Sekilas Pandang Kota Sintang
Sekilas Pandang Kota Sintang
Wednesday, 10 September 2008 07:00
Konon, asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari kedatangan seorang tokoh penyebar agama Hindu dari Semenanjung Malaka (ada pula yang mengatakan berasal dari Jawa) bernama Aji Melayu. Ia datang ke daerah Nanga Sepauk (sekitar 50 km dari Kota Sintang) pada abad ke-4 dan mendirikan perkampungan baru di tempat itu. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat disebut ‘Batu Kelebut Aji Melayu‘. Putung Kempat adalah istri Aji Melayu yang kemudian menurunkan raja-raja di Sintang. Di daerah ini juga ditemukan batu yang menyerupai lembu serta makam Aji Melayu.
Pendirian Kerajaan Sintang dilakukan oleh Demong Irawan, keturunan kesembilan Aji Melayu, pada abad ke-13 (+ 1262 M). Demong Irawan mendirikan keraton di daerah pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas (yaitu di Kampung Kapuas Kiri Hilir sekarang). Mulanya daerah ini diberi nama senetang, yaitu kerajaan yang diapit oleh beberapa sungai. Lambat laun penyebutan senetang kemudian berubah menjadi sintang. Sebagai lambang berdirinya kerajaan itu, Demong Irawan yang memakai gelar Jubair Irawan I menanam sebuah batu yang menyerupai buah kundur. Batu yang kini berada di halaman Istana Sintang ini oleh masyarakat setempat dianggap keramat dan memiliki tuah.
Pada masa Kerajaan Sintang Hindu, Istana Sintang dibangun berdasarkan arsitektur rumah panjang, rumah khas masyarakat Dayak. Namun, setelah Kerajaan Sintang menganut agama Islam, terutama pada masa pemerintahan Raden Abdul Bachri Danu Perdana, dibangunlah gedung istana yang baru dengan nama Istana Al Mukarrammah. Istana ini dibangun pada tahun 1937 dengan arsitek seorang Belanda. Konstruksi bangunannya masih menggunakan struktur rangka kayu, tetapi dengan pondasi tiang bersepatu beton. Atap istana yang terbuat dari sirap kayu belian juga diperkuat dengan plafon dari semen asbes. Demikian pula dinding istana dilapisi dengan semen setebal + 3 cm. Sampai saat ini, kompleks Istana Sintang masih terawat dengan baik.
Di sebelah barat istana, terdapat bangunan masjid dengan nama Masjid Jamik Sultan Nata Sintang. Di bagian muka masjid itu, terdapat jembatan penyeberangan dari kayu yang menghubungkan masjid dan istana yang dipisahkan oleh jalan beraspal. Jembatan ini dibangun untuk memudahkan raja dan kerabat istana melaksanakan shalat di masjid. Konstruksi awal masjid ini dibangun pada masa Pangeran Tunggal dengan kapasitas sekitar 50 orang. Perbaikan dan perluasan masjid kemudian dilakukan oleh penerusnya, yakni Sultan Nata pada tahun 1672 M.
Masjid Sultan Nata
Selain bangunan istana dan masjid, ciri khas kompleks istana Melayu adalah makam atau tempat peristirahatan terakhir raja. Ada beberapa makam yang dianggap penting dalam perjalanan sejarah Kerajaan Sintang, antara lain: Makam Aji Melayu yang terdapat di Desa Tanjung Ria, Kecamaan Sepauk (sekitar 55 km dari Ibukota Kabupaten Sintang); Makam Jubair Irawan I, raja pertama Kerajaan Sintang, yang terletak di Kelurahan Kapuas Kanan Hilir, Kecamatan Sintang (sekitar 3 km dari Kota Sintang); Makam Raja-raja Sintang di daerah Kampung Sei Durian, Kecamatan Sintang; serta Makam Kerabat Istana yang terletak di belakang Istana Sintang.
Makam Raja-raja Sintang
Dari tepian Sungai Kapuas, lansekap istana ini tampak seperti rumah besar yang anggun dengan dua bangunan pengiring di sisi kanan dan sisi kirinya. Bangunan utama terletak di bagian tengah agak ke depan, sedangkan dua bangunan lainnya mengapit di kedua sisi bangunan utama. Bangunan utama terdiri dari serambi depan, ruang tamu, ruang pribadi sultan, serta serambi belakang. Bangunan pengiring di sisi barat bangunan utama digunakan sebagai ruang istirahat dan ruang keluarga sultan, sementara yang di sisi timur difungsikan sebagai ruang tidur tamu sultan. Secara keseluruhan Istana Al Mukarrammah Sintang memiliki luas bangunan sekitar 652 m2.
Hingga saat ini, Istana Sintang masih digunakan sebagai kediaman sultan, yaitu Pangeran Ratu Sri Negara H.R.M Ikhsan Perdana yang dinobatkan pada 22 Juli 2006 lalu. Hanya saja, bangunan pengiring di sisi barat kediaman sultan saat ini digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda peninggalan Kerajaan Sintang, sementara di sisi timur, selain sebagian digunakan untuk menyimpan foto dan lukisan raja-raja Sintang, juga dimanfaatkan sebagai ruang kelas Taman kanak-kanak (TK) Dara Djuanti.
Dari teras bangunan utama, wisatawan dapat memandang taman rumput yang cukup luas di halaman depan istana, juga dermaga kecil, serta pertemuan aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Berbeda dengan keraton-keraton di Jawa, keraton-keraton Melayu umumnya dibangun di sisi sungai besar. Istana Kadriah Pontianak, Keraton Paku-Surya Negara Sanggau, serta Keraton Ismahayana Landak juga dibangun di tepi sungai. Hal ini menyiratkan bahwa “jalan raya” yang menjadi nadi lalu-lintas utama ketika itu adalah jalur sungai.
Selain dapat menikmati lansekap istana, para pelancong juga dapat menyaksikan berbagai macam benda-benda bersejarah di istana ini. Di halaman istana, Anda dapat menyaksikan sebuah meriam dan situs batu kundur, yaitu sebuah batu peninggalan Demong Irawan sebagai lambang berdirinya Kerajaan Sintang. Di serambi depan istana, para turis dapat melihat salinan Undang-undang Adat Kerajaan Sintang yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Nata (disalin ulang pada tahun 1939) serta silsilah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Sintang. Sedangkan pada bangunan sisi barat dan timur pengunjung dapat melihat koleksi meriam dalam berbagai ukuran, peralatan-perlatan dari logam (seperti talam, kempu, dan bokor), koleksi senjata seperti tameng dan tombak, naskah Al-Quran tulisan tangan pada masa Sultan Nata, berbagai macam stempel dan surat-surat kerajaan, serta foto-foto dan lukisan Raja-raja Sintang.
Istana ini juga masih menyimpan barang-barang hantaran Patih Logender (seorang perwira dari Majapahit) ketika meminang Putri Dara Juanti (putri Demong Irawan—pendiri Kerajaan Sintang), antara lain seperangkat gamelan, patung garuda dari kayu, serta gundukan tanah dari Majapahit.
C. Lokasi
Kompleks istana ini terletak di ‘kampung raja‘, yaitu sebutan lain dari Kampung Kapuas Kiri Hilir, Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Untuk mencapai istana ini, anda dapat menggunakan bus atau mobil sewaan dari Kota Pontianak (Ibukota Provinsi Kalbar) menuju Kota Sintang selama + 9 jam. Dari Kota Sintang, tepatnya di Terminal Pasar Durian, wisatawan dapat menumpang perahu motor untuk menyeberang Sungai Kapuas menuju istana dengan ongkos sekitar Rp 3.000 per orang (September 2007).
E. Harga Tiket
Memasuki kompleks Istana Al Mukarrammah Sintang tidak dipungut biaya. Namun, para pelancong dianjurkan untuk menyumbang dana seikhlasnya pada kotak sumbangan yang disediakan di ruang pamer koleksi istana.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Kompleks Istana Sintang memiliki fasilitas berupa masjid yang lengkap dengan tempat wudu dan toilet yang dapat digunakan oleh para pengunjung masjid. Selain itu, istana ini juga memiliki taman rumput, dermaga pandang di tepi sungai, serta area parkir yang cukup memadai. Untuk keperluan yang lebih kompleks, seperti kebutuhan penginapan, rumah makan, serta belanja buah dan makanan khas Kota Sintang, para para pelancong dapat memperolehnya di Kota Sintang.
Diposting. Natsir 13 April 2009
Rabu, 27 Januari 2010
Pengobatan Tionghua
SISTEM PENGOBATAN TRADISIONAL TIONGHOA
Oleh : M.Natsir
Pengobatan tradisional Tionghoa
Obat tradisional Cina memliki sejarah panjang dan dikenal di seluruh dunia karena metode diagnosis dan perawatannya yang unik. Beberapa konsep dasar obat teradissional Cina sudaha menjadi bagian dari kebiasaan umum.
Selama musim panas, minum teh herbal untuk mendinginkan, ketika cuaca berubah dingin, minum teh tonik, ketika merasa panas dan merah dimulut makan makanan yang dingin, tetapi ketika bibir dan kuku pucat ini pertanda anemia sehingga harus makan makanan yang dapat menggantikan darah.
Obat tradisional Cina merupakan harta karun peradaban Tionghoa dan aspek unik dari ilmu pengetahuan dan teknologi Tionghoa memiliki sejarah ribuan tahun. Usaha tanpa kenal lelah dari nenek moyang telah membantunya berkembang menjadi cabang ilmu pengobatan yang unik. Meskipun berasal dari Cina, pengobatan tradisional Cina merupakan asset bagi umat manusia. Oleh karena itu untuk bisa bermanfaat bagi banyak orang pengobatan ini harus menyebar ke seluruh dunia.
Obat masuk ke Kalimantan Barat bersama para imigran Tionghoa sejak awal;. Akan tetapi, itu adanya situasi spontan. Dengan perkembangan obat Cina dan dorongan situasi pada awal abad XIX, minat dan keyakinan terhadap pengobatan tersebut semakin meningkat. Beberapa orang belakangan dikenal sebagai Shin Se. Gerai obat tradisional Tionghoa di Tsim Sha Tsui, Hong Kong.
Pengobatan tradisional Tionghoa (Hanzi) adalah praktek pengobatan tradisional yang dilakukan di Tiongkok dan telah berkembang selama beberapa ribu tahun. Praktek pengobatan termasuk pengobatan herbal, akupunktur, dan pijat Tui Na. Pengobatan ini digolongkan dalam kedokteran Timur, yang mana termasuk pengobatan tradisional Asia Timur lainnya seperti Kampo (Jepang) dan Korea.
Pengobatan tradisional Tiongkok percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini digunakan dalam pemahaman, pengobatan, dan pencegahan penyakit.
Teori yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat termasuk teori Yin-yang, lima unsur (Wu-xing), sistem meridian tubuh manusia (Jing-luo), teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada konsep tersebut. Pengobatan tradisional Tiongkok tidak jarang berselisih dengan kedokteran Barat, namun beberapa praktisi mengombinasikannya dengan prinsip kedokteran berdasarkan pembuktian.
Sejarah obat tradisional Tionghoa
Sebagian besar filosofi pengobatan tradisional Tiongkok berasal dari filsafat Taois dan mencerminkan kepercayaan purba Tiongkok yang menyatakan pengalaman pribadi seseorang memperlihatkan prinsip kausatif di lingkungan. Prinsip kausatif ini berhubungan dengan takdir dari surga.
Selama masa kejayaan Kekaisaran Kuning pada 2696 sampai 2598 SM, dihasilkan karya yang terkenal yakni Neijing Suwen) atau Pertanyaan Dasar mengenai Pengobatan Penyakit Dalam, yang dikenal juga sebagai Huangdi Neijing.
Ketika masa dinasti Han, Chang Chung-Ching, seorang walikota Chang-sa, pada akhir abad ke-2 Masehi, menulis sebuah karya Risalat Demam Tifoid, yang mengandung referensi pada Neijing Suwen. Ini adalah referensi ke Neijing Suwen terlama yang pernah diketahui.
Pada masa dinasti Chin, seorang tabib akupunktur, Huang-fu Mi (215-282 Masehi), juga mengutip karya Kaisar Kuning itu pada karyanya Chia I Ching. Wang Ping, pada masa dinasti Tang, mengatakan bahwaia memiliki kopi asli Neijing Suwen yang telah ia sunting.
Bagaimanapun, pengobatan klasik Tionghoa berbeda dengan pengobatan tradisional Tionghoa. Pemerintah nasionalis, pada masanya, menolak dan mencabut perlindungan hukum pada pengobatan klasiknya karena mereka tidak menginginkan Tiongkok tertinggal dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan yang ilmiah. Selama 30 tahun, pengobatan klasik dilarang di Tiongkok dan beberapa orang dituntut oleh pemerintah karena melakukan pengobatan klasik. Pada tahun 1960-an, Mao Zedong pada akhirnya memutuskan bahwa pemerintah tidak dapat melarang pengobatan klasik. Ia memerintahkan 10 dokter terbaik untuk menyelidiki pengobatan klasik serta membuat sebuah bentuk standar aplikasi dari pengibatan klasik tersebut. Standarisasi itu menghasilkan pengibatan tradisional Tionghoa.
Kini, pengobatan tradisional Tionghoa diajarkan hampir di semua sekolah kedokteran di Tiongkok, sebagian besar Asia, dan Amerika Utara.
Walauapun kedokteran dan kebudayaan Barat telah menyentuh Tiongkok, pengobatan tradisional belum dapat tergantikan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor sosiologis dan antropologis. Pengobatan tradisional dipercaya sangat efektif, dan terkadang dapat berfungsi sebagai obat paliatif ketik kedokteran Barat tidak mampu menangani lagi, seperti pengobatan rutin pada kasus flu dan alergi, serta menangani pencegahan keracunan.
Tiongkok sangat dipengaruhi oleh marxisme. Pada sisi lain, dugaan supranatural bertentantangan pada kepercayaan Marxis, materialisme dialektikal. Tiongkok modern membawa pengobatan tradisional Tiongkok ke sisi ilmiah dan teknologi serta meninggalkan sisi kosmologisnya.
Akupunktur
Akupunktur (Bahasa Inggris: Acupuncture; Bahasa Latin: acus, "jarum" (k benda), dan pungere, "tusuk" (k kerja)) atau dalam Bahasa Mandarin standard, zhēn jiǔ ( arti harfiah: jarum - moxibustion) adalah teknik memasukkan atau memanipulasi jarum ke dalam "titik akupunktur" tubuh. Menurut ajaran ilmu akupunktur, ini akan memulihkan kesehatan dan kebugaran, dan khususnya sangat baik untuk mengobati rasa sakit. Definisi serta karakterisasi titik-titik ini di-standardisasi-kan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) [1]. Akupunktur berasal dari Cina dan pada umumnya dikaitkan dengan Obat-obatan Tradisional Cina. Bermacam-macam jenis akupunktur (Jepang, Korea, dan Cina klasik) dipraktekkan dan diajarkan di seluruh dunia.
Oleh : M.Natsir
Pengobatan tradisional Tionghoa
Obat tradisional Cina memliki sejarah panjang dan dikenal di seluruh dunia karena metode diagnosis dan perawatannya yang unik. Beberapa konsep dasar obat teradissional Cina sudaha menjadi bagian dari kebiasaan umum.
Selama musim panas, minum teh herbal untuk mendinginkan, ketika cuaca berubah dingin, minum teh tonik, ketika merasa panas dan merah dimulut makan makanan yang dingin, tetapi ketika bibir dan kuku pucat ini pertanda anemia sehingga harus makan makanan yang dapat menggantikan darah.
Obat tradisional Cina merupakan harta karun peradaban Tionghoa dan aspek unik dari ilmu pengetahuan dan teknologi Tionghoa memiliki sejarah ribuan tahun. Usaha tanpa kenal lelah dari nenek moyang telah membantunya berkembang menjadi cabang ilmu pengobatan yang unik. Meskipun berasal dari Cina, pengobatan tradisional Cina merupakan asset bagi umat manusia. Oleh karena itu untuk bisa bermanfaat bagi banyak orang pengobatan ini harus menyebar ke seluruh dunia.
Obat masuk ke Kalimantan Barat bersama para imigran Tionghoa sejak awal;. Akan tetapi, itu adanya situasi spontan. Dengan perkembangan obat Cina dan dorongan situasi pada awal abad XIX, minat dan keyakinan terhadap pengobatan tersebut semakin meningkat. Beberapa orang belakangan dikenal sebagai Shin Se. Gerai obat tradisional Tionghoa di Tsim Sha Tsui, Hong Kong.
Pengobatan tradisional Tionghoa (Hanzi) adalah praktek pengobatan tradisional yang dilakukan di Tiongkok dan telah berkembang selama beberapa ribu tahun. Praktek pengobatan termasuk pengobatan herbal, akupunktur, dan pijat Tui Na. Pengobatan ini digolongkan dalam kedokteran Timur, yang mana termasuk pengobatan tradisional Asia Timur lainnya seperti Kampo (Jepang) dan Korea.
Pengobatan tradisional Tiongkok percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini digunakan dalam pemahaman, pengobatan, dan pencegahan penyakit.
Teori yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat termasuk teori Yin-yang, lima unsur (Wu-xing), sistem meridian tubuh manusia (Jing-luo), teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada konsep tersebut. Pengobatan tradisional Tiongkok tidak jarang berselisih dengan kedokteran Barat, namun beberapa praktisi mengombinasikannya dengan prinsip kedokteran berdasarkan pembuktian.
Sejarah obat tradisional Tionghoa
Sebagian besar filosofi pengobatan tradisional Tiongkok berasal dari filsafat Taois dan mencerminkan kepercayaan purba Tiongkok yang menyatakan pengalaman pribadi seseorang memperlihatkan prinsip kausatif di lingkungan. Prinsip kausatif ini berhubungan dengan takdir dari surga.
Selama masa kejayaan Kekaisaran Kuning pada 2696 sampai 2598 SM, dihasilkan karya yang terkenal yakni Neijing Suwen) atau Pertanyaan Dasar mengenai Pengobatan Penyakit Dalam, yang dikenal juga sebagai Huangdi Neijing.
Ketika masa dinasti Han, Chang Chung-Ching, seorang walikota Chang-sa, pada akhir abad ke-2 Masehi, menulis sebuah karya Risalat Demam Tifoid, yang mengandung referensi pada Neijing Suwen. Ini adalah referensi ke Neijing Suwen terlama yang pernah diketahui.
Pada masa dinasti Chin, seorang tabib akupunktur, Huang-fu Mi (215-282 Masehi), juga mengutip karya Kaisar Kuning itu pada karyanya Chia I Ching. Wang Ping, pada masa dinasti Tang, mengatakan bahwaia memiliki kopi asli Neijing Suwen yang telah ia sunting.
Bagaimanapun, pengobatan klasik Tionghoa berbeda dengan pengobatan tradisional Tionghoa. Pemerintah nasionalis, pada masanya, menolak dan mencabut perlindungan hukum pada pengobatan klasiknya karena mereka tidak menginginkan Tiongkok tertinggal dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan yang ilmiah. Selama 30 tahun, pengobatan klasik dilarang di Tiongkok dan beberapa orang dituntut oleh pemerintah karena melakukan pengobatan klasik. Pada tahun 1960-an, Mao Zedong pada akhirnya memutuskan bahwa pemerintah tidak dapat melarang pengobatan klasik. Ia memerintahkan 10 dokter terbaik untuk menyelidiki pengobatan klasik serta membuat sebuah bentuk standar aplikasi dari pengibatan klasik tersebut. Standarisasi itu menghasilkan pengibatan tradisional Tionghoa.
Kini, pengobatan tradisional Tionghoa diajarkan hampir di semua sekolah kedokteran di Tiongkok, sebagian besar Asia, dan Amerika Utara.
Walauapun kedokteran dan kebudayaan Barat telah menyentuh Tiongkok, pengobatan tradisional belum dapat tergantikan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor sosiologis dan antropologis. Pengobatan tradisional dipercaya sangat efektif, dan terkadang dapat berfungsi sebagai obat paliatif ketik kedokteran Barat tidak mampu menangani lagi, seperti pengobatan rutin pada kasus flu dan alergi, serta menangani pencegahan keracunan.
Tiongkok sangat dipengaruhi oleh marxisme. Pada sisi lain, dugaan supranatural bertentantangan pada kepercayaan Marxis, materialisme dialektikal. Tiongkok modern membawa pengobatan tradisional Tiongkok ke sisi ilmiah dan teknologi serta meninggalkan sisi kosmologisnya.
Akupunktur
Akupunktur (Bahasa Inggris: Acupuncture; Bahasa Latin: acus, "jarum" (k benda), dan pungere, "tusuk" (k kerja)) atau dalam Bahasa Mandarin standard, zhēn jiǔ ( arti harfiah: jarum - moxibustion) adalah teknik memasukkan atau memanipulasi jarum ke dalam "titik akupunktur" tubuh. Menurut ajaran ilmu akupunktur, ini akan memulihkan kesehatan dan kebugaran, dan khususnya sangat baik untuk mengobati rasa sakit. Definisi serta karakterisasi titik-titik ini di-standardisasi-kan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) [1]. Akupunktur berasal dari Cina dan pada umumnya dikaitkan dengan Obat-obatan Tradisional Cina. Bermacam-macam jenis akupunktur (Jepang, Korea, dan Cina klasik) dipraktekkan dan diajarkan di seluruh dunia.
Sekilas Singkawang
Sekilas Sejarah Kota Singkawang
Penamaan kota ini muncul dalam beberapa versi menurut bahasa, dalam versi Melayu dikatakan bahwa nama Singkawang diambil dari nama tanaman ‘Tengkawang’ yang terdapat diwilayah hutan tropis. Menurut versi bahasa Cina, Singkawang berasal dari kosa kata ‘San Kew Jong’ yang secara harfiah berarti Gunung Mulut Lautan, maksudnya suatu tempat yang terletak dikaki gunung menghadap ke laut.
Dari beberapa catatan sejarah Singkawang mulai dikenal oleh orang Eropa sejak tahun 1834 yang tercantum dalam buku tulisan George Windsor Earl berjudul “The Eastern Seas” yang menyebut nama kota ini dengan kata ‘SINKAWAN’. Pada masa itu Singkawang lebih dikenal sebagai daerah koloni Cina dimasa kongsi-kongsi penambang emas berkuasa dengan Monterado sebagai pusat kekuasaan para penambang tersebut (dalam tulisan sejarah tersebut nama seseorang bernama Kung She yang dipercaya memiliki pengaruh).
Catatan lainnya juga didapat dari salah satu tulisan G.F De Bruijn yang termuat dalam De Volken Van Nederlandsch Indie (1920) berjudul “De Maleiers” yang terjemahannya berbunyi : “……….beberapa puluh mil disebelah selatan kerajaan (Sambas,pen) dibangun sebuah kota yang dimaksud sebagai kota pemerintahan (Belanda)”.
Singkawang Bagian dari Sebuah Kerajaan
Pada masa lalu Singkawang merupakan bagian dari Kerajaan Sambas namun pusat kekuasaannya dan pusat kegiatan belum sampai menjamah Singkawang, hal ini disebabkan masih dominannya kuasa ekonomi ditangan kongsi-kongsi Monterado. Sebaliknya kekuasaan raja-raja Sambas masih mampu mengatasi berbagai pemberontakan termasuk bantuan yang diberikan Kompeni Belanda dengan mengirimkan Overste Zorg, namun dengan berbagai kejadian itu Kerajaan Sambas merasa belum perlu memanfaatkan Singkawang terutama pelabuhannya karena Sambas sendiri memiliki pelabuhan yang cukup baik dan memenuhi syarat pada masa itu.
Singkawang Masa Belanda-Jepang
Seiring kekuasaan yang masih dipegang penuh oleh Kerajaan Sambas, Belanda juga mulai melirik daerah-daerah diluar Jawa termasuk Singkawang, maka pada tahun 1891 segera dibuka jalur pelayaran pantai terutama yagn berdekatan dengan Singapura yang ketika itu merupakan poort (gerbang) keluar masuknya kapal-kapal terutama setelah dibukanya teruzan Suez dan di Sinkawang dibangun pelabuhan lengkap dengan cabang (agent) KPM (Konijnlijk Peketvaart Maatschappij), demikian pula pendukung modal asing (Belanda) yang diberikan kesempatan beroperasi, yakni Perusahaan Listrik ANIEM (Algemene Nederlands Indiesche Elecktriesche Maatschaappij). Belanda juga membangun jalan-jalan darat ditahun 1912, meliputi jalur Pemangkat, Singkawang, Bengkayang yang dikenal dengan Pendareng.
Sebuah peraturan Pemerintah Hindia Belanda yang termuat dalam Staatsblad tahun 1938 nomor 352 yang dekeluarkan oleh Gubernur Jendral Hidia Belanda yang mengatur bahwa Borneo ditetapkan sebagai wilayah administratif dengan ibukota terletak di Banjarmasin. Wilayah administratif Borneo (Kalimantan) ini dibagi dalam dua keresidenan yaitu Kersidenan Borneo bagian Selatan dan Timur. Residensi Kalimantan bagian Barat dengan Ibukota Pontianak.
Pada saat itu Singkawang merupakan sebuah kewedanaan disamping kewedanaan Pemangkat dan Bengkayang.
Beberapa catatan sejarah mengenai perjuangan masyarakat Singkawang pada masa ini antara lain
- Pernah menjadi pos terdepan dalam melawan gerakan PGRS/Paraku;
- Ekspansi ke Malaysia;
- Perlawanan terhadap G.30.S/PKI
Sumber : “Singkawang, Lika liku perjalanan menuju ke sebuah pemerintahan kota” M.J. Mooridjan
Sumber: Singkawang Tourism
http://smallcrab.com/others/35-lain-lain/249-sekilas-pandang-kota-sintang
Penamaan kota ini muncul dalam beberapa versi menurut bahasa, dalam versi Melayu dikatakan bahwa nama Singkawang diambil dari nama tanaman ‘Tengkawang’ yang terdapat diwilayah hutan tropis. Menurut versi bahasa Cina, Singkawang berasal dari kosa kata ‘San Kew Jong’ yang secara harfiah berarti Gunung Mulut Lautan, maksudnya suatu tempat yang terletak dikaki gunung menghadap ke laut.
Dari beberapa catatan sejarah Singkawang mulai dikenal oleh orang Eropa sejak tahun 1834 yang tercantum dalam buku tulisan George Windsor Earl berjudul “The Eastern Seas” yang menyebut nama kota ini dengan kata ‘SINKAWAN’. Pada masa itu Singkawang lebih dikenal sebagai daerah koloni Cina dimasa kongsi-kongsi penambang emas berkuasa dengan Monterado sebagai pusat kekuasaan para penambang tersebut (dalam tulisan sejarah tersebut nama seseorang bernama Kung She yang dipercaya memiliki pengaruh).
Catatan lainnya juga didapat dari salah satu tulisan G.F De Bruijn yang termuat dalam De Volken Van Nederlandsch Indie (1920) berjudul “De Maleiers” yang terjemahannya berbunyi : “……….beberapa puluh mil disebelah selatan kerajaan (Sambas,pen) dibangun sebuah kota yang dimaksud sebagai kota pemerintahan (Belanda)”.
Singkawang Bagian dari Sebuah Kerajaan
Pada masa lalu Singkawang merupakan bagian dari Kerajaan Sambas namun pusat kekuasaannya dan pusat kegiatan belum sampai menjamah Singkawang, hal ini disebabkan masih dominannya kuasa ekonomi ditangan kongsi-kongsi Monterado. Sebaliknya kekuasaan raja-raja Sambas masih mampu mengatasi berbagai pemberontakan termasuk bantuan yang diberikan Kompeni Belanda dengan mengirimkan Overste Zorg, namun dengan berbagai kejadian itu Kerajaan Sambas merasa belum perlu memanfaatkan Singkawang terutama pelabuhannya karena Sambas sendiri memiliki pelabuhan yang cukup baik dan memenuhi syarat pada masa itu.
Singkawang Masa Belanda-Jepang
Seiring kekuasaan yang masih dipegang penuh oleh Kerajaan Sambas, Belanda juga mulai melirik daerah-daerah diluar Jawa termasuk Singkawang, maka pada tahun 1891 segera dibuka jalur pelayaran pantai terutama yagn berdekatan dengan Singapura yang ketika itu merupakan poort (gerbang) keluar masuknya kapal-kapal terutama setelah dibukanya teruzan Suez dan di Sinkawang dibangun pelabuhan lengkap dengan cabang (agent) KPM (Konijnlijk Peketvaart Maatschappij), demikian pula pendukung modal asing (Belanda) yang diberikan kesempatan beroperasi, yakni Perusahaan Listrik ANIEM (Algemene Nederlands Indiesche Elecktriesche Maatschaappij). Belanda juga membangun jalan-jalan darat ditahun 1912, meliputi jalur Pemangkat, Singkawang, Bengkayang yang dikenal dengan Pendareng.
Sebuah peraturan Pemerintah Hindia Belanda yang termuat dalam Staatsblad tahun 1938 nomor 352 yang dekeluarkan oleh Gubernur Jendral Hidia Belanda yang mengatur bahwa Borneo ditetapkan sebagai wilayah administratif dengan ibukota terletak di Banjarmasin. Wilayah administratif Borneo (Kalimantan) ini dibagi dalam dua keresidenan yaitu Kersidenan Borneo bagian Selatan dan Timur. Residensi Kalimantan bagian Barat dengan Ibukota Pontianak.
Pada saat itu Singkawang merupakan sebuah kewedanaan disamping kewedanaan Pemangkat dan Bengkayang.
Beberapa catatan sejarah mengenai perjuangan masyarakat Singkawang pada masa ini antara lain
- Pernah menjadi pos terdepan dalam melawan gerakan PGRS/Paraku;
- Ekspansi ke Malaysia;
- Perlawanan terhadap G.30.S/PKI
Sumber : “Singkawang, Lika liku perjalanan menuju ke sebuah pemerintahan kota” M.J. Mooridjan
Sumber: Singkawang Tourism
http://smallcrab.com/others/35-lain-lain/249-sekilas-pandang-kota-sintang
Arsitektur Rumah Melayu Kayong
ARSITEKTUR RUMAH MELAYU KAYONG
KABUPATEN KETAPANG
Oleh : M.Natsir
I. Pendahuluan
Rumah-rumah suku Melayu yang ada di sepanjang sungai Pawan menunjukan ciri khas keIslaman yang sangat kuat tradisi arsitektur bergaya tradisional Melayu mewarnai aksesoris yang melekat di dalamnya seperti Rumah tradisional Melayu Kayong. Sebuah bangunan yang mencirikan reprentasi dari gaya , berkolaborasi ciri Melayu mengambarkan multicultural masyarakat sebagai sebuah simbol peradaban suatu bangsa yang memiliki identitas.
Tradisi arsitektur Melayu yang masih tertinggal kini sudah banyak yang tergerusi oleh perubahan jaman dan sebagian ada yang sudah dirubah bentuk dari aslinya, sehingga eksestensi nilai yang melekat otomatis berubah, simbol yang melekat tidak lagi mengambarkan keunikan yang dipesankan oleh leluhur terdahulu, bahwa walaupun berbeda akan tetapi tetap bersatu saling menghargai satu sama lainnya, membentuk kompigurasi aneka warna yang penuh keindahan. Keseimbangan diantara satu sama lainnya yang akan melahirkan kebersamaan dalam menata kehidupan menjadi pesanan yang tidak boleh dilupakan oleh kita pada jaman modern ini.
Rumah mengambarkan sebuah simbol keberadaban dan menjadi kebanggaan bagi pemiliknya, prestise yang melekat menentukan stratifikasi kedudukan penghuninya, kepercayaan diri semakin tinggi manakalah rumah tersebut dibuat dari hasil proses yang benar, seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dengan ritual rumah baru dengan jiwa baru dan semangat baru untuk membangun jati diri identitas suatu suku yang diwakilinya. Rumah yang bergaya tradisional pada umumnya merupakan warisan budaya dan sejarah masa lalu yang di miliki oleh sebagian orang Melayu di sepanjang sungai Pawan dan pemilik umumnya mempunyai kedudukan dan pengaruh yang kuat ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang ada, sehingga ia menjadi masyarakat yang dibanggakan oleh warganya dan juga bisa menjadi tempat musyawarah menyelesaikan pelbagai permasalah atau problem masyarakat pada umumnya.
Arus globalisasi yang masuk di dalam setiap sendi kehidupan masyarakat, secara tidak sadar melahirkan pemikiran modern terpengaruh oleh perubahan jaman, secara prontal merombak tatanan, tata ruang di dalam arsitektur itu sendiri dan terkesan tanpa meninggalkan pesan moral di dalamnya, jika tidak secepatnya diantisipasi maka secara perlahan-lahan ia akan terkikis oleh perubahan waktu, tanpa meningalkan pesan bagi generasi yang akan datang. Arsitektur Melayu yang masih ada jika di renovasi akan menjadi nilai jual yang bernilai tinggi karena ia tidak jauh dari tempat-tempat yang bersejarah dan bisa menjadi sebuah perkampungan budaya yang membangun kehidupan ekonomi kreatif masyarakat di sekitarnya, sehingga dengan budaya mereka bisa merubah kehidupan yang lebih baik lagi.
Upaya yang harus di lakukan adalah dengan merevitalisasi yang masih ada, hal ini sangat perlu untuk tetap dilestarikan mengingat peninggalan ini adalah bagian warisan budaya yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Perlunya diadakan penelitian mengingat hanya tinggal beberapa buah yang bisa ditempati oleh pemiliknya hal ini dapat dijumpai di daerah kampung Kauman Kecamatan Benua Kayong Kabupaten Ketapang dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Tujuan dari inventarisasi aspek tradisi pada arsitektur tradisional rumah Melayu adalah untuk penyediaan data tentang arsitektur tradisional dan meningkatkan pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan tradisi arsitektur rumah Melayu yang masih ada. Ruang lingkung materi yang akan dibahas meliputi jenis bangunan rumah tinggal, dan karakteristik rumah Melayu
Penelitian ini mengambil tempat di Kecamatan Benua Kayong Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Lokasi yang dipilih karena rumah yang berbentuk tradisional Melayu masih dapat dijumpai dan ditempati oleh masyarakat Melayu di daerah tersebut dan sebahagian lagi sudah rusak tidak bisa ditempati. Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai metode, seperti:pengamatan, wawancara terhadap informan dan studi kepustakaan.
II. Gambaran Daerah Pengumpulan Data
Kabupaten Ketapang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat yang terletak di sebelah selatan. Secara geografis Kabupaten Ketapang terletak di 0o19'00 - 3o05' Lintang Selatan dan 108o42'00 Bujur Timur sampai. 111o16'00 Bujur Timur.Secara administratif, batas-batas wilayah Kabupaten Ketapang adalah sebagai berikut:
• Sebelah Utara : Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sanggau
• Sebelah Selatan: Laut Jawa
• Sebelah Barat : Selat Karimata
• Sebelah Timur : Kalimantan Tengah dan Kabupaten Sintang
Sebagian besar wilayah Kabupaten Ketapang adalah daratan berdaratan rendah dengan luas sekitar 35.809 km² (± 3.580.900 Ha) yang terdiri dari 33.209 Km². Dari total luas wilayah Kabupaten Ketapang tersebut 33.209 km² (92,74 persen) terdiri dari wilayah daratan dan 2.600 km² (7,26 persen) berupa perairan.
Secara geografis Benua Kayong terletak di dalam wilayah ibukota Kabupaten Ketapang. Berbatasan sebelah Utara Kecamatan Delta Pawan, sebelah Selatan Kecamatan Matan Hilir Selatan, sebelah Timur Kecamatan Sungai Melayu Rayak, dan sebelah Barat Kecamatan Selat Karimata dengan luas wilayah 349.00 km dan jumlah penduduk 30,963 jiwa yang mendiami 9 kelurahan yang ada.
Sebagian besar dari Pertokohan di wilayah itu adalah berbentuk ruko yang dibangun secara kokoh dari jenis-jenis kayu setempat yang keras dan bercor semen padat, model bangunan tersebut tidak jauh berbeda dengan model di daerah lainnya di wilayah Kalimantan Barat, sedangkan rumah- rumah berbentuk model rumah Melayu tradisional berbentuk limas.
III. Jenis Bangunan
Jenis bangunan tradisional yang masih dapat dijumpai di Kecamatan Benua Kayong, adalah tempat tinggal, dan dengan type rumah yang tradisional berbentuk limas, model gudang dan model rumah panggung. Rumah tradisional Melayu pada umumnya terdiri atas tiga jenis yaitu Rumah Tiang Enam, Rumah tiang Enam Berserambi dan Rumah Tiang Dua Belas atau Rumah Serambi. Rumah Tiang Dua Belas atau Rumah Serambi merupakan rumah besar dengan tiang induk sebanyak dua belas buah (Mahyudin,2003). Tipologi rumah tradisional Melayu adalah rumah panggung atau berkolong dan memiliki tiang-tiang tinggi. Hal ini disesuaikan dengan keadaan iklim dengan kebiasaan turun menurun. Tinggi tiang penyangga rumah setinggi kl 70 cm dari permukan tanah. Ruangan yang terbuka membuat sirkulasi udara cepat berganti dan angin dengan mudah masuk melalui ventilasi yang cukup banyak.
Adapun fungsi pada setisap ruangan di rumah Melayu memiliki nama dan fungsinya masing-masing, yaitu:
1. Selang Depan
Ruang ini merupakan tempat untuk meletakan barang yang tidak perlu dibawa kedalam ruang rumah dan merupakan bagian depan yang terendah. Di samping anak tangga yang berjumlah tiga buah untuk naik ke selang depan biasanya ditempatkan sebuah tempayan kecil berisi air untuk mencuci kaki.
2. Serambi Depan
Letaknya lebih tinggi satu kaki dari selang depan. Untuk sampai ke ruang ini, orang harus menaiki bebrapa anak tangga yang berjumlah ganjil. Pada serambi depan biasanya tidak dijumpai kursi ataupun meja, hanya tikar atau permadani yang terbentang. Ruang ini memiliki banyak jendela setinggi bahu orang duduk dan dari jendela ini orang yang sedang duduk di lantai ruangan dapat melihat ke halaman.
3. Ruang Induk
Merupakan ruang di belakang serambi depan dengan tinggi lantainya 30 cm lebih tinggi dari srambi depan. Pada zaman dahulu antara serambi depan dengan rumah induk tidak dibatasi dinding pemisah antara serambi depan dengan ruang induk. Pada ruang induk ini terdapat tangga yang menuju ke loteng atau tempat tidur anak gadis. Jendela-jendela diruang ini serupa dengan serambi depan dan letak daunnya setinggi bahu orang yang duduk di lantai dengan hiasan terawang ukiran Melayu.
4. Serambi Belakang
Pada sisi kanan rumah terdapat selang samping yang mirip bentuknya dengan selang depan, juga terdapat guci yang berisi air berfungsi sebagai pencuci kaki terletak dekan tangga naik. Tangga ini berjumlah ganjil. Dari selang samping ini dengan melalui beberapa anak tangga yang berjumlah ganjil orang akan sampai ke serambi belakang. Letaknya dibekang rumah induk dengan tinggi hampir sama dengan serambi depan. Ruangan ini sama dengan serambi depan.
Gambar 1 Gambar 2
IV. Karakteristik
Ditinjau dari tipologi dan fungsi ruang, rumah tradisional Melayu pada umumnya terdiri atas tiga jenis, yaitu Rumah Tiang Enam, Rumah Tiang Enam Berserambi, dan Rumah Tiang Dua Belas, atau Rumah Serambi. Rumah Tiang Dua Belas atau Rumah Serambi merupakan rumah besar dengan tiang induk sebanyak dua belas buah.
Tipologi rumah tradisional Melayu adalah rumah panggung atau berkolong, dan memiliki tiang-tiangtinggi.
Setiap ruangan pada rumah Melayu memiliki nama dan fungsi tertentu. Selang depan berfungsi sebagai tempat meletakkan barang-barang tamu, yang tidak dibawa ke dalam ruangan. Ruang serambi depan berfungsi sebagai tempat menerima tamu pria, tetangga dekat, orang-orang terhormat, dan yang dituakan. Ruangan serambi tengah atau ruang induk berfungsi sebagai tempat menerima tamu agung, dan yang sangat dihormati.
Ruang selang samping berfungsi sebagai tempat meletakkan barang yang tidak dibawa ke dalam ruang serambi belakang. Tempat ini merupakan jalan masuk bagi tamu perempuan. Ruang dapur dipergunakan untuk memasak dan menyimpan barang-barang keperluan dapur. Karena susunan papan lantainya jarang, maka sampah dapat langsung dibuang ke tanah. Ruangan kolong rumah biasanya digunakan sebagai tempat bekerja sehari-hari dan menyimpan alat-alat rumah.
Antara jenisnya, rumah kediaman lazim disebut rumah tempat tinggal atau rumah tempat diam, yaitu rumah yang khusus untuk tempat kediaman keluarga. Di dalam kehidupan sehari-hari, rumah kediaman wajib dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya agar lebih memberi kenyamanan dan kebahagiaan bagi penghuninya. Berdasarkan bentuk atapnya, rumah kediaman dinamakan Rumah Bubung Melayu.
Nama Rumah Bubung Melayu diberikan oleh para pendatang bangsa asing, terutama Cina dan Belanda, karena berbeda dengan bentuk rumah mereka, yaitu seperti kelenteng maupun rumah limas yang mereka sebut sebagai rumah Eropa. Sedangkan nama Rumah Belah Rabung diberikan oleh orang Melayu. Karena bentuk atapnya terbelah oleh bubungannya. Orang tua-tua menyebut dengan nama Belah Krol yaitu rambut yang disisir terbelah dua. Nama Rumah Rabung berasal dari kata Rabung, singkatan dari Perabung. Penyebutan ini untuk membedakan dengan bentuk atap yang tidak memakai perabung seperti bangunan pondok ladang atau gubuk yang disebut Pondok Pisang Sesikat.
Sebutan lain yang diberikan untuk rumah adalah berdasarkan pada bentuk kecuraman dan variasi atap. Rumah dengan atap curam disebut rumah Lipat Pandan. Jika atapnya agak mendatar disebut rumah Lipat Kajang, dan bila atapnya diberi tambahan di bagian bawah (kaki atap) dengan atap lain maka disebut rumah Atap Layar. Rumah yang dibuat dengan perabung atap sejajar dengan jalan raya di mana rumah itu terletak, disebut Rumah Perabung. Sedangkan bila perabung rumah tegak lurus terhadap jalan raya di mana umah itu menghadap, disebut Rumah Perabung Melintang.
Rumah didirikan di atas tiang yang tingginya antara 1,50—2,40 Meter. Ukuran rumah tidak ditentukan. Besar kecilnya bangunan bergantung kepada kemampuan pemiliknya. Pada rumah yang didirikan di daerah tepi sungai, tiang dibuat tinggi supaya rumah tidak terendam air pasang. Kolong rumah sering digunakan untuk tempat bertukang membuat perahu atau pekerjaan lain. Di samping sebagai tempat menyimpan sebagian alat pertanian dan alat nelayan.(*)
Gambar 3 Gambar 4
Bentuk Bagian-Bagian Rumah Melayu
1. Atap dan Bumbungan
Rumah Melayu asli memiliki bubungan panjang sederhana dan tinggi. Ada kalanya terdapat bubungan panjang kembar. Pada pertemuan atap dibuat talang yang berguna untuk menampung air hujan. Pada kedua ujung perabung rumah induk dibuat agak terjungkit ke atas. Dan pada bagian bawah bubungan atapnya melengkung, menambah seni kecantikan arsitektur rumah Melayu. Pada bagian belakang dapur bubungan atap dibuat lebih tinggi, berjungkit. Selanjutnya pada bagian bawah, papan penutup rabung ini dibuat semacam lisplang berukir, Dalam bahasa Melayu papan lisplang berukir ini disebut Pamelas. Dengan demikian bentuk pamelas ini melengkung mengikuti bentuk rangka atapnya. Ukiran pada papan pamelas ini ada yang selapis dan ada pula yang dua lapis.
2. Perabungan
Perabung memiliki bentuk lurus. Sebagai lambang lurusnya hati orang Melayu. Sifat lurus itu haruslah dijunjung tinggi di atas kepala dan menjadi pakaian hidup. Hiasan yang terdapat pada perabung rumah adalah hiasan yang terletak di sepanjang perabung, disebut Kuda Berlari. Hiasan ini amat jarang dipergunakan. Lazimnya hanya dipergunakan pada perabung istana, Balai Kerajaan dan balai penguasa tertinggi wilayah tertentu.
Adapun Teban Layar biasa pula disebut Singap, Ebek atau Bidai. Bagian ini biasanya dibuat bertingkat dan diberi hiasan yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi. Pada bagian yang menjorok keluar diberi lantai yang disebut Teban Layar atau Lantai Alang Buang atau disebut juga Undan-undan. Bidai lazimnya dibuat dalam tiga bentuk, yakni bidai satu (bidai rata), bidai dua (bidai dua tingkat) dan bidai tiga (bidai tiga tingkat).
3.Tiang
Bangunan tradisional Melayu adalah bangunan bertiang. Tiang dapat berbentuk empat sama sisir (bujur sangkar) atau bersegi. Tiang yang bersegi diketam dengan ketam khusus yang disebut Kumai. Sanding Tiang adalah sudut segi-segi tiang. Di antara tiang-tiang itu terdapat tiang utama, yang disebut Seri. Tiang Seri adalah tiang-tiang yang terdapat pada keempat sudut rumah induk, merupakan tiang pokok rumah tersebut.
Tiang ini tidak boleh bersambung, harus utuh dari tanah sampai ke tutup tiang. Sedangkan tiang yang terletak di antara tiang seri pada bagian depan rumah, disebut Tiang Penghulu.
Masing-masing baris 4 buah tiang, termasuk tiang seri.
Jika keadaan tanah tempat rumah itu didirikan lembek atau rumah itu terletak di pinggir, maka tiang-tiang itu ditambah dengan tiang yang berukuran lebih kecil. Tiang tambahan itu disebut Tiang Tongkat. Tiang Tongkat biasanya hanya sampai ke rasuk atau gelegar. Untuk menjaga supaya rumah tidak miring, dipasang tiang pembantu sebagai penopang. Bahan untuk Tiang Seri haruslah kayu pilihan. Biasanya teras kayu Belian (Besi) dan Tembesu, dan juga digunakan pada Tiang Tongkat. Tiang-tiang lainnya mempergunakan kayu keras dan tahan lama.. Ukuran ini bergantung kepada besar atau kecilnya rumah. Semakin besar rumahnya, besar pula tiang-tiangnya. Tiang yang kelihatan di bagian dalam rumah selalu diberi hiasan berupa ukiran.
Bagi pemilik rumah yang mampu, seluruh tiangnya dibuat persegi. Tetapi bagi yang kurang mampu, tidak seluruh tiang persegi, melainkan hanya tiang seri atau beberapa tiang lainnya, atau bahkan semuanya bulat.Bentuk tiang secara tradisional, mengandung lambang yang dikaitkan dengan agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat. Termasuk kaitannya dengan alam lingkungan dan arah mata angin.
4.Pintu
Pintu yang sering disebut dengan Lawang. Pada bagian pintu masuk di bagian muka rumah disebut muka pintu. Pintu di bagian belakang disebut pintu dapur atau pintu belakang. Pintu yang ada di ruangan tengah pada rumah yang berbilik, pintu yang menghubungkan kamar dengan kamar. Khusus untuk keluarga perempuan terdekat atau untuk anak gadis, dan dibuat terutama untuk menjaga supaya jika penghuni rumah memiliki keperluan dari satu bilik ke bilik lainnya tidak melewati ruangan tengah. Kegunaan untuk terlindung dari tamu yang ada pada ruang tengah dan menjadi adat, bahwa ruangan tengah dipergunakan untuk menerima tamu yang terdiri dari orang tua-tua, atau kerabat terdekat yang dihormati. Sangat dilarang bagi anak-anak melewati tamu dan berjalan dihadapannya. Di samping itu ada pula pintu yang dibuat khusus disebut Pintu Bulak, yaitu pintu yang tidak memiliki tangga keluar. Pada prinsipnya pintu ini sama seperti jendela, hanya ukurannya yang berbeda. Biasanya bagian bawah pintu ini diberi pagar pengaman berupa kisi-kisi bubut atau papan tebuk. Di situ diletakkan kursi malas, yakni kursi goyang, tempat orang tua duduk berangin-angin. Dari tempat orang tua-tua itu memperhatikan anak-anak bermain di halaman.
Ukuran pintu umumnya lebar antara 60 sampai 100 Cm, tinggi 1,50 sampai 2 Meter. Pada mulanya pintu tidak memakai engsel. Untuk membuka dan menutup pintu dipergunakan semacam Putting yang ditanamkan ke bendul atau balok sebelah bawah dan balok sebelah atas pintu. Kunci dibuat dari kayu yang disebut Pengkelang.
Pintu dapat terdiri atas satu atau dua daun pintu. Pintu dikunci memakai belah pintu atau Pengkelang (palang pintu dari sebelah dalam).. Di atas pintu kebanyakan dibuat dengan ukiran yang indah hal ini menunjukan martabat pemilik rumah.
5.Jendela
Jendela lazim disebut Tingkap. Bentuknya sama seperti bentuk pintu. Tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih rendah. Daun jendela dapat terdiri atas dua atau satu lembar daun jendela. Hiasan pada jendela dan pagar selasar disebut juga Kisi-kisi atau Jerajak. Kalau bentuknya bulat disebut Pinang-pinang atau Larik. Bila pipih disebut Papan Tebuk. Hiasan ini melambangkan bahwa pemilik bangunan adalah orang yang mengerti dengandiri sendiri. Ketinggian letak jendela di dalam sebuah rumah tidak selalu sama. Perbedaan ketinggian ini adakalanya disebabkan oleh perbedaan ketinggian lantai. Ada pula yang berkaitan dengan adat istiadat. Umumnya jendela tengah di rumah induk lebih tinggi dari jendela lainnya. Tingkap pada singap disebut tingkap bertongkat. Tingkap ini merupakan jendela anak dara yang lazimnya berada di ruangan atas (para).
Tingkap yang terletak pada bubungan dapur disebut Angkap.
Jendela dibuka keluar, ada yang berdaun satu dan kebanyakan berdaun dua. Jendela dibuat dari papan dan digantung dengan engsel pada kosen. Pada kosen ini dipasang kisi-kisi atau Telai yang tingginya 80—9- Cm, dan biasanya diberi ukiran.
mempergunakan Putting. Kuncinya juga dibuat dari kayu yang disebut Pengkelang. Sebagai pengaman, di jendela dipasang jerajak panjang yang disebut Kisi-kisi atau Jerajak yang terbuat dari kayu segi empat atau Bubutan (Larik). Kalau jendela itu tidak memakai jerajak, biasa pula diberi panel di sebelah bawahnya, yang tingginya antara 30 sampai40Cm.
6.Dinding
Model tradisional rumah Melayu pada umumnya papan dinding dipasang vertical. Kalau pun ada yang dipasang miring atau bersilangan, pemasangan tersebut hanya untuk variasi. Cara memasang dinding umumnya dirapatkan dengan Lidah Pian. Atau dengan susunan bertindih yang disebut Tindih Kasih. Cara lain adalah dengan pasangan horizontal dan saling menindih yang disebut Susun Sirih. Pada umumnya dinding terbuat dari kayu meranti, punak, medang atau belian.
V. Penutup
Arsitektur tradisional Melayu Kayong terkandung nilai kearifan lokal. Model dan bentuk dari rumah tersebut mempunyai ciri khas dari masyarakatnya yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan di dalam kehidupan di lingkungannya. Model Rumah Limas dan potongan gudang mengambarkan pemiliki rumah mempunyai kedudukan secara social terbuka kepada siapa saja yang akan bertamu dan ikhlas menerima tamu, tamu yang datang sebagai suatu kehormatan yang harus dihargai. Perabungan tinggi menjulang kesadaran pemilik rumah bahwa di dalam kehidupan menjunjung tinggi secara lurus dan mempunyai rasa toleransi yang tinggi terhadap lingkungansekitarnya
Pada ruang utama tamu yang datang diberikan kehormatan, pada umumnya duduk ditikar memungkinkan tamu yang lebih banyak dan mendapatkan tempat yang layak. Kamar khusus juga disediakan bagi tamu yang datang dari jauh, agar beristirahan dengan tenang. Kamar anak-anak dipisahkan dari kamar orang tua, kamar anak terletak dibelakang kamar orang tua, agar orang tua dapat setiap saat mengontrol anak-anaknya dan menjaga dari kemungkinan yang tidak diinginkan.
Dari segi keindahan, terlihat adanya ragam hias yang bermacam-macam bentuk dan coraknya, sehingga menunjukkan tingginya kebudayaan ukiran tradisional Melayu. Demikian pula dengan susunan ruangan. Terlihat adanya tingkatan penghormatan terhadap para tamu yang datang. Rumah tradisional Melayu yang berbentuk rumah panggung selain untuk menjaga keselamatan penghuni dari ancaman binatang buas, juga dimaksudkan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pemilik rumah. Banyaknya jendela dan lubang angin menjamin kesegaran dan kenyamanan orang yang menempati rumah. Rumah serta letak jendela dan pintu yang tinggi membuat kedatangan tamu ataupun ancaman telah tampak dari jauh. Pada saat ini perhitungan waktu, arah, serta lokasi rumah, upacara-upacara tidak lagi dilaksanakan. Musyawarah juga tidak lagi menjadi syarat, terutama bagi orang-orang Melayu yang tinggal di perkotaan.
Bentuk dan fungsi rumah tipologi rumah bumbung Melayu yang disebutkqan bangsa asing terutama dari suku tionghua dan Belanda menyebut rumah tradisional tersebut dengan sebutan rumah Melayu. Atap dan dinding dan lesplang berukir menjulang keatas, tiang penyanggah persegi lebih diutamakan tiang seri sebagai sebuah simbol keberadaan rumah yang bisa mendatangkan rezeki bagi pemiliknya, pintu yang lazim disebut dengan sebutan lawang yang terdapat pada bagian depan,tengah dan belakang, jendela disebut dengan tingkap dengan kisi-kisi daun yang disusun sirih dan dinding yang disusun secara vertical dari kayu belian dengan dirapatkan diantara papan satu dengan lainnya.
Rumah pada saat ini dapat saja berfungsi sekaligus sebagai rumah rumah tinggal dan berfungsi juga sebagai tempat ibadah dengan kegiatan social lain seperti pengajian, tempat pertemuan anggota masyarakat . Rumah juga difunsikan sebagai tempat musyawarah bagi keluarga besar dan persoalan masyarakat pada umumnya.
Daftar Pustaka
Hasrianti Nunik, 2008. Revitalisasi Arsitektur Islam Pada Rumah Melayu di Tepian Sungai Kapuas. Kalimantan Barat
Natsir M, 2008. Arsitektur Islam Rumah Melayu diTepian Sungai Kapuas
Makalah Informasi Budaya Blogspost.
------------, 2009. Kehidupan Sosial Ekonomi Pengrajin Amplang Kabupaten Ketapang. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak
Ramsyah Irwin,ST. 2009.Bentuk, Susunan, dan Pola Ruang Arsitektur Melayu Kalimantan Barat. Arsitektur Kalimantan Barat
Wulandari Widi Juliarti Benedikta, 2008. Aspek-Aspek Tradisi Pada Arsitektur Tradisional Suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1992/93. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta
KABUPATEN KETAPANG
Oleh : M.Natsir
I. Pendahuluan
Rumah-rumah suku Melayu yang ada di sepanjang sungai Pawan menunjukan ciri khas keIslaman yang sangat kuat tradisi arsitektur bergaya tradisional Melayu mewarnai aksesoris yang melekat di dalamnya seperti Rumah tradisional Melayu Kayong. Sebuah bangunan yang mencirikan reprentasi dari gaya , berkolaborasi ciri Melayu mengambarkan multicultural masyarakat sebagai sebuah simbol peradaban suatu bangsa yang memiliki identitas.
Tradisi arsitektur Melayu yang masih tertinggal kini sudah banyak yang tergerusi oleh perubahan jaman dan sebagian ada yang sudah dirubah bentuk dari aslinya, sehingga eksestensi nilai yang melekat otomatis berubah, simbol yang melekat tidak lagi mengambarkan keunikan yang dipesankan oleh leluhur terdahulu, bahwa walaupun berbeda akan tetapi tetap bersatu saling menghargai satu sama lainnya, membentuk kompigurasi aneka warna yang penuh keindahan. Keseimbangan diantara satu sama lainnya yang akan melahirkan kebersamaan dalam menata kehidupan menjadi pesanan yang tidak boleh dilupakan oleh kita pada jaman modern ini.
Rumah mengambarkan sebuah simbol keberadaban dan menjadi kebanggaan bagi pemiliknya, prestise yang melekat menentukan stratifikasi kedudukan penghuninya, kepercayaan diri semakin tinggi manakalah rumah tersebut dibuat dari hasil proses yang benar, seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dengan ritual rumah baru dengan jiwa baru dan semangat baru untuk membangun jati diri identitas suatu suku yang diwakilinya. Rumah yang bergaya tradisional pada umumnya merupakan warisan budaya dan sejarah masa lalu yang di miliki oleh sebagian orang Melayu di sepanjang sungai Pawan dan pemilik umumnya mempunyai kedudukan dan pengaruh yang kuat ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang ada, sehingga ia menjadi masyarakat yang dibanggakan oleh warganya dan juga bisa menjadi tempat musyawarah menyelesaikan pelbagai permasalah atau problem masyarakat pada umumnya.
Arus globalisasi yang masuk di dalam setiap sendi kehidupan masyarakat, secara tidak sadar melahirkan pemikiran modern terpengaruh oleh perubahan jaman, secara prontal merombak tatanan, tata ruang di dalam arsitektur itu sendiri dan terkesan tanpa meninggalkan pesan moral di dalamnya, jika tidak secepatnya diantisipasi maka secara perlahan-lahan ia akan terkikis oleh perubahan waktu, tanpa meningalkan pesan bagi generasi yang akan datang. Arsitektur Melayu yang masih ada jika di renovasi akan menjadi nilai jual yang bernilai tinggi karena ia tidak jauh dari tempat-tempat yang bersejarah dan bisa menjadi sebuah perkampungan budaya yang membangun kehidupan ekonomi kreatif masyarakat di sekitarnya, sehingga dengan budaya mereka bisa merubah kehidupan yang lebih baik lagi.
Upaya yang harus di lakukan adalah dengan merevitalisasi yang masih ada, hal ini sangat perlu untuk tetap dilestarikan mengingat peninggalan ini adalah bagian warisan budaya yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Perlunya diadakan penelitian mengingat hanya tinggal beberapa buah yang bisa ditempati oleh pemiliknya hal ini dapat dijumpai di daerah kampung Kauman Kecamatan Benua Kayong Kabupaten Ketapang dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Tujuan dari inventarisasi aspek tradisi pada arsitektur tradisional rumah Melayu adalah untuk penyediaan data tentang arsitektur tradisional dan meningkatkan pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan tradisi arsitektur rumah Melayu yang masih ada. Ruang lingkung materi yang akan dibahas meliputi jenis bangunan rumah tinggal, dan karakteristik rumah Melayu
Penelitian ini mengambil tempat di Kecamatan Benua Kayong Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Lokasi yang dipilih karena rumah yang berbentuk tradisional Melayu masih dapat dijumpai dan ditempati oleh masyarakat Melayu di daerah tersebut dan sebahagian lagi sudah rusak tidak bisa ditempati. Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai metode, seperti:pengamatan, wawancara terhadap informan dan studi kepustakaan.
II. Gambaran Daerah Pengumpulan Data
Kabupaten Ketapang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat yang terletak di sebelah selatan. Secara geografis Kabupaten Ketapang terletak di 0o19'00 - 3o05' Lintang Selatan dan 108o42'00 Bujur Timur sampai. 111o16'00 Bujur Timur.Secara administratif, batas-batas wilayah Kabupaten Ketapang adalah sebagai berikut:
• Sebelah Utara : Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sanggau
• Sebelah Selatan: Laut Jawa
• Sebelah Barat : Selat Karimata
• Sebelah Timur : Kalimantan Tengah dan Kabupaten Sintang
Sebagian besar wilayah Kabupaten Ketapang adalah daratan berdaratan rendah dengan luas sekitar 35.809 km² (± 3.580.900 Ha) yang terdiri dari 33.209 Km². Dari total luas wilayah Kabupaten Ketapang tersebut 33.209 km² (92,74 persen) terdiri dari wilayah daratan dan 2.600 km² (7,26 persen) berupa perairan.
Secara geografis Benua Kayong terletak di dalam wilayah ibukota Kabupaten Ketapang. Berbatasan sebelah Utara Kecamatan Delta Pawan, sebelah Selatan Kecamatan Matan Hilir Selatan, sebelah Timur Kecamatan Sungai Melayu Rayak, dan sebelah Barat Kecamatan Selat Karimata dengan luas wilayah 349.00 km dan jumlah penduduk 30,963 jiwa yang mendiami 9 kelurahan yang ada.
Sebagian besar dari Pertokohan di wilayah itu adalah berbentuk ruko yang dibangun secara kokoh dari jenis-jenis kayu setempat yang keras dan bercor semen padat, model bangunan tersebut tidak jauh berbeda dengan model di daerah lainnya di wilayah Kalimantan Barat, sedangkan rumah- rumah berbentuk model rumah Melayu tradisional berbentuk limas.
III. Jenis Bangunan
Jenis bangunan tradisional yang masih dapat dijumpai di Kecamatan Benua Kayong, adalah tempat tinggal, dan dengan type rumah yang tradisional berbentuk limas, model gudang dan model rumah panggung. Rumah tradisional Melayu pada umumnya terdiri atas tiga jenis yaitu Rumah Tiang Enam, Rumah tiang Enam Berserambi dan Rumah Tiang Dua Belas atau Rumah Serambi. Rumah Tiang Dua Belas atau Rumah Serambi merupakan rumah besar dengan tiang induk sebanyak dua belas buah (Mahyudin,2003). Tipologi rumah tradisional Melayu adalah rumah panggung atau berkolong dan memiliki tiang-tiang tinggi. Hal ini disesuaikan dengan keadaan iklim dengan kebiasaan turun menurun. Tinggi tiang penyangga rumah setinggi kl 70 cm dari permukan tanah. Ruangan yang terbuka membuat sirkulasi udara cepat berganti dan angin dengan mudah masuk melalui ventilasi yang cukup banyak.
Adapun fungsi pada setisap ruangan di rumah Melayu memiliki nama dan fungsinya masing-masing, yaitu:
1. Selang Depan
Ruang ini merupakan tempat untuk meletakan barang yang tidak perlu dibawa kedalam ruang rumah dan merupakan bagian depan yang terendah. Di samping anak tangga yang berjumlah tiga buah untuk naik ke selang depan biasanya ditempatkan sebuah tempayan kecil berisi air untuk mencuci kaki.
2. Serambi Depan
Letaknya lebih tinggi satu kaki dari selang depan. Untuk sampai ke ruang ini, orang harus menaiki bebrapa anak tangga yang berjumlah ganjil. Pada serambi depan biasanya tidak dijumpai kursi ataupun meja, hanya tikar atau permadani yang terbentang. Ruang ini memiliki banyak jendela setinggi bahu orang duduk dan dari jendela ini orang yang sedang duduk di lantai ruangan dapat melihat ke halaman.
3. Ruang Induk
Merupakan ruang di belakang serambi depan dengan tinggi lantainya 30 cm lebih tinggi dari srambi depan. Pada zaman dahulu antara serambi depan dengan rumah induk tidak dibatasi dinding pemisah antara serambi depan dengan ruang induk. Pada ruang induk ini terdapat tangga yang menuju ke loteng atau tempat tidur anak gadis. Jendela-jendela diruang ini serupa dengan serambi depan dan letak daunnya setinggi bahu orang yang duduk di lantai dengan hiasan terawang ukiran Melayu.
4. Serambi Belakang
Pada sisi kanan rumah terdapat selang samping yang mirip bentuknya dengan selang depan, juga terdapat guci yang berisi air berfungsi sebagai pencuci kaki terletak dekan tangga naik. Tangga ini berjumlah ganjil. Dari selang samping ini dengan melalui beberapa anak tangga yang berjumlah ganjil orang akan sampai ke serambi belakang. Letaknya dibekang rumah induk dengan tinggi hampir sama dengan serambi depan. Ruangan ini sama dengan serambi depan.
Gambar 1 Gambar 2
IV. Karakteristik
Ditinjau dari tipologi dan fungsi ruang, rumah tradisional Melayu pada umumnya terdiri atas tiga jenis, yaitu Rumah Tiang Enam, Rumah Tiang Enam Berserambi, dan Rumah Tiang Dua Belas, atau Rumah Serambi. Rumah Tiang Dua Belas atau Rumah Serambi merupakan rumah besar dengan tiang induk sebanyak dua belas buah.
Tipologi rumah tradisional Melayu adalah rumah panggung atau berkolong, dan memiliki tiang-tiangtinggi.
Setiap ruangan pada rumah Melayu memiliki nama dan fungsi tertentu. Selang depan berfungsi sebagai tempat meletakkan barang-barang tamu, yang tidak dibawa ke dalam ruangan. Ruang serambi depan berfungsi sebagai tempat menerima tamu pria, tetangga dekat, orang-orang terhormat, dan yang dituakan. Ruangan serambi tengah atau ruang induk berfungsi sebagai tempat menerima tamu agung, dan yang sangat dihormati.
Ruang selang samping berfungsi sebagai tempat meletakkan barang yang tidak dibawa ke dalam ruang serambi belakang. Tempat ini merupakan jalan masuk bagi tamu perempuan. Ruang dapur dipergunakan untuk memasak dan menyimpan barang-barang keperluan dapur. Karena susunan papan lantainya jarang, maka sampah dapat langsung dibuang ke tanah. Ruangan kolong rumah biasanya digunakan sebagai tempat bekerja sehari-hari dan menyimpan alat-alat rumah.
Antara jenisnya, rumah kediaman lazim disebut rumah tempat tinggal atau rumah tempat diam, yaitu rumah yang khusus untuk tempat kediaman keluarga. Di dalam kehidupan sehari-hari, rumah kediaman wajib dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya agar lebih memberi kenyamanan dan kebahagiaan bagi penghuninya. Berdasarkan bentuk atapnya, rumah kediaman dinamakan Rumah Bubung Melayu.
Nama Rumah Bubung Melayu diberikan oleh para pendatang bangsa asing, terutama Cina dan Belanda, karena berbeda dengan bentuk rumah mereka, yaitu seperti kelenteng maupun rumah limas yang mereka sebut sebagai rumah Eropa. Sedangkan nama Rumah Belah Rabung diberikan oleh orang Melayu. Karena bentuk atapnya terbelah oleh bubungannya. Orang tua-tua menyebut dengan nama Belah Krol yaitu rambut yang disisir terbelah dua. Nama Rumah Rabung berasal dari kata Rabung, singkatan dari Perabung. Penyebutan ini untuk membedakan dengan bentuk atap yang tidak memakai perabung seperti bangunan pondok ladang atau gubuk yang disebut Pondok Pisang Sesikat.
Sebutan lain yang diberikan untuk rumah adalah berdasarkan pada bentuk kecuraman dan variasi atap. Rumah dengan atap curam disebut rumah Lipat Pandan. Jika atapnya agak mendatar disebut rumah Lipat Kajang, dan bila atapnya diberi tambahan di bagian bawah (kaki atap) dengan atap lain maka disebut rumah Atap Layar. Rumah yang dibuat dengan perabung atap sejajar dengan jalan raya di mana rumah itu terletak, disebut Rumah Perabung. Sedangkan bila perabung rumah tegak lurus terhadap jalan raya di mana umah itu menghadap, disebut Rumah Perabung Melintang.
Rumah didirikan di atas tiang yang tingginya antara 1,50—2,40 Meter. Ukuran rumah tidak ditentukan. Besar kecilnya bangunan bergantung kepada kemampuan pemiliknya. Pada rumah yang didirikan di daerah tepi sungai, tiang dibuat tinggi supaya rumah tidak terendam air pasang. Kolong rumah sering digunakan untuk tempat bertukang membuat perahu atau pekerjaan lain. Di samping sebagai tempat menyimpan sebagian alat pertanian dan alat nelayan.(*)
Gambar 3 Gambar 4
Bentuk Bagian-Bagian Rumah Melayu
1. Atap dan Bumbungan
Rumah Melayu asli memiliki bubungan panjang sederhana dan tinggi. Ada kalanya terdapat bubungan panjang kembar. Pada pertemuan atap dibuat talang yang berguna untuk menampung air hujan. Pada kedua ujung perabung rumah induk dibuat agak terjungkit ke atas. Dan pada bagian bawah bubungan atapnya melengkung, menambah seni kecantikan arsitektur rumah Melayu. Pada bagian belakang dapur bubungan atap dibuat lebih tinggi, berjungkit. Selanjutnya pada bagian bawah, papan penutup rabung ini dibuat semacam lisplang berukir, Dalam bahasa Melayu papan lisplang berukir ini disebut Pamelas. Dengan demikian bentuk pamelas ini melengkung mengikuti bentuk rangka atapnya. Ukiran pada papan pamelas ini ada yang selapis dan ada pula yang dua lapis.
2. Perabungan
Perabung memiliki bentuk lurus. Sebagai lambang lurusnya hati orang Melayu. Sifat lurus itu haruslah dijunjung tinggi di atas kepala dan menjadi pakaian hidup. Hiasan yang terdapat pada perabung rumah adalah hiasan yang terletak di sepanjang perabung, disebut Kuda Berlari. Hiasan ini amat jarang dipergunakan. Lazimnya hanya dipergunakan pada perabung istana, Balai Kerajaan dan balai penguasa tertinggi wilayah tertentu.
Adapun Teban Layar biasa pula disebut Singap, Ebek atau Bidai. Bagian ini biasanya dibuat bertingkat dan diberi hiasan yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi. Pada bagian yang menjorok keluar diberi lantai yang disebut Teban Layar atau Lantai Alang Buang atau disebut juga Undan-undan. Bidai lazimnya dibuat dalam tiga bentuk, yakni bidai satu (bidai rata), bidai dua (bidai dua tingkat) dan bidai tiga (bidai tiga tingkat).
3.Tiang
Bangunan tradisional Melayu adalah bangunan bertiang. Tiang dapat berbentuk empat sama sisir (bujur sangkar) atau bersegi. Tiang yang bersegi diketam dengan ketam khusus yang disebut Kumai. Sanding Tiang adalah sudut segi-segi tiang. Di antara tiang-tiang itu terdapat tiang utama, yang disebut Seri. Tiang Seri adalah tiang-tiang yang terdapat pada keempat sudut rumah induk, merupakan tiang pokok rumah tersebut.
Tiang ini tidak boleh bersambung, harus utuh dari tanah sampai ke tutup tiang. Sedangkan tiang yang terletak di antara tiang seri pada bagian depan rumah, disebut Tiang Penghulu.
Masing-masing baris 4 buah tiang, termasuk tiang seri.
Jika keadaan tanah tempat rumah itu didirikan lembek atau rumah itu terletak di pinggir, maka tiang-tiang itu ditambah dengan tiang yang berukuran lebih kecil. Tiang tambahan itu disebut Tiang Tongkat. Tiang Tongkat biasanya hanya sampai ke rasuk atau gelegar. Untuk menjaga supaya rumah tidak miring, dipasang tiang pembantu sebagai penopang. Bahan untuk Tiang Seri haruslah kayu pilihan. Biasanya teras kayu Belian (Besi) dan Tembesu, dan juga digunakan pada Tiang Tongkat. Tiang-tiang lainnya mempergunakan kayu keras dan tahan lama.. Ukuran ini bergantung kepada besar atau kecilnya rumah. Semakin besar rumahnya, besar pula tiang-tiangnya. Tiang yang kelihatan di bagian dalam rumah selalu diberi hiasan berupa ukiran.
Bagi pemilik rumah yang mampu, seluruh tiangnya dibuat persegi. Tetapi bagi yang kurang mampu, tidak seluruh tiang persegi, melainkan hanya tiang seri atau beberapa tiang lainnya, atau bahkan semuanya bulat.Bentuk tiang secara tradisional, mengandung lambang yang dikaitkan dengan agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat. Termasuk kaitannya dengan alam lingkungan dan arah mata angin.
4.Pintu
Pintu yang sering disebut dengan Lawang. Pada bagian pintu masuk di bagian muka rumah disebut muka pintu. Pintu di bagian belakang disebut pintu dapur atau pintu belakang. Pintu yang ada di ruangan tengah pada rumah yang berbilik, pintu yang menghubungkan kamar dengan kamar. Khusus untuk keluarga perempuan terdekat atau untuk anak gadis, dan dibuat terutama untuk menjaga supaya jika penghuni rumah memiliki keperluan dari satu bilik ke bilik lainnya tidak melewati ruangan tengah. Kegunaan untuk terlindung dari tamu yang ada pada ruang tengah dan menjadi adat, bahwa ruangan tengah dipergunakan untuk menerima tamu yang terdiri dari orang tua-tua, atau kerabat terdekat yang dihormati. Sangat dilarang bagi anak-anak melewati tamu dan berjalan dihadapannya. Di samping itu ada pula pintu yang dibuat khusus disebut Pintu Bulak, yaitu pintu yang tidak memiliki tangga keluar. Pada prinsipnya pintu ini sama seperti jendela, hanya ukurannya yang berbeda. Biasanya bagian bawah pintu ini diberi pagar pengaman berupa kisi-kisi bubut atau papan tebuk. Di situ diletakkan kursi malas, yakni kursi goyang, tempat orang tua duduk berangin-angin. Dari tempat orang tua-tua itu memperhatikan anak-anak bermain di halaman.
Ukuran pintu umumnya lebar antara 60 sampai 100 Cm, tinggi 1,50 sampai 2 Meter. Pada mulanya pintu tidak memakai engsel. Untuk membuka dan menutup pintu dipergunakan semacam Putting yang ditanamkan ke bendul atau balok sebelah bawah dan balok sebelah atas pintu. Kunci dibuat dari kayu yang disebut Pengkelang.
Pintu dapat terdiri atas satu atau dua daun pintu. Pintu dikunci memakai belah pintu atau Pengkelang (palang pintu dari sebelah dalam).. Di atas pintu kebanyakan dibuat dengan ukiran yang indah hal ini menunjukan martabat pemilik rumah.
5.Jendela
Jendela lazim disebut Tingkap. Bentuknya sama seperti bentuk pintu. Tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih rendah. Daun jendela dapat terdiri atas dua atau satu lembar daun jendela. Hiasan pada jendela dan pagar selasar disebut juga Kisi-kisi atau Jerajak. Kalau bentuknya bulat disebut Pinang-pinang atau Larik. Bila pipih disebut Papan Tebuk. Hiasan ini melambangkan bahwa pemilik bangunan adalah orang yang mengerti dengandiri sendiri. Ketinggian letak jendela di dalam sebuah rumah tidak selalu sama. Perbedaan ketinggian ini adakalanya disebabkan oleh perbedaan ketinggian lantai. Ada pula yang berkaitan dengan adat istiadat. Umumnya jendela tengah di rumah induk lebih tinggi dari jendela lainnya. Tingkap pada singap disebut tingkap bertongkat. Tingkap ini merupakan jendela anak dara yang lazimnya berada di ruangan atas (para).
Tingkap yang terletak pada bubungan dapur disebut Angkap.
Jendela dibuka keluar, ada yang berdaun satu dan kebanyakan berdaun dua. Jendela dibuat dari papan dan digantung dengan engsel pada kosen. Pada kosen ini dipasang kisi-kisi atau Telai yang tingginya 80—9- Cm, dan biasanya diberi ukiran.
mempergunakan Putting. Kuncinya juga dibuat dari kayu yang disebut Pengkelang. Sebagai pengaman, di jendela dipasang jerajak panjang yang disebut Kisi-kisi atau Jerajak yang terbuat dari kayu segi empat atau Bubutan (Larik). Kalau jendela itu tidak memakai jerajak, biasa pula diberi panel di sebelah bawahnya, yang tingginya antara 30 sampai40Cm.
6.Dinding
Model tradisional rumah Melayu pada umumnya papan dinding dipasang vertical. Kalau pun ada yang dipasang miring atau bersilangan, pemasangan tersebut hanya untuk variasi. Cara memasang dinding umumnya dirapatkan dengan Lidah Pian. Atau dengan susunan bertindih yang disebut Tindih Kasih. Cara lain adalah dengan pasangan horizontal dan saling menindih yang disebut Susun Sirih. Pada umumnya dinding terbuat dari kayu meranti, punak, medang atau belian.
V. Penutup
Arsitektur tradisional Melayu Kayong terkandung nilai kearifan lokal. Model dan bentuk dari rumah tersebut mempunyai ciri khas dari masyarakatnya yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan di dalam kehidupan di lingkungannya. Model Rumah Limas dan potongan gudang mengambarkan pemiliki rumah mempunyai kedudukan secara social terbuka kepada siapa saja yang akan bertamu dan ikhlas menerima tamu, tamu yang datang sebagai suatu kehormatan yang harus dihargai. Perabungan tinggi menjulang kesadaran pemilik rumah bahwa di dalam kehidupan menjunjung tinggi secara lurus dan mempunyai rasa toleransi yang tinggi terhadap lingkungansekitarnya
Pada ruang utama tamu yang datang diberikan kehormatan, pada umumnya duduk ditikar memungkinkan tamu yang lebih banyak dan mendapatkan tempat yang layak. Kamar khusus juga disediakan bagi tamu yang datang dari jauh, agar beristirahan dengan tenang. Kamar anak-anak dipisahkan dari kamar orang tua, kamar anak terletak dibelakang kamar orang tua, agar orang tua dapat setiap saat mengontrol anak-anaknya dan menjaga dari kemungkinan yang tidak diinginkan.
Dari segi keindahan, terlihat adanya ragam hias yang bermacam-macam bentuk dan coraknya, sehingga menunjukkan tingginya kebudayaan ukiran tradisional Melayu. Demikian pula dengan susunan ruangan. Terlihat adanya tingkatan penghormatan terhadap para tamu yang datang. Rumah tradisional Melayu yang berbentuk rumah panggung selain untuk menjaga keselamatan penghuni dari ancaman binatang buas, juga dimaksudkan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pemilik rumah. Banyaknya jendela dan lubang angin menjamin kesegaran dan kenyamanan orang yang menempati rumah. Rumah serta letak jendela dan pintu yang tinggi membuat kedatangan tamu ataupun ancaman telah tampak dari jauh. Pada saat ini perhitungan waktu, arah, serta lokasi rumah, upacara-upacara tidak lagi dilaksanakan. Musyawarah juga tidak lagi menjadi syarat, terutama bagi orang-orang Melayu yang tinggal di perkotaan.
Bentuk dan fungsi rumah tipologi rumah bumbung Melayu yang disebutkqan bangsa asing terutama dari suku tionghua dan Belanda menyebut rumah tradisional tersebut dengan sebutan rumah Melayu. Atap dan dinding dan lesplang berukir menjulang keatas, tiang penyanggah persegi lebih diutamakan tiang seri sebagai sebuah simbol keberadaan rumah yang bisa mendatangkan rezeki bagi pemiliknya, pintu yang lazim disebut dengan sebutan lawang yang terdapat pada bagian depan,tengah dan belakang, jendela disebut dengan tingkap dengan kisi-kisi daun yang disusun sirih dan dinding yang disusun secara vertical dari kayu belian dengan dirapatkan diantara papan satu dengan lainnya.
Rumah pada saat ini dapat saja berfungsi sekaligus sebagai rumah rumah tinggal dan berfungsi juga sebagai tempat ibadah dengan kegiatan social lain seperti pengajian, tempat pertemuan anggota masyarakat . Rumah juga difunsikan sebagai tempat musyawarah bagi keluarga besar dan persoalan masyarakat pada umumnya.
Daftar Pustaka
Hasrianti Nunik, 2008. Revitalisasi Arsitektur Islam Pada Rumah Melayu di Tepian Sungai Kapuas. Kalimantan Barat
Natsir M, 2008. Arsitektur Islam Rumah Melayu diTepian Sungai Kapuas
Makalah Informasi Budaya Blogspost.
------------, 2009. Kehidupan Sosial Ekonomi Pengrajin Amplang Kabupaten Ketapang. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak
Ramsyah Irwin,ST. 2009.Bentuk, Susunan, dan Pola Ruang Arsitektur Melayu Kalimantan Barat. Arsitektur Kalimantan Barat
Wulandari Widi Juliarti Benedikta, 2008. Aspek-Aspek Tradisi Pada Arsitektur Tradisional Suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1992/93. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta
Kerusuhan Sambas
Kerusuhan Antaretnis
Penyebab dan Dampaknya Terhadap Guru dan Siswa
( Kasus Kerusuhan di Kab. Sambas. Kalimantan Barat)
Oleh: Harry. S. Hartono*)
Abstrak : Kerusuhan antarethnis yang masih saja terjadi hingga saat ini cukup membuat prihatin dan resah seluruh anggota masyarakat dan tampaknya kerusuhan-kerusuhan ini tidak mudah untuk diatasi. Secara umum akibat yang ditimbulkan sangat besar bahkan yang tadinya lingkupnya kecil bisa sampai pada lingkup nasional yang akan berpengaruh secara nasional, baik dibidang politik, ekonomi, ataupun sosial. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh dampak yang ditimbulkan serta upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, berikut dipaparkan kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang terjadi pada Maret-April 1997. Balitbang Depdiknas pada tahun 1998/1999 telah melakukan studi dengan mengirimkan dua orang penelitinya ke daerah tersebut. Data yang diperoleh adalah hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat, kepala sekolah, guru, siswa, Kanwil dan Kandep Depdiknas setempat. Tampaknya data tersebut memberikan petunjuk serta indikasi bahwa begitu besar dampak yang ditimbulkan kerusuhan tersebut terhadap kehidupan bermasyarakat khususnya di sektor pendidikan, baik fisik mauapun non fisik.
Kata kunci: Pertentangan suku bangsa; konflik sosial, masyarakat; masalah sosial.
*) Drs. Harry S. Hartono adalah Peneliti pada Balitbang Depdiknas
1. ________________________________________
Pendahuluan
Konflik sosial yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia akhir-akhir ini cenderung semakin memuncak dan sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kondisi semacam ini harus benar-benar dicermati karena sudah mengekspresikan tidak adanya tatanan nilai atau aturan sosial yang dianut masyarakat dalam kehidupan bersama. Masyarakat semacam ini oleh Durkheim (Tom Campbell, 1994 ) disebut sebagai kondisi masyarakat Anomi karena kehidupan bermasyarakatnya sudah tidak ada bentuknya lagi.
Kerusuhan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang terjadi pada Maret hingga April 1997 merupakan salah satu bentuk atau contoh konflik sosial dimana kerusuhan tersebut merupakan klimaks dari perseteruan antara dua suku bangsa yang selama ini mendiami Kabupaten Sambas yakni suku Madura dan suku Melayu.
Perseteruan antara dua suku ini sebenarnya sudah berlangsung lama, tetapi karena suku Melayu banyak dikenal orang sebagai suku yang tidak menyenangi keributan, maka perselisihan yang sering terjadi tidak pernah berkembang menjadi konflik besar. (Tragedi Sambas menurut Antroplog dan Sosiolog , Budi Santoso, Kompas April 1998 ). Akan tetapi pada pertengahan Maret 1999, merupakan batas waktu kesabaran suku Melayu, untuk tidak memberikan toleransi dan menerima begitu saja gangguan-gangguan yang datang dari suku Madura. Akibatnya, terjadilah kerusuhan besar antara ke dua suku tersebut.
Kerusuhan antarsuku yang terjadi di Sambas merupakan salah satu kasus konflik horisontal yang berlatarbelakang SARA dan dinilai oleh para pengamat sosial sebagai suatu tragedi nasional yang menyedihkan. Peristiwa ini mengundang dua pertanyaan penting dalam kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan kebangsaan yang selama ini berlangsung di sekolah-sekolah.
Pertama, sejauhmana penyelenggaraan pendidikan selama ini berlangsung dan dapat memberikan bekal kepada peserta didik tentang wawasan kebangsaan, persatuan dan kesatuan, saling menghormati dan menghargai perbedaan suku bangsa dan agama.
Kedua, seberapa jauh konflik sosial tersebut membawa dampak buruk terhadap pendidikan khususnya terhadap anak-anak usia sekolah yang menjadi korban dari konflik tersebut?
Berkenaan dengan hal tersebut, tahun 1998/1999 Pusat Penelitian Balitbang Depdiknas telah melakukan studi yang bertujuan antara lain memperoleh gambaran tentang faktor penyebab dan dampaknya terhadap sikap mental anak (anak usia sekolah).
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dokumentasi Kanwil dan Kandep Depdiknas setempat, wawancara secara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat, pejabat, kepala sekolah, guru, siswa, dan melakukan observasi lapangan di sekolah-sekolah yang merasakan secara langsung dampak kerusuhan.
2. Kerangka Berpikir
Krisis sosial sebagaimana krisis ekonomi dan krisis lainnya perlu dicermati karena dapat berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat termasuk pendidikan. Krisis merupakan cerminan kondisi masyarakat yang tidak memiliki keseimbangan dan keteraturan dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, edisi ke-2 tahun 1994 krisis dapat diartikan sebagai cerminan kondisi berbahaya dan suram yang selanjutnya berdasarkan terminologi tersebut krisis sosial adalah keadaan berbahaya dan suram yang berhubungan dengan masyarakat.
Durkheim (Tom Campbell, 1994) menyebutkan bahwa krisis sosial adalah kondisi masyarakat "Anomie" yang sudah tidak ada tatanan nilai/aturan-aturan sosial dalam hidup bermasyarakat. Demikian halnya dengan Suryono Sukamto yang berpendapat tidak jauh berbeda yaitu menyatakan bahwa krisis sosial merupakan cerminan adanya pertentangan antara nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Suryono. S , 1988)
Krisis sosial yang terjadi menurut beberapa pakar sosiologi proses kejadiannya dapat bermula dari sejumlah krisis dalam masyarakat tetapi juga krisis sosial tersebut sudah ada sejak dahulu. Apapun penyebab krisis sosial yang melanda masyarakat, krisis sosial pada waktu tertentu dapat memberikan sumbangan terhadap terjadinya perubahan perilaku yang negatif pada anggota masyarakat baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Gejala penyimpangan perilaku ini sangat perlu untuk dicermati karena dapat menyebabkan merosotnya semangat kebersamaan, toleransi, dan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, fenomena ini perlu diantisipasi dan dikaji dalam rangka mencari upaya agar tidak terjadi lagi. Salah satu cara adalah dengan melakukan pendidikan sosial budaya khususnya bagi kalangan generasi muda calon pemimpin bangsa di lembaga-lembaga persekolahan baik formal ataupun non formal.
Maksud dan tujuan pendidikan lintas budaya ini adalah agar tetap terpeliharanya rasa kesatuan dan sekaligus meningkatkan semangat kebersamaan antaranggota masyarakat dalam hidup bersama, berbangsa dan bernegara dalam lingkup persatuan bangsa.
Keterlibatan anggota masyarakat pada kasus kerusuhan yang dilatarbelakangi oleh isu SARA di berbagai daerah akhir-akhir ini menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya toleransi, rasa kemanusiaan, dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Faktor penyebabnya antara lain lingkungan masyarakatnya sendiri yang baik sengaja maupun tidak sengaja ikut berperan dalam mensosialisasikan cara-cara kehidupan yang yang kurang baik.
Pada hakekatnya seluruh anggota masyarakat mengalami proses pembelajaran terhadap segala sesuatu yang berlangsung di lingkungannya yang kemudian menginternalisasikan ke dalam diri dan menggunakannya sebagai orientasi atau pedoman tingkah laku mereka.
Kondisi semacam ini dapat menyebabkan masyarakat berada dalam kekecewaan/kebingungan karena menghadapi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus dan pada kenyataannya masyarakat tersebut tidak mampu menilai secara jernih mana perilaku yang "salah" dan "benar", maka akan sangat potensial melahirkan tindakan-tindakan yang mengarah pada perilaku agresif (tindak kekerasan) yang akan dapat menimbulkan pertentangan/perselisihan.
Skema berpikir dampak kerusuhan
Fisik
Non Fisik
Kerugian yang dialami masyarakat sebagai dampak dari timbulnya pertentangan tersebut antara lain adalah di bidang pendidikan. Kebakaran, kerusakan terjadi dimana-mana. Ketakutan memaksa mereka untuk mengungsi ke tempat-tempat yang dianggapnya aman tidak terkecuali dengan guru dan siswanya. Di sisi lain, perselisihan yang terjadi juga berdampak pada sikap/mental anak-anak usia sekolah yakni anak-anak menjadi trauma dengan kejadian yang dilihat atau dialaminya. Pada diri anak-anak telah tertanam rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang lain yang jika dibiarkan lambat laun akan dapat menjadi benih-benih disintegrasi bangsa.
3. Keterbatasan Studi
Keterbatasan pada saat kegiatan pengumpulan data yaitu kami tidak diijinkan untuk bertemu dengan orang-orang suku Madura yang ada di tempat-tempat pengungsian karena alasan keamanan. Padahal informasi dari suku Madura sangat penting dalam rangka mengklarifikasi atau menyeimbangkan data yang diperoleh dari suku Melayu. Oleh karena itu, kami menyadari bahwa informasi yang diperoleh kemungkinan bias karena hanya berasal dari satu pihak saja yaitu suku Melayu.
4. Temuan Studi
Informasi yang diperoleh tentang dampak kerusuhan dapat dikatagorikan menjadi 2, yaitu dampak fisik dan non fisik (sikap mental guru dan siswa). Berikut secara rinci uraian tentang penyebab dan dampak kerusuhan tersebut.
4.1 Penyebab Kerusuhan
Terjadinya tragedi Sambas, paling sedikit disebabkan oleh dua hal, pertama faktor perbenturan kultur antara suku bangsa Melayu dengan suku bangsa pendatang, dan kedua adalah persaingan dalam menguasai sektor-sektor kehidupan ekonomi. Dari dua faktor tersebut, faktor perbenturan kultur tampaknya merupakan faktor yang dominan sebagai penyebab kerusuhan tersebut.
4.1.1. Perbenturan Budaya
Kerusuhan Sambas merupakan ungkapan dari akumulasi frustrasi di kalangan masyarakat Melayu terhadap sikap dan perilaku suku Madura yang mudah menggunakan kultur kekerasan, mudah melanggar janji, dan memandang remeh dalam berhubungan sosial antaretnis. Sebaliknya, kultur Melayu dipahami memiliki budaya yang bertolakbelakang dengan orang Madura. Dalam berhubungan sosial orang Melayu selalu menghindari terjadinya konflik, hidup damai, sabar, dan lebih senang mengalah, serta berusaha mengembangkan harmoni kehidupan (Tragedi Sambas menurut antropolog dan sosiolog, Kompas 22 April 1999). Benturan kultur tersebut sebenarnya telah lama terjadi, di satu sisi orang Madura dengan pendekatan "kekerasan" selalu dalam posisi unggul, di sisi lain orang Melayu selalu dikalahkan. Lambat laun masyarakat Melayu menerima perlakukan tersebut sebagai penjajahan dan merendahkan harga diri.
Hubungan sosial antara masyarakat suku bangsa Melayu (dan Dayak) dengan suku bangsa Madura sudah sejak lama tidak harmonis, bahkan sering terjadi perselisihan baik secara individual maupun kelompok. Di satu pihak suku Melayu menganggap bahwa sumber konflik terjadi karena perilaku orang-orang Madura tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat suku Melayu dan Dayak. Kecuali itu, dalam persepsi orang Melayu orang Madura dinilai gampang melanggar hukum, seperti mengambil milik orang melayu, menyerobot tanah, arogan, menangnya sendiri, dan mudah menggunakan senjata tajam (clurit), serta membawa kelompoknya dalam menyelesaikan hampir pada setiap konflik. Para pendatang dinilai tidak dapat menyesuaikan adat dan kebudayaan setempat.
Dalam persepsi masyarakat Melayu, banyak nilai-nilai budaya suku bangsa Madura (terutama dari daerah asal tertentu di Madura) bertentangan dengan budaya setempat. Masyarakat Melayu yang jengkel, cemas, dan takut jika terjadi konflik dengan etnis Madura. Perbenturan sering terjadi, manakala orang Melayu sering tidak mengerti argumen pembelaan sepihak yang disampaikan secara culas, sombong, dan arogan dari orang-orang Madura, serta cenderung menyelesaikan persoalan dengan kekerasan (Carok atau menggunakan clurit).
Argumen yang dipandang aneh yang sering didengar dalam perselisihan yang menyangkut tanah, tanaman, kasus pencurian, dan bahkan terjadi pula dalam kepentingan sekolah. Berbagai pengalaman menyangkut hubungan sosial yang sering menjadi sumber konflik tercermin dalam ungkapan orang Madura, seperti dituturkan oleh orang-orang Melayu, seperti berikut ini.
(1) Buah-buahan dan rumput di kebun tumbuh karena Tuhan. Maka jangan disalahkan kalau orang mengambil buahnya, dan sapi memakan rumputnya".
(2) Dalam kasus pencurian barang di pekarangan orang Melayu yang diketahui pelakunya orang Madura, selalu dikemukakan bahwa orang Madura diperbolehkan mengambil barang-barang di luar rumah, jika memang pemiliknya sudah berkecukupan. Pencurian ayam yang dipastikan selalu dilakukan oleh orang Madura, sampai menimbulkan semacam pemeo sewaktu masih kecil milik orang Melayu, setelah besar (berharga) milik orang Madura.
(3) Jika pencurian terjadi di dalam rumah, selalu muncul alasan bahwa mengambil milik orang lain di dalam rumah diperbolehkan, asal pemiliknya memperbolehkannya. Maka jika tertangkap, orang Madura hanya mengembalikan barang itu, karena menganggap pemiliknya melarang barang itu diambil.
Berbagai kasus tersebut memberikan pengalaman buruk terhadap masyarakat Melayu. Apalagi setiap konflik orang Madura selalu menghadapi dan menyelesaikannya dengan sikap arogansi dan kekerasan. Penyelesaian konflik sudah dicoba dengan cara musyawarah dan perdamaian, namun tidak pernah membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Hal itu terjadi karena orang Madura sebagai suku pendatang mudah mengingkari janji. Berkali-kali telah dilakukan janji perdamaian antara suku bangsa Madura dengan Melayu (dan Dayak) agar di antara mereka tidak saling memusuhi, menyerang, dan membunuh, selalu dengan mudah dilanggar.
Dalam catatan tokoh masyarakat Melayu dan Dayak, diketahui bahwa sejak tahun 1951 sudah sekitar 27 kali orang Madura melanggar perjanjian yang telah disepakati dengan suku Melayu dan Dayak. Bahkan di Kecamatan Salamantan (komunitas suku Dayak) pada tahun 1971 telah dibangun tugu perdamaian, tetapi hal itu tidak dapat mencegah tindakan kekerasan dan pembunuhan orang Madura terhadap suku Dayak dan Melayu. Sedangkan dalam kebiasaan suku Dayak, setiap perjanjian yang melibatkan kepala suku pantang untuk dilanggar oleh karena telah dimintakan izin dan diketahui oleh roh nenek moyangnya. Sehingga jika dilanggar akan terjadi kemarahan yang tidak terkendali dan akan melakukan tindakan-tindakan yang tidak masuk akal.
Persepsi orang Melayu sampai meledaknya kerusuhan dipicu pula oleh anggapan bahwa dalam hubungan sosial mereka selalu diremehkan oleh orang Madura. Sikap mengalah, menghindari konflik, dan senantiasa bersikap sabar dalam memecahkan permasalahan justru dianggap sebagai karakter yang lemah. Hal itu tercermin dari uangkapan yang muncul dalam pergaulan, misalnya orang Madura sering mengungkapkan bahwa orang Melayu bermental krupuk, atau orang melayu sebagai ayam sayur dsb. yang bermakna sebagai tuduhan tidak memiliki sikap pemberani, takut terhadap suku bangsa lainnya. Persepsi seperti itu menimbulkan sakit hati yang mendalam, dan secara akumulatif menumbuhkan rasa dendam.
Dari segi lain, pemukiman dan pergaulan orang Madura dinilai sangat eksklusif. Mereka umumnya bermukim hanya dalam kelompok orang Madura, berdasarkan asal daerah tertentu di Madura. Membangun madrasah dan Masjid/ Mushola sendiri dan hanya diperuntukkan bagi kelompoknya. Meskipun, di dekat pemukiman telah ada tempat beribadah, jarang sekali ada orang madura yang memanfaatkannya, dan lebih senang membangun sendiri untuk kelompoknya.
Dalam hubungan bisnis, jalinan hubungan juga lebih banyak hanya dilakukan antarkelompoknya. Dalam kasus dimana warganya terlibat kasus perselisihan dan kriminal, kelompok tersebut selalu membelanya tanpa mempedulikan salah/benarnya perkara yang terjadi. Pola pergaulan dan pemukiman tersebut menutup komunikasi dengan masyarakat Melayu, dan berbagai perkara tidak dapat terselesaikan dengan tuntas.
Beberapa temuan tentang penyebab terjadinya kerusuhan di Sambas tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil studi yang dilakukan oleh beberapa antropolog dan sosiolog dari UI (Kompas, 22 April 1999). Parsudi Suparlan menyimpulkan bahwa tragedi Sambas terjadi sebagai ungkapan frustasi sosial yang mendalam dan berkepanjangan yang dirasakan orang Melayu atas perbuatan sewenang-wenang orang Madura sebelumnya. Orang melayu merasa dijajah dan teraniaya di tanahnya sendiri.
Sebagaimana orang Sunda dan Jawa, orang Melayu lebih suka hidup damai, dan menghindari konflik sebaliknya, orang Madura membawa kultur kekerasan. Hal itu diperkuat oleh temuan Sardjono Yatiman, bahwa orang Madura di Sambas memiliki budaya miskin yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan, sehingga sering terjadi benturan-benturan. Untuk menyelesaikan setiap persoalan selalu dengan senjata. Di samping itu, kasus-kasus tindakan tidak terpuji dan kriminal yang sering dilakukan oleh orang Madura secara individual, banyak dibela secara kelompok dan jarang dituntaskan secara hukum.
4.1.2. Persaingan dalam Kehidupan Ekonom
Konflik Sambas didorong pula oleh persaingan di bidang lapangan kehidupan antara suku Melayu dan Dayak dengan para pendatang, khususnya orang Madura. Budhisantoso (1999) mensinyalir bahwa selain faktor budaya, meledaknya kerusuhan juga dipicu oleh tersisihnya orang Melayu dalam persaingan dalam lapangan kerja, terutama di bidang angkutan, jasa, dan perdagangan. Orang Melayu dan Dayak selama ini masih menggarap sektor tradisional, seperti pertanian dan hasil hutan. Mereka tidak sadar dan bahkan terhenyak, ketika perkembangan pembangunan telah menciptakan lapangan kerja baru yang sangat menguntungkan seperti sektor angkutan dan jasa. Sektor lebih banyak dikuasai oleh suku pendatang, terutama orang Madura.
Penguasaan sektor-sektor kehidupan baru oleh orang Madura cukup beralasan. Hal itu terjadi karena orang Melayu jarang mencoba merintis pekerjaan lain di luar sektor tradisional dan kurang gigih dalam mencapai hasil yang lebih produktif. Sebaliknya, orang Madura diakui memiliki etos kerja yang tinggi, dan cepat menangkap kesempatan baru di sektor modern.
Menyangkut etos kerja yang hebat, orang Melayu memiliki semacam opini bagi pengusaha sukses dari Madura. Misalnya terhadap pengusaha sapi dikatakan bahwa istri pertama orang itu adalah sapi, sedang yang di rumah istri kedua. Pemeo itu berlaku pula pada pengusaha Madura yang bergerak di bidang galian batu, yaitu orang itu lebih cinta batunya dibanding dengan istrinya di rumah. Hal itu menggambarkan bahwa etos kerja orang Madura sangat tinggi, karena pengusaha tersebut dari pagi hingga larut malam mengurus usahanya, sampai melupakan keluarganya. Bahkan, mereka biasa tidur bersama sapi di kandang, dan bersama tumpukan batu di tempat penggalian dengan jadwal kerja yang ketat dan bekerja keras untuk mengelola usahanya. Dalam hal etos kerja orang Madura tersebut, orang Melayu mengaku tidak dapat mengimbanginya.
Dalam konteks ini masyarakat Melayu merasa tertinggal dalam segi ekonomi, dan kesenjangan tersebut semakin lebar manakala hasil sektor tradisional tidak dapat cukup kuat untuk membiayai kehidupan akibat krisis ekonomi yang terjadi. Kesenjangan ekonomi tersebut semakin tajam, setelah petani jeruk yang sebagian besar dikuasai oleh masyarakat Sambas dan menjadi produk unggulan di wilayah tersebut bangkrut. Hampir semua tanaman jeruk dipusokan, mengingat harga jual jeruk tidak sebanding dengan biaya perawatan dan pemetikan, sehingga petani mengalami kerugian besar. Hal itu terjadi sebagai dampak adanya intervensi pemerintah melalui BCM (Bimantara Cipta Mandiri) untuk melakukan tata niaga jeruk di wilayah itu yang sangat merugikan petani, bahkan petani tidak mengurus kebunnya lagi (bangkrut). Kondisi kehidupan ekonomi masyarakat Melayu ini menambah kekalutan hidup, menambah rasa ketertindasan di wilayahnya sendiri. Kompleksitas rasa terjajah dan frustasi di kalangan masyarakat Melayu tersebut mendorong luapan kerusuhan di Sambas.
4. 2. Dampak Kerusuhan.
4.2.1.Dampak fisik
Secara fisik kerusuhan Sambas selain menghancurkan tidak kurang dari 3000 rumah, lebih dari 200 orang terbunuh, juga membakar 9 unit gedung sekolah (5 SDN, 3 MIS, 1 SMUS), 7 unit sekolah rusak (semua SDN), 14 unit rumah dinas kepala sekolah dan guru terbakar, dan 4 rumah dinas lainnya rusak. Terbakarnya ribuan rumah memusnahkan pula ijazah, buku-buku pelajaran, surat-surat penting milik warga, anak-anak, dan para guru etnis Madura. (Dampak Kerusuhan Sambas, Kanin Depdiknas Kab.Sambas 1999 ).
4.2.2. Dampak non fisik
Kecuali itu kerusuhan yang terjadi berdampak pula secara non fisik terhadap guru dan sikap mental/kejiwaan anak-anak usia sekolah di Kabupaten Sambas.
(1) Guru
Pengungsian besar-besaran orang Madura dari wilayah Sambas, tidak mengecualikan para guru keturunan Madura. Suami atau istri yang memiliki pasangan orang Madura terpaksa mengikutinya, karena kekerasan yang terjadi di Sambas tidak memandang keberadaan kawin campur antaretnis. Bersamaan dengan pengungsi lain, jumlah guru yang mengungsi seluruhnya ada 92 orang. Terbesar adalah guru SD/MI, sebanyak 69 orang, SLTP/MTs 15 orang, dan guru SMU paling sedikit, yakni 8 orang guru.
Hampir semua guru tidak memiliki apapun, kecuali hanya peristiwa kerusuhan tersebut sangat merugikan dan berdampak buruk terhadap kehidupan, kesejahteraan, dan masa depan guru (92 keluarga guru) keturunan Madura. Meski kondisinya saat ini mengenaskan, tetapi umumnya mereka menganggapnya sebagai musibah yang diatur dari atas.
Ada 2 hal dampak buruk terhadap guru yang dapat diidentifikasi yaitu:
- Pakaian sebadan. Investasi dan kekayaan dari hasil mengajar dan hasil kerja lainnya musnah terbakar. Bahkan, di antara mereka kehilangan anggota keluarga. Rumah, peralatan rumah tangga, binatang piaraan, kendaraan, alat elektronik sebagian belum lunas dari kredit, semuanya terbakar habis. Sementara ini, mereka mengungsi di berbagai lokasi, di bedeng-bedeng, GOR, Asrama Haji di Pontianak, menumpang di rumah saudara, ada pula yang mengungsi ke Madura. Beberapa guru tinggal berpindah-pindah, di tempat pengungsian, teman dan saudaranya.
Sambil menunggu perkembangan, para guru mencari penghasilan, seperti menjadi kuli bangunan, tukang becak, dan tukang kayu. Sementara itu, beberapa guru sudah difungsikan untuk mengajar anak-anak di pengungsian. Keluarga guru harus memulai kehidupan dari bawah lagi, dengan kondisi fisik dan sosial yang kurang menguntungkan. Belum tahu sampai kapan para guru dapat kembali mengajar dan mengurus tanahnya yang ditinggal di Sambas, karena hingga kini masyarakat Sambas masih menolak kehadiran orang Madura di hampir semua wilayah Sambas.
- Karier dan Kepegawaian Guru Terhambat. Tragedi kerusuhan menghambat kinerja guru karena memusnahkan juga surat-surat kepegawaian (SK Pengangkatan), ijazah, sertifikat kursus, atau penghargaan lainnya, pakaian (seragam), buku-buku, dan bahan-bahan lain untuk pengumpulan angka kredit bagi kenaikan pangkat guru. Umumnya para guru mengaku tidak sempat menyelamatkan bahan-bahan penting tersebut karena lebih mementingkan keselamatan keluarganya.
Hingga saat ini para guru belum tahu tentang bagaimana mengganti surat-surat kepegawaian tersebut sehubungan dengan kepengurusan kenaikan pangkat dan meniti kariernya. Kecuali itu, mereka tidak memiliki copy untuk bahan kenaikan jabatan. Sementara ini, pemerintah baru sampai pada tahap mengidentifikasi jumlah guru, sekolah tempat semula mereka mengajar, dan mencarikan alternatif tempat mengajar di sekitar tempat pengungsian. Sedangkan status terbakarnya surat penting untuk mengurus kepentingan administrasi kepegawaian belum dijangkau oleh para birokrasi.
(2) Siswa
Tragedi Sambas di samping berdampak pada guru juga berdampak pada sikap mental anak usia sekolah baik langsung maupun tidak langsung, yakni: (a) Terganggunya aspek kejiwaan anak usia sekolah dan (b) memburuknya persepsi dan rasa permusuhan antaretnis.
Di antara anak-anak tersebut secara langsung melihat tindakan-tindakan bengis, kejam yang dilakukan oleh massa seperti perkelahian, saling membunuh dengan menggunakan senjata tajam, pembakaran rumah dan tindakan-tindakan sadis lainnya. Hal ini jelas merupakan peristiwa-peristiwa yang memberikan pengalaman emosional yang secara langsung maupun tidak dapat mengakibatkan anak-anak menjadi traumatis.
Dari pengamatan langsung di lapangan sempat terlihat tanda-tanda traumatis terhadap diri anak tersebut misalnya: (a) mudahnya timbul rasa takut, (b) tidak mau berjumpa dengan orang lain dan (c) cemas, khawatir, dan murung.
Bahkan, seorang guru sempat menunjukkan adanya seorang siswa yang kecenderungannya terkena gangguan jiwa (orangtuanya menjadi korban pembunuhan) seperti tertawa tanpa sebab.
Fakta atau contoh lain adalah adanya seorang anak pengungsi kelas IV SD yang perilakunya aneh yaitu pada saat sekolah tidak pernah ikut pelajaran di kelas. Anak ini lebih sering berada di halaman sekolah bermain kelereng sendirian. Kalaupun anak tersebut masuk kelas setelah dibujuk oleh gurunya dan yang bersangkutan lebih banyak melamun ketimbang mengikuti pelajaran.
Contoh-contoh perilaku di atas menunjukkan adanya indikasi terjadinya tekanan bathin/tekanan jiwa yang menimpa anak-anak usia sekolah sebagai akibat tindak kekerasan yang terjadi di Kabupaten Sambas.
Dampak nonfisik lain terjadinya kerusuhan antarethnis adalah terbentuknya atau semakin buruknya persepsi anak-anak dari suku yang bertikai. Anak–anak suku Madura memiliki persepsi yang buruk terhadap teman-temannya suku Melayu, demikian sebaliknya persepsi anak-anak Melayu terhadap anak-anak etnis Madura.
Kondisi yang demikian sangatlah memprihatinkan dan perlu dicermati karena pada diri anak-anak calon generasi penerus telah tumbuh rasa kebencian terhadap sesama bangsa dan hal semacam ini dapat mengganggu upaya pemerintah dalam menggalang persatuan dan kesatuan antarsuku bangsa. Salah satu indikasi yang dapat memperkuat kekhawatiran adalah munculnya rasa kebencian di antara anak-anak dari dua suku yang bertikai. Ini terlihat dari hasil pengisian kuesioner (semacam jajak pendapat) terhadap siswa-siswa kelas V-VI di beberapa SD di Kabupaten Sambas yang dilaksanakan oleh Forum Komunikasi Pemuda Melayu (FKPM) cabang Sambas pasca kerusuhan. Hasilnya cukup mengejutkan yaitu terhadap pertanyaan tentang "Kamu anggap apa anak-anak suku Madura saat ini?" dengan di sediakan 3 pilihan jawaban yaitu: (1) sebagai sahabat, (2) sebagai teman dan (3) sebagai musuh. Jawaban responden siswa seluruhnya yang merupakan putra/putri penduduk Sambas adalah menggangap musuh terhadap anak-anak dari suku Madura yang setelah kerusuhan berada atau ditampung di beberapa perkampungan di kodya Pontianak.
Sebaliknya, bagi anak-anak usia sekolah suku Madura juga tertanam rasa permusuhan terhadap anak-anak suku Melayu karena mereka melihat sendiri perilaku anak-anak usia SLTP/SLTA yang sangat kejam dan tidak berprikemanusiaan melakukan pembantaian, pembakaran, dan pengusiran terhadap orang-orang Madura yang tinggal di Kabupaten Sambas. Terlebih lagi pada anak-anak usia sekolah suku Madura yang secara langsung mengalami nasib/musibah kehilangan orang tua, saudara yang ikut menjadi korban pembunuhan. Umumnya, mereka sangat membenci dan dendam terhadap orang-orang Melayu khususnya yang berada di Kabupaten Sambas tempat mereka dan orang tuanya semula bertempat tinggal.
4.3. Upaya penanggulangan yang telah dilakukan
Pemerintah daerah Kalimantan Barat bersama instansi terkait telah berupaya melakukan berbagai bentuk penanggulangan akibat kerusuhan, dan menangani para pengungsi etnis Madura yang keluar dari wilayah Sambas. Dalam bidang pendidikan, anak-anak pengungsi dilayani pendidikannya dengan cara menyelenggarakan pendidikan di barak pengungsian, atau menitipkannya di SD/MI, SLTP, dan SMU yang berdekatan dengan lokasi pengungsian atau penampungan sementara.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Sambas adalah salah satu contoh perseteruan antara etnis yang hingga saat ini masih saja terjadi (kasus terakhir di Kabupaten Sampit Kalimantan Tengah).
Dapat kita simak begitu luar biasanya dampak yang ditimbulkan, khususnya terhadap anak usia sekolah dan guru-gurunya sebagai bagian dari anggota masyarakat yang memikul akibatnya.
Jelas bahwa kejadian yang terjadi di Kabupaten Sambas ataupun di tempat lain yang serupa tidak dapat ditolerir dan harus segera dihentikan serta dicari pemecahannya karena dapat menjadi benih-benih pertentangan antarsuku dan sangat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa .
5.2. Saran
5.2.1 Jangka panjang
Perlu dikembangkan pola pendidikan lintas budaya agar setiap peserta didik sejak awal memperoleh bekal pemahaman yang cukup tentang norma, nilai, dan adat kebiasaan yang dianut oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Melalui cara ini diharapkan pada diri peserta didik telah tertanam rasa hormat, toleran, dan rasa pemahaman terhadap perbedaan dan keragaman budaya dalam mengembangkan hidup bersama sebagai bangsa yang beradab.
Pola pendidikan tersebut dapat diselenggarakan di lingkugan persekolahan, pesantren, madrasah, dan pendidikan luar sekolah lainnya. Di lingkungan sekolah, media pengajarannya dapat dilaksanakan dengan memadukan topik pokok bahasan yang diintegrasikan dengan mata pelajaran yang relevan seperti PPKN, Bahasa, Agama, Muatan lokal, atau kegiatan ekstra kurikuler seperti mengadakan kegiatan latihan tari-tarian berbagai suku, mengadakan pertunjukan atau pameran seni budaya .
5.2.2. Jangka pendek dan menengah
Perlunya pelayanan bimbingan/konseling dan terapi bagi anak-anak yang mengalami gangguan kejiwaan atau trauma di daerah pengungsian. Jika upaya ini tidak segera ditangani dikhawatirkan akan berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa dan kepribadian anak. Upaya bantuan dan pertolongan ini dapat dilakukan melalui kegiatan sinergis, misalnya dibentuk sebuah tim yang melibatkan sekolah, relawan, ahli dan praktisi kejiwaan (psikiater/psikolog), baik berasal dari perguruan tinggi maupun rumah sakit yang relevan, serta pihak lain yang terkait dengan bidang pendidikan dan dikoordinasikan oleh Pemda Kalbar. Dalam kegiatan ini guru dapat dilibatkan secara aktif dalam mengawasi perkembangan anak selama dalam masa bimbingan dan "perawatan".
Saran ini tidak hanya terbatas untuk pemda Kalimantan Barat, tetapi sebaiknya juga diterapkan di daerah-daerah lain yang sedang dilanda kerusuhan.
________________________________________
Pustaka Acuan
Budi Santoso. 1988. Tragedi Sambas Menurut Antropolog dan Sosiolog. Kompas.
Depdiknas, Kanin Kabupaten Sambas. 1999. Dampak Kerusuhan Sosial Sambas pada Bidang Pendidikan.
-----------------. 1994. "Kamus Bahasa Indonesia". Edisi ke 2. Jakarta.
Parsudi S. "Kompas". 22 April 1999.
Suryono S. 1988. Pengantar Sosiologi. Gramedia: Jakarta.
Tom Campbell. 1994. Tujuah Teori Sosial: Sketsa, Penilaian dan Perbandingan. Jakarta Kanisius.
Penyebab dan Dampaknya Terhadap Guru dan Siswa
( Kasus Kerusuhan di Kab. Sambas. Kalimantan Barat)
Oleh: Harry. S. Hartono*)
Abstrak : Kerusuhan antarethnis yang masih saja terjadi hingga saat ini cukup membuat prihatin dan resah seluruh anggota masyarakat dan tampaknya kerusuhan-kerusuhan ini tidak mudah untuk diatasi. Secara umum akibat yang ditimbulkan sangat besar bahkan yang tadinya lingkupnya kecil bisa sampai pada lingkup nasional yang akan berpengaruh secara nasional, baik dibidang politik, ekonomi, ataupun sosial. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh dampak yang ditimbulkan serta upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, berikut dipaparkan kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang terjadi pada Maret-April 1997. Balitbang Depdiknas pada tahun 1998/1999 telah melakukan studi dengan mengirimkan dua orang penelitinya ke daerah tersebut. Data yang diperoleh adalah hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat, kepala sekolah, guru, siswa, Kanwil dan Kandep Depdiknas setempat. Tampaknya data tersebut memberikan petunjuk serta indikasi bahwa begitu besar dampak yang ditimbulkan kerusuhan tersebut terhadap kehidupan bermasyarakat khususnya di sektor pendidikan, baik fisik mauapun non fisik.
Kata kunci: Pertentangan suku bangsa; konflik sosial, masyarakat; masalah sosial.
*) Drs. Harry S. Hartono adalah Peneliti pada Balitbang Depdiknas
1. ________________________________________
Pendahuluan
Konflik sosial yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia akhir-akhir ini cenderung semakin memuncak dan sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kondisi semacam ini harus benar-benar dicermati karena sudah mengekspresikan tidak adanya tatanan nilai atau aturan sosial yang dianut masyarakat dalam kehidupan bersama. Masyarakat semacam ini oleh Durkheim (Tom Campbell, 1994 ) disebut sebagai kondisi masyarakat Anomi karena kehidupan bermasyarakatnya sudah tidak ada bentuknya lagi.
Kerusuhan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang terjadi pada Maret hingga April 1997 merupakan salah satu bentuk atau contoh konflik sosial dimana kerusuhan tersebut merupakan klimaks dari perseteruan antara dua suku bangsa yang selama ini mendiami Kabupaten Sambas yakni suku Madura dan suku Melayu.
Perseteruan antara dua suku ini sebenarnya sudah berlangsung lama, tetapi karena suku Melayu banyak dikenal orang sebagai suku yang tidak menyenangi keributan, maka perselisihan yang sering terjadi tidak pernah berkembang menjadi konflik besar. (Tragedi Sambas menurut Antroplog dan Sosiolog , Budi Santoso, Kompas April 1998 ). Akan tetapi pada pertengahan Maret 1999, merupakan batas waktu kesabaran suku Melayu, untuk tidak memberikan toleransi dan menerima begitu saja gangguan-gangguan yang datang dari suku Madura. Akibatnya, terjadilah kerusuhan besar antara ke dua suku tersebut.
Kerusuhan antarsuku yang terjadi di Sambas merupakan salah satu kasus konflik horisontal yang berlatarbelakang SARA dan dinilai oleh para pengamat sosial sebagai suatu tragedi nasional yang menyedihkan. Peristiwa ini mengundang dua pertanyaan penting dalam kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan kebangsaan yang selama ini berlangsung di sekolah-sekolah.
Pertama, sejauhmana penyelenggaraan pendidikan selama ini berlangsung dan dapat memberikan bekal kepada peserta didik tentang wawasan kebangsaan, persatuan dan kesatuan, saling menghormati dan menghargai perbedaan suku bangsa dan agama.
Kedua, seberapa jauh konflik sosial tersebut membawa dampak buruk terhadap pendidikan khususnya terhadap anak-anak usia sekolah yang menjadi korban dari konflik tersebut?
Berkenaan dengan hal tersebut, tahun 1998/1999 Pusat Penelitian Balitbang Depdiknas telah melakukan studi yang bertujuan antara lain memperoleh gambaran tentang faktor penyebab dan dampaknya terhadap sikap mental anak (anak usia sekolah).
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dokumentasi Kanwil dan Kandep Depdiknas setempat, wawancara secara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat, pejabat, kepala sekolah, guru, siswa, dan melakukan observasi lapangan di sekolah-sekolah yang merasakan secara langsung dampak kerusuhan.
2. Kerangka Berpikir
Krisis sosial sebagaimana krisis ekonomi dan krisis lainnya perlu dicermati karena dapat berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat termasuk pendidikan. Krisis merupakan cerminan kondisi masyarakat yang tidak memiliki keseimbangan dan keteraturan dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, edisi ke-2 tahun 1994 krisis dapat diartikan sebagai cerminan kondisi berbahaya dan suram yang selanjutnya berdasarkan terminologi tersebut krisis sosial adalah keadaan berbahaya dan suram yang berhubungan dengan masyarakat.
Durkheim (Tom Campbell, 1994) menyebutkan bahwa krisis sosial adalah kondisi masyarakat "Anomie" yang sudah tidak ada tatanan nilai/aturan-aturan sosial dalam hidup bermasyarakat. Demikian halnya dengan Suryono Sukamto yang berpendapat tidak jauh berbeda yaitu menyatakan bahwa krisis sosial merupakan cerminan adanya pertentangan antara nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Suryono. S , 1988)
Krisis sosial yang terjadi menurut beberapa pakar sosiologi proses kejadiannya dapat bermula dari sejumlah krisis dalam masyarakat tetapi juga krisis sosial tersebut sudah ada sejak dahulu. Apapun penyebab krisis sosial yang melanda masyarakat, krisis sosial pada waktu tertentu dapat memberikan sumbangan terhadap terjadinya perubahan perilaku yang negatif pada anggota masyarakat baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Gejala penyimpangan perilaku ini sangat perlu untuk dicermati karena dapat menyebabkan merosotnya semangat kebersamaan, toleransi, dan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, fenomena ini perlu diantisipasi dan dikaji dalam rangka mencari upaya agar tidak terjadi lagi. Salah satu cara adalah dengan melakukan pendidikan sosial budaya khususnya bagi kalangan generasi muda calon pemimpin bangsa di lembaga-lembaga persekolahan baik formal ataupun non formal.
Maksud dan tujuan pendidikan lintas budaya ini adalah agar tetap terpeliharanya rasa kesatuan dan sekaligus meningkatkan semangat kebersamaan antaranggota masyarakat dalam hidup bersama, berbangsa dan bernegara dalam lingkup persatuan bangsa.
Keterlibatan anggota masyarakat pada kasus kerusuhan yang dilatarbelakangi oleh isu SARA di berbagai daerah akhir-akhir ini menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya toleransi, rasa kemanusiaan, dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Faktor penyebabnya antara lain lingkungan masyarakatnya sendiri yang baik sengaja maupun tidak sengaja ikut berperan dalam mensosialisasikan cara-cara kehidupan yang yang kurang baik.
Pada hakekatnya seluruh anggota masyarakat mengalami proses pembelajaran terhadap segala sesuatu yang berlangsung di lingkungannya yang kemudian menginternalisasikan ke dalam diri dan menggunakannya sebagai orientasi atau pedoman tingkah laku mereka.
Kondisi semacam ini dapat menyebabkan masyarakat berada dalam kekecewaan/kebingungan karena menghadapi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus dan pada kenyataannya masyarakat tersebut tidak mampu menilai secara jernih mana perilaku yang "salah" dan "benar", maka akan sangat potensial melahirkan tindakan-tindakan yang mengarah pada perilaku agresif (tindak kekerasan) yang akan dapat menimbulkan pertentangan/perselisihan.
Skema berpikir dampak kerusuhan
Fisik
Non Fisik
Kerugian yang dialami masyarakat sebagai dampak dari timbulnya pertentangan tersebut antara lain adalah di bidang pendidikan. Kebakaran, kerusakan terjadi dimana-mana. Ketakutan memaksa mereka untuk mengungsi ke tempat-tempat yang dianggapnya aman tidak terkecuali dengan guru dan siswanya. Di sisi lain, perselisihan yang terjadi juga berdampak pada sikap/mental anak-anak usia sekolah yakni anak-anak menjadi trauma dengan kejadian yang dilihat atau dialaminya. Pada diri anak-anak telah tertanam rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang lain yang jika dibiarkan lambat laun akan dapat menjadi benih-benih disintegrasi bangsa.
3. Keterbatasan Studi
Keterbatasan pada saat kegiatan pengumpulan data yaitu kami tidak diijinkan untuk bertemu dengan orang-orang suku Madura yang ada di tempat-tempat pengungsian karena alasan keamanan. Padahal informasi dari suku Madura sangat penting dalam rangka mengklarifikasi atau menyeimbangkan data yang diperoleh dari suku Melayu. Oleh karena itu, kami menyadari bahwa informasi yang diperoleh kemungkinan bias karena hanya berasal dari satu pihak saja yaitu suku Melayu.
4. Temuan Studi
Informasi yang diperoleh tentang dampak kerusuhan dapat dikatagorikan menjadi 2, yaitu dampak fisik dan non fisik (sikap mental guru dan siswa). Berikut secara rinci uraian tentang penyebab dan dampak kerusuhan tersebut.
4.1 Penyebab Kerusuhan
Terjadinya tragedi Sambas, paling sedikit disebabkan oleh dua hal, pertama faktor perbenturan kultur antara suku bangsa Melayu dengan suku bangsa pendatang, dan kedua adalah persaingan dalam menguasai sektor-sektor kehidupan ekonomi. Dari dua faktor tersebut, faktor perbenturan kultur tampaknya merupakan faktor yang dominan sebagai penyebab kerusuhan tersebut.
4.1.1. Perbenturan Budaya
Kerusuhan Sambas merupakan ungkapan dari akumulasi frustrasi di kalangan masyarakat Melayu terhadap sikap dan perilaku suku Madura yang mudah menggunakan kultur kekerasan, mudah melanggar janji, dan memandang remeh dalam berhubungan sosial antaretnis. Sebaliknya, kultur Melayu dipahami memiliki budaya yang bertolakbelakang dengan orang Madura. Dalam berhubungan sosial orang Melayu selalu menghindari terjadinya konflik, hidup damai, sabar, dan lebih senang mengalah, serta berusaha mengembangkan harmoni kehidupan (Tragedi Sambas menurut antropolog dan sosiolog, Kompas 22 April 1999). Benturan kultur tersebut sebenarnya telah lama terjadi, di satu sisi orang Madura dengan pendekatan "kekerasan" selalu dalam posisi unggul, di sisi lain orang Melayu selalu dikalahkan. Lambat laun masyarakat Melayu menerima perlakukan tersebut sebagai penjajahan dan merendahkan harga diri.
Hubungan sosial antara masyarakat suku bangsa Melayu (dan Dayak) dengan suku bangsa Madura sudah sejak lama tidak harmonis, bahkan sering terjadi perselisihan baik secara individual maupun kelompok. Di satu pihak suku Melayu menganggap bahwa sumber konflik terjadi karena perilaku orang-orang Madura tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat suku Melayu dan Dayak. Kecuali itu, dalam persepsi orang Melayu orang Madura dinilai gampang melanggar hukum, seperti mengambil milik orang melayu, menyerobot tanah, arogan, menangnya sendiri, dan mudah menggunakan senjata tajam (clurit), serta membawa kelompoknya dalam menyelesaikan hampir pada setiap konflik. Para pendatang dinilai tidak dapat menyesuaikan adat dan kebudayaan setempat.
Dalam persepsi masyarakat Melayu, banyak nilai-nilai budaya suku bangsa Madura (terutama dari daerah asal tertentu di Madura) bertentangan dengan budaya setempat. Masyarakat Melayu yang jengkel, cemas, dan takut jika terjadi konflik dengan etnis Madura. Perbenturan sering terjadi, manakala orang Melayu sering tidak mengerti argumen pembelaan sepihak yang disampaikan secara culas, sombong, dan arogan dari orang-orang Madura, serta cenderung menyelesaikan persoalan dengan kekerasan (Carok atau menggunakan clurit).
Argumen yang dipandang aneh yang sering didengar dalam perselisihan yang menyangkut tanah, tanaman, kasus pencurian, dan bahkan terjadi pula dalam kepentingan sekolah. Berbagai pengalaman menyangkut hubungan sosial yang sering menjadi sumber konflik tercermin dalam ungkapan orang Madura, seperti dituturkan oleh orang-orang Melayu, seperti berikut ini.
(1) Buah-buahan dan rumput di kebun tumbuh karena Tuhan. Maka jangan disalahkan kalau orang mengambil buahnya, dan sapi memakan rumputnya".
(2) Dalam kasus pencurian barang di pekarangan orang Melayu yang diketahui pelakunya orang Madura, selalu dikemukakan bahwa orang Madura diperbolehkan mengambil barang-barang di luar rumah, jika memang pemiliknya sudah berkecukupan. Pencurian ayam yang dipastikan selalu dilakukan oleh orang Madura, sampai menimbulkan semacam pemeo sewaktu masih kecil milik orang Melayu, setelah besar (berharga) milik orang Madura.
(3) Jika pencurian terjadi di dalam rumah, selalu muncul alasan bahwa mengambil milik orang lain di dalam rumah diperbolehkan, asal pemiliknya memperbolehkannya. Maka jika tertangkap, orang Madura hanya mengembalikan barang itu, karena menganggap pemiliknya melarang barang itu diambil.
Berbagai kasus tersebut memberikan pengalaman buruk terhadap masyarakat Melayu. Apalagi setiap konflik orang Madura selalu menghadapi dan menyelesaikannya dengan sikap arogansi dan kekerasan. Penyelesaian konflik sudah dicoba dengan cara musyawarah dan perdamaian, namun tidak pernah membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Hal itu terjadi karena orang Madura sebagai suku pendatang mudah mengingkari janji. Berkali-kali telah dilakukan janji perdamaian antara suku bangsa Madura dengan Melayu (dan Dayak) agar di antara mereka tidak saling memusuhi, menyerang, dan membunuh, selalu dengan mudah dilanggar.
Dalam catatan tokoh masyarakat Melayu dan Dayak, diketahui bahwa sejak tahun 1951 sudah sekitar 27 kali orang Madura melanggar perjanjian yang telah disepakati dengan suku Melayu dan Dayak. Bahkan di Kecamatan Salamantan (komunitas suku Dayak) pada tahun 1971 telah dibangun tugu perdamaian, tetapi hal itu tidak dapat mencegah tindakan kekerasan dan pembunuhan orang Madura terhadap suku Dayak dan Melayu. Sedangkan dalam kebiasaan suku Dayak, setiap perjanjian yang melibatkan kepala suku pantang untuk dilanggar oleh karena telah dimintakan izin dan diketahui oleh roh nenek moyangnya. Sehingga jika dilanggar akan terjadi kemarahan yang tidak terkendali dan akan melakukan tindakan-tindakan yang tidak masuk akal.
Persepsi orang Melayu sampai meledaknya kerusuhan dipicu pula oleh anggapan bahwa dalam hubungan sosial mereka selalu diremehkan oleh orang Madura. Sikap mengalah, menghindari konflik, dan senantiasa bersikap sabar dalam memecahkan permasalahan justru dianggap sebagai karakter yang lemah. Hal itu tercermin dari uangkapan yang muncul dalam pergaulan, misalnya orang Madura sering mengungkapkan bahwa orang Melayu bermental krupuk, atau orang melayu sebagai ayam sayur dsb. yang bermakna sebagai tuduhan tidak memiliki sikap pemberani, takut terhadap suku bangsa lainnya. Persepsi seperti itu menimbulkan sakit hati yang mendalam, dan secara akumulatif menumbuhkan rasa dendam.
Dari segi lain, pemukiman dan pergaulan orang Madura dinilai sangat eksklusif. Mereka umumnya bermukim hanya dalam kelompok orang Madura, berdasarkan asal daerah tertentu di Madura. Membangun madrasah dan Masjid/ Mushola sendiri dan hanya diperuntukkan bagi kelompoknya. Meskipun, di dekat pemukiman telah ada tempat beribadah, jarang sekali ada orang madura yang memanfaatkannya, dan lebih senang membangun sendiri untuk kelompoknya.
Dalam hubungan bisnis, jalinan hubungan juga lebih banyak hanya dilakukan antarkelompoknya. Dalam kasus dimana warganya terlibat kasus perselisihan dan kriminal, kelompok tersebut selalu membelanya tanpa mempedulikan salah/benarnya perkara yang terjadi. Pola pergaulan dan pemukiman tersebut menutup komunikasi dengan masyarakat Melayu, dan berbagai perkara tidak dapat terselesaikan dengan tuntas.
Beberapa temuan tentang penyebab terjadinya kerusuhan di Sambas tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil studi yang dilakukan oleh beberapa antropolog dan sosiolog dari UI (Kompas, 22 April 1999). Parsudi Suparlan menyimpulkan bahwa tragedi Sambas terjadi sebagai ungkapan frustasi sosial yang mendalam dan berkepanjangan yang dirasakan orang Melayu atas perbuatan sewenang-wenang orang Madura sebelumnya. Orang melayu merasa dijajah dan teraniaya di tanahnya sendiri.
Sebagaimana orang Sunda dan Jawa, orang Melayu lebih suka hidup damai, dan menghindari konflik sebaliknya, orang Madura membawa kultur kekerasan. Hal itu diperkuat oleh temuan Sardjono Yatiman, bahwa orang Madura di Sambas memiliki budaya miskin yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan, sehingga sering terjadi benturan-benturan. Untuk menyelesaikan setiap persoalan selalu dengan senjata. Di samping itu, kasus-kasus tindakan tidak terpuji dan kriminal yang sering dilakukan oleh orang Madura secara individual, banyak dibela secara kelompok dan jarang dituntaskan secara hukum.
4.1.2. Persaingan dalam Kehidupan Ekonom
Konflik Sambas didorong pula oleh persaingan di bidang lapangan kehidupan antara suku Melayu dan Dayak dengan para pendatang, khususnya orang Madura. Budhisantoso (1999) mensinyalir bahwa selain faktor budaya, meledaknya kerusuhan juga dipicu oleh tersisihnya orang Melayu dalam persaingan dalam lapangan kerja, terutama di bidang angkutan, jasa, dan perdagangan. Orang Melayu dan Dayak selama ini masih menggarap sektor tradisional, seperti pertanian dan hasil hutan. Mereka tidak sadar dan bahkan terhenyak, ketika perkembangan pembangunan telah menciptakan lapangan kerja baru yang sangat menguntungkan seperti sektor angkutan dan jasa. Sektor lebih banyak dikuasai oleh suku pendatang, terutama orang Madura.
Penguasaan sektor-sektor kehidupan baru oleh orang Madura cukup beralasan. Hal itu terjadi karena orang Melayu jarang mencoba merintis pekerjaan lain di luar sektor tradisional dan kurang gigih dalam mencapai hasil yang lebih produktif. Sebaliknya, orang Madura diakui memiliki etos kerja yang tinggi, dan cepat menangkap kesempatan baru di sektor modern.
Menyangkut etos kerja yang hebat, orang Melayu memiliki semacam opini bagi pengusaha sukses dari Madura. Misalnya terhadap pengusaha sapi dikatakan bahwa istri pertama orang itu adalah sapi, sedang yang di rumah istri kedua. Pemeo itu berlaku pula pada pengusaha Madura yang bergerak di bidang galian batu, yaitu orang itu lebih cinta batunya dibanding dengan istrinya di rumah. Hal itu menggambarkan bahwa etos kerja orang Madura sangat tinggi, karena pengusaha tersebut dari pagi hingga larut malam mengurus usahanya, sampai melupakan keluarganya. Bahkan, mereka biasa tidur bersama sapi di kandang, dan bersama tumpukan batu di tempat penggalian dengan jadwal kerja yang ketat dan bekerja keras untuk mengelola usahanya. Dalam hal etos kerja orang Madura tersebut, orang Melayu mengaku tidak dapat mengimbanginya.
Dalam konteks ini masyarakat Melayu merasa tertinggal dalam segi ekonomi, dan kesenjangan tersebut semakin lebar manakala hasil sektor tradisional tidak dapat cukup kuat untuk membiayai kehidupan akibat krisis ekonomi yang terjadi. Kesenjangan ekonomi tersebut semakin tajam, setelah petani jeruk yang sebagian besar dikuasai oleh masyarakat Sambas dan menjadi produk unggulan di wilayah tersebut bangkrut. Hampir semua tanaman jeruk dipusokan, mengingat harga jual jeruk tidak sebanding dengan biaya perawatan dan pemetikan, sehingga petani mengalami kerugian besar. Hal itu terjadi sebagai dampak adanya intervensi pemerintah melalui BCM (Bimantara Cipta Mandiri) untuk melakukan tata niaga jeruk di wilayah itu yang sangat merugikan petani, bahkan petani tidak mengurus kebunnya lagi (bangkrut). Kondisi kehidupan ekonomi masyarakat Melayu ini menambah kekalutan hidup, menambah rasa ketertindasan di wilayahnya sendiri. Kompleksitas rasa terjajah dan frustasi di kalangan masyarakat Melayu tersebut mendorong luapan kerusuhan di Sambas.
4. 2. Dampak Kerusuhan.
4.2.1.Dampak fisik
Secara fisik kerusuhan Sambas selain menghancurkan tidak kurang dari 3000 rumah, lebih dari 200 orang terbunuh, juga membakar 9 unit gedung sekolah (5 SDN, 3 MIS, 1 SMUS), 7 unit sekolah rusak (semua SDN), 14 unit rumah dinas kepala sekolah dan guru terbakar, dan 4 rumah dinas lainnya rusak. Terbakarnya ribuan rumah memusnahkan pula ijazah, buku-buku pelajaran, surat-surat penting milik warga, anak-anak, dan para guru etnis Madura. (Dampak Kerusuhan Sambas, Kanin Depdiknas Kab.Sambas 1999 ).
4.2.2. Dampak non fisik
Kecuali itu kerusuhan yang terjadi berdampak pula secara non fisik terhadap guru dan sikap mental/kejiwaan anak-anak usia sekolah di Kabupaten Sambas.
(1) Guru
Pengungsian besar-besaran orang Madura dari wilayah Sambas, tidak mengecualikan para guru keturunan Madura. Suami atau istri yang memiliki pasangan orang Madura terpaksa mengikutinya, karena kekerasan yang terjadi di Sambas tidak memandang keberadaan kawin campur antaretnis. Bersamaan dengan pengungsi lain, jumlah guru yang mengungsi seluruhnya ada 92 orang. Terbesar adalah guru SD/MI, sebanyak 69 orang, SLTP/MTs 15 orang, dan guru SMU paling sedikit, yakni 8 orang guru.
Hampir semua guru tidak memiliki apapun, kecuali hanya peristiwa kerusuhan tersebut sangat merugikan dan berdampak buruk terhadap kehidupan, kesejahteraan, dan masa depan guru (92 keluarga guru) keturunan Madura. Meski kondisinya saat ini mengenaskan, tetapi umumnya mereka menganggapnya sebagai musibah yang diatur dari atas.
Ada 2 hal dampak buruk terhadap guru yang dapat diidentifikasi yaitu:
- Pakaian sebadan. Investasi dan kekayaan dari hasil mengajar dan hasil kerja lainnya musnah terbakar. Bahkan, di antara mereka kehilangan anggota keluarga. Rumah, peralatan rumah tangga, binatang piaraan, kendaraan, alat elektronik sebagian belum lunas dari kredit, semuanya terbakar habis. Sementara ini, mereka mengungsi di berbagai lokasi, di bedeng-bedeng, GOR, Asrama Haji di Pontianak, menumpang di rumah saudara, ada pula yang mengungsi ke Madura. Beberapa guru tinggal berpindah-pindah, di tempat pengungsian, teman dan saudaranya.
Sambil menunggu perkembangan, para guru mencari penghasilan, seperti menjadi kuli bangunan, tukang becak, dan tukang kayu. Sementara itu, beberapa guru sudah difungsikan untuk mengajar anak-anak di pengungsian. Keluarga guru harus memulai kehidupan dari bawah lagi, dengan kondisi fisik dan sosial yang kurang menguntungkan. Belum tahu sampai kapan para guru dapat kembali mengajar dan mengurus tanahnya yang ditinggal di Sambas, karena hingga kini masyarakat Sambas masih menolak kehadiran orang Madura di hampir semua wilayah Sambas.
- Karier dan Kepegawaian Guru Terhambat. Tragedi kerusuhan menghambat kinerja guru karena memusnahkan juga surat-surat kepegawaian (SK Pengangkatan), ijazah, sertifikat kursus, atau penghargaan lainnya, pakaian (seragam), buku-buku, dan bahan-bahan lain untuk pengumpulan angka kredit bagi kenaikan pangkat guru. Umumnya para guru mengaku tidak sempat menyelamatkan bahan-bahan penting tersebut karena lebih mementingkan keselamatan keluarganya.
Hingga saat ini para guru belum tahu tentang bagaimana mengganti surat-surat kepegawaian tersebut sehubungan dengan kepengurusan kenaikan pangkat dan meniti kariernya. Kecuali itu, mereka tidak memiliki copy untuk bahan kenaikan jabatan. Sementara ini, pemerintah baru sampai pada tahap mengidentifikasi jumlah guru, sekolah tempat semula mereka mengajar, dan mencarikan alternatif tempat mengajar di sekitar tempat pengungsian. Sedangkan status terbakarnya surat penting untuk mengurus kepentingan administrasi kepegawaian belum dijangkau oleh para birokrasi.
(2) Siswa
Tragedi Sambas di samping berdampak pada guru juga berdampak pada sikap mental anak usia sekolah baik langsung maupun tidak langsung, yakni: (a) Terganggunya aspek kejiwaan anak usia sekolah dan (b) memburuknya persepsi dan rasa permusuhan antaretnis.
Di antara anak-anak tersebut secara langsung melihat tindakan-tindakan bengis, kejam yang dilakukan oleh massa seperti perkelahian, saling membunuh dengan menggunakan senjata tajam, pembakaran rumah dan tindakan-tindakan sadis lainnya. Hal ini jelas merupakan peristiwa-peristiwa yang memberikan pengalaman emosional yang secara langsung maupun tidak dapat mengakibatkan anak-anak menjadi traumatis.
Dari pengamatan langsung di lapangan sempat terlihat tanda-tanda traumatis terhadap diri anak tersebut misalnya: (a) mudahnya timbul rasa takut, (b) tidak mau berjumpa dengan orang lain dan (c) cemas, khawatir, dan murung.
Bahkan, seorang guru sempat menunjukkan adanya seorang siswa yang kecenderungannya terkena gangguan jiwa (orangtuanya menjadi korban pembunuhan) seperti tertawa tanpa sebab.
Fakta atau contoh lain adalah adanya seorang anak pengungsi kelas IV SD yang perilakunya aneh yaitu pada saat sekolah tidak pernah ikut pelajaran di kelas. Anak ini lebih sering berada di halaman sekolah bermain kelereng sendirian. Kalaupun anak tersebut masuk kelas setelah dibujuk oleh gurunya dan yang bersangkutan lebih banyak melamun ketimbang mengikuti pelajaran.
Contoh-contoh perilaku di atas menunjukkan adanya indikasi terjadinya tekanan bathin/tekanan jiwa yang menimpa anak-anak usia sekolah sebagai akibat tindak kekerasan yang terjadi di Kabupaten Sambas.
Dampak nonfisik lain terjadinya kerusuhan antarethnis adalah terbentuknya atau semakin buruknya persepsi anak-anak dari suku yang bertikai. Anak–anak suku Madura memiliki persepsi yang buruk terhadap teman-temannya suku Melayu, demikian sebaliknya persepsi anak-anak Melayu terhadap anak-anak etnis Madura.
Kondisi yang demikian sangatlah memprihatinkan dan perlu dicermati karena pada diri anak-anak calon generasi penerus telah tumbuh rasa kebencian terhadap sesama bangsa dan hal semacam ini dapat mengganggu upaya pemerintah dalam menggalang persatuan dan kesatuan antarsuku bangsa. Salah satu indikasi yang dapat memperkuat kekhawatiran adalah munculnya rasa kebencian di antara anak-anak dari dua suku yang bertikai. Ini terlihat dari hasil pengisian kuesioner (semacam jajak pendapat) terhadap siswa-siswa kelas V-VI di beberapa SD di Kabupaten Sambas yang dilaksanakan oleh Forum Komunikasi Pemuda Melayu (FKPM) cabang Sambas pasca kerusuhan. Hasilnya cukup mengejutkan yaitu terhadap pertanyaan tentang "Kamu anggap apa anak-anak suku Madura saat ini?" dengan di sediakan 3 pilihan jawaban yaitu: (1) sebagai sahabat, (2) sebagai teman dan (3) sebagai musuh. Jawaban responden siswa seluruhnya yang merupakan putra/putri penduduk Sambas adalah menggangap musuh terhadap anak-anak dari suku Madura yang setelah kerusuhan berada atau ditampung di beberapa perkampungan di kodya Pontianak.
Sebaliknya, bagi anak-anak usia sekolah suku Madura juga tertanam rasa permusuhan terhadap anak-anak suku Melayu karena mereka melihat sendiri perilaku anak-anak usia SLTP/SLTA yang sangat kejam dan tidak berprikemanusiaan melakukan pembantaian, pembakaran, dan pengusiran terhadap orang-orang Madura yang tinggal di Kabupaten Sambas. Terlebih lagi pada anak-anak usia sekolah suku Madura yang secara langsung mengalami nasib/musibah kehilangan orang tua, saudara yang ikut menjadi korban pembunuhan. Umumnya, mereka sangat membenci dan dendam terhadap orang-orang Melayu khususnya yang berada di Kabupaten Sambas tempat mereka dan orang tuanya semula bertempat tinggal.
4.3. Upaya penanggulangan yang telah dilakukan
Pemerintah daerah Kalimantan Barat bersama instansi terkait telah berupaya melakukan berbagai bentuk penanggulangan akibat kerusuhan, dan menangani para pengungsi etnis Madura yang keluar dari wilayah Sambas. Dalam bidang pendidikan, anak-anak pengungsi dilayani pendidikannya dengan cara menyelenggarakan pendidikan di barak pengungsian, atau menitipkannya di SD/MI, SLTP, dan SMU yang berdekatan dengan lokasi pengungsian atau penampungan sementara.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Sambas adalah salah satu contoh perseteruan antara etnis yang hingga saat ini masih saja terjadi (kasus terakhir di Kabupaten Sampit Kalimantan Tengah).
Dapat kita simak begitu luar biasanya dampak yang ditimbulkan, khususnya terhadap anak usia sekolah dan guru-gurunya sebagai bagian dari anggota masyarakat yang memikul akibatnya.
Jelas bahwa kejadian yang terjadi di Kabupaten Sambas ataupun di tempat lain yang serupa tidak dapat ditolerir dan harus segera dihentikan serta dicari pemecahannya karena dapat menjadi benih-benih pertentangan antarsuku dan sangat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa .
5.2. Saran
5.2.1 Jangka panjang
Perlu dikembangkan pola pendidikan lintas budaya agar setiap peserta didik sejak awal memperoleh bekal pemahaman yang cukup tentang norma, nilai, dan adat kebiasaan yang dianut oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Melalui cara ini diharapkan pada diri peserta didik telah tertanam rasa hormat, toleran, dan rasa pemahaman terhadap perbedaan dan keragaman budaya dalam mengembangkan hidup bersama sebagai bangsa yang beradab.
Pola pendidikan tersebut dapat diselenggarakan di lingkugan persekolahan, pesantren, madrasah, dan pendidikan luar sekolah lainnya. Di lingkungan sekolah, media pengajarannya dapat dilaksanakan dengan memadukan topik pokok bahasan yang diintegrasikan dengan mata pelajaran yang relevan seperti PPKN, Bahasa, Agama, Muatan lokal, atau kegiatan ekstra kurikuler seperti mengadakan kegiatan latihan tari-tarian berbagai suku, mengadakan pertunjukan atau pameran seni budaya .
5.2.2. Jangka pendek dan menengah
Perlunya pelayanan bimbingan/konseling dan terapi bagi anak-anak yang mengalami gangguan kejiwaan atau trauma di daerah pengungsian. Jika upaya ini tidak segera ditangani dikhawatirkan akan berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa dan kepribadian anak. Upaya bantuan dan pertolongan ini dapat dilakukan melalui kegiatan sinergis, misalnya dibentuk sebuah tim yang melibatkan sekolah, relawan, ahli dan praktisi kejiwaan (psikiater/psikolog), baik berasal dari perguruan tinggi maupun rumah sakit yang relevan, serta pihak lain yang terkait dengan bidang pendidikan dan dikoordinasikan oleh Pemda Kalbar. Dalam kegiatan ini guru dapat dilibatkan secara aktif dalam mengawasi perkembangan anak selama dalam masa bimbingan dan "perawatan".
Saran ini tidak hanya terbatas untuk pemda Kalimantan Barat, tetapi sebaiknya juga diterapkan di daerah-daerah lain yang sedang dilanda kerusuhan.
________________________________________
Pustaka Acuan
Budi Santoso. 1988. Tragedi Sambas Menurut Antropolog dan Sosiolog. Kompas.
Depdiknas, Kanin Kabupaten Sambas. 1999. Dampak Kerusuhan Sosial Sambas pada Bidang Pendidikan.
-----------------. 1994. "Kamus Bahasa Indonesia". Edisi ke 2. Jakarta.
Parsudi S. "Kompas". 22 April 1999.
Suryono S. 1988. Pengantar Sosiologi. Gramedia: Jakarta.
Tom Campbell. 1994. Tujuah Teori Sosial: Sketsa, Penilaian dan Perbandingan. Jakarta Kanisius.
Jeruk Sambas Kalbar
JERUK SAMBAS
KOMODITAS UNGGULAN KEBUDAYAAN AGRARIS
TANAH KHATULISTIWA KALBAR
Disusun Oleh
Assakinah
Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pontianak
Jln. Kalimantan Pontianak, telp. 734983
Pontianak
2009
JERUK SAMBAS
KOMODITAS UNGGULAN KEBUDAYAAN AGRARIS
TANAH KHATULISTIWA KALBAR
Ada Apa dengan Flora dan Jeruk Sambas di Kalimantan Barat ?
Indonesia dari dulu dikenal sebagai paru-paru dunia karena termasuk sebagai salah satu negara yang memiliki jenis flora terbanyak. Salah satu penyumbang varietas flora terbanyak ialah Kalimantan Barat yang juga dikenal dengan Bumi Khatulistiwa karena berada tepat pada 0o Lintang Utara. Banyaknya varietas tersebut mungkin disebabkan oleh wilayah Kalimantan yang merupakan pulau terluas di Indonesia. Yakni lebih kurang seluas 743.330 km2 (Badan Geografis dalam wapedia.mobi/id/Pulau_Kalimantan).
Dapat kita lihat, dengan banyaknya pecinta flora yang memburu berbagai jenis tanaman yang hanya berinduk di tanah Kalimantan. Contohnya, tanaman anggrek bulan ataupun anggrek hitam yang langka. Selain itu juga ada kelapa sawit yang menjadi komoditas subsektor yang banyak jadi incaran investor dan juga lidah buaya yang merupakan hasil potensi alam yang siap menjadi produk unggulan Kalimantan Barat. Hal tersebut didukung oleh wilayah yang cukup luas. Dengan modal utama berupa komoditas dan tanah yang luas sudah seharusnya Kalimantan Barat meimiliki komoditas unggulan yang siap dilepas ke pasar internasional (Go International). Maka dari itu, kita sebagai generasi muda harus siap untuk mengembangkan kebudayaan agraris.
Dalam sejarahnya, Kalimantan Barat memiliki primadona dunia berupa produk agraris seperti karet dan kopra. Bahkan pada abad ke-20, karet Kalimantan Barat menjadi komoditas ekspor utama. Tapi sayangnya, karena permintaan dunia menurun maka pembudidayaan tanaman tersebut juga ikut menurun. Akibatnya, Kalimantan Barat hampir kehilangan primadona produk agraris tersebut.
Tapi tenang saja, masyarakat Kalimantan Barat tidak berhenti sampai disini karena di Kabupaten Sambas para petani mulai mengembangkan hasil produksi jeruk yang memiliki kadar vitramin C dan A yang cukup tinggi. Kabupaten Sambas yang kini terkenal sebagai Sentra Jeruk Pontianak dalam sejarahnya pernah mencapai masa keemasan pada 1992. Bahkan, produksi jeruk yang melimpah ini telah didistribusikan ke Pulau Jawa (www.damandiri.or.id/detail.php).
Permasalahannya kini, mengapa Jeruk Sambas tidak seperti karet dan koprah yang menjadi primadona pada zaman Hindia-Belanda? Tentu saja jawabannya adalah ketidakpedulian banyak orang untuk mengembangkan jeruk. Jika begitu, mengapa tidak kita saja sebagai generasi penerus bangsa yang mengembangkannya? Apa pula yang terjadi dengan petani dan pemerintah? Di mana pula peran masyarakat untuk mewujudkan kembali Kalimantan Barat yang memiliki primadona flora? Walaupun begitu ternyata di Kabupaten Sambas jeruk ini telah dibudidayakan secara luas dan turun-temurun dari generasi ke generasi tidak hanya oleh orang-orang tua melainkan pula oleh generasi muda. Itu menunjukkan bahwa pembudidayaan jeruk Sambas di Kabupaten Sambas merupakan suatu bentuk budaya agraris yang tertanam hingga kini.
Penulis percaya jeruk Sambas bisa menjadi produk unggulan yang akan dikenal oleh masyarakat luar tidak hanya sebagai produk konsumsi tetapi juga produk industri di dalam dan luar negri. Tanaman ini bisa lebih mendunia jika dapat memberikan jaminan keuntungan bagi para investor karena suatu produk yang dianggap sebagai komoditas unggulan berarti bernilai tinggi di mata konsumen. Dengan begitu, petani-petani jeruk Sambas tidak lagi kesusahan dalam mencari modal. Hal itu juga akan mencegah permonopolian harga yang sering menyebabkan harga jeruk menjadi rendah serta menurunkan dan menghancurkan produksi jeruk.
Citrus nobilis var. microcarpa Siap ke Pasar Internasional
a. Yun Kun Sang Pembawa Bibit
Sejarahnya, pengembangan jeruk Siam yang kemudian di daerah Kalimantan Barat dikenal dengan jeruk Sambas ataupun di luar Kailmantan Barat disebut jeruk Pontianak telah dilakukan sejak tahun 1936 di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. Bibitnya berasal dari negara Republik Rakyat Cina yang di bawa oleh Yun Kun, Bun Kim, dan Bon Kim In di Desa Segaran. Adapun pengembangannya dilakukan oleh H. A. Rani dan Lim Kim Sim di Desa Bekut pada tahun 1994 (Sarwono, 1986:14). Hingga awal tahun 1950 jeruk siam telah berhasil dibudidayakan hingga mencapai 1.000 ha. Namun, pada tahun 1960 hasil jeruk Sambas mengalami penurunan karena sebagian besar pohon jeruk ditebangi yang terserang wabah penyakit berupa penyakit getah jeruk dan beberapa hama-hama tanaman yang juga turut serta menghambat tumbuhnya jeruk Sambas.
Pada tahun 1979 perkebunan jeruk dikembangkan kembali sampai tahun 1996 hingga mengalami masa kejayaan dengan mencapai 10.000 ha yang berproduksi 26.000 ton per tahun. Setelah itu masih di tahun yang sama produksinya jeruk ini mulai anjlok akibat monopoli sistem tata niaga jeruk yang menyebabkan harga ditingkat petani jatuh serta total pendapatan pun tidak cukup membiayai pengeluaran. Oleh karena itu, para petani membiarkan pohon jeruk mereka merangas mati yang juga diperparah dengan datangnya hama penyakit (http://id.wikipedia.org/wiki/Jeruk_pontianak).
Berdasarkan rencana pengembangan produk unggulan daerah Kabupaten Sambas, untuk pengembangan komoditas jeruk pemerintah mengizinkan dibukanya 7.844 ha yang masih mungkin diperluas.
b. Bagaimana Cara Penanaman Jeruk Sambas?
Tahukah kalian bahwa jeruk Sambas memiliki hasil produksi yang sangat banyak! Walaupun tidak hanya tumbuh di Kalimantan Barat jeruk Sambas ini lebih subur dan hasil produksinya lebih banyak jika di hasilkan dari tanah khatulistiwa. Hal itu dikarenakan jeruk ini lebih menyukai air tanah yang tidak terlalu dalam seperti di Tebas, Kabupaten Sambas yang tidak jauh dari laut karena jeruk Sambas akan menghasilkan buah yang lebih baik jika berada 700 meter di atas permukaan laut serta dengan pH tanahnya 5-7,5. Selain itu, jeruk ini memerlukan banyak sinar matahari sebab jika daerah penanamannya memiliki udara yang lembab maka pembuahan akan terhambat oleh serangan hama terutama kutu perisai dan kutu-kutu penghisap lainnya (Tim Penulis PS, 2005:12).
Adapun mengenai proses pembibitan jeruk dilakukan dengan pemilihan cangkokan dari pohon jeruk yang sehat atau subur dan berasal dari benih pohon jeruk yang baik atau pohon yang masih produktif. Cangkokan yang diambil dari pohon jeruk tersebut, sudah berakar yang cukup kuat untuk kelangsungan hidupnya, serta disemaikan pada areal persemaian yang telah disiapkan atau dengan memakai kantong polibek yanng telah si dengan tanah yang telah digemburkan. Selain itu, apabila umur persemaian sudah mencapai 2-3 bulan, cangkokan tersebut sudah kelihatan bertunas dan berdaun yang subur, maka pada saat itulah dapat dipindahkan ke lokasi areal perkebunan.
Sebulan sebelum persemaian dipindahkan ke lokasi perkebunan, areal perkebunan sudah harus diolah dengan persiapan seperti pembuatan terumbu’ (tanah yang ditinggikan).
Sementara proses penanamannya, petani Sambas memiliki cara yang unik yaitu dengan sistem terumbu’. Terumbu’ adalah tanah yang ditinggikan yang berupa tumpukan-tumpukan tanah setinggi lebih kurang 35 cm dan ukuran garis tengah sekitar 1 meter agar akar tanaman jeruk tidak mengalami pembusukan yang berdampak pada pembuahannya. Untuk jaraknya, antara terumbu’ satu dengan terumbu’ lainnya sekitar 4.5 meter sampai dengan 5 meter. Hal ini dapat disesuaikan dengan keadaan dan tingkat kesuburan tanah tersebut.
Sistem terumbu’ didampingi oleh sistem irigasi yang berbeda. Pengirigasian yang ada dilokasi pengembangan jeruk di Kabupaten Sambas umumnya masih irigasi sederhana dengan sumber air yang berasal dari air sungai atau air pasang surut. Sebagian kecil lainnya mengandalkan air hujan. Meski demikian, letak permukaan air yang relatif tidak terlalu dalam memungkinkan adanya penggunaan teknologi berupa pembuatan saluran-saluran pembuangan air di sekitar area perkebunan. Saluran-saluran pembuangan air dibuat dengan ukuran lebar 40 cm dan kedalamannya 30 cm. Jarak antara satu saluran dengan saluran lainnya sekitar 10 meter.
Setelah menanam, proses pemupukan dan perawatan merupakan tahap yang tidak boleh diremehkan. Sama seperti halnya dengan perkebunan jeruk lainnya, hanya saja pada penanaman jeruk Sambas ini, sebelumnya tanah terumbu’ tempat penanaman bibit jeruk itu harus sudah digemburkan terlebih dahulu dengan mencampurkan pupuk TSP sebanyak 0.5 sampai dengan 1 ons dalam masing-masing terumbu’ (asnaini 1994:27-32).
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa jeruk Sambas benar-benar masih alami tanpa ada campur tangan teknologi serta bahan kimia lainnya untuk pencegahan penurunan kualitas jeruk seperti yanng lainnya (http://www.deptan.go.id/pesantren/ditbuah/Komoditas/Sentra/profil_jeruk_di_kabupaten_sambas.htm).
c. Mengapa Harus Citrus microcarpa ?
Berbentuk bulat dengan rasa buah yang manis keasaman, memiliki warna kulit hijau kekuningan serta warna dagingnya yang berwarna oranye, buah apakah itu? Sudah dapat ditebak dengan keunikan yang dimilikinya buah ini ialah buah jeruk Sambas (http://www.kapanlagi.com/h/0000208204.html). Karena keunggulannya, jeruk Sambas memiliki popularitas yang cukup baik di dalam maupun luar negri (ASEAN). Seperti yang kita tahu, salah satu keunggulannya adalah masa produk aktivitasnya yang cukup lama sekitar 15-20 tahun dengan Benefit Cost Ratio (BCR). Itu berarti, pohon jeruk Sambas dapat terus menghasilkan dalam kurun waktu 15-20 tahun. BCR jeruk Sambas ini merupakan yang tertinggi di Kalimantan Barat dibanding komoditas pertanian lainnya. Selain itu harga di pasaran relatif stabil dan cenderung terus meningkat (http://id.wikipedia.org/wiki/Jeruk_pontianak). Oleh karena itu, buah jeruk banyak dijumpai di Indonesia bahkan dapat menduduki seluruh wilavah di dunia.
Selama ini yang bisa diambil hasiInya dari tanaman jeruk adalah buahnya, sedangkan kulit buah tersebut dibuang begitu saja. Nilai gizi kulit jeruk cukup baik serta banyak mengandung unsur-unsur kimia berupa seng yang dapat dikembangkan untuk pembuatan plastik. Selain itu, kulit jeruk Sambas juga dapat dibuat menjadi Kalsium Karbonat dan dapat mernberikan manfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan industri pasta cat dan bedak pengisi kertas.
Mengenai pembuatan plastik, para ahli kimia di Cornell University sudah menemukan formula baru pembuat plastik di luar bahan baku minyak bumi. Ternyata, alam telah menyediakan suatu alternatif ramah lingkungan, dalam bentuk jeruk. Untuk menciptakan plastik baru yang disebut polylimonene karbonat itu, para ilmuwan memanfaatkan molekul dari dua sumber, karbon dioksida dan limonene oksida, yang berasal dari kulit buah jeruk dan tanaman lain.
Limonene adalah bahan yang selalu tersedia, demikian juga karbon dioksida. Seorang profesor kimia dari Cornell, Geoffrey Coates, menyatakan telah membuat katalisator yang memungkinkan dua macam molekul ini bersatu sebagai bahan pembuat plastik. Katalisator yang dipakai dalam proses kimia ini berupa senyawa yang mengandung sedikit seng (Zinc) yang dicampurkan dalam cairan limonene oksida dan gas karbon dioksida sehingga membentuk bubuk putih. Bubuk ini bisa dicairkan dan digunakan membuat berbagai macam barang plastic. Tim riset Cornell kini sedang melakukan uji coba untuk melihat seberapa kuat bahan ini menahan panas dan dingin. Rincian mengenai penelitian ini telah dipublikasikan dalam Journal of the American Chemical Society (http://64.203.71.11/teknologi/news/0501/31/213903.htm)
Adapun proses pembuatan Kalsium Karbonat dilakukan dengan mengeringkan kulit buah jeruk hingga menjadi abu dan kemudian dicampur dengan asam sulfat, lalu dipanaskan dan dilarutkan dalam asam oksalat sesuai variabel, kemudian dipanaskan kembali sesuai dengan variabel suhu. Endapan yang terjadi dipanaskan pada suhu 600oC hasilnya dianalisa secara gravimetric. Adapun setiap pembuatan kalsium karbonat dengan berat abu 10 gram maka digunakan asam Sulfat 4 N : 100 ml kondisi optimum dengan konsentrasi asam oksalat 14%. Suhu yang digunakan setinggi 100oC. Sementara waktu pencampuran dilakukan sekitar 35 menit. Komposisi tersebut akan menghasilkan kalsium karbonat sebesar 94,71% (http://digilib.upnjatim.ac.id/gdl.php).
Selain produk yang telah dijelaskan di atas, jeruk Sambas dapat juga dikembangkan menjadi jus jeruk karena hasil produksinya yang banyak serta berbagai penelitian yang menunjukkan senyawa non-gizi dikandung buah jeruk yang ternyata mampu menurunkan risiko beberapa penyakit, bahkan mampu mencegah kanker. Selain vitamin C, buah jeruk juga mengandung sederet zat gizi esensial, seperti beta karoten (pro vitamin A) yang akan menjaga kesehatan mata dan kulit serta membantu pembentukan tulang. Selain itu jeruk juga mengandung thiamin (vitamin B) yang berperan sebagai tenaga bagi sistem saraf dan otak, selain itu thiamin akan mengurangi risiko katarak. Jeruk juga tidak mengandung sodium, lemak, dan kolesterol. Oleh sebab itu, pemkab Sambas mencanangkan adanya produksi jus jeruk yang diberi nama Jus Citrus van Sambas; Minuman Kesehatan Membuat Awet Muda sebagai minuman resmi Pemda dan masyarakat Kabupaten Sambas. Di komplek rumah produksi Citrus van Sambas di Desa Segedong Kecamatan Tebas, juga akan dihadiri oleh Kepala BPTP Kalbar. Bahkan, menurutnya, akan dilakukan penandatangan MoU dengan dinas dan instansi selaku pelanggan. Mereka berharap jus jeruk ini dapat menjadi lambang Kabupaten Sambas maupun Kalbar nantinya sehingga jeruk Sambas mempunyai daya saing tinggi dengan buah-buahan lain (http://www.pontianakpost.com/index.php).
Produk yang tidak kalah populernya ialah minyak wangi. Sebuah penelitian mengenai wewangian menunjukkan bahwa bau harum sejenis jeruk bali yang dipakai wanita akan membuatnya tampak lebih muda di mata para pria yakni sekitar enam tahun lebih muda. Dengan ini mengapa tidak kita ganti saja aroma jeruk Bali dengan Aroma terapi jeruk Sambas yang akan dikenal lebih elegan. Sebuah penelitian yang dilakukan Institut Rasa dan Bau di Chicago dimaksudkan untuk mencari tahu apa yang membuat seorang wanita berbau lebih muda, tapi tidak kekanak-kanakan seperti bau permen karet. Akan tetapi ketika Hirsch menyemprotkan bau jeruk, persepsi para pria segera berubah. Ketika mereka diminta menebak usia para wanita yang menebarkan wangi jeruk itu, kebanyakan mencantumkan usia lebih muda dari kondisi sebenarnya rata-rata enam tahun lebih muda.
Ini membuat Hirsch berkesimpulan, wangi jeruk akan memberi persepsi muda. Barangkali kesegaran jeruk dianalogikan sebagai kemudaan oleh para pria. Oleh karena itu, bila Anda ingin dikesan lebih muda, gunakanlah wewangian yang beraroma jeruk, bisa sitrun, bergamot, tangerine, dan lainnya (http://64.203.71.11/teknologi/news/0506/22/121720.htm).
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita sebagai generasi muda mulai memberanikan diri untuk terjun ke bidang industri dalam pengembangan jeruk agar kita tidak lagi bergantung terhadap produksi luar negri, seharusnya industri di luar negrilah yang bergantungan kepada kita. Lagi pula bahan-bahan yang dihasilkan di ekspor dari negeri kita juga kan !.
Dengan banyaknya jenis produksi yang bisa dihasilkan dari jeruk maka keberadaan Citrus Center sebagai pusat riset dan pengembangan komoditas jeruk di Kabupaten Sambas dibutuhkan untuk lebih mengembangkan hasil produksi dari jeruk Sambas. Melalui fasilitasi dan bimbingan yang diberikan, banyak petani jeruk di Sambas yang bisa meraup keuntungan lebih. Pada kegiatan safari Ramadan lalu, Gubernur Kalbar, Cornelis sempat meninjau langsung lokasi Citrus Center di Kecamatan Semparuk, Sambas. Meski masih dalam proses pengembangan dan pembangunan beberapa fasilitas pendukung lainnya, keberadaan Citrus Center sendiri sudah beroperasi beberapa tahun lalu (http://corneliscenter.blogspot.com/2008/09/citrus-center-buktikan-industri-jeruk.html)
JAWABAN DARI KRISIS KOMODITAS KAL-BAR SELAMA INI!
Bupati Sambas Burhanuddin Ar Rasyid menyatakan bahwa pemerintah Kabupaten Sambas mengharapkan Citrus center menjadi pusat perjerukan bukan saja di Kalbar, tetapi juga di Indonesia. Sebab, inilah pusat penelitian, pengembangan, dan produksi jeruk yang terpadu juga dapat membantu petani jeruk dalam mengatasi persoalan tentang perjerukan. Sehingga dapat menunjang mereka serta juga bisa diperkenalkan pula tentang penanaman dengan teknologi terkini dalam bentuk pengaturan tentang pemupukan hingga pemasaran. Walaupun, terdapat beberapa kendala seperti, pemasaran yang sedikit terhambat juga hasil produksi yang dihasilkan jeruk Sambas tidak sepanjang tahun.
Salah satu kendala pemasaran jeruk di Kalimantan ialah infrastruktur jalan yang buruk. Kalbar merupakan satu-satunya provinsi yang belum terhubungkan dengan provinsi lain melalui jalan darat. Sehingga jika pemasaran antar-Kalimantan itu sendiri akan lebih mahal dibandingkan ke Pulau Jawa. Ini diakibatkan karena distributor harus menggunakan penerbangan ke Jakarta terlebih dahulu sebelum ke daerah lain di Kalimantan.
Selain itu, seharusnya pemasaran jeruk juga dapat dilakukan ke kawasan pedalaman Kalbar. Namun, sarana transportasi darat menuju pedalaman masih hancur (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0605/05/daerah/2630610.htm). Hal Inilah yang merupakan salah satu kendala yang menyebabkan adanya ketidak makmuran para petani perkebunan Jeruk Sambas.
Pada pemasaran ini harus diadakan pengembangan produk turunan yang berupa olahan-olahan yang berguna. Maka peluang dalam pengolahan jeruk ini bisa lebih dikembangkan dalam membentuk produk-produk seperti yang ditemukan oleh orang-orang dari luar negri. Oleh sebab itu, kita harus lebih produktif dalam pengembangan produk. Seperti membuat aroma sabun mandi yang berjudul aroma jeruk sambas yang mungkin saja akan lebih diminati kaum wanita baik tua maupun muda. Tidak hanya itu, kita juga bisa membuat sampo dari kulit jeruk Sambas, yang telah diteliti bahwa kulit jeruk sambas dapat memperkuat rambut agar tidak cepat rontok karna mengandung seng.
Kendala lainnya, yaitu hasil produksi yang tidak didapat sepanjang tahun, ini disebabkan karena cuaca serta tidak adanya peremajaan pada pohon tersebut sehingga produktivitas tanaman menurun yang juga menyebabkan hancurnya perdagangan jeruk. Padahal jika diamati dengan seksama sifat fisika tanah tempat sentra produksi jeruk umunya adalah tanah yang memiliki porositas dan drainase yang baik. Seperti halnya di tanah Khatulistiwa Kalimantan Barat (www.damandiri.or.id/detail.php).
Jadi untuk mengembangkan jeruk Sambas menjadi komoditas unggulan Kalbar maka diperlukan dukungan pemerintah pusat dan daerah. Dukungan terbesar diharapkan dapat membantu petani dalam pengembangan tanaman jeruk Sambas khususnya mengenai pengadaan bibit bermutu (okulasi) dan pupuk serta penetapan peraturan pemerintah dalam hal standar harga buah jeruk dan jaminan pemasaran (http://www.deptan.go.id/pesantren/ditbuah/ Komoditas/Sentra/profil_jeruk_di_kabupaten_sambas.htm).
Lagi pula jika Jeruk Sambas bisa lebih mendunia ini merupakan peluang besar untuk kaum muda yang belum memiliki pekerjaan. Hal ini juga bisa membantu dalam pengurangan angka pengangguran di daerah-daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asnaini. 1996/1997. Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Jeruk di Desa Pangkalan Kongsi Kecamatan Tebas. Pontianak: Balai Pelestarian Sejarah Nilai Tradisional Kalimantan Barat
Sarwono. 1986. Jeruk dan Kerabatnya. Jakarta: Penebar Swadaya.
Tim Penulis PS. 2005. Peluang dan Usaha Pembudidayaan Jeruk Siam. Jakarta: Penebar Swadaya.
www.damandiri.or.id/detail.php
http://digilib.upnjatim.ac.id/gdl.php
http://www.pontianakpost.com/index.php
http://id.wikipedia.org/wiki/Jeruk_pontianak
http://www.kapanlagi.com/h/0000208204.html
http://64.203.71.11/ver1/kesehatan/0708/13/155534.htm
http://64.203.71.11/teknologi/news/0501/31/213903.htm
http://64.203.71.11/teknologi/news/0506/22/121720.htm
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0605/05/daerah/2630610.htm
http://corneliscenter.blogspot.com/2008/09/citrus-center-buktikan-industri-jeruk.html
http://www.deptan.go.id/pesantren/ditbuah/Komoditas/Sentra/profil_jeruk_di_ kabupaten_sambas.htm
KOMODITAS UNGGULAN KEBUDAYAAN AGRARIS
TANAH KHATULISTIWA KALBAR
Disusun Oleh
Assakinah
Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pontianak
Jln. Kalimantan Pontianak, telp. 734983
Pontianak
2009
JERUK SAMBAS
KOMODITAS UNGGULAN KEBUDAYAAN AGRARIS
TANAH KHATULISTIWA KALBAR
Ada Apa dengan Flora dan Jeruk Sambas di Kalimantan Barat ?
Indonesia dari dulu dikenal sebagai paru-paru dunia karena termasuk sebagai salah satu negara yang memiliki jenis flora terbanyak. Salah satu penyumbang varietas flora terbanyak ialah Kalimantan Barat yang juga dikenal dengan Bumi Khatulistiwa karena berada tepat pada 0o Lintang Utara. Banyaknya varietas tersebut mungkin disebabkan oleh wilayah Kalimantan yang merupakan pulau terluas di Indonesia. Yakni lebih kurang seluas 743.330 km2 (Badan Geografis dalam wapedia.mobi/id/Pulau_Kalimantan).
Dapat kita lihat, dengan banyaknya pecinta flora yang memburu berbagai jenis tanaman yang hanya berinduk di tanah Kalimantan. Contohnya, tanaman anggrek bulan ataupun anggrek hitam yang langka. Selain itu juga ada kelapa sawit yang menjadi komoditas subsektor yang banyak jadi incaran investor dan juga lidah buaya yang merupakan hasil potensi alam yang siap menjadi produk unggulan Kalimantan Barat. Hal tersebut didukung oleh wilayah yang cukup luas. Dengan modal utama berupa komoditas dan tanah yang luas sudah seharusnya Kalimantan Barat meimiliki komoditas unggulan yang siap dilepas ke pasar internasional (Go International). Maka dari itu, kita sebagai generasi muda harus siap untuk mengembangkan kebudayaan agraris.
Dalam sejarahnya, Kalimantan Barat memiliki primadona dunia berupa produk agraris seperti karet dan kopra. Bahkan pada abad ke-20, karet Kalimantan Barat menjadi komoditas ekspor utama. Tapi sayangnya, karena permintaan dunia menurun maka pembudidayaan tanaman tersebut juga ikut menurun. Akibatnya, Kalimantan Barat hampir kehilangan primadona produk agraris tersebut.
Tapi tenang saja, masyarakat Kalimantan Barat tidak berhenti sampai disini karena di Kabupaten Sambas para petani mulai mengembangkan hasil produksi jeruk yang memiliki kadar vitramin C dan A yang cukup tinggi. Kabupaten Sambas yang kini terkenal sebagai Sentra Jeruk Pontianak dalam sejarahnya pernah mencapai masa keemasan pada 1992. Bahkan, produksi jeruk yang melimpah ini telah didistribusikan ke Pulau Jawa (www.damandiri.or.id/detail.php).
Permasalahannya kini, mengapa Jeruk Sambas tidak seperti karet dan koprah yang menjadi primadona pada zaman Hindia-Belanda? Tentu saja jawabannya adalah ketidakpedulian banyak orang untuk mengembangkan jeruk. Jika begitu, mengapa tidak kita saja sebagai generasi penerus bangsa yang mengembangkannya? Apa pula yang terjadi dengan petani dan pemerintah? Di mana pula peran masyarakat untuk mewujudkan kembali Kalimantan Barat yang memiliki primadona flora? Walaupun begitu ternyata di Kabupaten Sambas jeruk ini telah dibudidayakan secara luas dan turun-temurun dari generasi ke generasi tidak hanya oleh orang-orang tua melainkan pula oleh generasi muda. Itu menunjukkan bahwa pembudidayaan jeruk Sambas di Kabupaten Sambas merupakan suatu bentuk budaya agraris yang tertanam hingga kini.
Penulis percaya jeruk Sambas bisa menjadi produk unggulan yang akan dikenal oleh masyarakat luar tidak hanya sebagai produk konsumsi tetapi juga produk industri di dalam dan luar negri. Tanaman ini bisa lebih mendunia jika dapat memberikan jaminan keuntungan bagi para investor karena suatu produk yang dianggap sebagai komoditas unggulan berarti bernilai tinggi di mata konsumen. Dengan begitu, petani-petani jeruk Sambas tidak lagi kesusahan dalam mencari modal. Hal itu juga akan mencegah permonopolian harga yang sering menyebabkan harga jeruk menjadi rendah serta menurunkan dan menghancurkan produksi jeruk.
Citrus nobilis var. microcarpa Siap ke Pasar Internasional
a. Yun Kun Sang Pembawa Bibit
Sejarahnya, pengembangan jeruk Siam yang kemudian di daerah Kalimantan Barat dikenal dengan jeruk Sambas ataupun di luar Kailmantan Barat disebut jeruk Pontianak telah dilakukan sejak tahun 1936 di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. Bibitnya berasal dari negara Republik Rakyat Cina yang di bawa oleh Yun Kun, Bun Kim, dan Bon Kim In di Desa Segaran. Adapun pengembangannya dilakukan oleh H. A. Rani dan Lim Kim Sim di Desa Bekut pada tahun 1994 (Sarwono, 1986:14). Hingga awal tahun 1950 jeruk siam telah berhasil dibudidayakan hingga mencapai 1.000 ha. Namun, pada tahun 1960 hasil jeruk Sambas mengalami penurunan karena sebagian besar pohon jeruk ditebangi yang terserang wabah penyakit berupa penyakit getah jeruk dan beberapa hama-hama tanaman yang juga turut serta menghambat tumbuhnya jeruk Sambas.
Pada tahun 1979 perkebunan jeruk dikembangkan kembali sampai tahun 1996 hingga mengalami masa kejayaan dengan mencapai 10.000 ha yang berproduksi 26.000 ton per tahun. Setelah itu masih di tahun yang sama produksinya jeruk ini mulai anjlok akibat monopoli sistem tata niaga jeruk yang menyebabkan harga ditingkat petani jatuh serta total pendapatan pun tidak cukup membiayai pengeluaran. Oleh karena itu, para petani membiarkan pohon jeruk mereka merangas mati yang juga diperparah dengan datangnya hama penyakit (http://id.wikipedia.org/wiki/Jeruk_pontianak).
Berdasarkan rencana pengembangan produk unggulan daerah Kabupaten Sambas, untuk pengembangan komoditas jeruk pemerintah mengizinkan dibukanya 7.844 ha yang masih mungkin diperluas.
b. Bagaimana Cara Penanaman Jeruk Sambas?
Tahukah kalian bahwa jeruk Sambas memiliki hasil produksi yang sangat banyak! Walaupun tidak hanya tumbuh di Kalimantan Barat jeruk Sambas ini lebih subur dan hasil produksinya lebih banyak jika di hasilkan dari tanah khatulistiwa. Hal itu dikarenakan jeruk ini lebih menyukai air tanah yang tidak terlalu dalam seperti di Tebas, Kabupaten Sambas yang tidak jauh dari laut karena jeruk Sambas akan menghasilkan buah yang lebih baik jika berada 700 meter di atas permukaan laut serta dengan pH tanahnya 5-7,5. Selain itu, jeruk ini memerlukan banyak sinar matahari sebab jika daerah penanamannya memiliki udara yang lembab maka pembuahan akan terhambat oleh serangan hama terutama kutu perisai dan kutu-kutu penghisap lainnya (Tim Penulis PS, 2005:12).
Adapun mengenai proses pembibitan jeruk dilakukan dengan pemilihan cangkokan dari pohon jeruk yang sehat atau subur dan berasal dari benih pohon jeruk yang baik atau pohon yang masih produktif. Cangkokan yang diambil dari pohon jeruk tersebut, sudah berakar yang cukup kuat untuk kelangsungan hidupnya, serta disemaikan pada areal persemaian yang telah disiapkan atau dengan memakai kantong polibek yanng telah si dengan tanah yang telah digemburkan. Selain itu, apabila umur persemaian sudah mencapai 2-3 bulan, cangkokan tersebut sudah kelihatan bertunas dan berdaun yang subur, maka pada saat itulah dapat dipindahkan ke lokasi areal perkebunan.
Sebulan sebelum persemaian dipindahkan ke lokasi perkebunan, areal perkebunan sudah harus diolah dengan persiapan seperti pembuatan terumbu’ (tanah yang ditinggikan).
Sementara proses penanamannya, petani Sambas memiliki cara yang unik yaitu dengan sistem terumbu’. Terumbu’ adalah tanah yang ditinggikan yang berupa tumpukan-tumpukan tanah setinggi lebih kurang 35 cm dan ukuran garis tengah sekitar 1 meter agar akar tanaman jeruk tidak mengalami pembusukan yang berdampak pada pembuahannya. Untuk jaraknya, antara terumbu’ satu dengan terumbu’ lainnya sekitar 4.5 meter sampai dengan 5 meter. Hal ini dapat disesuaikan dengan keadaan dan tingkat kesuburan tanah tersebut.
Sistem terumbu’ didampingi oleh sistem irigasi yang berbeda. Pengirigasian yang ada dilokasi pengembangan jeruk di Kabupaten Sambas umumnya masih irigasi sederhana dengan sumber air yang berasal dari air sungai atau air pasang surut. Sebagian kecil lainnya mengandalkan air hujan. Meski demikian, letak permukaan air yang relatif tidak terlalu dalam memungkinkan adanya penggunaan teknologi berupa pembuatan saluran-saluran pembuangan air di sekitar area perkebunan. Saluran-saluran pembuangan air dibuat dengan ukuran lebar 40 cm dan kedalamannya 30 cm. Jarak antara satu saluran dengan saluran lainnya sekitar 10 meter.
Setelah menanam, proses pemupukan dan perawatan merupakan tahap yang tidak boleh diremehkan. Sama seperti halnya dengan perkebunan jeruk lainnya, hanya saja pada penanaman jeruk Sambas ini, sebelumnya tanah terumbu’ tempat penanaman bibit jeruk itu harus sudah digemburkan terlebih dahulu dengan mencampurkan pupuk TSP sebanyak 0.5 sampai dengan 1 ons dalam masing-masing terumbu’ (asnaini 1994:27-32).
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa jeruk Sambas benar-benar masih alami tanpa ada campur tangan teknologi serta bahan kimia lainnya untuk pencegahan penurunan kualitas jeruk seperti yanng lainnya (http://www.deptan.go.id/pesantren/ditbuah/Komoditas/Sentra/profil_jeruk_di_kabupaten_sambas.htm).
c. Mengapa Harus Citrus microcarpa ?
Berbentuk bulat dengan rasa buah yang manis keasaman, memiliki warna kulit hijau kekuningan serta warna dagingnya yang berwarna oranye, buah apakah itu? Sudah dapat ditebak dengan keunikan yang dimilikinya buah ini ialah buah jeruk Sambas (http://www.kapanlagi.com/h/0000208204.html). Karena keunggulannya, jeruk Sambas memiliki popularitas yang cukup baik di dalam maupun luar negri (ASEAN). Seperti yang kita tahu, salah satu keunggulannya adalah masa produk aktivitasnya yang cukup lama sekitar 15-20 tahun dengan Benefit Cost Ratio (BCR). Itu berarti, pohon jeruk Sambas dapat terus menghasilkan dalam kurun waktu 15-20 tahun. BCR jeruk Sambas ini merupakan yang tertinggi di Kalimantan Barat dibanding komoditas pertanian lainnya. Selain itu harga di pasaran relatif stabil dan cenderung terus meningkat (http://id.wikipedia.org/wiki/Jeruk_pontianak). Oleh karena itu, buah jeruk banyak dijumpai di Indonesia bahkan dapat menduduki seluruh wilavah di dunia.
Selama ini yang bisa diambil hasiInya dari tanaman jeruk adalah buahnya, sedangkan kulit buah tersebut dibuang begitu saja. Nilai gizi kulit jeruk cukup baik serta banyak mengandung unsur-unsur kimia berupa seng yang dapat dikembangkan untuk pembuatan plastik. Selain itu, kulit jeruk Sambas juga dapat dibuat menjadi Kalsium Karbonat dan dapat mernberikan manfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan industri pasta cat dan bedak pengisi kertas.
Mengenai pembuatan plastik, para ahli kimia di Cornell University sudah menemukan formula baru pembuat plastik di luar bahan baku minyak bumi. Ternyata, alam telah menyediakan suatu alternatif ramah lingkungan, dalam bentuk jeruk. Untuk menciptakan plastik baru yang disebut polylimonene karbonat itu, para ilmuwan memanfaatkan molekul dari dua sumber, karbon dioksida dan limonene oksida, yang berasal dari kulit buah jeruk dan tanaman lain.
Limonene adalah bahan yang selalu tersedia, demikian juga karbon dioksida. Seorang profesor kimia dari Cornell, Geoffrey Coates, menyatakan telah membuat katalisator yang memungkinkan dua macam molekul ini bersatu sebagai bahan pembuat plastik. Katalisator yang dipakai dalam proses kimia ini berupa senyawa yang mengandung sedikit seng (Zinc) yang dicampurkan dalam cairan limonene oksida dan gas karbon dioksida sehingga membentuk bubuk putih. Bubuk ini bisa dicairkan dan digunakan membuat berbagai macam barang plastic. Tim riset Cornell kini sedang melakukan uji coba untuk melihat seberapa kuat bahan ini menahan panas dan dingin. Rincian mengenai penelitian ini telah dipublikasikan dalam Journal of the American Chemical Society (http://64.203.71.11/teknologi/news/0501/31/213903.htm)
Adapun proses pembuatan Kalsium Karbonat dilakukan dengan mengeringkan kulit buah jeruk hingga menjadi abu dan kemudian dicampur dengan asam sulfat, lalu dipanaskan dan dilarutkan dalam asam oksalat sesuai variabel, kemudian dipanaskan kembali sesuai dengan variabel suhu. Endapan yang terjadi dipanaskan pada suhu 600oC hasilnya dianalisa secara gravimetric. Adapun setiap pembuatan kalsium karbonat dengan berat abu 10 gram maka digunakan asam Sulfat 4 N : 100 ml kondisi optimum dengan konsentrasi asam oksalat 14%. Suhu yang digunakan setinggi 100oC. Sementara waktu pencampuran dilakukan sekitar 35 menit. Komposisi tersebut akan menghasilkan kalsium karbonat sebesar 94,71% (http://digilib.upnjatim.ac.id/gdl.php).
Selain produk yang telah dijelaskan di atas, jeruk Sambas dapat juga dikembangkan menjadi jus jeruk karena hasil produksinya yang banyak serta berbagai penelitian yang menunjukkan senyawa non-gizi dikandung buah jeruk yang ternyata mampu menurunkan risiko beberapa penyakit, bahkan mampu mencegah kanker. Selain vitamin C, buah jeruk juga mengandung sederet zat gizi esensial, seperti beta karoten (pro vitamin A) yang akan menjaga kesehatan mata dan kulit serta membantu pembentukan tulang. Selain itu jeruk juga mengandung thiamin (vitamin B) yang berperan sebagai tenaga bagi sistem saraf dan otak, selain itu thiamin akan mengurangi risiko katarak. Jeruk juga tidak mengandung sodium, lemak, dan kolesterol. Oleh sebab itu, pemkab Sambas mencanangkan adanya produksi jus jeruk yang diberi nama Jus Citrus van Sambas; Minuman Kesehatan Membuat Awet Muda sebagai minuman resmi Pemda dan masyarakat Kabupaten Sambas. Di komplek rumah produksi Citrus van Sambas di Desa Segedong Kecamatan Tebas, juga akan dihadiri oleh Kepala BPTP Kalbar. Bahkan, menurutnya, akan dilakukan penandatangan MoU dengan dinas dan instansi selaku pelanggan. Mereka berharap jus jeruk ini dapat menjadi lambang Kabupaten Sambas maupun Kalbar nantinya sehingga jeruk Sambas mempunyai daya saing tinggi dengan buah-buahan lain (http://www.pontianakpost.com/index.php).
Produk yang tidak kalah populernya ialah minyak wangi. Sebuah penelitian mengenai wewangian menunjukkan bahwa bau harum sejenis jeruk bali yang dipakai wanita akan membuatnya tampak lebih muda di mata para pria yakni sekitar enam tahun lebih muda. Dengan ini mengapa tidak kita ganti saja aroma jeruk Bali dengan Aroma terapi jeruk Sambas yang akan dikenal lebih elegan. Sebuah penelitian yang dilakukan Institut Rasa dan Bau di Chicago dimaksudkan untuk mencari tahu apa yang membuat seorang wanita berbau lebih muda, tapi tidak kekanak-kanakan seperti bau permen karet. Akan tetapi ketika Hirsch menyemprotkan bau jeruk, persepsi para pria segera berubah. Ketika mereka diminta menebak usia para wanita yang menebarkan wangi jeruk itu, kebanyakan mencantumkan usia lebih muda dari kondisi sebenarnya rata-rata enam tahun lebih muda.
Ini membuat Hirsch berkesimpulan, wangi jeruk akan memberi persepsi muda. Barangkali kesegaran jeruk dianalogikan sebagai kemudaan oleh para pria. Oleh karena itu, bila Anda ingin dikesan lebih muda, gunakanlah wewangian yang beraroma jeruk, bisa sitrun, bergamot, tangerine, dan lainnya (http://64.203.71.11/teknologi/news/0506/22/121720.htm).
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita sebagai generasi muda mulai memberanikan diri untuk terjun ke bidang industri dalam pengembangan jeruk agar kita tidak lagi bergantung terhadap produksi luar negri, seharusnya industri di luar negrilah yang bergantungan kepada kita. Lagi pula bahan-bahan yang dihasilkan di ekspor dari negeri kita juga kan !.
Dengan banyaknya jenis produksi yang bisa dihasilkan dari jeruk maka keberadaan Citrus Center sebagai pusat riset dan pengembangan komoditas jeruk di Kabupaten Sambas dibutuhkan untuk lebih mengembangkan hasil produksi dari jeruk Sambas. Melalui fasilitasi dan bimbingan yang diberikan, banyak petani jeruk di Sambas yang bisa meraup keuntungan lebih. Pada kegiatan safari Ramadan lalu, Gubernur Kalbar, Cornelis sempat meninjau langsung lokasi Citrus Center di Kecamatan Semparuk, Sambas. Meski masih dalam proses pengembangan dan pembangunan beberapa fasilitas pendukung lainnya, keberadaan Citrus Center sendiri sudah beroperasi beberapa tahun lalu (http://corneliscenter.blogspot.com/2008/09/citrus-center-buktikan-industri-jeruk.html)
JAWABAN DARI KRISIS KOMODITAS KAL-BAR SELAMA INI!
Bupati Sambas Burhanuddin Ar Rasyid menyatakan bahwa pemerintah Kabupaten Sambas mengharapkan Citrus center menjadi pusat perjerukan bukan saja di Kalbar, tetapi juga di Indonesia. Sebab, inilah pusat penelitian, pengembangan, dan produksi jeruk yang terpadu juga dapat membantu petani jeruk dalam mengatasi persoalan tentang perjerukan. Sehingga dapat menunjang mereka serta juga bisa diperkenalkan pula tentang penanaman dengan teknologi terkini dalam bentuk pengaturan tentang pemupukan hingga pemasaran. Walaupun, terdapat beberapa kendala seperti, pemasaran yang sedikit terhambat juga hasil produksi yang dihasilkan jeruk Sambas tidak sepanjang tahun.
Salah satu kendala pemasaran jeruk di Kalimantan ialah infrastruktur jalan yang buruk. Kalbar merupakan satu-satunya provinsi yang belum terhubungkan dengan provinsi lain melalui jalan darat. Sehingga jika pemasaran antar-Kalimantan itu sendiri akan lebih mahal dibandingkan ke Pulau Jawa. Ini diakibatkan karena distributor harus menggunakan penerbangan ke Jakarta terlebih dahulu sebelum ke daerah lain di Kalimantan.
Selain itu, seharusnya pemasaran jeruk juga dapat dilakukan ke kawasan pedalaman Kalbar. Namun, sarana transportasi darat menuju pedalaman masih hancur (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0605/05/daerah/2630610.htm). Hal Inilah yang merupakan salah satu kendala yang menyebabkan adanya ketidak makmuran para petani perkebunan Jeruk Sambas.
Pada pemasaran ini harus diadakan pengembangan produk turunan yang berupa olahan-olahan yang berguna. Maka peluang dalam pengolahan jeruk ini bisa lebih dikembangkan dalam membentuk produk-produk seperti yang ditemukan oleh orang-orang dari luar negri. Oleh sebab itu, kita harus lebih produktif dalam pengembangan produk. Seperti membuat aroma sabun mandi yang berjudul aroma jeruk sambas yang mungkin saja akan lebih diminati kaum wanita baik tua maupun muda. Tidak hanya itu, kita juga bisa membuat sampo dari kulit jeruk Sambas, yang telah diteliti bahwa kulit jeruk sambas dapat memperkuat rambut agar tidak cepat rontok karna mengandung seng.
Kendala lainnya, yaitu hasil produksi yang tidak didapat sepanjang tahun, ini disebabkan karena cuaca serta tidak adanya peremajaan pada pohon tersebut sehingga produktivitas tanaman menurun yang juga menyebabkan hancurnya perdagangan jeruk. Padahal jika diamati dengan seksama sifat fisika tanah tempat sentra produksi jeruk umunya adalah tanah yang memiliki porositas dan drainase yang baik. Seperti halnya di tanah Khatulistiwa Kalimantan Barat (www.damandiri.or.id/detail.php).
Jadi untuk mengembangkan jeruk Sambas menjadi komoditas unggulan Kalbar maka diperlukan dukungan pemerintah pusat dan daerah. Dukungan terbesar diharapkan dapat membantu petani dalam pengembangan tanaman jeruk Sambas khususnya mengenai pengadaan bibit bermutu (okulasi) dan pupuk serta penetapan peraturan pemerintah dalam hal standar harga buah jeruk dan jaminan pemasaran (http://www.deptan.go.id/pesantren/ditbuah/ Komoditas/Sentra/profil_jeruk_di_kabupaten_sambas.htm).
Lagi pula jika Jeruk Sambas bisa lebih mendunia ini merupakan peluang besar untuk kaum muda yang belum memiliki pekerjaan. Hal ini juga bisa membantu dalam pengurangan angka pengangguran di daerah-daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asnaini. 1996/1997. Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Jeruk di Desa Pangkalan Kongsi Kecamatan Tebas. Pontianak: Balai Pelestarian Sejarah Nilai Tradisional Kalimantan Barat
Sarwono. 1986. Jeruk dan Kerabatnya. Jakarta: Penebar Swadaya.
Tim Penulis PS. 2005. Peluang dan Usaha Pembudidayaan Jeruk Siam. Jakarta: Penebar Swadaya.
www.damandiri.or.id/detail.php
http://digilib.upnjatim.ac.id/gdl.php
http://www.pontianakpost.com/index.php
http://id.wikipedia.org/wiki/Jeruk_pontianak
http://www.kapanlagi.com/h/0000208204.html
http://64.203.71.11/ver1/kesehatan/0708/13/155534.htm
http://64.203.71.11/teknologi/news/0501/31/213903.htm
http://64.203.71.11/teknologi/news/0506/22/121720.htm
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0605/05/daerah/2630610.htm
http://corneliscenter.blogspot.com/2008/09/citrus-center-buktikan-industri-jeruk.html
http://www.deptan.go.id/pesantren/ditbuah/Komoditas/Sentra/profil_jeruk_di_ kabupaten_sambas.htm
Sumpit Kalbar
SUMPIT KALBAR
1. Asal Usul Permainan
Sumpitan, sepet atau sumpit adalah sebuah senjata khas masyarakat dayak yang berdomisili di pulau Kalimantan dan merupakan karya adi luhung yang diciptakan oleh nenek moyang masyarakat Dayak dimana sampai saat ini masih serta tetap hidup dan dipakai sebagai senjata ataupun alat berburu.
Pada masyarakat Dayak khususnya Dayak Taman yang berdomisili di 7 (tujuh) kecamatan di kabupaten Kapuas Hulu, sumpitan adalah senjata yang pembuatannya merupakan keterampilan warisan turun temurun dari Tuhan YME, hal ini sebab dimana berdasarkan kepercayaan suku Taman yang penganut paham Polygenesis, bahwa pada saat manusia pertama diciptakan oleh Dewa Pencipta (Sampulo) ke dunia yaitu Bai’ Kunyanyi dan Piang Tina’, mereka diajarkan cara untuk hidup di dunia dengan baik yakni maniang Buat bagi wanita dan maniang Alat bagi pria, dan salah satu Alat yang diajarkan pembuatannya adalah sumpitan.
2. Pemain-pemainnya
Pemain-pemain sumpit adalah anak laki-laki
3. Peralatan/Perlengkapan Permainan
Sumpitan seperti yang telah ditulis di atas terdiri dari 3 (tiga) bagian yakni :
- Batang sumpitan
Batang sumpitan terbuat dari kayu berbentuk bulatan panjang dengan lubang di dalamnya dengan diameter kayu sekitar 3-3,5 cm serta diameter lubang 1-1,2 cm. kayu yang digunakan dari jenis terpilih seperti kayu Bunyau, Penyau’, Kebaca dan Tapang. Ukuran batang sumpitan bisanya disesuaikan dengan si empunya sumpitan itu sendiri yakni sepanjang satu depa sekitar 1,5-2 meter.
- Mata Tombak (bu’bulis)
Sedangkan Bu’bulis (terbuat dari besi baja, panjangnya 20-30 cm.
- Besi untuk pengintai sasaran (tajuk pitaa)
Tajuk pita terbuat dari besi dan diikatkan pada sisi berlawanan dengan mata tombak dan pada ujungnya menyembul sejajar dengan batang sumpit. Fungsinya sebagai patokan titik fokus sasaran yang akan dituju.
4. Jalannya Permainan
Para pemain akan memegang sumpit dengan jarak antara sasaran dan tempat berdirinya pemain minimal 5 meter dan maksimal 10 meter.
1. Asal Usul Permainan
Sumpitan, sepet atau sumpit adalah sebuah senjata khas masyarakat dayak yang berdomisili di pulau Kalimantan dan merupakan karya adi luhung yang diciptakan oleh nenek moyang masyarakat Dayak dimana sampai saat ini masih serta tetap hidup dan dipakai sebagai senjata ataupun alat berburu.
Pada masyarakat Dayak khususnya Dayak Taman yang berdomisili di 7 (tujuh) kecamatan di kabupaten Kapuas Hulu, sumpitan adalah senjata yang pembuatannya merupakan keterampilan warisan turun temurun dari Tuhan YME, hal ini sebab dimana berdasarkan kepercayaan suku Taman yang penganut paham Polygenesis, bahwa pada saat manusia pertama diciptakan oleh Dewa Pencipta (Sampulo) ke dunia yaitu Bai’ Kunyanyi dan Piang Tina’, mereka diajarkan cara untuk hidup di dunia dengan baik yakni maniang Buat bagi wanita dan maniang Alat bagi pria, dan salah satu Alat yang diajarkan pembuatannya adalah sumpitan.
2. Pemain-pemainnya
Pemain-pemain sumpit adalah anak laki-laki
3. Peralatan/Perlengkapan Permainan
Sumpitan seperti yang telah ditulis di atas terdiri dari 3 (tiga) bagian yakni :
- Batang sumpitan
Batang sumpitan terbuat dari kayu berbentuk bulatan panjang dengan lubang di dalamnya dengan diameter kayu sekitar 3-3,5 cm serta diameter lubang 1-1,2 cm. kayu yang digunakan dari jenis terpilih seperti kayu Bunyau, Penyau’, Kebaca dan Tapang. Ukuran batang sumpitan bisanya disesuaikan dengan si empunya sumpitan itu sendiri yakni sepanjang satu depa sekitar 1,5-2 meter.
- Mata Tombak (bu’bulis)
Sedangkan Bu’bulis (terbuat dari besi baja, panjangnya 20-30 cm.
- Besi untuk pengintai sasaran (tajuk pitaa)
Tajuk pita terbuat dari besi dan diikatkan pada sisi berlawanan dengan mata tombak dan pada ujungnya menyembul sejajar dengan batang sumpit. Fungsinya sebagai patokan titik fokus sasaran yang akan dituju.
4. Jalannya Permainan
Para pemain akan memegang sumpit dengan jarak antara sasaran dan tempat berdirinya pemain minimal 5 meter dan maksimal 10 meter.
Upacara Kematian Tionghua
UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT TIONGHOA DALAM 4 TAHAP
Oleh : M.Natsir
1. Belum Masuk Peti.
o Semenjak terjadinya kematian, anak-cucu sudah harus membakar kertas perak (uang di akhirat ) merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat yang dilakukan sambil mendoakan yang meninggal.
o Mayat dimandikan dan dibersihkan, lalu diberi pakaian tujuh lapis. Lapisan pertama adalah pakaian putih sewaktu almarhum/almarhumah menikah. Selanjutnya pakaian yang lain sebanyak enam lapis.
o Sesudah dibaringkan; kedua mata, lubang hidung, mulut, telinga, diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.
Di sisi kiri dan kanan diisi dengan pakaian yang meninggal. Sepatu yang dipakai harus dari kain. Apabila yang meninggal pakai kacamata maka kedua kaca harus dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain.
2. Upacara masuk peti dan penutupan peti
- Seluruh keluarga harus menggunakan pakaian tertentu. Anak laki-laki harus memakai pakaian dari blacu yang dibalik dan diberi karung goni. Kepala diikat dengan sehelai kain blacu yang diberi potongan goni. Demikian pula pakaian yang dipakai oleh anak perempuan namun ditambah dengan kekojong yang berbentuk kerucut untuk menutupi kepala. Cucu hanya memakai blacu, sedangkan keturunan ke empat memakai pakaian berwarna biru. Keturunan ke lima dan seterusnya memakai pakaian merah sebagai tanda sudah boleh lepas dari berkabung.
- Mayat harus diangkat oleh anak-anak lelaki almarhum. Sementara itu anak perempuan, cucu dan seterusnya harus terus menangis dan membakar kertas perak, di bawah peti mati. Mereka harus memperlihatkan rasa duka cita yang amat dalam sebagai tanda bakti (uhaouw).
Bila kurang banyak (tidak ada) yang meratap, maka dapat menggaji seseorang untuk meratapi dengan bersuara, khususnya pada saat tiba waktunya untuk memanggil makan siang dan makan malam.
- Sesudah masuk peti, ada upacara penutupan peti yang dipimpin oleh hwee shio atau cayma. Bagi yang beragama Budha dipimpin oleh Biksu atau Biksuni, sedangkan penganut Konfusius melakukan upacara Liam keng. Upacara ini cukup lama, dilaksanakan di sekeliling peti mati dengan satu syarat bahwa air mata peserta pada upacara penutupan peti tidak boleh mengenai mayat. Dalam upacara ini juga dilakukan pemecahan sebuah kaca / cermin yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan mereka, pada hari ke tujuh almarhum bangun dan akan melihat kaca sehingga menyadarkan dia bahwa dirinya sudah meninggal.
- Bagi anak cucu yang "berada" (kaya), mulai menyiapkan rumah-rumahan yang diisi dengan segala perabotan rumah tangga yang dipakai semasa hidup almarhum. Semuanya harus dibuat dari kertas. Bahkan diperbolehkan diisi secara berlebih-lebihan, termasuk adanya para pembantu rumah tangga. Semua perlengkapan ini dapat dibeli pada toko tertentu.
- Setiap tamu-tamu yang datang harus di sungkem (di soja) oleh anak-anaknya, khusus anak laki-laki.
- Di atas meja kecil yang terletak di depan peti mati, selalu disediakan makanan yang menjadi kesukaan semasa almarhum masih hidup.
- Upacara ini berlangsung berhari-hari. Paling cepat 3 atau 4 hari. Makin lama biasanya makin baik. Dilihat juga hari baik untuk pemakaman.
- Selama peti mati masih di dalam rumah, harus ada sepasang lampion putih yang selalu menyala di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada orang yang meninggal di rumah tersebut.
3. Upacara pemakaman
- Menjelang peti akan diangkat, diadakan penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh hwee shio atau cayma, kembali mereka melakukan upacara penghormatan.
- Sesudah menyembah (soja) dan berlutut (kui), mereka harus mengitari peti mati beberapa kali dengan jalan jongkok sambil terus menangis; mengikuti hwee shio yang mendoakan arwah almarhum.
- Untuk orang kaya, diadakan meja persembahan yang memanjang ± 2 sampai 5 meter. Di atas meja disediakan macam-macam jenis makanan dan buah-buahan. Pada bagian depan meja diletakkan kepala babi dan di depan meja berikutnya kepala kambing. Makanan yang harus ada pada setiap upacara kematian adalah "sam seng", yang terdiri dari lapisan daging dan minyak babi (Samcan), seekor ayam yang sudah dikuliti, darah babi, telur bebek. Semuanya direbus dan diletakkan dalam sebuah piring lonjong besar.
- Putra tertua memegang photo almarhum dan sebatang bambu yang diberi sepotong kertas putih yang bertuliskan huruf Cina, biasa disebut "Hoe". Ia harus berjalan dekat peti mati, diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain. Begitu peti mati diangkat, sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai.
- Dalam perjalanan menuju tempat pemakaman, di setiap persimpangan, semua anak harus berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenasah. Demikian pula setelah selesai penguburan.
- Setibanya di pemakaman, kembali diadakan upacara penguburan. Memohon kepada dewa bumi ("toapekong" tanah) agar mau menerima jenasah dan arwah almarhum, sambil membakar uang akhirat.
Semua anak - cucu tidak diperkenankan meninggalkan kuburan sebelum semuanya selesai, berarti peti sudah ditutup dengan tanah dalam bentuk gundukan. Di atas gundukan diberi uang kertas perak yang ditindih dengan batu kecil. Masing-masing dari mereka harus mengambil sekepal / segenggam tanah kuburan dan menyimpannya di ujung kekojong.
- Setibanya dirumah, mereka harus membasuh muka dengan air kembang. Sekedar untuk melupakan wajah almahum.
4. Upacara Sesudah Pemakaman
1. Semenjak ada yang meninggal sampai saat tertentu, semua keluarga harus memakai pakaian dan tanda berkabung terbuat dari sepotong blacu yang dilikatkan di lengan atas kiri. Tidak boleh memakai pakaian berwarna ceria, seperti :merah, kuning ,coklat, orange.
2. Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal,
a. untuk kedua orangtua, terutama ayah dilakukan selama 2 tahun
b. untuk nenek dan kakek dilakukan selama 1 tahun
c. untuk saudara dilkukan selama 3 atau 6 bulan.
3. Di rumah disediakan meja pemujaan, rumah-rumahan dan tempat tidur almarhum. Setiap hari harus dilayani makannya seperti semasa almarhum masih hidup.
Upacara sesudah pemakaman biasanya terdiri dari :
1. Meniga hari ( 3 hari masa sesudah meniggal )
Sesudah 3 hari meninggal seluruh keluarga melakukan upacara penghormatan dan peringatan di tempat jenazah berada (pergi ke kuburan almarhum). Mereka membawa makanan, buah-buahan, dupa, lilin, uang akhirat. Dengan memakai pakaian berkabung/blacu mereka melakukan upacara penghormatan (soja dan kui). Tak lupa mereka juga menangis dan meratap sambil membakar uang akhirat. Pulang ke rumah, kembali mencuci muka dengn air kembang.
2. Menujuh hari ( 7 hari sesudah meniggal )
Seperti halnya upacara meniga hari, seluruh keluarga melakukan upacara penghormatan dan peringatan di tempat jenasah berada (kembali ke kuburan). Mereka membawa rumah-rumahan, makanan dan buah-buahan serta uang akhirat. Lilin dan dupa (hio) dinyalakan. Seluruh rumah-rumahan dan sisa harta yang perlu dibakar, dibakar sambil melakukan upacara mengelilingi api pembakaran. Sudah selesai, tanah sekepal/segenggam diambil, diserahkan ke atasnya.
3. 40 hari sesudah meniggal
Pada hari ke 40 ini kembali anak – cucu dan keluarga melakukan upacara penghormatan di tempat jenazah berada (kuburan). Semua baju duka dari blacu dan karung goni dibuka dan diganti baju biasa. Mereka masih dalm keadaan bekabung, namun telah rela melepaskan arwah si alrmahum ke alam akhirat. Sebagai tanda tetap berkabung, semua anak cucu memakai tanda di lengan kiri atas berupa sepotong kain blacu dan goni.
4. Tiap-tiap tahun memperingati hari kematian
Satu tahun dan tahun-tahun berikutnya, akan selalu diperigati oleh anak cucunya dengan melakukan “soja dan kui” sebagai tanda berbakti dan menghormat. Peringatan tahunan ini berupa upacara persembahan. Bagi keluarga yang berbeda, di atas meja persembahan diletakkan berbagai makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh dan kopi, manisan minimum 3 macam, rokok, sirih, sekapur, sedangkan makanan yang paling utama adalah “samseng” 2 pasang, lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara ini adalah meminta kepada dewa bumi (toapekong tanah) untuk membukakan jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat (kerta perak dan kertas emas)
Nama Fam dan Jaringan Kekerabatan
Ada beberapa nama Tionghoa. Orang Tionghoa bisa memberi nama yang diinginkan. Akan tetapi, orang tua biasanya memberi nama yang bedrmakna nasib baik atau tercapainya mimpi yang indah. Setiap nama sering memliki arti khusus. Misalnya Fu (keberuntungan), Cai (kekayaan) dan Gui (prestise) merupakan nama-nama yang menunjukkan keinginan untuk mendapatkan kekyaaan dan kemakmuran. Kuang (kesehatan), Shou (umur panjang), Jian (kesehatan dan kekuatan) dan Song (pinus) menyatakan keinginan atas hidup yang panjang dan sehat.
Kata-kata yang menyatakan kekuatan dan kekuasaan sering digunakan untuk nama anak laki-laki untuk mencerminkan kejantanannya. Anak perempuan biasanya diberi nama yang lebih lembut untuk menyatakan kecantikan dan kelelembutan. Arti nama dengan dua huruf melebihi nama dengan satu huruf. Dalam bebrapa keluarga, huruf umum digunakan untuk masing-masing saudara kandung.
Dimungkinkan juga menggunakan huruf umum untuk nama-nama dalam klan. Huruf umum klan ini sudah dibuat oleh leluhur keluarga.Huruf umum untuk 12 generasi atau lebih bisa disebutkan sekaligus. Dengan huruf umum klan, setiap anggota keluarga klan diberi nama sesuai dengan tingkatannya (dalam hal generasi) dalam klan.
Masyarakat Tionghoa membagi semua hal menjadi yin dan yang. Nma juga memeliki unsur yin dan yang. Dalam memberi nama, penting untuk menyeimbangkan yin dan yang. Jika satu huruf memliki jumlah guratan yang ganjil, berarti huruf ini digolongkan sebagai yang. Jika jumlahnya genap, berarti yin. Orang-orang kuno percaya bahwa semua hal di dunia ini terdiri dari lima unsur, yaitu Logam, Kayu,Air, Api dan Tanah. Lima unsur ini saling mendukung atau menghambat satu sama lain. Jika nama memiliki kualitas mendukung, berarti ada keseimbangan nasib baik. Sebaliknya, jika nama memiliki kualitas penghambat, nama itu dianggap tidak baik.
Perkawinan bagaikan tonggak penting dalam kehidupan seseorang, perkawinan bangsa Tionghoa memiliki banyak adat istiadat dan perayaan yang rumit dan banyak diantaranya masih dipraktekkan hingga sekarang. Pada zaman dahulu, perkawinan diatur oleh orang tua dan direncanakan oleh mak comblang. Anak-anak tidak berhak berbicara. Persiapan perkawinan dimulai ketika sebuah keluarga mengirim sorang mak comblang ke keluarga lain dengan membawa lamaran perkawinan. Delapan Trigram kedua orang ini lalu dibandingkan untuk melihat apakah mereka sesuai. Keputusan akhir berada ditangan orang tua. Selain Dinasti Zhou, upacara perkawinan dilaksanakan pada waktu malam. Mempelai pria yang menggenakan pakaian hitam akan menjemput mempelai wanita ketika hari sudah gelap. Pengiring pengantin bahkan katanya juga berwarna hitam. Mereka yang berjalan di depan kereta akan membawa lilin untuk menerangi jalan.
Datangnya kehidupan baru sering dirayakan. Untuk hidup sampai usia tua pun patut dirayakan. Orang Tionghoa memiliki sejumlah perayaan untuk menandai tonggak penting dalam kehidupan seseorang sejak lahir sampai tua. Orang Tionghoia mempunyai pepatah : Dari tiga tindakan yang tidak berbakti, yang terburuk adalah kegagalan menghasilkan anak. Membesarkan anak merupakan tugas yang mempunyai beban moral tinggi
Memeliki banyak anak dan cucu adalah nasib baik. Dengan keinginan untuk mendapatkan keturunan, banyak kebiasaan yang melibatkan berdoa pada dewa untuk meminta anak semakin populer.
Cara yang paling tepat adalah meminta berkat dari kelahiran. Misalnya, orang memuja Dewa Zhang Xian, Dewi Keturunan, Ibu Suri Bunga Emas, Dewi Kemurahan, Ibu Suri Kelhiran dan Dewi Gizi. Kebiasaan lain adalah makan telur perkawinan. Mas kawin bangsa Tionghoa sering berupa ember kecil yang dicat merah. Di dalam ember tersebut, ada lima butir telur rebus yang di cat merah dan sedikit daging manis. Ketika mas kawin disdampaikan ke rumah mempelai pria, kerabat wanita dari keluarga mempelai pria yang tidak punya anak setelah cukup lama menikah bisa meminta telur ini. Katanya, setelah memakannya, mereka akan hamil. Menariknya, beberapa tempat mempraktekkan kebiasaan makan buah melon untuk mendapatkan anak.
Biasanya buah melon merujuk pada labu kuning atau labu putih. Batangnya merambat dan daun labu kuning sangat lebat. Pada sendinya terdapat akar. Satu tanaman bisa menghasilkan banyak labu. Nan dalam mangua (labu kuning) dan nan (pria) adalah homofon. Dari berbagai tipe melon, labu putih mengandung paling banyak biji sehingga kadang-kadang dikenal sebagai keranjang 100 biji, biji menyatakan anak-anak. Menurut legenda, pasangan yang tidak punya anak harus membeli labu pada Hari Qingming. Mereka harus memasak seluruh labu dan makan di siang hari. Sambil duduk berhadapan, pasangan itu harus menghabiskan labu sebanyak mungkin. Dengan melakukan hal ini, mereka akan punya anak kelak.
Perempuan Tionghoa menjalani satu bulan pengitan setelah melahirkan. Hal ini merupakan kebiasaan yang unik bagi warga Tionghoa. Kebiasaan ini telah dipraktekkan untuk waktu yang lama, sampai sekarang. Dalam satu bulan itu,seorang wanita harus merawat diri secara hati-hati, yaitu menjaga kehangatan, mengurangi udara di perut, dan minuman tonikum. Tonikum seperti sari ayam,ayam dimasak dalam minyak wijen, nasi ketan, bubur jail, telur rebus, sup bening ayam, wijin asin, biji walnut dan gula hitam sangat disarankan.
Gunanya adalah untuk mengganti darah yang hilang selama melahirkan dan sekaligus memastikan bahwa ibu memiliki banyak asi untuk memberi makan bayi. Sebuah pepatah kuno mangatakan : Ikuti aturan pengitan dan bebaskan dirimu dari semua kekhawatiran hidup. Beberapa lama seorang wanita beristirahat selama masa pingitan adalah sangat penting karena bisa mempengaruhi kesehatan fisik di masa depan.
Setiap orang memliki hari ulang tahun. Dalam pemikiran bangsa Tionghoa tradisional, hanya orang berusia 60 tahun atau lebih yang berhak merayakan ulang tahunnya. Seseorang yang masih berusia di bawah 60 tahun tidak boleh merayakan ulang tahunnya secara besar-besaran karena dapat memperpendek umur! Mengapa demikian? Dalam pemikiran Bangsa Tionghoa, Batang Langit dan Cabang Bumi membuat lingkaran penuh dalam 60 tahun. Mereka yang bedrusia 60 tahun telah melengkapi lingkaran ini sehingga mereka bukan lagi orang biasa. Mereka menikmati penghoramatan kepada leluhur. Di ulang tahunnya, anak dan cucu akan memberikan ucapan selamat kepada mereka.
Angka 9 dan 10 sangat penting dalam perayaan ini. Angka terbaik adalah 9 karena menyatakan yang terbaik dan juga terdengar seperti kata untuk keabadian. Jika usia seseorang memiliki angka 9 atau merupakan kelipatan 9, mereka boleh merencanakan pesta besar yang dikenal sebagai perayaan 9. Angka 10 dianggap sebagai keseluruhan penuh dan usia dalam angka sepuluh dikenal sebagai ulang tahun keseluruhan penuh. Orang yang telah mencapai usia 80 dipandang sebagai Dewa Bintang. Perayaan ulang tahunnya akan diadakan dengan sangat meriah.
Bagi orang Tionghoa, kelahiran dan kematian merupakan sebuah peristiwa yang memerlukan pengumpulan banyak orang. Usia sebulan bayi dirayakan. Jika seseorang sudah tua, ulang tahunnya dirayakan, Jika ia mati, ada ritual rumit yang harus dipatuhi. Beberapa orang tua bahkan sudah mengatur penguburan mereka sebelumnya.
Orang Tionghoa percaya bahwa ada jiwa dan tubuh. Jika meninggal, jiwanya akan naik ke langit sedangkan tubuhnya tetap di bumi. Meskipun tubuhnya mati, jiwanya tetap ada.
Selain itu juga dipercaya bahwa jiwa tidak bisa dihancurkan. Orang hidup bisa berkomunikasi dan minta berkat padanya. Namun seseorang hanya bisa berdoa untuk memenuhi tujuan ini. Akhirnya plakat leluhur pun dibuat. Kebanyakan plakat dibuat dari kayu. Karenanya kadang-kadang disebut tuan kayu. Putra tertua atau cucu tertua berkewajiban mengurus plakat. Plakat leluhur tidak hanya mencerminkan pentingnya kesalehan anak dalam ajaran Confucius, tapi juga penghormatan bagi yang wafat.
Menurut Ketua Majelis Umat Khong Fu stu Kalimantan Barat yang menetap di kabupaten Ketapang ada beberapa warga Tionghoa masih mempercayai adanya Fam dan jaringan kekerabatn diantaranya :
Shio Babi Fam : Tai Soi, Phak Fu, Eng Jui
Shio Anjing Fam : Phiang, Phu,Khi,Kon Jin, Fuk
ShioAyam Fam : Eng Kui, Tien Ken,Tiau hak, Soi Pho
Shio Kera Fam : Siu Miang, Tai Jim,Tai Jong, Cok Fuk
Shio Kambing Fam : Phak Fu, Eng Kui, Fa Kong, Hie Thian, Cok Fu
Shio Kuda Fam : Tai Yong, Cok Fu
Shio Ular Fam : Shoi Pho, Tien Keu, Tian Hak
Shio Naga Fam : Kim Fa, Tai Yong, Cok Fuk
Shio Kelinci Fam : Eng Kuyi, Phak Fu, Tien Keu, Tiau Hak,Soi Pow
Shio Harimau Fam : Phiang, Phu, Khi, Kon Jim,Fuk
Shio Sapi Fam : Tien Keu, Tian Hak, Soi Pho Phak Fu
Shio Tikus Fam : Tai Yo, Sen kiu
Sistem Pembagian Harta Waris
Bagi masyarakat Tionghoa pembagian harta wariasan telah berlangsung sejak turun-temurun, jika orang tua telah usia lanjut atau jika sang Bapak mninggal terlebih dahulu, warisan sementara dipegang/ dikelola sang Ibu dan setelah Ibu meninggal warisan tersebut dibagi-bagikan kepada semua anak lelaki, yang perempuan biasanya tidak mendapat warisan, apalagi bagi perempuan yang sudah berumah tangga karena statusnya punya suami, terkecuali ada wasiat dari sang Bapak/Ibu sebelum meninggal itu sudah ditentukan berapa haknya dan jika punya anak angkat di keluarga Tionghoa berhak juga mendapat warisan. Jika warisan sedikit, biasanya dengan musyawarah, warisan tersebut diberikan kepada anak sibungsu.
Oleh : M.Natsir
1. Belum Masuk Peti.
o Semenjak terjadinya kematian, anak-cucu sudah harus membakar kertas perak (uang di akhirat ) merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat yang dilakukan sambil mendoakan yang meninggal.
o Mayat dimandikan dan dibersihkan, lalu diberi pakaian tujuh lapis. Lapisan pertama adalah pakaian putih sewaktu almarhum/almarhumah menikah. Selanjutnya pakaian yang lain sebanyak enam lapis.
o Sesudah dibaringkan; kedua mata, lubang hidung, mulut, telinga, diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.
Di sisi kiri dan kanan diisi dengan pakaian yang meninggal. Sepatu yang dipakai harus dari kain. Apabila yang meninggal pakai kacamata maka kedua kaca harus dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain.
2. Upacara masuk peti dan penutupan peti
- Seluruh keluarga harus menggunakan pakaian tertentu. Anak laki-laki harus memakai pakaian dari blacu yang dibalik dan diberi karung goni. Kepala diikat dengan sehelai kain blacu yang diberi potongan goni. Demikian pula pakaian yang dipakai oleh anak perempuan namun ditambah dengan kekojong yang berbentuk kerucut untuk menutupi kepala. Cucu hanya memakai blacu, sedangkan keturunan ke empat memakai pakaian berwarna biru. Keturunan ke lima dan seterusnya memakai pakaian merah sebagai tanda sudah boleh lepas dari berkabung.
- Mayat harus diangkat oleh anak-anak lelaki almarhum. Sementara itu anak perempuan, cucu dan seterusnya harus terus menangis dan membakar kertas perak, di bawah peti mati. Mereka harus memperlihatkan rasa duka cita yang amat dalam sebagai tanda bakti (uhaouw).
Bila kurang banyak (tidak ada) yang meratap, maka dapat menggaji seseorang untuk meratapi dengan bersuara, khususnya pada saat tiba waktunya untuk memanggil makan siang dan makan malam.
- Sesudah masuk peti, ada upacara penutupan peti yang dipimpin oleh hwee shio atau cayma. Bagi yang beragama Budha dipimpin oleh Biksu atau Biksuni, sedangkan penganut Konfusius melakukan upacara Liam keng. Upacara ini cukup lama, dilaksanakan di sekeliling peti mati dengan satu syarat bahwa air mata peserta pada upacara penutupan peti tidak boleh mengenai mayat. Dalam upacara ini juga dilakukan pemecahan sebuah kaca / cermin yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan mereka, pada hari ke tujuh almarhum bangun dan akan melihat kaca sehingga menyadarkan dia bahwa dirinya sudah meninggal.
- Bagi anak cucu yang "berada" (kaya), mulai menyiapkan rumah-rumahan yang diisi dengan segala perabotan rumah tangga yang dipakai semasa hidup almarhum. Semuanya harus dibuat dari kertas. Bahkan diperbolehkan diisi secara berlebih-lebihan, termasuk adanya para pembantu rumah tangga. Semua perlengkapan ini dapat dibeli pada toko tertentu.
- Setiap tamu-tamu yang datang harus di sungkem (di soja) oleh anak-anaknya, khusus anak laki-laki.
- Di atas meja kecil yang terletak di depan peti mati, selalu disediakan makanan yang menjadi kesukaan semasa almarhum masih hidup.
- Upacara ini berlangsung berhari-hari. Paling cepat 3 atau 4 hari. Makin lama biasanya makin baik. Dilihat juga hari baik untuk pemakaman.
- Selama peti mati masih di dalam rumah, harus ada sepasang lampion putih yang selalu menyala di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada orang yang meninggal di rumah tersebut.
3. Upacara pemakaman
- Menjelang peti akan diangkat, diadakan penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh hwee shio atau cayma, kembali mereka melakukan upacara penghormatan.
- Sesudah menyembah (soja) dan berlutut (kui), mereka harus mengitari peti mati beberapa kali dengan jalan jongkok sambil terus menangis; mengikuti hwee shio yang mendoakan arwah almarhum.
- Untuk orang kaya, diadakan meja persembahan yang memanjang ± 2 sampai 5 meter. Di atas meja disediakan macam-macam jenis makanan dan buah-buahan. Pada bagian depan meja diletakkan kepala babi dan di depan meja berikutnya kepala kambing. Makanan yang harus ada pada setiap upacara kematian adalah "sam seng", yang terdiri dari lapisan daging dan minyak babi (Samcan), seekor ayam yang sudah dikuliti, darah babi, telur bebek. Semuanya direbus dan diletakkan dalam sebuah piring lonjong besar.
- Putra tertua memegang photo almarhum dan sebatang bambu yang diberi sepotong kertas putih yang bertuliskan huruf Cina, biasa disebut "Hoe". Ia harus berjalan dekat peti mati, diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain. Begitu peti mati diangkat, sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai.
- Dalam perjalanan menuju tempat pemakaman, di setiap persimpangan, semua anak harus berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenasah. Demikian pula setelah selesai penguburan.
- Setibanya di pemakaman, kembali diadakan upacara penguburan. Memohon kepada dewa bumi ("toapekong" tanah) agar mau menerima jenasah dan arwah almarhum, sambil membakar uang akhirat.
Semua anak - cucu tidak diperkenankan meninggalkan kuburan sebelum semuanya selesai, berarti peti sudah ditutup dengan tanah dalam bentuk gundukan. Di atas gundukan diberi uang kertas perak yang ditindih dengan batu kecil. Masing-masing dari mereka harus mengambil sekepal / segenggam tanah kuburan dan menyimpannya di ujung kekojong.
- Setibanya dirumah, mereka harus membasuh muka dengan air kembang. Sekedar untuk melupakan wajah almahum.
4. Upacara Sesudah Pemakaman
1. Semenjak ada yang meninggal sampai saat tertentu, semua keluarga harus memakai pakaian dan tanda berkabung terbuat dari sepotong blacu yang dilikatkan di lengan atas kiri. Tidak boleh memakai pakaian berwarna ceria, seperti :merah, kuning ,coklat, orange.
2. Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal,
a. untuk kedua orangtua, terutama ayah dilakukan selama 2 tahun
b. untuk nenek dan kakek dilakukan selama 1 tahun
c. untuk saudara dilkukan selama 3 atau 6 bulan.
3. Di rumah disediakan meja pemujaan, rumah-rumahan dan tempat tidur almarhum. Setiap hari harus dilayani makannya seperti semasa almarhum masih hidup.
Upacara sesudah pemakaman biasanya terdiri dari :
1. Meniga hari ( 3 hari masa sesudah meniggal )
Sesudah 3 hari meninggal seluruh keluarga melakukan upacara penghormatan dan peringatan di tempat jenazah berada (pergi ke kuburan almarhum). Mereka membawa makanan, buah-buahan, dupa, lilin, uang akhirat. Dengan memakai pakaian berkabung/blacu mereka melakukan upacara penghormatan (soja dan kui). Tak lupa mereka juga menangis dan meratap sambil membakar uang akhirat. Pulang ke rumah, kembali mencuci muka dengn air kembang.
2. Menujuh hari ( 7 hari sesudah meniggal )
Seperti halnya upacara meniga hari, seluruh keluarga melakukan upacara penghormatan dan peringatan di tempat jenasah berada (kembali ke kuburan). Mereka membawa rumah-rumahan, makanan dan buah-buahan serta uang akhirat. Lilin dan dupa (hio) dinyalakan. Seluruh rumah-rumahan dan sisa harta yang perlu dibakar, dibakar sambil melakukan upacara mengelilingi api pembakaran. Sudah selesai, tanah sekepal/segenggam diambil, diserahkan ke atasnya.
3. 40 hari sesudah meniggal
Pada hari ke 40 ini kembali anak – cucu dan keluarga melakukan upacara penghormatan di tempat jenazah berada (kuburan). Semua baju duka dari blacu dan karung goni dibuka dan diganti baju biasa. Mereka masih dalm keadaan bekabung, namun telah rela melepaskan arwah si alrmahum ke alam akhirat. Sebagai tanda tetap berkabung, semua anak cucu memakai tanda di lengan kiri atas berupa sepotong kain blacu dan goni.
4. Tiap-tiap tahun memperingati hari kematian
Satu tahun dan tahun-tahun berikutnya, akan selalu diperigati oleh anak cucunya dengan melakukan “soja dan kui” sebagai tanda berbakti dan menghormat. Peringatan tahunan ini berupa upacara persembahan. Bagi keluarga yang berbeda, di atas meja persembahan diletakkan berbagai makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh dan kopi, manisan minimum 3 macam, rokok, sirih, sekapur, sedangkan makanan yang paling utama adalah “samseng” 2 pasang, lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara ini adalah meminta kepada dewa bumi (toapekong tanah) untuk membukakan jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat (kerta perak dan kertas emas)
Nama Fam dan Jaringan Kekerabatan
Ada beberapa nama Tionghoa. Orang Tionghoa bisa memberi nama yang diinginkan. Akan tetapi, orang tua biasanya memberi nama yang bedrmakna nasib baik atau tercapainya mimpi yang indah. Setiap nama sering memliki arti khusus. Misalnya Fu (keberuntungan), Cai (kekayaan) dan Gui (prestise) merupakan nama-nama yang menunjukkan keinginan untuk mendapatkan kekyaaan dan kemakmuran. Kuang (kesehatan), Shou (umur panjang), Jian (kesehatan dan kekuatan) dan Song (pinus) menyatakan keinginan atas hidup yang panjang dan sehat.
Kata-kata yang menyatakan kekuatan dan kekuasaan sering digunakan untuk nama anak laki-laki untuk mencerminkan kejantanannya. Anak perempuan biasanya diberi nama yang lebih lembut untuk menyatakan kecantikan dan kelelembutan. Arti nama dengan dua huruf melebihi nama dengan satu huruf. Dalam bebrapa keluarga, huruf umum digunakan untuk masing-masing saudara kandung.
Dimungkinkan juga menggunakan huruf umum untuk nama-nama dalam klan. Huruf umum klan ini sudah dibuat oleh leluhur keluarga.Huruf umum untuk 12 generasi atau lebih bisa disebutkan sekaligus. Dengan huruf umum klan, setiap anggota keluarga klan diberi nama sesuai dengan tingkatannya (dalam hal generasi) dalam klan.
Masyarakat Tionghoa membagi semua hal menjadi yin dan yang. Nma juga memeliki unsur yin dan yang. Dalam memberi nama, penting untuk menyeimbangkan yin dan yang. Jika satu huruf memliki jumlah guratan yang ganjil, berarti huruf ini digolongkan sebagai yang. Jika jumlahnya genap, berarti yin. Orang-orang kuno percaya bahwa semua hal di dunia ini terdiri dari lima unsur, yaitu Logam, Kayu,Air, Api dan Tanah. Lima unsur ini saling mendukung atau menghambat satu sama lain. Jika nama memiliki kualitas mendukung, berarti ada keseimbangan nasib baik. Sebaliknya, jika nama memiliki kualitas penghambat, nama itu dianggap tidak baik.
Perkawinan bagaikan tonggak penting dalam kehidupan seseorang, perkawinan bangsa Tionghoa memiliki banyak adat istiadat dan perayaan yang rumit dan banyak diantaranya masih dipraktekkan hingga sekarang. Pada zaman dahulu, perkawinan diatur oleh orang tua dan direncanakan oleh mak comblang. Anak-anak tidak berhak berbicara. Persiapan perkawinan dimulai ketika sebuah keluarga mengirim sorang mak comblang ke keluarga lain dengan membawa lamaran perkawinan. Delapan Trigram kedua orang ini lalu dibandingkan untuk melihat apakah mereka sesuai. Keputusan akhir berada ditangan orang tua. Selain Dinasti Zhou, upacara perkawinan dilaksanakan pada waktu malam. Mempelai pria yang menggenakan pakaian hitam akan menjemput mempelai wanita ketika hari sudah gelap. Pengiring pengantin bahkan katanya juga berwarna hitam. Mereka yang berjalan di depan kereta akan membawa lilin untuk menerangi jalan.
Datangnya kehidupan baru sering dirayakan. Untuk hidup sampai usia tua pun patut dirayakan. Orang Tionghoa memiliki sejumlah perayaan untuk menandai tonggak penting dalam kehidupan seseorang sejak lahir sampai tua. Orang Tionghoia mempunyai pepatah : Dari tiga tindakan yang tidak berbakti, yang terburuk adalah kegagalan menghasilkan anak. Membesarkan anak merupakan tugas yang mempunyai beban moral tinggi
Memeliki banyak anak dan cucu adalah nasib baik. Dengan keinginan untuk mendapatkan keturunan, banyak kebiasaan yang melibatkan berdoa pada dewa untuk meminta anak semakin populer.
Cara yang paling tepat adalah meminta berkat dari kelahiran. Misalnya, orang memuja Dewa Zhang Xian, Dewi Keturunan, Ibu Suri Bunga Emas, Dewi Kemurahan, Ibu Suri Kelhiran dan Dewi Gizi. Kebiasaan lain adalah makan telur perkawinan. Mas kawin bangsa Tionghoa sering berupa ember kecil yang dicat merah. Di dalam ember tersebut, ada lima butir telur rebus yang di cat merah dan sedikit daging manis. Ketika mas kawin disdampaikan ke rumah mempelai pria, kerabat wanita dari keluarga mempelai pria yang tidak punya anak setelah cukup lama menikah bisa meminta telur ini. Katanya, setelah memakannya, mereka akan hamil. Menariknya, beberapa tempat mempraktekkan kebiasaan makan buah melon untuk mendapatkan anak.
Biasanya buah melon merujuk pada labu kuning atau labu putih. Batangnya merambat dan daun labu kuning sangat lebat. Pada sendinya terdapat akar. Satu tanaman bisa menghasilkan banyak labu. Nan dalam mangua (labu kuning) dan nan (pria) adalah homofon. Dari berbagai tipe melon, labu putih mengandung paling banyak biji sehingga kadang-kadang dikenal sebagai keranjang 100 biji, biji menyatakan anak-anak. Menurut legenda, pasangan yang tidak punya anak harus membeli labu pada Hari Qingming. Mereka harus memasak seluruh labu dan makan di siang hari. Sambil duduk berhadapan, pasangan itu harus menghabiskan labu sebanyak mungkin. Dengan melakukan hal ini, mereka akan punya anak kelak.
Perempuan Tionghoa menjalani satu bulan pengitan setelah melahirkan. Hal ini merupakan kebiasaan yang unik bagi warga Tionghoa. Kebiasaan ini telah dipraktekkan untuk waktu yang lama, sampai sekarang. Dalam satu bulan itu,seorang wanita harus merawat diri secara hati-hati, yaitu menjaga kehangatan, mengurangi udara di perut, dan minuman tonikum. Tonikum seperti sari ayam,ayam dimasak dalam minyak wijen, nasi ketan, bubur jail, telur rebus, sup bening ayam, wijin asin, biji walnut dan gula hitam sangat disarankan.
Gunanya adalah untuk mengganti darah yang hilang selama melahirkan dan sekaligus memastikan bahwa ibu memiliki banyak asi untuk memberi makan bayi. Sebuah pepatah kuno mangatakan : Ikuti aturan pengitan dan bebaskan dirimu dari semua kekhawatiran hidup. Beberapa lama seorang wanita beristirahat selama masa pingitan adalah sangat penting karena bisa mempengaruhi kesehatan fisik di masa depan.
Setiap orang memliki hari ulang tahun. Dalam pemikiran bangsa Tionghoa tradisional, hanya orang berusia 60 tahun atau lebih yang berhak merayakan ulang tahunnya. Seseorang yang masih berusia di bawah 60 tahun tidak boleh merayakan ulang tahunnya secara besar-besaran karena dapat memperpendek umur! Mengapa demikian? Dalam pemikiran Bangsa Tionghoa, Batang Langit dan Cabang Bumi membuat lingkaran penuh dalam 60 tahun. Mereka yang bedrusia 60 tahun telah melengkapi lingkaran ini sehingga mereka bukan lagi orang biasa. Mereka menikmati penghoramatan kepada leluhur. Di ulang tahunnya, anak dan cucu akan memberikan ucapan selamat kepada mereka.
Angka 9 dan 10 sangat penting dalam perayaan ini. Angka terbaik adalah 9 karena menyatakan yang terbaik dan juga terdengar seperti kata untuk keabadian. Jika usia seseorang memiliki angka 9 atau merupakan kelipatan 9, mereka boleh merencanakan pesta besar yang dikenal sebagai perayaan 9. Angka 10 dianggap sebagai keseluruhan penuh dan usia dalam angka sepuluh dikenal sebagai ulang tahun keseluruhan penuh. Orang yang telah mencapai usia 80 dipandang sebagai Dewa Bintang. Perayaan ulang tahunnya akan diadakan dengan sangat meriah.
Bagi orang Tionghoa, kelahiran dan kematian merupakan sebuah peristiwa yang memerlukan pengumpulan banyak orang. Usia sebulan bayi dirayakan. Jika seseorang sudah tua, ulang tahunnya dirayakan, Jika ia mati, ada ritual rumit yang harus dipatuhi. Beberapa orang tua bahkan sudah mengatur penguburan mereka sebelumnya.
Orang Tionghoa percaya bahwa ada jiwa dan tubuh. Jika meninggal, jiwanya akan naik ke langit sedangkan tubuhnya tetap di bumi. Meskipun tubuhnya mati, jiwanya tetap ada.
Selain itu juga dipercaya bahwa jiwa tidak bisa dihancurkan. Orang hidup bisa berkomunikasi dan minta berkat padanya. Namun seseorang hanya bisa berdoa untuk memenuhi tujuan ini. Akhirnya plakat leluhur pun dibuat. Kebanyakan plakat dibuat dari kayu. Karenanya kadang-kadang disebut tuan kayu. Putra tertua atau cucu tertua berkewajiban mengurus plakat. Plakat leluhur tidak hanya mencerminkan pentingnya kesalehan anak dalam ajaran Confucius, tapi juga penghormatan bagi yang wafat.
Menurut Ketua Majelis Umat Khong Fu stu Kalimantan Barat yang menetap di kabupaten Ketapang ada beberapa warga Tionghoa masih mempercayai adanya Fam dan jaringan kekerabatn diantaranya :
Shio Babi Fam : Tai Soi, Phak Fu, Eng Jui
Shio Anjing Fam : Phiang, Phu,Khi,Kon Jin, Fuk
ShioAyam Fam : Eng Kui, Tien Ken,Tiau hak, Soi Pho
Shio Kera Fam : Siu Miang, Tai Jim,Tai Jong, Cok Fuk
Shio Kambing Fam : Phak Fu, Eng Kui, Fa Kong, Hie Thian, Cok Fu
Shio Kuda Fam : Tai Yong, Cok Fu
Shio Ular Fam : Shoi Pho, Tien Keu, Tian Hak
Shio Naga Fam : Kim Fa, Tai Yong, Cok Fuk
Shio Kelinci Fam : Eng Kuyi, Phak Fu, Tien Keu, Tiau Hak,Soi Pow
Shio Harimau Fam : Phiang, Phu, Khi, Kon Jim,Fuk
Shio Sapi Fam : Tien Keu, Tian Hak, Soi Pho Phak Fu
Shio Tikus Fam : Tai Yo, Sen kiu
Sistem Pembagian Harta Waris
Bagi masyarakat Tionghoa pembagian harta wariasan telah berlangsung sejak turun-temurun, jika orang tua telah usia lanjut atau jika sang Bapak mninggal terlebih dahulu, warisan sementara dipegang/ dikelola sang Ibu dan setelah Ibu meninggal warisan tersebut dibagi-bagikan kepada semua anak lelaki, yang perempuan biasanya tidak mendapat warisan, apalagi bagi perempuan yang sudah berumah tangga karena statusnya punya suami, terkecuali ada wasiat dari sang Bapak/Ibu sebelum meninggal itu sudah ditentukan berapa haknya dan jika punya anak angkat di keluarga Tionghoa berhak juga mendapat warisan. Jika warisan sedikit, biasanya dengan musyawarah, warisan tersebut diberikan kepada anak sibungsu.
Langganan:
Postingan (Atom)