikan pengaruh tertentu bagi pola konsumsi masyarakat.
Pasar Terapung juga dapat mendorong dinamisasi dan semangat kerja masyarakat dalam skala yang luas. Berbagai pengetahuan dan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang khas, diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Misalnya pada musim buah-buahan, keranjang-keranjang buah (durian, rambutan, nangka, pisang, nanas) yang berasal dari Kabupaten Barito, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Kandangan diangkut dengan motor kelotok (perahu bermesin). Pada saat bersamaan puluhan pedagang akan berperan sebagai pedagang perantara antara produsen dan konsumen. Di masa-masa seperti ini, akan banyak sekali tenaga kerja yang dilibatkan dalam sebuah rangkaian kegiatan ekonomi, yang secara otomatis akan meningkatkan semangat kerja bagi penduduk di sekitar Pasar Terapung ini.
Para penjual dan pembeli yang beraktivitas di pasar tradisional ini akan memperoleh berbagai keuntungan dari relasi sosial yang terbangun secara intensif satu sama lain. Komunikasi yang berlangsung dengan lancar di antara mereka akan membantu mereka mendapatkan informasi perihal kejadian yang terkini maupun di masa lalu, berita-berita yang bersifat himbauan, undangan hajatan, maupun berita duka cita.

4.3 Pasar Terapung Sebagai Arena Pambauran Masyarakat
Pasar Terapung bukan saja sebagai tempat jual beli barang hasil bumi, tetapi juga merupakan arena pertemuan antarlapisan masyarakat. Karena menjadi tempat pertemuan, di pasar ini akan terjadi interaksi sosial antar berbagai unsur masyarakat, seperti antara pembeli dengan pedagang, pembeli dengan pembeli, penjual jasa dengan pembeli, pedagang dengan pedagang, penjual jasa dengan pedagang, makelar dengan pedagang, dan lain-lain. Pertemuan dan interaksi dari berbagai lapisan masyarakat yang memiliki latar belakang pengetahuan atau kebudayaan yang berbeda ini, memungkinkan terjadinya proses saling mengisi, mempengaruhi atau tukar-menukar informasi. Kondisi ini akan mendorong timbulnya kesamaan tingkat pengetahuan antarmasyarakat, atau setidak-tidaknya akan mendorong terjadinya proses penyelarasan pengetahuan baru dengan kebudayaan asal.

4.3 Pasar Terapung Sebagai Objek Tujuan Wisata
Menyaksikan ramainya suasana perdagangan antara penjual dan pembeli, khususnya di pagi hari, terasa sangat mengasyikkan bagi para turis nusantara sampai mancanegara. Keasyikkan ini semakin terasa lengkap jika ditemani panganan yang dibawa sendiri maupun dibeli di pasar setempat. Momen ini akan menjadi salah satu kenangan yang sulit untuk dilupakan.
Kebijaksanaan Pemerintah Kota Banjarmasin untuk tidak membuat aturan-aturan formal yang mengatur secara rigid tatanan sosial-ekonomi di Pasar Terapung, merupakan salah satu upaya menjadikan Pasar Terapung bukan hanya sebagai wadah perdagangan saja. Dengan kondisi yang fleksibel ini, pihak-pihak yang terlibat dalam segala aktivitas di Pasar Terapung dan memiliki kepentingan untuk mempertahankan eksistesi Pasar Terapung, mempunyai kesempatan untuk melakukan penataan dan mengoptimalkan fungsi pasar tradisional ini secara mandiri.
Hingga saat ini Pasar Terapung memang belum dapat menyumbang income yang cukup berarti untuk meningkatkan pendapatan daerah. Namun demikian, pemerintah kota tetap memperhatikan keberadaannya, bukan hanya sebatas memanfaatkaannya untuk menyelenggarakan kegiatan perdagangan saja, melainkan memfungsikan Pasar Terapung sebagai objek daya tarik wisata “minat khusus”. Pasar Terapung dilihat sebagai bagian dari budaya atau adat istiadat masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Kegiatan-kegiatan yang berlangsung di pasar tradisional ini perlu disaksikan dan dilihat oleh publik. Dikatakan wisata “minat khusus” karena orang-orang yang berminat untuk menyaksikan keunikan Pasar Terapung harus bangun di subuh hari, sekitar pukul 04.00 WITA. Ditambah lagi mereka harus menyiapkan sendiri perlengkapan dokumentasi dan peralatan penunjang lain yang diperlukan.
Pasar Terapung dengan segala kegiatan yang berlangsung di dalamnya akan berhenti atau berakhir dengan sendirinya setelah matahari mulai bergerak ke posisi yang lebih tinggi, kira-kira di pukul 08.00 - 09.00 WITA. Bila kegiatan jual-beli yang utama sudah selesai, yang tertinggal hanyalah aktivitas pedagang panganan atau pedagang barang-barang kelontong di sepanjang pinggir sungai. Mereka berkegiatan di atas jukung, kelotok, lanting (rumah kecil yang terapung di atas permukaan air sungai) atau bangunan/kios kecil tempat berjualan yang didirikan di pinggir sungai.

4.4 Upaya Pembinaan dan Pengembangan Pasar Terapung
Pasar tradisional di Kalimantan Selatan ini bila dicermati dengan sungguh-sungguh, sebenarnya menunjukkan identitas budaya masyarakat atau kelompok etnis setempat. Misalnya dari bentuk fisik Pasar Terapung itu sendiri, istilah-istilah lokal untuk menyebut pasar, atau dari barang yang diperdagangkan. Pasar Terapung apabila dikelola dengan baik dan serius, dengan menggunakan strategi pengelolaan yang tepat dan cermat, pasti akan mendatangkan banyak wisatawan dan keuntungan lain yang lebih luas.
Kebijakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk menjaga kelestarian sejumlah pasar tradisional di Indonesia, khususnya Pasar Terapung di Kalimantan Selatan, harus disambut dan disikapi dengan positif. Pengarahan dari Sekretaris Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dalam kegiatan Seminar Sehari “Pemberdayaan Pasar Terapung dan Pengembangan Potensi Agro Wisata dalam Kerangka Kebijakan Pembangunan Pariwisata Kota Banjarmasin” menjadi salah satu bukti sejauh mana perhatian yang diberikan oleh pemerintah pusat terhadap keberadaan Pasar Terapung. Beliau secara khusus mengingatkan agar aset kebudayaan tradisional harus dijaga kelestariannnya (Ramli Nawawi, 2002).
Paling tidak ada dua hal yang patut disikapi dari berbagai pendapat dan usulan-usulan yang berkembang dalam seminar tersebut. Antara lain adalah:
1. Perlunya penyelenggaraan festival budaya secara berkala yang salah satunya diarahkan kepada pemberdayaan Pasar Terapung. Hal ini mengingat penilaian sebagian orang yang melihat kondisi Pasar Terapung sekarang ini yang dianggap sudah tidak lagi menarik.
2. Untuk menjadikan kawasan Pasar Terapung semakin marak, diusulkan untuk mengadakan kegiatan lanjutan setelah berakhirnya kesibukan jual-beli di atas perahu. Tidak dapat dipungkiri, wisatawan domestik atau lokal, juga tak terkecuali masyarakat Banjar sendiri umumnya suka mendatangi tempat yang menyediakan fasilitas untuk mendapatkan makanan enak. Oleh karena itu diusulkan adanya pihak-pihak yang berkepentingan dengan dunia kepariwisataan di daerah ini yang merintis pembangunan rumah makan lesehan, yang menyediakan masakan tradisional dengan ikan segarnya (seafood) dan ditangani tukang masak berpengalaman. Dengan demikian para wisatawan atau pendatang yang mau membawa keluarganya ke kawasan Pasar Terapung setelah pukul 07.00 WITA (selepas aktivitas jual-beli utama), dapat menikmati pemandangan, sarapan pagi dan makanan khas daerah setempat yang tersedia di rumah makan, selain yang selama ini sudah disediakan oleh warung-warung makanan yang digelar di atas perahu. Terobosan ini diyakini dapat meramaikan suasana Pasar Terapung dan menarik minat pengunjung, mulai dari kalangan keluarga, karyawan pada jam istirahat, para sahabat yang datang dari pulau, hingga wisatawan domestik maupun mancanegara.

Sejak tahun 2002, pemerintah daerah melalui program-program penataan kawasan Pasar Terapung telah melaksanakan kegiatannya, dengan konsultan PT. Kaibon Rasirekayasa. Perencanaan Revitalisasi di Kawasan Kuin Utara Banjarmasin meliputi:
A. Program Penataan Antara Jembatan Putih Sampai Makam Sultan Suriansyah
1. Pembangunan titian Lebar 2 meter
Pembebasan Lahan
- Rumah 40 unit
- Toko/warung 5 unit
- Bengkel speed boat 1 unit
Pembangunan fisik
- Titian lebar 2 meter (tiang dan pagar ukir) 500m2
- Kios-kios 6 unit
2. Konservasi rumah tradisional Banjar 4 unit
3. Konservasi jembatan putih 70m2
4. Lanjutan penataan Lansekap Masjid Sultan Suriansyah
Pembebasan Lahan
- Untuk pembangunan fasilitas pendidikan formal dan panti asuhan
- Untuk dermaga/pelataran masjid 4 unit
5. Lanjutan penataan Lansekap Makam Sultan Suriansyah
Pembebasan lahan
- Samping Dermaga termasuk bengkel speedboat 5 unit
- Samping Makam 9 unit
Pembangunan fisik
- Pergeseran/Perbaikan gerbang makam 2 unit
- Lanjutan pembangunan pagar bata 136m2
- Lanjutan pembangunan pagar kayu 108m2
- Lanjutan pembangunan dermaga/pelataran makam 1 unit
- Pembangunan halaman parkir makam
- Renovasi Museum pada makam
6. Pembangunan dermaga tajau 1 unit
7. Renovasi Musholla (80m2) 1 unit
8. Penggantian Lantai Jembatan depan Masjid 1 unit
9. Pemasangan Siring permanen 500m2
10. Pengecatan marka jalan 100m2

B. Program Penataan Antara Jembatan Baru Sampai Simpang Tiga Pasar Terapung
1. Pembangunan titian lebar 2meter (tiang dan pagar ukir) 300m2
2. Gerbang Pasar Terapung 1 unit
3. Perlebaran Jalan menjadi 7 meter 360m
4. Pemasangan paving blok untuk pejalan kaki lebar 1 meter 700m
5. Konservasi rumah tradisional Banjar 7 unit
6. Pembangunan bengkel speedboat (100m2) 1 unit
7. Pemasangan tiang-tiang lampu semi PJU 25 unit
8. Pembangunan Gerbang masuk pasantren 1 unit
9. Pemasangan siring permanen 300m
10. Pemasangan patok batas kavling 65 unit
11. Pengecatan marka jalan 80m2

C. Program Penataan Antara Simpang Tiga Pasar Terapung Sampai Dengan Sungai-Sungai
1. Pembangunan jalan/titian lebar 4 meter
- Pembebasan lahan
- Pembangunan fisik jalan/titian
2. Pembangunan dermaga penyeberangan 1 unit
3. Pembanguanan dermaga penyewaan speedboat 1 unit
4. Pembanguanan pelataran Pasar Terapung 2 unit
5. Pembanguan titian lebar 3 meter
- Pembebasan lahan
- Pembangunan fisik titian 270 m
6. Pembangunan Kantor pengelola dermaga 1 unit
7. Pembangunan rumah sewa 40 unit
8. Pembangunan Sub terminal angkutan kota
Pembebasan lahan 750m2
Pembangunan fisik
- Pembangunan fisik (paving) 750m2
- Pembangunan siring sub terminal 20m
- Pembangunan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) 40m2
9. Gerbang Dermaga 1 unit
10. Pembangunan titian samping jembatan lebar 2 meter 40 m2
11. Perbaikan lantai dan pagar jembatan 2 unit 2 unit
12. Pelebaran jalan menjadi 7 meter 450m
13. Pasang paving blok untuk pejalan kaki lebar 1 meter 900m
14. Pemasangan tiang-tiang lampu semi PJU 40 unit
15. Konservasi rumah tradisional Banjar 1 unit
16. Pemasangan patok batas kavling 120 unit
17. Pembangunan toko sepanjang terusan Pasar Terapung 60 unit
18. Pembangunan rumah lanting 15 unit
19. Pengecatan marka jalan 50m2

4.4 Keberadaan Pasar Terapung Setelah Muncul Pasar Modern
Sungguh sangat disayangkan, keberadaan pasar-pasar tradisional dewasa ini, khususnya di kota-kota besar semakin hari semakin memprihatinkan. Dengan semakin menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan yang besar dan modern, seperti mal, plaza, supermarket, dan lain sebagainya di Kalimantan Selatan, mengakibatkan semakin susutnya purna jual-beli di Pasar Terapung. Sedikit demi sedikit pelanggan pasar tradisional ini beralih ke pusat perbelanjaan megah yang relatif dianggap lebih nyaman, aman dan praktis.
Pasar Terapung di Banjarmasin yang menjadi ikon pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan mulai terancam keberadaannya. Kini, Pasar Terapung makin sepi pembeli. Hal ini menjadi pertanda tergerusnya budaya setempat yang dibangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam memposisikan sungai di dalam kehidupan keseharian mereka. Keberadaan sungai berangsur-angsur dilupakan, sebagai akibat diabaikan tata ruang sungai dan proyek-proyek pembangunan yang memprioritaskan pengembangan insfa struktur darat. Apabila kondisi ini terus berlanjut, ditambah lagi dengan sikap pemerintah yang mengabaikan kondisi Pasar Tarapung dan kurang peduli terhadap upaya pemberdayaan ekonomi rakyat, keberadaan pasar tradisional yang unik ini dan telah dikenal secara nasional ini terancam akan tinggal kenangan saja.
Masih banyak masalah yang perlu kita pikirkan bersama berkaitan dengan perkembangan Pasar Terapung dewasa ini. Harus dipikirkan pula alternatif solusi yang terbaik agar keberadaan pasar tradisional tidak lagi dipandang sebelah mata, baik oleh pemerintah, para pengelola pusat perbelanjaan maupun masyarakat umum. Semoga langkah awal yang telah diupayakan oleh pemerintah untuk memperbaiki kondisi Pasar Terapung ini dapat menjadi pemicu bagi berbagai pihak untuk lebih memberikan perhatian yang serius terhadap keberadaan Pasar Tradisional Terapung, yang seolah-olah telah kehilangan arah saat ini. Hanya kita yang dapat menjaga agar pasar tradisional ini tetap bertahan dan secara optimal dapat menjalankan fungsi-fungsi ekonomi, sosial dan budayanya.

Tidak ada komentar: