SEKILAS KEDATANGAN ORANG TIONGHOA DI KALBAR
Oleh : M.NatsirPenggunaan Istilah Tionghoa
Dalam beberapa tahun ini marak lagi pembicaraan tentang istilah “Cina” atau “Tionghoa”, bahkan ada kelompok sampai mengadakan polling untuk istilah ini. Meja redaksi Media Indonesia juga kena giliran dikirimi surat pembaca yang menanyakan tentang istilah Cina dan Tionghoa.
Tidak banyak orang yang tahu bahwa wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan "Orang Cina", diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasty. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya berlahiran di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya, termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia Belanda (1900) didirikanlah suatu sarana sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan Tjung Hwa Hwei Kwan, yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa (di Hindia Belanda).
Asal kata Tionghoa:
Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok lahir dari lafal Melayu (Indonesia) dan Hokian, secara linguistik Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) diluar masyarakat Indonesia.
Istilah China yang dibuat orang dari luar Tiongkok yang telah terlanjur populer bukan berarti tidak boleh diganti dengan Tionghoa/Tiongkok . Analoginya dengan Siam jadi Muangthai/ Thailand.
Cina / Tionghoa
Tionghoa/Tiongkok itu bukan dialek Mandarin, yang mana menyebutnya Zhonghua/Zhongguo, melainkan adalah dialek Xiamen (juga dikenal dengan nama dialek Amoi) yang menjadi sumber penting kata pinjaman dari bahasa Tionghoa kedalam bahasa-bahasa Asia Tenggara.
Dalam sastra lama, baik yang Melayu maupun yang Jawa dan lain ainl., istilah yang dipakai cina. Sejak permulaan timbulnya pers berbahasa Melayu dengan abjad Latin pertengahan abad ke-19 pun, yang dipakai ialah cina. Istilah tionghoa, kalau tidak salah, mulai timbul dalam periode antara kedua perang dunia, sebagai akibat satu pertalian idiel antara gerakan nasional kaum pribumi Indonesia dengan organisasi-organisasi masyarakat non-pribumi (baik Tionghoa, maupun Arab dan lain lainl.). Dalam hal ormas Tionghoa, ikatannya dengan gerakan nasional pribumi dipererat lagi karena gerakan yang dipimpin oleh Sun Yat-sen di Tiongkok yang mendapat sambutan positif baik di kalangan gerakan nasional pribumi, maupun di kalangan ormas Tionghoa di Indonesia.
Setelah Proklamasi 1945 dan Konperensi Meja Bundar 1949 di Indonesia, dan perpindahan kekuasaan di Tiongkok dengan didirikannya "Republik Rakyat" pada tahun 1950, terjadi penjalinan hubungan diplomatik resmi. Pada waktu itu pun nama negara tersebut resminya dinyatakan "Republik Rakjat Tiongkok" (dalam ejaan waktu itu). Pemakaian kata-kata Tiongkok dan Tionghoa itu tambah mantap pada masa Konperensi Asia-Afrika di Bandung 1955, ketika menjadi populer untuk mendahulukan nama negeri orang yang sesuai dengan nama pribumi negeri bersangkutan. Misalnya populerlah negeri Siam / Thailand disebut Muangthai, begitu pun Sailan / Ceylon disebut Serilangka (walaupun di negeri itu sendiri, pengantian nama resmi menjadi Sri Lanka baru dilakukan belakangan).
Jadi, terlepas dari segala aspek lainnya, istilah bahasa bakunya pada periode 1950 - 1965 itu Tionghoa dan Tiongkok, dan bahkan dalam bahasa kolokuial pun orang umumnya memakai kedua kata tersebut, sedangkan kata cina itu penggunaannya minimal sekali. Selain itu, pada periode itu ada satu perbedaan, yaitu kalau memisuh seorang keturunan sana secara "penasaran" atau "dongkol" atau "benci", maka pisuhannya itu cina' lu!, dan tidak pernah tionghoa lu! (dimana yang dimaksud dengan lu ialah kau-nya bahasa Jakarta).
Artinya, dalam periode tersebut, tionghoa itulah kata yang baku dan netral, sedangkan cina itu sangat kolokuial dan bertendens menghina. Sudah lumrah, waktu pihak penguasa merasa perlu melancarkan kampanye politik melawan negara yang bersangkutan, kata cina lah yang dipakai, dan kemudian diseragamkan untuk seluruh masyarakat. Jadi, dari segi linguistik yang bersih mengobservasi saja, kita mendapatkan periodisasi berikut:
1. istilah dari "dahulu kala" adalah cina
2. dengan berkembangnya gerakan nasional, orang mulai memakai tionghoa (disamping cina)
3. dalam periode demokrasi liberal (1950-1957), dimantapkan pemakaian tionghoa
4. sekitar 1966 Orde Baru menghidupkan kembali istilah cina, sedangkan yang memakai tionghoa bisa dituduh pro-G30S.
Sekilas Sejarah Kedatangan Orang Tionghoa di Kalimantan Barat
Awal kedatangan orang Tionghoa Keberadaan orang-orang Tionghoa yang pertama kali di Nusantara sebenarnya tidak jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari dan Kalimatan Barat dapat ditemukan genderang (genta) perunggu Dongson di Jawa, Bali dan dataran Pasemah, Sumatera Selatan.
Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina.
Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok. Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah. Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut sejak abad 17.
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan SamtoKiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbul Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man.
Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).
Pertengahan abad 18 Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong.
Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000undang-undang. .
Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga Perang Tengku Sambo.
Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas.
Pada tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak.
Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap Belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.
Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi.
Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat.
Setelah Abad 18 tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda.
Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk berpartisipasi Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.
Populasi Orang Tionghoa
Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa.
Daerah asal suku Tionghoa-Indonesia adalah di wilayah tenggara Tiongkok.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku:
• Hakka
• Hainan
• Hokkien
• Kantonis
• Hokchia
• Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan : Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
• Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Ambon dan Jayapura.
• Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
• Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
• Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
• Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
• Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Marga Tionghoa Di Ketapang
Dalam etnis Tionghoa mengenal adanya marga, demikian juga dengan Tionghoa yang bermukim di Ketapang. Dalam perkumpulan semarga bagi orang Tionghoa adalah semacam ikatan batin, selain saling tolong menolong, bilamana semarga dalam kesulitan baik moril maupun materil tergantung yayasan masing- masing. Menurut buku sejarah, marga-marga itu sudah tercatat abad 21 sebelum Masehi berkelanjutan terus-menerus sampai sekarang. Tidak akan berubah dalam tulisan kanji dalam 1 marga. Dalam ejaan / dialek bisa berbeda, tetapi tulisan kanji tidak. Menurut para budayawan, didunia ini hanya orang Tionghoa yang memiliki marga yang unik. Tidak akan hilang dan berubah, kecuali oleh rezim Orba. Marga itu ada ratusan, tetapi yang lazim kita temui tidak sampai seratus. Sebagai contoh, di Kodya Pontianak yang dikoordinir oleh Yayasan Bhakti Suci ada lima puluh dua yayasan. Dari lima puluh dua yayasan terdiri dari tiga merupakan suku, dua puluh tujuh merupakan marga dan dua puluh dua merupakan gabungan aneka marga. Yang dua puluh tujuh yayasan yang bermarga itu, berarti mereka minimal memiliki anggota seratus orang semarga, baru bisa mendirikan yayasan. Yang dua puluh dua yayasan, gabungan aneka marga, karena marganya sedikit sekali, maka tidak efisien untuk mendirikan yayasan, lebih baik bergabung dengan marga marga kecil yang lain. Tujuan yayasan ini diutamakan mengurus orang-orang yang meninggal dunia dan bilamana keuangan memungkinkan, bantuan diberikan kepada anggota yang kurang mampu atau miskin.
Marga Tionghoa dikatakan oleh budayawan-budayawan unik, karena selama ribuan tahun dalam Sejarah Tionghoa tidak akan berubah, tetap berlanjut dari generasi ke generasi. Sedangkan suku dan dialek dapat berubah sesuai daerah masing-masing.
Sekarang ada istilah “Chen Ken” yaitu cari akar atau “Hui Niang Cia” yaitu pulang rumah ibu, bilamana mereka mengunjungi leluhurnya di daratan Cina. Hal ini tergantung kondisi dan situasi negara setempat. Bagi Indonesia sekarang banyak berubah, apalagi sesudah dibelenggu selama 32 tahun rezim ORBA.
Dahulu perantau-perantau dikatakan Loh Yek Kui Ken = artinya Daun guur kembali ke akar. Sekarang Lok Ti Sen Ken = artinya jatuh ditangan akan berakar (secara harfiah)
Masyarakat Tionghoa memliki sistem yang rumit untuk panggilan. Bagi mereka, nama bukan hanya sebentuk panggilan, tetapi juga bermakna penting. Bangsa Tionghoa dikenal sebagai Masyarakat Matriakal. Ibu merupakan figure sentral dalam keluarga. Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang sama akan membentuk satu kelompok yang disebut suku ibu. Untuk menghindari perkawinan dalam satu suku, marga menjadi nama klan. Mereka yang bermarga sama tidak boleh menikah. Banyak marga kuno yang membawa akar kata Nu. Marga leluhur orang Huaxia dan raja-raja bijak pada masa lalu juga memiliki akar kata ini.
Statistik menunjukkan bahwa ada lebih 8.000 marga Tionghoa. Namun hanya, 200 atau 300 yang umum. Ada beberapa cara membuat marga. Diantaranya menggunakan totem, menggunakan nama Negara menggunakan nama daerah kekuasaan, menggunakan gelar jabatan, menggunakan nama pekerjaan dan menggunakan tanda dari tempat tinggal sesorang. Kebanyakan marga Tionghoa terdiri dari satu huruf. Marga yang umum adalah Zhang, Wang, Li, Zhao,Liu, Chen, Lin, Yang, Xu, Zhou dan Huang. Ada juga marga yang mempunyai dua kata, seperti Sima Shangguan dan Ouyang.
Menurut Ketua Majelis Umat Khong Fu tsu Apeng Sanjaya yang menetap di Kabupaten Ketapang mengutarakan sampai saat yang tercatat marga –marga yang ada di Kabupaten Ketapang ada 18 marga antara lain:
1. LIM
2.TAN
3.LIE
4.TIO
5. CAN
6. NG
7. KANG
8. IAP
9. HENG
10. HUANG
11. JIE
12. LAI.
13. TENG
14. IO
15. CUA.
16.KHO
17. CIU
18. CU
Dalam beberapa tahun ini marak lagi pembicaraan tentang istilah “Cina” atau “Tionghoa”, bahkan ada kelompok sampai mengadakan polling untuk istilah ini. Meja redaksi Media Indonesia juga kena giliran dikirimi surat pembaca yang menanyakan tentang istilah Cina dan Tionghoa.
Tidak banyak orang yang tahu bahwa wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan "Orang Cina", diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasty. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya berlahiran di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya, termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia Belanda (1900) didirikanlah suatu sarana sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan Tjung Hwa Hwei Kwan, yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa (di Hindia Belanda).
Asal kata Tionghoa:
Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok lahir dari lafal Melayu (Indonesia) dan Hokian, secara linguistik Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) diluar masyarakat Indonesia.
Istilah China yang dibuat orang dari luar Tiongkok yang telah terlanjur populer bukan berarti tidak boleh diganti dengan Tionghoa/Tiongkok . Analoginya dengan Siam jadi Muangthai/ Thailand.
Cina / Tionghoa
Tionghoa/Tiongkok itu bukan dialek Mandarin, yang mana menyebutnya Zhonghua/Zhongguo, melainkan adalah dialek Xiamen (juga dikenal dengan nama dialek Amoi) yang menjadi sumber penting kata pinjaman dari bahasa Tionghoa kedalam bahasa-bahasa Asia Tenggara.
Dalam sastra lama, baik yang Melayu maupun yang Jawa dan lain ainl., istilah yang dipakai cina. Sejak permulaan timbulnya pers berbahasa Melayu dengan abjad Latin pertengahan abad ke-19 pun, yang dipakai ialah cina. Istilah tionghoa, kalau tidak salah, mulai timbul dalam periode antara kedua perang dunia, sebagai akibat satu pertalian idiel antara gerakan nasional kaum pribumi Indonesia dengan organisasi-organisasi masyarakat non-pribumi (baik Tionghoa, maupun Arab dan lain lainl.). Dalam hal ormas Tionghoa, ikatannya dengan gerakan nasional pribumi dipererat lagi karena gerakan yang dipimpin oleh Sun Yat-sen di Tiongkok yang mendapat sambutan positif baik di kalangan gerakan nasional pribumi, maupun di kalangan ormas Tionghoa di Indonesia.
Setelah Proklamasi 1945 dan Konperensi Meja Bundar 1949 di Indonesia, dan perpindahan kekuasaan di Tiongkok dengan didirikannya "Republik Rakyat" pada tahun 1950, terjadi penjalinan hubungan diplomatik resmi. Pada waktu itu pun nama negara tersebut resminya dinyatakan "Republik Rakjat Tiongkok" (dalam ejaan waktu itu). Pemakaian kata-kata Tiongkok dan Tionghoa itu tambah mantap pada masa Konperensi Asia-Afrika di Bandung 1955, ketika menjadi populer untuk mendahulukan nama negeri orang yang sesuai dengan nama pribumi negeri bersangkutan. Misalnya populerlah negeri Siam / Thailand disebut Muangthai, begitu pun Sailan / Ceylon disebut Serilangka (walaupun di negeri itu sendiri, pengantian nama resmi menjadi Sri Lanka baru dilakukan belakangan).
Jadi, terlepas dari segala aspek lainnya, istilah bahasa bakunya pada periode 1950 - 1965 itu Tionghoa dan Tiongkok, dan bahkan dalam bahasa kolokuial pun orang umumnya memakai kedua kata tersebut, sedangkan kata cina itu penggunaannya minimal sekali. Selain itu, pada periode itu ada satu perbedaan, yaitu kalau memisuh seorang keturunan sana secara "penasaran" atau "dongkol" atau "benci", maka pisuhannya itu cina' lu!, dan tidak pernah tionghoa lu! (dimana yang dimaksud dengan lu ialah kau-nya bahasa Jakarta).
Artinya, dalam periode tersebut, tionghoa itulah kata yang baku dan netral, sedangkan cina itu sangat kolokuial dan bertendens menghina. Sudah lumrah, waktu pihak penguasa merasa perlu melancarkan kampanye politik melawan negara yang bersangkutan, kata cina lah yang dipakai, dan kemudian diseragamkan untuk seluruh masyarakat. Jadi, dari segi linguistik yang bersih mengobservasi saja, kita mendapatkan periodisasi berikut:
1. istilah dari "dahulu kala" adalah cina
2. dengan berkembangnya gerakan nasional, orang mulai memakai tionghoa (disamping cina)
3. dalam periode demokrasi liberal (1950-1957), dimantapkan pemakaian tionghoa
4. sekitar 1966 Orde Baru menghidupkan kembali istilah cina, sedangkan yang memakai tionghoa bisa dituduh pro-G30S.
Sekilas Sejarah Kedatangan Orang Tionghoa di Kalimantan Barat
Awal kedatangan orang Tionghoa Keberadaan orang-orang Tionghoa yang pertama kali di Nusantara sebenarnya tidak jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari dan Kalimatan Barat dapat ditemukan genderang (genta) perunggu Dongson di Jawa, Bali dan dataran Pasemah, Sumatera Selatan.
Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina.
Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok. Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah. Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut sejak abad 17.
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan SamtoKiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbul Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man.
Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).
Pertengahan abad 18 Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong.
Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000undang-undang. .
Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga Perang Tengku Sambo.
Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas.
Pada tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak.
Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap Belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.
Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi.
Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat.
Setelah Abad 18 tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda.
Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk berpartisipasi Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.
Populasi Orang Tionghoa
Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa.
Daerah asal suku Tionghoa-Indonesia adalah di wilayah tenggara Tiongkok.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku:
• Hakka
• Hainan
• Hokkien
• Kantonis
• Hokchia
• Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan : Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
• Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Ambon dan Jayapura.
• Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
• Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
• Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
• Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
• Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Marga Tionghoa Di Ketapang
Dalam etnis Tionghoa mengenal adanya marga, demikian juga dengan Tionghoa yang bermukim di Ketapang. Dalam perkumpulan semarga bagi orang Tionghoa adalah semacam ikatan batin, selain saling tolong menolong, bilamana semarga dalam kesulitan baik moril maupun materil tergantung yayasan masing- masing. Menurut buku sejarah, marga-marga itu sudah tercatat abad 21 sebelum Masehi berkelanjutan terus-menerus sampai sekarang. Tidak akan berubah dalam tulisan kanji dalam 1 marga. Dalam ejaan / dialek bisa berbeda, tetapi tulisan kanji tidak. Menurut para budayawan, didunia ini hanya orang Tionghoa yang memiliki marga yang unik. Tidak akan hilang dan berubah, kecuali oleh rezim Orba. Marga itu ada ratusan, tetapi yang lazim kita temui tidak sampai seratus. Sebagai contoh, di Kodya Pontianak yang dikoordinir oleh Yayasan Bhakti Suci ada lima puluh dua yayasan. Dari lima puluh dua yayasan terdiri dari tiga merupakan suku, dua puluh tujuh merupakan marga dan dua puluh dua merupakan gabungan aneka marga. Yang dua puluh tujuh yayasan yang bermarga itu, berarti mereka minimal memiliki anggota seratus orang semarga, baru bisa mendirikan yayasan. Yang dua puluh dua yayasan, gabungan aneka marga, karena marganya sedikit sekali, maka tidak efisien untuk mendirikan yayasan, lebih baik bergabung dengan marga marga kecil yang lain. Tujuan yayasan ini diutamakan mengurus orang-orang yang meninggal dunia dan bilamana keuangan memungkinkan, bantuan diberikan kepada anggota yang kurang mampu atau miskin.
Marga Tionghoa dikatakan oleh budayawan-budayawan unik, karena selama ribuan tahun dalam Sejarah Tionghoa tidak akan berubah, tetap berlanjut dari generasi ke generasi. Sedangkan suku dan dialek dapat berubah sesuai daerah masing-masing.
Sekarang ada istilah “Chen Ken” yaitu cari akar atau “Hui Niang Cia” yaitu pulang rumah ibu, bilamana mereka mengunjungi leluhurnya di daratan Cina. Hal ini tergantung kondisi dan situasi negara setempat. Bagi Indonesia sekarang banyak berubah, apalagi sesudah dibelenggu selama 32 tahun rezim ORBA.
Dahulu perantau-perantau dikatakan Loh Yek Kui Ken = artinya Daun guur kembali ke akar. Sekarang Lok Ti Sen Ken = artinya jatuh ditangan akan berakar (secara harfiah)
Masyarakat Tionghoa memliki sistem yang rumit untuk panggilan. Bagi mereka, nama bukan hanya sebentuk panggilan, tetapi juga bermakna penting. Bangsa Tionghoa dikenal sebagai Masyarakat Matriakal. Ibu merupakan figure sentral dalam keluarga. Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang sama akan membentuk satu kelompok yang disebut suku ibu. Untuk menghindari perkawinan dalam satu suku, marga menjadi nama klan. Mereka yang bermarga sama tidak boleh menikah. Banyak marga kuno yang membawa akar kata Nu. Marga leluhur orang Huaxia dan raja-raja bijak pada masa lalu juga memiliki akar kata ini.
Statistik menunjukkan bahwa ada lebih 8.000 marga Tionghoa. Namun hanya, 200 atau 300 yang umum. Ada beberapa cara membuat marga. Diantaranya menggunakan totem, menggunakan nama Negara menggunakan nama daerah kekuasaan, menggunakan gelar jabatan, menggunakan nama pekerjaan dan menggunakan tanda dari tempat tinggal sesorang. Kebanyakan marga Tionghoa terdiri dari satu huruf. Marga yang umum adalah Zhang, Wang, Li, Zhao,Liu, Chen, Lin, Yang, Xu, Zhou dan Huang. Ada juga marga yang mempunyai dua kata, seperti Sima Shangguan dan Ouyang.
Menurut Ketua Majelis Umat Khong Fu tsu Apeng Sanjaya yang menetap di Kabupaten Ketapang mengutarakan sampai saat yang tercatat marga –marga yang ada di Kabupaten Ketapang ada 18 marga antara lain:
1. LIM
2.TAN
3.LIE
4.TIO
5. CAN
6. NG
7. KANG
8. IAP
9. HENG
10. HUANG
11. JIE
12. LAI.
13. TENG
14. IO
15. CUA.
16.KHO
17. CIU
18. CU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar