Oleh : M.Natsir
I. Latar Belakang
Kebudayaan dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas ide dan gagasan yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat, karena kepercayan masyarakat sebagai salah satu unsur kebudayaan yang universal dalam sistem religi merupakan kenyakinan dari masyarakat pada pemahaman dari aspek alam semesta, alam gaib (supranatural), yang dilaksanakan dengan ritus dan upacara maupun tidak serta pandangan hidup masyarakat yang sangat syarat nilai norma dan ajaran yang dianggap sebagai salah satu kebenaran. Hal ini karena manusia sebagai mahluk sosial yang berbudaya dalam kehidupan tidak bisa melepaskan diri dari alam. Manusia tidak hanya dapat menyelaraskan diri, tetapi juga akan dapat dan sanggup merubah lingkungannya demi keberlangsungan hidup, sebab dengan kebudayaan berarti manusia memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat dijadikan alternatif untuk menanggapi lingkungannya, baik fisik maupun social, dan juga sebagai mahluk social, manusia selalu hidup dalam kelompok masyarakat, jadi kebudayaan selalu hidup dalam suatu masyarakat masyarakat merupakan wadah dari kebudayaan.
E.B.Taylor 1871, berpendapat bahwa budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Kepercayaan masyarakat, norma-norma kegiatan social yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang sering dilakukan oleh masyarakat pendukungnya.
Suku Bugis salah satu suku yang masih banyak yang mempertahankan nilai-nilai budaya di dalam kehidupan sehari-hari menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, seperti mengucapkan tabe (permisi) meletakkan tangan diatas kepala, berbungkuk setengah badan bila lewat di hadapan orang lain, mengucapkan dengan bahasa sopan, menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyanyangi yang muda. Ajaran inilah yang masih banyak dianut sebagian masyarakat Bugis yang ada di wilayah Kalimantan Barat. Dalam kehidupan suku Bugis siri merupakan unsur yang prinsip dalam diri mereka tidak ada satupun nilai yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan selain siri bagi orang Bugis siri adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu untuk menegakan dan membela siri yang dianggap cemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka orang Bugis bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri dalam kehidupan mereka (Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar.37)2
Konsep tentang siri dalam masyarakat Bugis terkandung dua pengertian tanpaknya saling bertentangan. Ia dapat berarti malu, tetapi juga rasa kehormatan atau harga diri. Sering terdengan seseorang itu dibuat malu (dipakasiri) atau dipermalukan karena diabaikan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Lebih jarang diutarakan mengenai seseorang yang berusaha memperoleh kembali atau memulihkan sirinya atau harga diri. Situasi siri akan muncul pada saat seseorang merasa bahwa kedudukan atau pembawa sosialnya dalam masyarakat, atau harga diri dan kehormatannya telah di cemarkan pihak lain secara terbuka. Bisa juga terjadi kalau seseorang nyakin bahwa ia telah dituduh melakukan sesuatu yang ia tidak melakukannya, perlakukan secara tidak adil. Seorang Bugis akan menerima dengan rendah hati jika ia bersalah, tetapi ia akan melawan dengan kekerasan terhadap sikap demikian itu apabila ia percaya bahwa dirinya benar, dan sebab itu merasa pribadinya terhina di depan masyarakat. Seseorang dipermalukan oleh masyarakat ia dituntut untuk mengambil langkah menebus dirinya dengan menyingkirkan penyebab malu yang tidak adil itu dan dengan demikian memulihkan sirinya (harga diri) secara pribadi maupun lingkungan masyaratnya. Seseorang yang mati siri dan tidak melakukan sesuatu mengatasinya akan dipandang hina oleh masyarakat dan dianggap tidak berguna bagi masyarakat.
Untuk mempertahankan harga diri siri harus dipelihara keseimbangan satu dengan yang lainnya, harga diri harus mengendalikan pribadi itu dalam keseimbangan, selalu menghargai orang lain dan menghormatinya. Pesse dan siri adalah konsep kembar yang menentukan individu masyarakat suku Bugis. Memelihara keseimbangan antara malu dan harga diri sebagaimana dipahami dalam siri dan mengasuh suatu kesadaran ikut menanggung penderitaan orang lain ada rasa empati yang begitu kuat dalam dirinya. Dengan demikian keluarga ikut menjaga keseimbangan dengan orang lain. Sipat lain terdapat di dalam pribadi orang Bugis juga dikenal dengan sifat Sipakatau, Sipakalebi dan Sipakainge dalam pengertian sifat-sifat ini menjadi bagian dari keseimbangan pribadi orang Bugis.3
Sipakatau yang memandang orang lain sebagai manusia seutuhnya, sehingga tidaklah pantas memperlakukan orang lain diluar perlakuan yang pantas bagi manusia, memandang manusia dengan segala penghargaan, seorang Bugis ia memperlakukan orang lain sebagaimana ia memandang dirinya sebagai sama-sama manusia.
Sipakalebbi, adalah yang memandang manusia sebagai mahluk yang senang dipuji dan diperlakukan dengan baik, diperlakukan dengan selayaknya, karena itu manusia Bugis tidak akan memperlakukan orang lain dengan seadanya, tetapi lebih cenderung memandang dari segi kelebihannya, setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan, untuk setiap kelebihan manusia lainnya ia perlakukan. Saling menghargai dengan pujian akan menimbulkan kebahagiaan bagi orang lainnya.
Sipakainge setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, hal ini sebagai sebuah sarana untuk saling mengingatkan bagi siapapun agar dapat selalu berbuat baik, setiap orang didalam aturan. Kesepakatan adat yang dijunjung selalu ditaati, jika ada yang melanggar maka akan mendapatkan sangsi. Kritik yang bersifat membangun bukanlah menjadi tabu bagi orang Bugis bahkan menjadi kebutuhan. Dalam Sipakainge berlaku siapapun yang mempunyai kuasa akan selalu diingatkan akan kekuasaanya. Dari ketiga sifat yang ada merupakan nilai-nilai budaya yang harus dipertahankan oleh suku Bugis.
Bermula kedatangan Suku Bugis yang ada di Kalimantan Barat lebih dikenal masyarakat dari kedatangan Daeng Mataku yang membantu Kerajaan Sukadana untuk menyerang Istana Sultan Zainuddin diperkirakan pada tahun 1710. Atas jasanya membantu pangeran Agung ia diangkat menjadi panglima dan dikawinkan dengan anak pangeran Agung melahirkan beberapa keturunan Bugis. Atas permintaan sultan Zainuddin datang Upu Daeng Manambon bersaudara, Upu Daeng Marewah, Upu Daeng Perani, Upu Daeng Celak dan Upu Daeng Kemasi Upu Daeng Manambon digelari Pangeran Emas Surya Negara dan menikahi Puteri Kesumbah anak Zainuddin dengan Utin Indrawati dari kerajaaan Mempawah4. Daeng Manambon kemudian mengantikan Panembahan Segauk sebagai raja di Mempawah. Dalam perkembangannya, orang Bugis tersebar di seluruh Kalimantan Barat. Suku Bugis sangat hormat dengan adat dan budaya dan mempunyai perinsip di dalam hidupnya, budaya siri diaktualisasikan di dalam upacara-upacara adat dan masih tetap eksis mempertahankan adat istiadat masyarakatnya, dari berbagai adat yang ada salah satunya adalah upacara adat lesuji, empat puluh hari setelah melahirkan, dan upacara robo-robo. Upacara sakral yang sering dilakukan adalah berupa wujud dari rasa syukur atas karunia yang diberikan dan sekaligus memohon keselamatan
Dengan adanya selamatan atau upacara merupakan suatu upaya manusia mencari keselamatan, ketentraman sekaligus menjaga kelestarian kosmos Clifford Geertz, 1995, mengatakan”selamatan ini pada hakekatnya merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia dan melambangkan kesatuan mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir di dalamnya5
Upacara adat adalah bagian dari identitas suatu suku yang mengandung nilai-nilai, norma, dan simbol-simbol ekspresif sebagai sebuah ikatan sosial yang berperan sebagai penguat ikatan solidaritas sosial dan kohesivitas sosial masyarakat lokal. Identitas adalah harga diri dan sekaligus merupakan “perisai” untuk menghadapi tekanan dan pengaruh kekuatan sosial budaya dari luar. Identitas budaya suatu kelompok sosial berakar pada entitas kultural yang dapat digali dalam domain-domain budaya seperti mitos, religi, bahasa, dan ideologi. Aktualisasi dan budaya masyarakat Bugis yang terangkup dalam kehidupan masyarakat dengan sifat prilaku masyarakat, pemukiman rumah, adat istiadat dan kepercayaan.
Teori Interaksionisme simbolik sebagaimana dikemukakan oleh Veeger (1993:36, dalam Natsir)6 adalah mengambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti sistem,struktur sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisan sosial, struktur institusional, pola budaya, norma-norma dan nilai-nilai sosial, melainkan dengan memakai istilah “aksi”. Permasalahan identitas sosial dapat dipahami melalui kerangka teori Interaksioma Simbolik. Aliran interaksionisme simbolik berpendapat bahwa pada umumnya suatu masyarakat akan banyak ditandai oleh “orde” dari pada konflik karena orang saling membutuhkan demi memuaskan kebutuhan mereka. Para sosiolog interaksionisme simbolik menyebut secara khusus “kebutuhan-kebutuhan sosial” seperti antara lain kebutuhan agar self image seseorang senantiasa perlu diteguhkan oleh orang lain melalui proses interaksi, supaya bertahan. Orang bergantung satu sama lain, hal mana menjadi nyata dalam proses-proses interaksi. Jadi kebutuhan dan ketergantungan menurut aliran interaksionisme simbolik merupakan perekat masyarakat.
Upacara adat yang dilakukan adalah sebuah upaya masyarakat dalam bentuk manisfestasi atas karunia yang didapatkan dan juga sebagai sebuah simbol dari identias suatu masyarakat yang pada akhirnya akan menjadi suatu daya rekat antar masyarakat yang mendukungnya. Nilai-nilai yang ada pada upacara tersebut akan menjadi sebuah warisan kearifan lokal masyarakat Bugis. Dalam upacara adat ini berupa ungkapan terima kasih pada Yang Maha Kuasa atas keselamatan dari bencana yang menimpa dan mensyukuri setelah mendapatkan keuntungan, memohon penjagaan atau perlindungan kepada Tuhan pencipta alam ini. Dalam perkembangan selanjutnya upacara itu tidak hanya kepada Tuhan pencipta alam, tetapi juga tertuju kepada makhluk-makhluk dan roh-roh halus yang menjaga dan menguasai alam semesta ini. Upacara itu disertai dengan penyelengaraan saji-sajian yang dimaksud sebagai upah atau imbalan terhadap roh-roh halus atas penjagaan dan perlindungannya. Karena penjagaan dan perlindungan roh-roh halus itu maka seluruh warga masyarakat terhindar dari berbagai bala bencana seperti kerusuhan, wabah penyakit dan lain-lain.
Sekiranya upacara Lesuji itu tidak diselenggarakan, timbul suatu kekhawatiran bahwa para arwah dan mahluk-makhluk halus dapat murka terhadap manusia. Akibatnya tidak akan melindungi dan menjaga masyarakat. Hal yang akan lebih jelek lagi bahwa dapat terjadi para arwah dan makhluk-makhluk halus itu sendiri yang menimpa bala bencananya terhadap manusia. Jika demikian halnya akan terjadi banyak musibah yang sangat merugikan penduduk Kehidupan alam gaib dinyakini berbagai makhluk yang ada di dalamnya. Arwah para leluhur wajiblah dihormati, tidak menghormati leluhur seperti mendurhaka segala jasa dan pengorbanan yang telah dilakukannya dan diwariskan kepada anak cucunya. Apalagi jika terjadi kerusuhan atau perkelahian antar kampung terasa bahwa masyarakat harus melaksanakan upacara tersebut jika tidak dilaksanakan seperti akan menimbulkan was-was atau bencana berikutnya, hal ini dikaitkan dengan kutukan dari arwah leluhur yang tidak dihormati dan tidak melaksanakan upacara.
Sehubungan dengan hal tersebut maksud dari pada penyelenggaran upacara ini menyampaikan penghormatan kepada arwah para leluhur yang telah mendahuluinya. Atas persembahan itu juga masyarakat meminta ampun atas segala kesalahan, meminta doa diselamatkan dari segala marabahaya yang akan menimpa. Tujuan sebagai arena pertemuan seluruh warga masyarakat dan kerjasama dari seluruh warga masyarakat karena upacara ini diselenggarakan secara bersama-sama.Dalam kesempatan ini mereka berkumpul saling kerjasama, dengan demikian penyelenggaraan upacara ini juga bermaksud menghibur warga yang ada. Upacara ini diselenggarakan setiap ada hajatan keluarga dengan sistem musyawarah antar penduduk kampung yang dihadiri oleh kaum kerabat terdekat. Kegiatan yang dilakukan mengambil tempat dilapangan terbuka dan dirumah besar dalam upacara ini masyarakat yang datang dari berbagai suku yang ada dan terbuka bagi masyarakat umum. Pada umumnya dilakukan pada tempat yang terbuka yang dialiri sungai-sungai yang ada disekitarnya. Tempat khusus sesajian induk akan diletakan atau diatas sungai, muara sungai tempat pelepasan bahan-bahan perlengkapan upacara berisi sesajian lainnya.
Dua minggu sebelum acara dimulai, Dukun Kampung merencanakan upacara, menetapkan hari penyelenggaraannya. Rencana ini ditetapkan setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari keluarga besar dan para tokoh masyarakat, setelah disetujui informasi disebarluaskan kepada masyarakat tentang pelaksanaan kegiatan upacara Lesuji agar seluruh masyarakat mengetahui dan ikut membantu secara bergotong royong. Dana kegiatan dikumpulkan keluarga besar dan masyarakat yang membantu dengan cara menyediakan makanan, tempat dan kebutuhan lainnya.
Alat-Alat yang dipergunakan dalam upacara ini antara lain ancak, perahu kecil benbentuk segi empat dan saji-sajian. Ancak terbuat dari bambu yang dibelah-belah tipis-tipis kemudian dianyam. Bentuk ancak empat persegi panjang, bulat dan beberapa buah sesuai dengan keperluan. Sesudah diisi sesajian, ancak ini akan digantungkan pada suatu tempat diatas sungai yang ditancapkan dengan bambu. Ancak persegi empat yang terbuat dari debung pisang dan bambu diletakan diatas sungai yang akan dihanyutkan dengan bahan sesajian.
Pada hari yang telah ditetapkan, biasanya dilakukan mulai dari pagi hari masyarakat berkumpul pada tempat yang telah ditentukan, dukun kampung menyiapkan sesajian. Sesajian yang telah disiapkan tergantuk dari jumlah ancak yang diperlukan. Kadang-kadang ditambah juga dengan sesajian yang akan diantarkan ke sungai. Sesajian untuk sungai dimasukan kedalam ancak dan langsung dimasukan didalam perahu buatan yang akan dihanyutkan. Jika sesajian ini lebih dari 3 buah ancak, biasanya sesajian utama adalah sesajian yang ditaruhkan dalam ancak induk yang berukuran lebih besar dari ancak yang lainnya. Sesajian yang ditaruhkan dalam ancak ini meliputi :
1. Ayam
2. Telur ayam
3. Nasi pulut empat warna
4. Ketupat
5. Sirih sekapur dan rokok sebatang
6. Tepung tawar dimasukan ke dalam tempat dan diletakan didalam sesajian
7. Bertih beras kuning secukupnya
8. Ayam panggang
Setelah lengkap peralatan dari masing-masing sesajian dukun kampung mengantarkan ancak pada tempat pengantungan. Ancak utama digantungkan pada tempat-tempat tertentu kemudian dibacakan matera yang dipimpin dukun kampung.Dupa dihidupkan, kemudian bertih beras kuning yang ada dalam sesajian ditaburkan ke tanah. Cara penaburan seperti menabur padi, kemudian kemenyan yang ada dalam sesajian dibakar diatas dupa. Ancak yang akan digantung diasapi diatas kemenyan dengan gerakan memutar sambil membaca matera. Mantera-matera disebutkan mahluk halus yang menjaga kampung yang diperoleh dalam mimpi. Nama penunggu disemua sama berlainan.
Proses penurunan ancak ke sungai. Ancak yang berbentuk segi empat ini berisi sesajian sebagai persembahan kepada makhluk-makhluk halus dan roh-roh leluhur yang bertahta di air (laut). Isi sesajian selain seperti yang disajikan dalam ancak masih ditambah dengan beberapa jenis sajian lain yaitu :
• Satu ekor anak ayam hidup
• Nasi kuning panggang ayam
• Dll
Pemimpin upacara, Dukun kampung, diikuti oleh sejumlah warga kampung sebagai peserta upacara. Tempat upacara di muara atau persimpangan sungai. Setelah diisi dengan sesajian seperti disebutkan di atas, perahu tiruan itu digotong kemuara sungai, tempat penyelenggaraan. Perahu diturunkan ke sungai agar berlayar menuju laut lepas. Sesajian ini merupakan bekal kehidupan bagi para mahluk-mahluk halus.
Upacara ini biasanya diikuti dengan bunyian-bunyian (musik) sebagai pengiring dan meramaikan suasana, sehingga menarik banyak warga masyarakat untuk turut menyaksikannya. Selesai upacara, seluruh peserta berkumpul kembali kerumah yang dijadikan pusat penyelengaraan upacara. Di tempat ini mereka bersuka ria, bernyanyi dengan musik dan makan ketupat/makanan lainnya yang disediakan oleh ibu-ibu. Makanan-makanan ini merupakan sumbangan dari setiap rumah tangga di seluruh wilayah kampung. Upacara ditutup dengan doa yang dipimpin tokoh masyarakat setempat.
II. Fungsi Upacara Adat Lesuji Masyarakat Bugis
Upacara tradisional Lesuji merupakan salah satu wujud kebudayaan dan berkaitan dengan berbagai fungsi, sehingga mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. Arti penting tersebut tanpak dalam kenyataan bahwa melalui upacara tradisional dapat memperkenalkan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta mengungkapkan makna simbolik yang terkandung didalamnya. Melihat upacara tradisional yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Bugis di Kalimantan Barat mempunyai fungsi dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Hal yang dapat dilihat dari upacara ini ialah berfungsi spiritual dan sosial. Berfungsi sosial karena dalam pelaksanaan upacara tradisional lesuji selalu berhubungan dengan permohonan manusia untuk mohon keselamatan pada leluhur atau Tuhannya. Dengan kata lain upacara tersebut berfungsi spiritual karena dapat membangkitkan emosi keagamaan, menimbulkan rasa aman, tenang, tentram dan selamat. Berfungsi sosial (pengendalian sosial), kontak sosial interaksi, integrasi dan komunikasi antar warga masyarakatnya.
A. Berfungsi Spiritual
Upacara tradisional Lesuji bagi masyarakat Bugis adalah sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah diberikan sekaligus memohon dijauhkan dari segala bencana. Bagi masyarakat Bugis kepercayaan kepada leluhur masih sangat kuat, Doa-doa yang diucapkan dalam bentuk mantera-mantera berisi pemberitahuan diadakannya upacara kepada para leluhur yang tinggal dialam lain. Menurut tradisi masyarakat Bugis, bilamana menginginkan keselamatan, maka upacara Lesuji ini harus dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanakan niscaya akan terjadi malapetaka. Malapetaka yang dimaksud adalah tidak akan mendapat rejeki atau hasil yang diperoleh tidak akan diberkati. Oleh karena itu upacara adat Lesuji merupakan wujud tanggungjawab moral kepada Tuhannya.
B. Berfungsi Sosial
Fungsi sosial tradisional dapat dilihat pada kehidupan sosial masyarakat pendukungnya, baik secara horizontal maupun secara vertical. Secara vertical, fungsi upacara tardisional itu ingin mewujudkan keseimbangan antara manusia dan Sang Pencipta atau kekuatan supranatural lainnya. Adapun fungsi upacara tradisional secara horizontal yang lebih bersifat normative, yaitu untuk menjaga keseimbnagan dalam setiap hubungan sosial. Menurut Budi Santoso (1984)7 Fungsi upacara tradisional dapat dilihat pada kehidupan sosial masyarakat pendukungnya yakni adanya pengendalian sosial (sosial control), media sosial (sosial control) norma sosial (sosial standard) dan pengelompokan sosial”. Mengacu pada pendapat Budi Santoso ini, upacara tradisional Lesuji pada masyarakat Bugis di Kalimantan Barat. Masuk dalam pengelompokan sosial (termasuk sebagai integritas, interaksi dan komunikasi warga masyarakat) bagi masyarakat Bugis. Dalam upacara adat Lesuji tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah dan dapat memperkaya batin, serta dapat menyadarkan manusia akan hakekat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong, mengarah sikap dan prilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan disamping sistem sosial dan karya. Nilai dapat dihayati atau diresapi dalam konteks kebudayaan atau sebagai kebudayaan yang abstrak. Oleh sebab nilai itu berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia.
Nilai berada dalam kata hati nurani, kata hati dan fikiran sebagai suatu kenyakinan, kepercayaan yang bersumber dari berbagai sistem nilai. Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (1982), bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal yang mereka agap amat bernilai dalam hidup, karena itu dalam sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sejalan dengan itu Matulada dalam bukunya yang berjudul Foltale Sulawesi menyebutkan bahwa realitas cultural adalah pola-pola ideal, nilai dasar dan semacamnya yang selalu dijadikan pangkalan tata kelakuan yang lebih nyata atau lebih kongrit. Manusia berada selalu mewujudkan kelakuannya kepada pola-pola ideal dalam kehidupan yang bersentuhan dengan pandangan-pandangan leluhur. Kemudian realitas cultural dikonkritkan dalam kenyataan-kenyataan sosial yang disebut dengan realitas sosial. Ia adalah realisasi tata kelakuan yang berupa atura-aturan kehidupan yang mengikat setiap individu dalam persekutuan hidup secara positif
Berdasarkan dari uraian yang telah dikemukakan diatas, maka nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat Bugis masih banyak yang berpegang teguh pada falsapah di dalam hidupnya. Budaya siri masih menjadi sebuah pedoman di dalam kehidupan dalam pergaulan sehari-hari. Nilai budaya yang terkandung dari upacara adat Lesuji yang masih dilakukan mengandung pesan moral yang bersentuhan langsung didalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi sebuah modal sosial yang bisa dikembangkan di dalam membangun kehidupan yang harmonis. Dalam upacara adat Lesuji dengan budaya siri yang masih dianut dapat dilihat dari nilai-nilai.
Nilai Sosial
Nilai sosial yang terdapat dalam upacara Lesuji ini dapat dilihat dari keterlibatan seluruh anggota keluarga untuk mencapai kesuksesan dalam melaksanakan upacara Lesuji, mulai dari persiapan perlengkapannya seluruh anggota keluarga memiliki andil untuk mendapatkan segala sesuatu yang diperlukan atau yang digunakan di dalam upacara Lesuji. Dari hal yang lainnya bahwa dengan adanya upacara baik interns ataupun eksterns dan terbina kekeluargaan secara berkesinambungan. Upara adat Lesuji merupakan suatu acara yang melibatkan banyak orang yang hidup di dalam lingkungan komunitas berbeda-beda, tidak hanya menyangkut suku Bugis akan tetapi suku yang lainnya ikut berperan ambil bagian, untuk bersama-sama berpartisipasi di dalam acara tersebut. Ada rasa menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat untuk saling mensukseskan kegiatan ini. Apabila upacara itu sesuai dengan keinginan masyarakat, maka akan mendatangkan kebahagiaan dan rasa kekeluargaan yang kental diantara mereka. Dalam kegiatan ini ada musik gendang yang dimainkan dengan beberapa gadis yang melenggang, menari sebagai bentuk tontonan dan hiburan bagi masyarakat yang hadir. Para undangan dan masyarakat yang hadir didalam acara tersebut bisa berinteraksi saling berkomunikasi, mempunyai rasa simpatik karena ada saling ketergantungan antara masyarakat satu dengan lainnya.
Nilai Kerjasama
Adanya kerjasama merupakan salah satu nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara Lesuji yang dilakukan anggota mansyarakat secara bersama-sama, tolong menolong saling membantu untuk mensukseskan upacara adat Lesuji. Sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Masalah-Masalah Pembangunan menyebutkan bahwa nilai budaya yang perlu dimiliki bangsa Indonesia sebagai syarat pembangunan adalah nilai budaya yang mampu menanggulangi tekanan-tekanan berat beserta masalah-masalah yang ada di dalam lingkungan ekonomi dan sosial budaya. Salah satu nilai budaya itu yang merupakan konsep pemerincian dari gotong royong adalah konsep yang menganggap penting adanya sikap dan kepekaan untuk tidak berbuat semena-mena sesama manusia. Menurut beliau nilai ini penting untuk menanggulangi tekanan hidup masa kini karena memungkinkan orang bekerjasama dengan sesama masyarakatnya. Kemudian dalam mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan yang lebih baik manusia mustahil dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang lain di dalam masyarakat. Kesadaran yang demikian selanjutnya melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang terbaik bagi masyarakatnya. Semangat itu telah melahirkan sikap dasar bahwa untuk mewujudkan keselarasan keserasian dan keseimbangan dalam hubungan sosial antar manusia pribadi dan masyarakatnya perlu bekerjasama dan memerlukan bantuan orang lain.
III. Penutup
Upacara tradisional pada masyarakat Bugis dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut masih memegang teguh adat kebiasaan mereka, yaitu naluri akan tradisi yang telah diwarisi turun temurun dari generasi sebelumnya. Kepercayaan terhadap leluhur, roh-roh halus termasuk yang ditinggikan merupakan manifiestasi keteguhan hati yang berakar kuat di sanubari masyarakat Bugis.
Dilihat dari segi fungsinya, upacara tradisional Lesuji dapat dilihat pada fungsi spiritual dan fungsi sosial. Berfungsi spiritual karena dalam pelaksanaan upacara tradisional Lesuji selalu berhubungan dengan permohonan manusia untuk keselamatan pada leluhur atau Tuhannya. Dari pengertian yang lainnya bahwa upacara tersebut dikatakan spiritual karena dapat membangkitkan emosi keagamaan, menimbulkan rasa aman, tenang, tenteram dan selamatan. Sedangkan berfungsi sosial karena upacara Lesuji tersebut dapat dipakai sebagai sarana kontrol sosial (pengendalian sosial, interaksi,integrasi dan komunikasi antar warga masyarakatnya). Sehingga bisa diwujudkan rasa kebersamaan, kegotongroyongan dan persatuan. Dalam upaca Lesuji terdapat sesaji, di dalam sesaji terdapat symbol-simbol yang memuat pesan dengan nilai-nilai, prilaku yang masih dijunjung tinggi. Keberagaman nilai-nilai budaya yang masih banyak terdapat dilingkungan masyarakat dapat berperan sebagai modal membangun perdamaian. Secara umum masing-masing suku mempunyai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang diterapkan melalui nilai-nilai di dalam kehidupan bersama.
Kerjasama dalam membangun kehidupan masyarakat, merupakan salah satu dari budaya siri yang merasa malu jika tidak bisa memberikan perlindungan bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, jika ia tidak menegakan siri dan tidak melakukan sesuatu mengatasinya akan dipandang hina oleh masyarakat dan dianggap tidak berguna bagi masyarakat. Perdamaian menjadi salah satu prioritas dalam kehidupan manusia, karena dengan hidup damai, masyarakat merasa aman tenteram dengan adanya pesan moral dan nilai-nilai merupakan salah satu identitas dari masyarakat Bugis yang masih memegang teguh budaya siri.
DAFTAR PUSTAKA
Ajisman,dkk 1998. Perubahan Nilai Upacara Tradisional Pada Masyarakat Pendukungnya di Daerah Kalimantan Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pontianak
Ahmaddin Andi, 2009. Adat dan Kebudayaan Suku Bugis. Wijatabone blogdetik.com
Natsir, M. 2007. Upacara Adat Suku Melayu. Depbudpar. Jakarta
------------, 2009. Kebudayan Indonesia Program Pendidikan Pariwisata. Universitas Tanjungpura.
------------. 2009. Bugis Kalimantan Barat. Portalbugis.Wordpress.com
Sostrowordoyo Pandil, 1983. Upacara Tradisional Yang Berkaitan Dengan Peristiwa Alam Dan Kepercayaan Daerah Kalimantan Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Busrah,S.Sos. Fungsi Lesuji Bagi Masyarakat Bugis. Pontianak. Wawancara Tgl,20 Oktober 2009
Ikhsan, S.Sos. Upacara Adat Lesuji Mohon Keselamatan dan Menolak Bala. Pontianak. Wawancara. Tgl, 22 Oktober 2009
Kebudayaan dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas ide dan gagasan yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat, karena kepercayan masyarakat sebagai salah satu unsur kebudayaan yang universal dalam sistem religi merupakan kenyakinan dari masyarakat pada pemahaman dari aspek alam semesta, alam gaib (supranatural), yang dilaksanakan dengan ritus dan upacara maupun tidak serta pandangan hidup masyarakat yang sangat syarat nilai norma dan ajaran yang dianggap sebagai salah satu kebenaran. Hal ini karena manusia sebagai mahluk sosial yang berbudaya dalam kehidupan tidak bisa melepaskan diri dari alam. Manusia tidak hanya dapat menyelaraskan diri, tetapi juga akan dapat dan sanggup merubah lingkungannya demi keberlangsungan hidup, sebab dengan kebudayaan berarti manusia memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat dijadikan alternatif untuk menanggapi lingkungannya, baik fisik maupun social, dan juga sebagai mahluk social, manusia selalu hidup dalam kelompok masyarakat, jadi kebudayaan selalu hidup dalam suatu masyarakat masyarakat merupakan wadah dari kebudayaan.
E.B.Taylor 1871, berpendapat bahwa budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Kepercayaan masyarakat, norma-norma kegiatan social yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang sering dilakukan oleh masyarakat pendukungnya.
Suku Bugis salah satu suku yang masih banyak yang mempertahankan nilai-nilai budaya di dalam kehidupan sehari-hari menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, seperti mengucapkan tabe (permisi) meletakkan tangan diatas kepala, berbungkuk setengah badan bila lewat di hadapan orang lain, mengucapkan dengan bahasa sopan, menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyanyangi yang muda. Ajaran inilah yang masih banyak dianut sebagian masyarakat Bugis yang ada di wilayah Kalimantan Barat. Dalam kehidupan suku Bugis siri merupakan unsur yang prinsip dalam diri mereka tidak ada satupun nilai yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan selain siri bagi orang Bugis siri adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu untuk menegakan dan membela siri yang dianggap cemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka orang Bugis bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri dalam kehidupan mereka (Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar.37)2
Konsep tentang siri dalam masyarakat Bugis terkandung dua pengertian tanpaknya saling bertentangan. Ia dapat berarti malu, tetapi juga rasa kehormatan atau harga diri. Sering terdengan seseorang itu dibuat malu (dipakasiri) atau dipermalukan karena diabaikan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Lebih jarang diutarakan mengenai seseorang yang berusaha memperoleh kembali atau memulihkan sirinya atau harga diri. Situasi siri akan muncul pada saat seseorang merasa bahwa kedudukan atau pembawa sosialnya dalam masyarakat, atau harga diri dan kehormatannya telah di cemarkan pihak lain secara terbuka. Bisa juga terjadi kalau seseorang nyakin bahwa ia telah dituduh melakukan sesuatu yang ia tidak melakukannya, perlakukan secara tidak adil. Seorang Bugis akan menerima dengan rendah hati jika ia bersalah, tetapi ia akan melawan dengan kekerasan terhadap sikap demikian itu apabila ia percaya bahwa dirinya benar, dan sebab itu merasa pribadinya terhina di depan masyarakat. Seseorang dipermalukan oleh masyarakat ia dituntut untuk mengambil langkah menebus dirinya dengan menyingkirkan penyebab malu yang tidak adil itu dan dengan demikian memulihkan sirinya (harga diri) secara pribadi maupun lingkungan masyaratnya. Seseorang yang mati siri dan tidak melakukan sesuatu mengatasinya akan dipandang hina oleh masyarakat dan dianggap tidak berguna bagi masyarakat.
Untuk mempertahankan harga diri siri harus dipelihara keseimbangan satu dengan yang lainnya, harga diri harus mengendalikan pribadi itu dalam keseimbangan, selalu menghargai orang lain dan menghormatinya. Pesse dan siri adalah konsep kembar yang menentukan individu masyarakat suku Bugis. Memelihara keseimbangan antara malu dan harga diri sebagaimana dipahami dalam siri dan mengasuh suatu kesadaran ikut menanggung penderitaan orang lain ada rasa empati yang begitu kuat dalam dirinya. Dengan demikian keluarga ikut menjaga keseimbangan dengan orang lain. Sipat lain terdapat di dalam pribadi orang Bugis juga dikenal dengan sifat Sipakatau, Sipakalebi dan Sipakainge dalam pengertian sifat-sifat ini menjadi bagian dari keseimbangan pribadi orang Bugis.3
Sipakatau yang memandang orang lain sebagai manusia seutuhnya, sehingga tidaklah pantas memperlakukan orang lain diluar perlakuan yang pantas bagi manusia, memandang manusia dengan segala penghargaan, seorang Bugis ia memperlakukan orang lain sebagaimana ia memandang dirinya sebagai sama-sama manusia.
Sipakalebbi, adalah yang memandang manusia sebagai mahluk yang senang dipuji dan diperlakukan dengan baik, diperlakukan dengan selayaknya, karena itu manusia Bugis tidak akan memperlakukan orang lain dengan seadanya, tetapi lebih cenderung memandang dari segi kelebihannya, setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan, untuk setiap kelebihan manusia lainnya ia perlakukan. Saling menghargai dengan pujian akan menimbulkan kebahagiaan bagi orang lainnya.
Sipakainge setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, hal ini sebagai sebuah sarana untuk saling mengingatkan bagi siapapun agar dapat selalu berbuat baik, setiap orang didalam aturan. Kesepakatan adat yang dijunjung selalu ditaati, jika ada yang melanggar maka akan mendapatkan sangsi. Kritik yang bersifat membangun bukanlah menjadi tabu bagi orang Bugis bahkan menjadi kebutuhan. Dalam Sipakainge berlaku siapapun yang mempunyai kuasa akan selalu diingatkan akan kekuasaanya. Dari ketiga sifat yang ada merupakan nilai-nilai budaya yang harus dipertahankan oleh suku Bugis.
Bermula kedatangan Suku Bugis yang ada di Kalimantan Barat lebih dikenal masyarakat dari kedatangan Daeng Mataku yang membantu Kerajaan Sukadana untuk menyerang Istana Sultan Zainuddin diperkirakan pada tahun 1710. Atas jasanya membantu pangeran Agung ia diangkat menjadi panglima dan dikawinkan dengan anak pangeran Agung melahirkan beberapa keturunan Bugis. Atas permintaan sultan Zainuddin datang Upu Daeng Manambon bersaudara, Upu Daeng Marewah, Upu Daeng Perani, Upu Daeng Celak dan Upu Daeng Kemasi Upu Daeng Manambon digelari Pangeran Emas Surya Negara dan menikahi Puteri Kesumbah anak Zainuddin dengan Utin Indrawati dari kerajaaan Mempawah4. Daeng Manambon kemudian mengantikan Panembahan Segauk sebagai raja di Mempawah. Dalam perkembangannya, orang Bugis tersebar di seluruh Kalimantan Barat. Suku Bugis sangat hormat dengan adat dan budaya dan mempunyai perinsip di dalam hidupnya, budaya siri diaktualisasikan di dalam upacara-upacara adat dan masih tetap eksis mempertahankan adat istiadat masyarakatnya, dari berbagai adat yang ada salah satunya adalah upacara adat lesuji, empat puluh hari setelah melahirkan, dan upacara robo-robo. Upacara sakral yang sering dilakukan adalah berupa wujud dari rasa syukur atas karunia yang diberikan dan sekaligus memohon keselamatan
Dengan adanya selamatan atau upacara merupakan suatu upaya manusia mencari keselamatan, ketentraman sekaligus menjaga kelestarian kosmos Clifford Geertz, 1995, mengatakan”selamatan ini pada hakekatnya merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia dan melambangkan kesatuan mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir di dalamnya5
Upacara adat adalah bagian dari identitas suatu suku yang mengandung nilai-nilai, norma, dan simbol-simbol ekspresif sebagai sebuah ikatan sosial yang berperan sebagai penguat ikatan solidaritas sosial dan kohesivitas sosial masyarakat lokal. Identitas adalah harga diri dan sekaligus merupakan “perisai” untuk menghadapi tekanan dan pengaruh kekuatan sosial budaya dari luar. Identitas budaya suatu kelompok sosial berakar pada entitas kultural yang dapat digali dalam domain-domain budaya seperti mitos, religi, bahasa, dan ideologi. Aktualisasi dan budaya masyarakat Bugis yang terangkup dalam kehidupan masyarakat dengan sifat prilaku masyarakat, pemukiman rumah, adat istiadat dan kepercayaan.
Teori Interaksionisme simbolik sebagaimana dikemukakan oleh Veeger (1993:36, dalam Natsir)6 adalah mengambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti sistem,struktur sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisan sosial, struktur institusional, pola budaya, norma-norma dan nilai-nilai sosial, melainkan dengan memakai istilah “aksi”. Permasalahan identitas sosial dapat dipahami melalui kerangka teori Interaksioma Simbolik. Aliran interaksionisme simbolik berpendapat bahwa pada umumnya suatu masyarakat akan banyak ditandai oleh “orde” dari pada konflik karena orang saling membutuhkan demi memuaskan kebutuhan mereka. Para sosiolog interaksionisme simbolik menyebut secara khusus “kebutuhan-kebutuhan sosial” seperti antara lain kebutuhan agar self image seseorang senantiasa perlu diteguhkan oleh orang lain melalui proses interaksi, supaya bertahan. Orang bergantung satu sama lain, hal mana menjadi nyata dalam proses-proses interaksi. Jadi kebutuhan dan ketergantungan menurut aliran interaksionisme simbolik merupakan perekat masyarakat.
Upacara adat yang dilakukan adalah sebuah upaya masyarakat dalam bentuk manisfestasi atas karunia yang didapatkan dan juga sebagai sebuah simbol dari identias suatu masyarakat yang pada akhirnya akan menjadi suatu daya rekat antar masyarakat yang mendukungnya. Nilai-nilai yang ada pada upacara tersebut akan menjadi sebuah warisan kearifan lokal masyarakat Bugis. Dalam upacara adat ini berupa ungkapan terima kasih pada Yang Maha Kuasa atas keselamatan dari bencana yang menimpa dan mensyukuri setelah mendapatkan keuntungan, memohon penjagaan atau perlindungan kepada Tuhan pencipta alam ini. Dalam perkembangan selanjutnya upacara itu tidak hanya kepada Tuhan pencipta alam, tetapi juga tertuju kepada makhluk-makhluk dan roh-roh halus yang menjaga dan menguasai alam semesta ini. Upacara itu disertai dengan penyelengaraan saji-sajian yang dimaksud sebagai upah atau imbalan terhadap roh-roh halus atas penjagaan dan perlindungannya. Karena penjagaan dan perlindungan roh-roh halus itu maka seluruh warga masyarakat terhindar dari berbagai bala bencana seperti kerusuhan, wabah penyakit dan lain-lain.
Sekiranya upacara Lesuji itu tidak diselenggarakan, timbul suatu kekhawatiran bahwa para arwah dan mahluk-makhluk halus dapat murka terhadap manusia. Akibatnya tidak akan melindungi dan menjaga masyarakat. Hal yang akan lebih jelek lagi bahwa dapat terjadi para arwah dan makhluk-makhluk halus itu sendiri yang menimpa bala bencananya terhadap manusia. Jika demikian halnya akan terjadi banyak musibah yang sangat merugikan penduduk Kehidupan alam gaib dinyakini berbagai makhluk yang ada di dalamnya. Arwah para leluhur wajiblah dihormati, tidak menghormati leluhur seperti mendurhaka segala jasa dan pengorbanan yang telah dilakukannya dan diwariskan kepada anak cucunya. Apalagi jika terjadi kerusuhan atau perkelahian antar kampung terasa bahwa masyarakat harus melaksanakan upacara tersebut jika tidak dilaksanakan seperti akan menimbulkan was-was atau bencana berikutnya, hal ini dikaitkan dengan kutukan dari arwah leluhur yang tidak dihormati dan tidak melaksanakan upacara.
Sehubungan dengan hal tersebut maksud dari pada penyelenggaran upacara ini menyampaikan penghormatan kepada arwah para leluhur yang telah mendahuluinya. Atas persembahan itu juga masyarakat meminta ampun atas segala kesalahan, meminta doa diselamatkan dari segala marabahaya yang akan menimpa. Tujuan sebagai arena pertemuan seluruh warga masyarakat dan kerjasama dari seluruh warga masyarakat karena upacara ini diselenggarakan secara bersama-sama.Dalam kesempatan ini mereka berkumpul saling kerjasama, dengan demikian penyelenggaraan upacara ini juga bermaksud menghibur warga yang ada. Upacara ini diselenggarakan setiap ada hajatan keluarga dengan sistem musyawarah antar penduduk kampung yang dihadiri oleh kaum kerabat terdekat. Kegiatan yang dilakukan mengambil tempat dilapangan terbuka dan dirumah besar dalam upacara ini masyarakat yang datang dari berbagai suku yang ada dan terbuka bagi masyarakat umum. Pada umumnya dilakukan pada tempat yang terbuka yang dialiri sungai-sungai yang ada disekitarnya. Tempat khusus sesajian induk akan diletakan atau diatas sungai, muara sungai tempat pelepasan bahan-bahan perlengkapan upacara berisi sesajian lainnya.
Dua minggu sebelum acara dimulai, Dukun Kampung merencanakan upacara, menetapkan hari penyelenggaraannya. Rencana ini ditetapkan setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari keluarga besar dan para tokoh masyarakat, setelah disetujui informasi disebarluaskan kepada masyarakat tentang pelaksanaan kegiatan upacara Lesuji agar seluruh masyarakat mengetahui dan ikut membantu secara bergotong royong. Dana kegiatan dikumpulkan keluarga besar dan masyarakat yang membantu dengan cara menyediakan makanan, tempat dan kebutuhan lainnya.
Alat-Alat yang dipergunakan dalam upacara ini antara lain ancak, perahu kecil benbentuk segi empat dan saji-sajian. Ancak terbuat dari bambu yang dibelah-belah tipis-tipis kemudian dianyam. Bentuk ancak empat persegi panjang, bulat dan beberapa buah sesuai dengan keperluan. Sesudah diisi sesajian, ancak ini akan digantungkan pada suatu tempat diatas sungai yang ditancapkan dengan bambu. Ancak persegi empat yang terbuat dari debung pisang dan bambu diletakan diatas sungai yang akan dihanyutkan dengan bahan sesajian.
Pada hari yang telah ditetapkan, biasanya dilakukan mulai dari pagi hari masyarakat berkumpul pada tempat yang telah ditentukan, dukun kampung menyiapkan sesajian. Sesajian yang telah disiapkan tergantuk dari jumlah ancak yang diperlukan. Kadang-kadang ditambah juga dengan sesajian yang akan diantarkan ke sungai. Sesajian untuk sungai dimasukan kedalam ancak dan langsung dimasukan didalam perahu buatan yang akan dihanyutkan. Jika sesajian ini lebih dari 3 buah ancak, biasanya sesajian utama adalah sesajian yang ditaruhkan dalam ancak induk yang berukuran lebih besar dari ancak yang lainnya. Sesajian yang ditaruhkan dalam ancak ini meliputi :
1. Ayam
2. Telur ayam
3. Nasi pulut empat warna
4. Ketupat
5. Sirih sekapur dan rokok sebatang
6. Tepung tawar dimasukan ke dalam tempat dan diletakan didalam sesajian
7. Bertih beras kuning secukupnya
8. Ayam panggang
Setelah lengkap peralatan dari masing-masing sesajian dukun kampung mengantarkan ancak pada tempat pengantungan. Ancak utama digantungkan pada tempat-tempat tertentu kemudian dibacakan matera yang dipimpin dukun kampung.Dupa dihidupkan, kemudian bertih beras kuning yang ada dalam sesajian ditaburkan ke tanah. Cara penaburan seperti menabur padi, kemudian kemenyan yang ada dalam sesajian dibakar diatas dupa. Ancak yang akan digantung diasapi diatas kemenyan dengan gerakan memutar sambil membaca matera. Mantera-matera disebutkan mahluk halus yang menjaga kampung yang diperoleh dalam mimpi. Nama penunggu disemua sama berlainan.
Proses penurunan ancak ke sungai. Ancak yang berbentuk segi empat ini berisi sesajian sebagai persembahan kepada makhluk-makhluk halus dan roh-roh leluhur yang bertahta di air (laut). Isi sesajian selain seperti yang disajikan dalam ancak masih ditambah dengan beberapa jenis sajian lain yaitu :
• Satu ekor anak ayam hidup
• Nasi kuning panggang ayam
• Dll
Pemimpin upacara, Dukun kampung, diikuti oleh sejumlah warga kampung sebagai peserta upacara. Tempat upacara di muara atau persimpangan sungai. Setelah diisi dengan sesajian seperti disebutkan di atas, perahu tiruan itu digotong kemuara sungai, tempat penyelenggaraan. Perahu diturunkan ke sungai agar berlayar menuju laut lepas. Sesajian ini merupakan bekal kehidupan bagi para mahluk-mahluk halus.
Upacara ini biasanya diikuti dengan bunyian-bunyian (musik) sebagai pengiring dan meramaikan suasana, sehingga menarik banyak warga masyarakat untuk turut menyaksikannya. Selesai upacara, seluruh peserta berkumpul kembali kerumah yang dijadikan pusat penyelengaraan upacara. Di tempat ini mereka bersuka ria, bernyanyi dengan musik dan makan ketupat/makanan lainnya yang disediakan oleh ibu-ibu. Makanan-makanan ini merupakan sumbangan dari setiap rumah tangga di seluruh wilayah kampung. Upacara ditutup dengan doa yang dipimpin tokoh masyarakat setempat.
II. Fungsi Upacara Adat Lesuji Masyarakat Bugis
Upacara tradisional Lesuji merupakan salah satu wujud kebudayaan dan berkaitan dengan berbagai fungsi, sehingga mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. Arti penting tersebut tanpak dalam kenyataan bahwa melalui upacara tradisional dapat memperkenalkan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta mengungkapkan makna simbolik yang terkandung didalamnya. Melihat upacara tradisional yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Bugis di Kalimantan Barat mempunyai fungsi dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Hal yang dapat dilihat dari upacara ini ialah berfungsi spiritual dan sosial. Berfungsi sosial karena dalam pelaksanaan upacara tradisional lesuji selalu berhubungan dengan permohonan manusia untuk mohon keselamatan pada leluhur atau Tuhannya. Dengan kata lain upacara tersebut berfungsi spiritual karena dapat membangkitkan emosi keagamaan, menimbulkan rasa aman, tenang, tentram dan selamat. Berfungsi sosial (pengendalian sosial), kontak sosial interaksi, integrasi dan komunikasi antar warga masyarakatnya.
A. Berfungsi Spiritual
Upacara tradisional Lesuji bagi masyarakat Bugis adalah sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah diberikan sekaligus memohon dijauhkan dari segala bencana. Bagi masyarakat Bugis kepercayaan kepada leluhur masih sangat kuat, Doa-doa yang diucapkan dalam bentuk mantera-mantera berisi pemberitahuan diadakannya upacara kepada para leluhur yang tinggal dialam lain. Menurut tradisi masyarakat Bugis, bilamana menginginkan keselamatan, maka upacara Lesuji ini harus dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanakan niscaya akan terjadi malapetaka. Malapetaka yang dimaksud adalah tidak akan mendapat rejeki atau hasil yang diperoleh tidak akan diberkati. Oleh karena itu upacara adat Lesuji merupakan wujud tanggungjawab moral kepada Tuhannya.
B. Berfungsi Sosial
Fungsi sosial tradisional dapat dilihat pada kehidupan sosial masyarakat pendukungnya, baik secara horizontal maupun secara vertical. Secara vertical, fungsi upacara tardisional itu ingin mewujudkan keseimbangan antara manusia dan Sang Pencipta atau kekuatan supranatural lainnya. Adapun fungsi upacara tradisional secara horizontal yang lebih bersifat normative, yaitu untuk menjaga keseimbnagan dalam setiap hubungan sosial. Menurut Budi Santoso (1984)7 Fungsi upacara tradisional dapat dilihat pada kehidupan sosial masyarakat pendukungnya yakni adanya pengendalian sosial (sosial control), media sosial (sosial control) norma sosial (sosial standard) dan pengelompokan sosial”. Mengacu pada pendapat Budi Santoso ini, upacara tradisional Lesuji pada masyarakat Bugis di Kalimantan Barat. Masuk dalam pengelompokan sosial (termasuk sebagai integritas, interaksi dan komunikasi warga masyarakat) bagi masyarakat Bugis. Dalam upacara adat Lesuji tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah dan dapat memperkaya batin, serta dapat menyadarkan manusia akan hakekat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong, mengarah sikap dan prilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan disamping sistem sosial dan karya. Nilai dapat dihayati atau diresapi dalam konteks kebudayaan atau sebagai kebudayaan yang abstrak. Oleh sebab nilai itu berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia.
Nilai berada dalam kata hati nurani, kata hati dan fikiran sebagai suatu kenyakinan, kepercayaan yang bersumber dari berbagai sistem nilai. Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (1982), bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal yang mereka agap amat bernilai dalam hidup, karena itu dalam sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sejalan dengan itu Matulada dalam bukunya yang berjudul Foltale Sulawesi menyebutkan bahwa realitas cultural adalah pola-pola ideal, nilai dasar dan semacamnya yang selalu dijadikan pangkalan tata kelakuan yang lebih nyata atau lebih kongrit. Manusia berada selalu mewujudkan kelakuannya kepada pola-pola ideal dalam kehidupan yang bersentuhan dengan pandangan-pandangan leluhur. Kemudian realitas cultural dikonkritkan dalam kenyataan-kenyataan sosial yang disebut dengan realitas sosial. Ia adalah realisasi tata kelakuan yang berupa atura-aturan kehidupan yang mengikat setiap individu dalam persekutuan hidup secara positif
Berdasarkan dari uraian yang telah dikemukakan diatas, maka nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat Bugis masih banyak yang berpegang teguh pada falsapah di dalam hidupnya. Budaya siri masih menjadi sebuah pedoman di dalam kehidupan dalam pergaulan sehari-hari. Nilai budaya yang terkandung dari upacara adat Lesuji yang masih dilakukan mengandung pesan moral yang bersentuhan langsung didalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi sebuah modal sosial yang bisa dikembangkan di dalam membangun kehidupan yang harmonis. Dalam upacara adat Lesuji dengan budaya siri yang masih dianut dapat dilihat dari nilai-nilai.
Nilai Sosial
Nilai sosial yang terdapat dalam upacara Lesuji ini dapat dilihat dari keterlibatan seluruh anggota keluarga untuk mencapai kesuksesan dalam melaksanakan upacara Lesuji, mulai dari persiapan perlengkapannya seluruh anggota keluarga memiliki andil untuk mendapatkan segala sesuatu yang diperlukan atau yang digunakan di dalam upacara Lesuji. Dari hal yang lainnya bahwa dengan adanya upacara baik interns ataupun eksterns dan terbina kekeluargaan secara berkesinambungan. Upara adat Lesuji merupakan suatu acara yang melibatkan banyak orang yang hidup di dalam lingkungan komunitas berbeda-beda, tidak hanya menyangkut suku Bugis akan tetapi suku yang lainnya ikut berperan ambil bagian, untuk bersama-sama berpartisipasi di dalam acara tersebut. Ada rasa menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat untuk saling mensukseskan kegiatan ini. Apabila upacara itu sesuai dengan keinginan masyarakat, maka akan mendatangkan kebahagiaan dan rasa kekeluargaan yang kental diantara mereka. Dalam kegiatan ini ada musik gendang yang dimainkan dengan beberapa gadis yang melenggang, menari sebagai bentuk tontonan dan hiburan bagi masyarakat yang hadir. Para undangan dan masyarakat yang hadir didalam acara tersebut bisa berinteraksi saling berkomunikasi, mempunyai rasa simpatik karena ada saling ketergantungan antara masyarakat satu dengan lainnya.
Nilai Kerjasama
Adanya kerjasama merupakan salah satu nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara Lesuji yang dilakukan anggota mansyarakat secara bersama-sama, tolong menolong saling membantu untuk mensukseskan upacara adat Lesuji. Sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Masalah-Masalah Pembangunan menyebutkan bahwa nilai budaya yang perlu dimiliki bangsa Indonesia sebagai syarat pembangunan adalah nilai budaya yang mampu menanggulangi tekanan-tekanan berat beserta masalah-masalah yang ada di dalam lingkungan ekonomi dan sosial budaya. Salah satu nilai budaya itu yang merupakan konsep pemerincian dari gotong royong adalah konsep yang menganggap penting adanya sikap dan kepekaan untuk tidak berbuat semena-mena sesama manusia. Menurut beliau nilai ini penting untuk menanggulangi tekanan hidup masa kini karena memungkinkan orang bekerjasama dengan sesama masyarakatnya. Kemudian dalam mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan yang lebih baik manusia mustahil dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang lain di dalam masyarakat. Kesadaran yang demikian selanjutnya melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang terbaik bagi masyarakatnya. Semangat itu telah melahirkan sikap dasar bahwa untuk mewujudkan keselarasan keserasian dan keseimbangan dalam hubungan sosial antar manusia pribadi dan masyarakatnya perlu bekerjasama dan memerlukan bantuan orang lain.
III. Penutup
Upacara tradisional pada masyarakat Bugis dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut masih memegang teguh adat kebiasaan mereka, yaitu naluri akan tradisi yang telah diwarisi turun temurun dari generasi sebelumnya. Kepercayaan terhadap leluhur, roh-roh halus termasuk yang ditinggikan merupakan manifiestasi keteguhan hati yang berakar kuat di sanubari masyarakat Bugis.
Dilihat dari segi fungsinya, upacara tradisional Lesuji dapat dilihat pada fungsi spiritual dan fungsi sosial. Berfungsi spiritual karena dalam pelaksanaan upacara tradisional Lesuji selalu berhubungan dengan permohonan manusia untuk keselamatan pada leluhur atau Tuhannya. Dari pengertian yang lainnya bahwa upacara tersebut dikatakan spiritual karena dapat membangkitkan emosi keagamaan, menimbulkan rasa aman, tenang, tenteram dan selamatan. Sedangkan berfungsi sosial karena upacara Lesuji tersebut dapat dipakai sebagai sarana kontrol sosial (pengendalian sosial, interaksi,integrasi dan komunikasi antar warga masyarakatnya). Sehingga bisa diwujudkan rasa kebersamaan, kegotongroyongan dan persatuan. Dalam upaca Lesuji terdapat sesaji, di dalam sesaji terdapat symbol-simbol yang memuat pesan dengan nilai-nilai, prilaku yang masih dijunjung tinggi. Keberagaman nilai-nilai budaya yang masih banyak terdapat dilingkungan masyarakat dapat berperan sebagai modal membangun perdamaian. Secara umum masing-masing suku mempunyai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang diterapkan melalui nilai-nilai di dalam kehidupan bersama.
Kerjasama dalam membangun kehidupan masyarakat, merupakan salah satu dari budaya siri yang merasa malu jika tidak bisa memberikan perlindungan bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, jika ia tidak menegakan siri dan tidak melakukan sesuatu mengatasinya akan dipandang hina oleh masyarakat dan dianggap tidak berguna bagi masyarakat. Perdamaian menjadi salah satu prioritas dalam kehidupan manusia, karena dengan hidup damai, masyarakat merasa aman tenteram dengan adanya pesan moral dan nilai-nilai merupakan salah satu identitas dari masyarakat Bugis yang masih memegang teguh budaya siri.
DAFTAR PUSTAKA
Ajisman,dkk 1998. Perubahan Nilai Upacara Tradisional Pada Masyarakat Pendukungnya di Daerah Kalimantan Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pontianak
Ahmaddin Andi, 2009. Adat dan Kebudayaan Suku Bugis. Wijatabone blogdetik.com
Natsir, M. 2007. Upacara Adat Suku Melayu. Depbudpar. Jakarta
------------, 2009. Kebudayan Indonesia Program Pendidikan Pariwisata. Universitas Tanjungpura.
------------. 2009. Bugis Kalimantan Barat. Portalbugis.Wordpress.com
Sostrowordoyo Pandil, 1983. Upacara Tradisional Yang Berkaitan Dengan Peristiwa Alam Dan Kepercayaan Daerah Kalimantan Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Busrah,S.Sos. Fungsi Lesuji Bagi Masyarakat Bugis. Pontianak. Wawancara Tgl,20 Oktober 2009
Ikhsan, S.Sos. Upacara Adat Lesuji Mohon Keselamatan dan Menolak Bala. Pontianak. Wawancara. Tgl, 22 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar